Home / Romansa / Dosa dalam Cinta / Bab 68 – Kunci Takdir di Jembatan Terakhir

Share

Bab 68 – Kunci Takdir di Jembatan Terakhir

Author: A. Rani
last update Last Updated: 2025-07-09 09:00:47

Langit Batavia bergolak, menyala merah di atas jembatan tua yang retak oleh waktu dan beban sejarah. Angin membawa serpihan debu dan bara, membelitkan nyala api seperti lidah-lidah api yang lapar, menciptakan pemandangan yang nyaris seperti lukisan neraka. Di atas jembatan itu, dua sosok berdiri saling berhadapan—Satrio dan Rangga, keduanya terengah, berdarah, namun mata mereka bersinar seperti obor yang tak akan padam.

Satrio, dengan napas berat dan dada penuh luka, mencengkeram gagang pedangnya seolah itu adalah satu-satunya sisa dunia yang bisa ia pegang. Di wajahnya, darah dan debu bercampur, mengalir seperti tanda takdir yang tak terelakkan. Rangga berdiri tegap, meski tubuhnya hangus terbakar di beberapa bagian, dan mata merahnya memancarkan cahaya gila, seolah api dunia sendiri mengalir dalam nadinya.

“Hanya satu yang akan berdiri setelah ini, Satrio,” seru

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Dosa dalam Cinta    Bab 20 – Pertemuan di Balai Kota

    Langit Batavia menghitam, awan-awan gelap menggulung seperti tirai neraka yang siap merenggut dunia. Di dalam Balai Kota, udara terasa lebih berat dari baja, seolah ruangan itu menahan napasnya sendiri, menunggu percikan yang akan meledakkan segalanya. Cahaya lentera bergoyang di dinding, menciptakan bayangan-bayangan bergerigi yang menari di wajah-wajah tegang. Satrio berdiri di tengah ruangan, tubuhnya lelah, jiwanya koyak, namun matanya menyala dengan bara yang tak lagi bisa dipadamkan. Di hadapannya, Sekar duduk tegak di kursi tinggi, gaunnya lusuh namun anggun, rambutnya basah oleh keringat dan hujan yang menembus atap, wajahnya keras, dingin, namun retak di sudut-sudutnya—retak yang hanya bisa dilihat oleh seseorang yang pernah mencintainya.Suara langkah kaki terdengar berat di lantai kayu tua, gema dentumnya menggema seperti genderang perang yang menghantam dada. Di sekeliling, wajah-wajah lain menonton

  • Dosa dalam Cinta    Bab 19 – Bayangan Citra

    Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Angin dingin menyelinap melalui celah-celah dinding pondok tua, membawa bisikan-bisikan halus yang seolah berasal dari dunia lain. Di dekat perapian kecil yang nyalanya mulai redup, Satrio duduk membatu, tubuhnya kaku, pandangannya kosong tertuju pada surat yang masih terlipat di tangannya. Api yang tinggal bara memantulkan kilatan samar di wajahnya yang pucat, mempertegas garis-garis lelah dan guratan luka batin yang semakin dalam. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin, tetapi karena beban yang menggantung di dadanya semakin berat, menghimpit napasnya seperti rantai besi yang tak kasatmata.Pikiran Satrio berputar liar. Bayangan Citra begitu nyata di matanya—gaun putihnya yang berkibar, senyum kecil yang dulu menenangkan, dan tatapan yang kini seperti menuntut, menagih janji yang belum ditepati. Dalam kabut pikirannya, suara itu kembali t

  • Dosa dalam Cinta    Bab 18 – Surat Wasiat Nyai Rahayu

    Di dalam keheningan rumah tua yang seakan menahan napas bersama Satrio, bunyi hujan di atap terdengar seperti detak jam yang memaksa waktu berjalan lambat. Dinding kayu yang lembap memantulkan bayangan tubuhnya yang gemetar, seolah menjadi saksi bisu dari badai yang bergemuruh dalam dadanya. Tetesan minyak dari lampu lentera menguap di udara, menciptakan aroma gosong samar yang bercampur dengan debu tua dan serpihan masa lalu. Satrio duduk membungkuk, tangan-tangannya mengepal di atas meja, mencengkeram surat itu seolah kertas itu adalah jangkar terakhir yang menahannya dari jatuh ke jurang gila. Setiap kata dalam surat itu menggerogoti pikirannya seperti bisikan setan: “Sekar adalah warisan dari darah kita... dia membawa luka dan kutukan... dia harus memilih: membakar dunia atau menyelamatkannya.”Kata-kata itu berputar di kepalanya, membentuk pusa

  • Dosa dalam Cinta    Bab 17 – Aliansi yang Rapuh

    Di dalam gudang tua itu, di antara bayangan obor yang bergetar di dinding-dinding kayu lapuk, waktu seolah melambat. Hujan rintik yang jatuh di atap seng menciptakan irama monoton yang menusuk telinga, seperti ketukan jam yang terus mengingatkan mereka pada bahaya yang kian mendekat. Satrio duduk diam, napasnya berat, matanya menyapu wajah-wajah di sekelilingnya: lelaki tua dengan tangan gemetar, perempuan yang menggenggam kerudungnya erat-erat, pemuda dengan luka di pipi yang sudah mulai mengering. Mereka semua adalah wajah-wajah yang telah kehilangan, namun masih bertahan, tersisa di antara reruntuhan kehidupan yang direnggut tanpa ampun.Di sudut ruangan, Rahman duduk dengan punggung membungkuk, sorot matanya gelap, namun ada sesuatu yang mulai tumbuh di sana—kemarahan yang perlahan berubah menjadi tekad. Ia menatap Satrio dengan rahang mengeras, seperti menahan sesuatu yang sudah lama mengendap di dalam dad

  • Dosa dalam Cinta    Bab 16 – Rencana Kudeta Sekar

    Di bawah lentera yang berkelip lemah, bayangan di dinding tampak seperti siluet hantu yang menari, bergerak seirama dengan napas gelisah para lelaki dan perempuan yang duduk mengelilingi meja kayu tua itu. Udara di ruangan itu begitu tebal, seakan dipenuhi jelaga kemarahan yang belum sempat terucapkan. Di luar, hujan mengguyur Batavia, menciptakan simfoni samar di atap seng dan lantai tanah yang bergetar, namun di dalam ruangan, setiap suara hujan seakan terkubur oleh ketegangan yang menggumpal.Sekar berdiri di depan peta, tubuhnya membeku bagai patung, namun matanya menyala dengan cahaya yang membuat udara di sekitarnya terasa lebih dingin. Tangannya mengepal di atas meja, jarinya menekan kuat hingga buku-buku jarinya memutih, sementara sorot matanya mengunci setiap wajah yang menatapnya. Ada api di matanya—api yang tak sekadar marah, tapi api yang lahir dari kehilangan, dari pengkhianatan, dari luka yang tak

  • Dosa dalam Cinta    Bab 15 – Anak Misterius dalam Kekacauan

    Hujan turun semakin deras, meneteskan air yang bercampur abu, membasahi reruntuhan pasar malam yang hancur menjadi puing-puing. Api mulai padam, namun asap tebal masih bergulung di udara, membawa aroma hangus yang menusuk, membekap dada Satrio seperti tangan dingin yang menekan keras. Dunia seolah bergeming dalam jeda yang penuh luka, di mana waktu berhenti sejenak, dan hanya denting hujan yang menimpa genting-genting patah menjadi lagu pengantar untuk duka yang tak terucap.Satrio menatap anak itu dengan dada yang mencengkeram, tubuhnya setengah basah kuyup, matanya merah, napasnya pendek-pendek seperti habis tercekik. Bocah kecil itu masih berjongkok, rambutnya menempel di wajah, kulitnya pucat, matanya—Tuhan, mata itu—terlalu dalam, terlalu tua, seolah menyimpan ribuan musim yang tak mungkin ditanggung oleh tubuh sekecil itu. Ada luka sobek di pipinya, darah mengering membentuk garis di wajah kecil yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status