Home / Romansa / Dosa dalam Cinta / Bab 36 – Api yang Menelan Segalanya

Share

Bab 36 – Api yang Menelan Segalanya

Author: A. Rani
last update Huling Na-update: 2025-07-22 09:00:37

Hujan api masih mengguyur langit Batavia, membakar sisa-sisa kota yang tak lagi mengenal dirinya sendiri. Reruntuhan benteng kolonial menghitam, menganga seperti rahang raksasa yang haus akan darah dan dendam. Asap tebal menyelimuti udara, menghitamkan bulan yang dulu terang, sementara bara-bara kecil beterbangan di antara reruntuhan, menari seperti roh-roh gelap yang baru bebas dari penjara mereka. Bau besi panas bercampur anyir darah meruap, menyusup ke pori-pori kulit dan membuat dada terasa sesak.

Sekar berdiri di tengah kehancuran itu, tubuhnya lunglai, pakaian lusuhnya compang-camping, dan wajahnya basah oleh peluh, darah, dan air mata yang tak lagi ia tahu milik siapa. Tangannya terangkat lemah, menggenggam sehelai kain yang koyak—sisa dari bendera perlawanan yang kini hangus, abu yang beterbangan di ujung jari-jarinya. Di matanya, ada kekosongan yang mencengkeram, seolah seluruh isi jiwanya sudah terbak

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Dosa dalam Cinta    Bab 39 – Anak yang Hilang

    Hujan terus mengguyur Batavia yang kini tak lebih dari rangkaian arang dan abu. Angin malam menjerit, membawa serpihan kayu hangus dan sisa-sisa kain yang tercabik, berputar-putar di udara seperti roh gelap yang enggan pergi. Satrio berdiri di tengah reruntuhan, napasnya berat, matanya merah, wajahnya dipenuhi luka dan debu yang melekat basah oleh keringat dan air hujan. Di bawah kakinya, batu-batu runtuh, serpihan besi bengkok, dan di antara semua itu—jejak kecil kaki yang basah, samar, seperti jejak bayangan yang melangkah ringan namun pasti menuju kegelapan.Suara itu—suara anak kecil—masih terngiang di kepalanya, menggema seperti bisikan yang tak ingin hilang: "Ayah... aku masih di sini..."Satrio mengepalkan tangan, menggigil, menatap retakan tanah yang menganga, seperti luka yang tak akan pernah sembuh. Napasnya tercekat, dadanya terasa sesak, seolah dunia m

  • Dosa dalam Cinta    Bab 38 – Hujan di Atas Reruntuhan

    Hujan turun deras, menghantam batu-batu pecah dan kayu hangus yang tergeletak di antara puing-puing Batavia. Air mengalir di atas jalanan yang retak, membawa abu, darah, dan serpihan sejarah yang telah patah. Suara rintik hujan berpadu dengan bisikan angin yang melolong di antara dinding-dinding roboh, menciptakan simfoni duka yang membungkus malam dengan kelam yang tebal. Satrio duduk di atas sebongkah batu besar, tubuhnya membungkuk, punggungnya basah kuyup, dan matanya kosong menatap api yang perlahan padam. Jemarinya bergetar saat memegang sepotong kertas lusuh yang sudah hampir hancur oleh air—surat cinta yang ditemukan di antara reruntuhan, tulisannya pudar, namun kata-katanya membakar dadanya lebih panas dari bara api manapun.“Hujan ini... seakan menertawakan kita semua, ya?” gumam Satrio lirih, suaranya serak, nyaris tak terdengar d

  • Dosa dalam Cinta    Bab 37 – Sekar yang Menghilang

    Langit Batavia membara, merah membusuk di cakrawala, seakan dunia sudah melewati batas kesabarannya. Asap tebal menyesakkan udara, menghitamkan bulan, dan di bawah bayang-bayang reruntuhan, Satrio berdiri terhuyung, napasnya berat seperti diikat, dadanya tercekik rasa bersalah yang merayap tanpa ampun. Di matanya, kota yang dulu dikenal kini hanya puing dan bara, jeritan tertahan dalam debu yang menggantung, dan di telinganya, gema suara Sekar—teriakan yang pecah, tangis yang patah, lalu hening yang membunuh.“Sekar!” teriak Satrio dengan suara serak, suaranya memantul di antara dinding-dinding retak, namun hanya kesunyian yang menjawab. Ia menyeret langkahnya, lututnya berdarah, tangan terulur, meraba pecahan bata dan serpihan kayu, mencari tanda apa pun—sehelai kain, jejak kaki, atau sisa napas dari perempuan yang entah sejak kapan m

  • Dosa dalam Cinta    Bab 36 – Api yang Menelan Segalanya

    Hujan api masih mengguyur langit Batavia, membakar sisa-sisa kota yang tak lagi mengenal dirinya sendiri. Reruntuhan benteng kolonial menghitam, menganga seperti rahang raksasa yang haus akan darah dan dendam. Asap tebal menyelimuti udara, menghitamkan bulan yang dulu terang, sementara bara-bara kecil beterbangan di antara reruntuhan, menari seperti roh-roh gelap yang baru bebas dari penjara mereka. Bau besi panas bercampur anyir darah meruap, menyusup ke pori-pori kulit dan membuat dada terasa sesak.Sekar berdiri di tengah kehancuran itu, tubuhnya lunglai, pakaian lusuhnya compang-camping, dan wajahnya basah oleh peluh, darah, dan air mata yang tak lagi ia tahu milik siapa. Tangannya terangkat lemah, menggenggam sehelai kain yang koyak—sisa dari bendera perlawanan yang kini hangus, abu yang beterbangan di ujung jari-jarinya. Di matanya, ada kekosongan yang mencengkeram, seolah seluruh isi jiwanya sudah terbak

  • Dosa dalam Cinta    Bab 35 – Surat Cinta yang Terkubur

    Hujan deras mengguyur reruntuhan kota, menumbuk atap rumah-rumah yang terbakar dan menghantam tanah berlumpur, menciptakan irama pilu yang seolah menjadi ratapan bagi Batavia yang sekarat. Satrio berdiri di ambang pintu rumah tua itu, tubuhnya basah kuyup, luka-luka di wajah dan lengannya seperti ukiran perih yang tak bisa dihapus waktu. Matanya menatap lurus ke depan—ke dalam ruang gelap yang penuh debu, di mana setiap sudutnya menyimpan sisa-sisa masa lalu yang terkoyak. Nafasnya berat, dada sesak, dan dalam langkah yang terasa seperti seret napas terakhir, ia masuk ke dalam, melewati pecahan kaca, sisa-sisa perabotan, dan bau hangus yang masih mengepul dari dinding.Di sudut ruangan, tersembunyi di bawah pecahan kayu yang hangus, ia melihatnya—sebuah buku tua dengan sampul kulit yang sudah retak, seolah hendak hancur jika disentuh. Jemarinya gemetar saat mengangkat buku itu, dan ketika membuka halaman

  • Dosa dalam Cinta    Bab 34 – Rahasia Keturunan Terungkap

    Hujan deras mengguyur atap rumah tua yang retak, menetes melalui celah-celah kayu lapuk, menciptakan bunyi gemericik yang seperti detak jantung yang menegangkan. Di dalam ruangan gelap itu, Satrio berdiri membeku, tubuhnya basah kuyup, napasnya berat, dan tatapannya terkunci pada sosok anak kecil yang terbaring lemah di lantai. Tubuh kecil itu gemetar, mata hitamnya terpejam, seolah menanggung beban yang terlalu besar untuk bahu mungilnya. Di sekeliling mereka, api dari lilin-lilin kecil bergoyang liar, bayangan-bayangan menari di dinding, membentuk siluet wajah-wajah masa lalu yang seakan hidup kembali—Citra, Tan Ming, bahkan Sekar, yang berdiri di sudut ruangan, wajahnya pucat seperti mayat, matanya membelalak, dan tangannya menutup mulut, seolah mencegah teriakan yang hendak pecah.“Ini…

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status