Главная / Romansa / Dosa dalam Cinta / Bab 49 - Lingkaran Api di Mata Karung

Share

Bab 49 - Lingkaran Api di Mata Karung

Aвтор: A. Rani
last update Последнее обновление: 2025-07-02 10:00:00

Udara di dalam gudang rempah-rempah itu pengap, tebal dengan aroma kayu manis, cengkeh, dan kapulaga yang bercampur dengan bau besi panas dan darah yang tumpah. Lampu-lampu minyak bergoyang ditiup angin, cahayanya berkedip-kedip seperti mata yang mengintai dari kegelapan, menciptakan bayangan panjang yang menari liar di dinding-dinding kayu lapuk. Setiap bayangan tampak seperti sosok hantu yang bergerak-gerak, menciptakan ilusi mengerikan bahwa dinding itu sendiri hidup, bernafas, dan menatap dengan tatapan kelam.

Debu beterbangan setiap kali langkah kaki menghantam lantai, mengisi paru-paru dengan rasa logam yang menusuk. Setiap helaan napas terasa seperti menarik bara api ke dalam dada, membakar perlahan, membuat jantung berdetak liar. Di antara tumpukan karung dan peti yang berserakan, dunia terasa sempit, panas, dan penuh ancaman yang mendesis, seolah setiap sudut ruangan menyimpan mata-mata gelap yang mengintai,

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Заблокированная глава

Latest chapter

  • Dosa dalam Cinta    Bab 59 Harapan di Tepi Laut

    Langit sore menggantung rendah di atas pantai, sapuan jingga yang merambat perlahan ke kelabu,seolah dunia sedang bernafas pelan, menahan isak tangis yang tak pernah terucapkan. Ombak menggulung perlahan, menghantam pasir dengan irama yang dalam, membawa aroma asin laut bercampur dengan bau tanah basah dan samar-samar jejak darah yang telah lama mengering. Di tepi pantai, Satrio duduk dengan tubuh agak membungkuk, napasnya pendek-pendek, sementara di sampingnya, anak itu—Ananta—menatap cakrawala yang tak berujung, matanya kosong, dalam, seolah menatap sesuatu yang hanya bisa dilihat olehnya.Hening menggantung di antara mereka, bukan ketenangan yang utuh, melainkan semacam jeda di ambang ledakan, di mana setiap detik menjadi pengingat bahwa apa yang tampak damai hanyalah bayangan yang menyamarkan jurang di bawahnya.Satrio akhirnya memecah kesunyian, suaranya ser

  • Dosa dalam Cinta    Bab 58 Langkah Baru

    Waktu bergerak seperti bisikan yang menelusup di antara cabang-cabang beringin, mengalir melalui udara yang basah oleh embun, menggoreskan jejak-jejak yang tak kasatmata di kulit dan tulang. Matahari menggantung rendah di langit, memancarkan cahaya keemasan yang tampak palsu di balik bayang-bayang kelam yang menempel di tanah—bayang-bayang yang tak sepenuhnya hilang, meski dunia tampak berjalan maju.Anak itu berdiri di tengah lapangan kecil, tubuhnya tegak, mata menatap jauh ke depan, ke batas-batas yang tak terlihat. Di wajahnya terpahat bekas luka yang tidak kasatmata—luka yang bukan berasal dari benturan fisik, melainkan dari ingatan yang mencengkeram, bisikan yang mengendap dalam gelap, dan mimpi-mimpi yang mengiris kesadaran setiap malam.Tapi di sorot matanya, ada api yang tumbuh, bukan api dendam, melainkan cahaya tekad yang membara.

  • Dosa dalam Cinta    Bab 57 Dendam yang Usai

    Langit di atas Batavia pagi itu seperti kanvas kelabu yang menahan tangis. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan asap dupa, dan di antara bisikan daun-daun beringin yang bergoyang perlahan, ada rasa yang menggantung di udara—rasa yang samar antara kelegaan dan kesedihan, antara akhir dan awal.Satrio berdiri di bawah pohon beringin tua, tempat semua jejak darah, kutukan, dan pengkhianatan pernah bertaut. Tubuhnya tegak, tapi matanya basah, sorotnya bukan lagi mata seorang pejuang yang haus balas dendam, melainkan mata seorang pria yang telah lelah bertarung dengan dirinya sendiri. Di tangannya, ada seikat bunga kering yang ia kumpulkan dari makam-makam yang dulu ia kunjungi dalam keheningan penuh penyesalan. Di antara jari-jarinya, kain putih yang penuh bercak darah—sisa warisan yang kini ingin ia kubur bersama semua luka masa lalu.

  • Dosa dalam Cinta    Bab 56 Luka yang Sembuh Perlahan

    Kabut pagi masih menggantung rendah di atas pantai, membalut garis horizon dengan kelabu pucat yang samar-samar, seolah dunia sendiri menahan napas. Laut yang semalam mengamuk kini kembali tenang, namun ketenangan itu seperti wajah palsu yang menutupi luka dalam; ombak hanya berdesir pelan, membasahi pasir yang masih retak, sementara angin membawa bau asin bercampur bau hangus yang samar—sisa dari sesuatu yang hampir saja memecah batas antara dunia dan kegelapan.Satrio berdiri di tepi pantai, telapak kakinya terasa dingin di atas pasir basah. Matanya menatap ombak yang bergulung pelan, namun pikirannya melayang jauh, menembus ruang yang tidak bisa dilihat mata: ruang di mana suara Kalina masih bergema, di mana mata merah itu masih menyala di kelam, menunggu, menuntut, menagih janji darah yang belum lunas.Namun ada sesuatu yang berbeda di dada Sa

  • Dosa dalam Cinta    Bab 55 Jejak di Pasir Waktu

    Langit di atas pantai terhampar luas, kelam, dan seolah terbelah menjadi dua dunia: di satu sisi, langit pagi yang pucat, memantulkan cahaya abu-abu ke permukaan laut yang bergelombang; di sisi lain, bayangan gelap yang menggantung di horison, samar namun menekan, seperti awan hitam yang menunggu saatnya untuk runtuh. Ombak memukul bibir pantai dengan ritme yang berat, meninggalkan jejak busa yang cepat hilang, dan pasir di bawah kaki terasa dingin, kasar, seolah menyimpan bisikan yang tertinggal dari ribuan kaki yang pernah melangkah di sana.Anak itu berjalan pelan di tepi pantai, langkah-langkah kecilnya meninggalkan jejak di pasir basah yang segera disapu gelombang. Matanya menatap ke laut yang terbentang tanpa batas, seolah ingin mencari jawaban di balik garis air yang jauh, di mana dunia dan langit bertemu namun tak pernah menyatu. Angin laut menerpa wajahnya, meniup rambutnya yang basah,

  • Dosa dalam Cinta    Bab 54 Warisan yang Tertinggal

    Angin pagi menyusup pelan ke dalam bilik kayu yang sudah mulai rapuh, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau kayu lapuk dan abu dupa yang masih mengepul samar di sudut ruangan. Cahaya matahari menyelinap melalui celah-celah dinding bambu, memantulkan bayangan-bayangan panjang yang menari di lantai, menciptakan ilusi seolah dunia di dalam ruangan itu terbelah antara cahaya dan gelap, antara masa lalu dan masa depan.Di tengah ruang itu, Satrio duduk bersila, tubuhnya sedikit membungkuk, napasnya berat, matanya menatap lekat pada selembar peta tua yang terhampar di depannya. Peta itu berwarna kusam, kertasnya rapuh, bergaris-garis retak seperti urat luka yang menghitam di kulit manusia, dan di sudutnya, ada noda cokelat tua—bekas darah yang mengering bertahun-tahun lalu.Anak itu duduk di seberangnya, mata besarnya membelalak penuh tany

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status