Home / Romansa / Dosa dalam Cinta / Bab 70 - Ketika Bara Menolak Mati

Share

Bab 70 - Ketika Bara Menolak Mati

Author: A. Rani
last update Last Updated: 2025-07-09 10:00:24

Di sekelilingnya, api meliuk seperti lidah-lidah naga, menelan batu, besi, dan kayu, menciptakan bayangan-bayangan mengerikan yang menari di dinding bangunan yang runtuh. Suara jeritan Sekar, gema tawa Rangga, dan desah lemah Citra bercampur menjadi satu di dalam kepala Satrio, membentuk pusaran rasa bersalah, dendam, dan rasa kehilangan yang mencekik. Tangannya menggenggam pedang, genggaman yang lemah, penuh luka, namun tetap bertahan, seperti bara api yang menolak padam.

“Bangkitlah, Satrio!” seruan perempuan muda itu menggema lagi, suaranya menusuk udara panas yang penuh debu. Mata birunya menyala tajam, menembus kekacauan, suaranya bergema di dada Satrio seperti gaung yang menyentuh inti jiwanya. Satrio mendongak, menatapnya dengan mata yang basah oleh air mata, namun di dalam tatapannya, bara api baru mulai menyala, sebuah tekad yang lahir dari keputusasaan dan cinta yang tersisa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Dosa dalam Cinta    Bab 40: Pertemuan di Pohon Beringin

    Kabut tipis menyelimuti tanah basah di kaki pohon beringin tua, menciptakan suasana yang sunyi dan mencekam. Akar-akar menggantung seperti tangan-tangan masa lalu yang mencoba meraih kembali sesuatu yang telah hilang. Di bawah naungan pohon yang telah menjadi saksi bisu sejarah panjang desa itu, Satrio berdiri dengan napas tertahan, menanti sosok yang telah lama dianggapnya hilang.Dari balik kabut, muncul siluet seorang pria tua dengan langkah tertatih. Wajahnya dipenuhi keriput, namun matanya masih memancarkan cahaya kebijaksanaan. Tan Ming, yang selama ini diyakini telah tiada, kini berdiri di hadapan Satrio, membawa serta beban masa lalu yang berat.“Tan Ming...” suara Satrio nyaris tak terdengar.Tan Ming mengangguk pelan, lalu mengeluarkan sebuah gul

  • Dosa dalam Cinta    Bab 39 – Anak yang Hilang

    Hujan terus mengguyur Batavia yang kini tak lebih dari rangkaian arang dan abu. Angin malam menjerit, membawa serpihan kayu hangus dan sisa-sisa kain yang tercabik, berputar-putar di udara seperti roh gelap yang enggan pergi. Satrio berdiri di tengah reruntuhan, napasnya berat, matanya merah, wajahnya dipenuhi luka dan debu yang melekat basah oleh keringat dan air hujan. Di bawah kakinya, batu-batu runtuh, serpihan besi bengkok, dan di antara semua itu—jejak kecil kaki yang basah, samar, seperti jejak bayangan yang melangkah ringan namun pasti menuju kegelapan.Suara itu—suara anak kecil—masih terngiang di kepalanya, menggema seperti bisikan yang tak ingin hilang: "Ayah... aku masih di sini..."Satrio mengepalkan tangan, menggigil, menatap retakan tanah yang menganga, seperti luka yang tak akan pernah sembuh. Napasnya tercekat, dadanya terasa sesak, seolah dunia m

  • Dosa dalam Cinta    Bab 38 – Hujan di Atas Reruntuhan

    Hujan turun deras, menghantam batu-batu pecah dan kayu hangus yang tergeletak di antara puing-puing Batavia. Air mengalir di atas jalanan yang retak, membawa abu, darah, dan serpihan sejarah yang telah patah. Suara rintik hujan berpadu dengan bisikan angin yang melolong di antara dinding-dinding roboh, menciptakan simfoni duka yang membungkus malam dengan kelam yang tebal. Satrio duduk di atas sebongkah batu besar, tubuhnya membungkuk, punggungnya basah kuyup, dan matanya kosong menatap api yang perlahan padam. Jemarinya bergetar saat memegang sepotong kertas lusuh yang sudah hampir hancur oleh air—surat cinta yang ditemukan di antara reruntuhan, tulisannya pudar, namun kata-katanya membakar dadanya lebih panas dari bara api manapun.“Hujan ini... seakan menertawakan kita semua, ya?” gumam Satrio lirih, suaranya serak, nyaris tak terdengar d

  • Dosa dalam Cinta    Bab 37 – Sekar yang Menghilang

    Langit Batavia membara, merah membusuk di cakrawala, seakan dunia sudah melewati batas kesabarannya. Asap tebal menyesakkan udara, menghitamkan bulan, dan di bawah bayang-bayang reruntuhan, Satrio berdiri terhuyung, napasnya berat seperti diikat, dadanya tercekik rasa bersalah yang merayap tanpa ampun. Di matanya, kota yang dulu dikenal kini hanya puing dan bara, jeritan tertahan dalam debu yang menggantung, dan di telinganya, gema suara Sekar—teriakan yang pecah, tangis yang patah, lalu hening yang membunuh.“Sekar!” teriak Satrio dengan suara serak, suaranya memantul di antara dinding-dinding retak, namun hanya kesunyian yang menjawab. Ia menyeret langkahnya, lututnya berdarah, tangan terulur, meraba pecahan bata dan serpihan kayu, mencari tanda apa pun—sehelai kain, jejak kaki, atau sisa napas dari perempuan yang entah sejak kapan m

  • Dosa dalam Cinta    Bab 36 – Api yang Menelan Segalanya

    Hujan api masih mengguyur langit Batavia, membakar sisa-sisa kota yang tak lagi mengenal dirinya sendiri. Reruntuhan benteng kolonial menghitam, menganga seperti rahang raksasa yang haus akan darah dan dendam. Asap tebal menyelimuti udara, menghitamkan bulan yang dulu terang, sementara bara-bara kecil beterbangan di antara reruntuhan, menari seperti roh-roh gelap yang baru bebas dari penjara mereka. Bau besi panas bercampur anyir darah meruap, menyusup ke pori-pori kulit dan membuat dada terasa sesak.Sekar berdiri di tengah kehancuran itu, tubuhnya lunglai, pakaian lusuhnya compang-camping, dan wajahnya basah oleh peluh, darah, dan air mata yang tak lagi ia tahu milik siapa. Tangannya terangkat lemah, menggenggam sehelai kain yang koyak—sisa dari bendera perlawanan yang kini hangus, abu yang beterbangan di ujung jari-jarinya. Di matanya, ada kekosongan yang mencengkeram, seolah seluruh isi jiwanya sudah terbak

  • Dosa dalam Cinta    Bab 35 – Surat Cinta yang Terkubur

    Hujan deras mengguyur reruntuhan kota, menumbuk atap rumah-rumah yang terbakar dan menghantam tanah berlumpur, menciptakan irama pilu yang seolah menjadi ratapan bagi Batavia yang sekarat. Satrio berdiri di ambang pintu rumah tua itu, tubuhnya basah kuyup, luka-luka di wajah dan lengannya seperti ukiran perih yang tak bisa dihapus waktu. Matanya menatap lurus ke depan—ke dalam ruang gelap yang penuh debu, di mana setiap sudutnya menyimpan sisa-sisa masa lalu yang terkoyak. Nafasnya berat, dada sesak, dan dalam langkah yang terasa seperti seret napas terakhir, ia masuk ke dalam, melewati pecahan kaca, sisa-sisa perabotan, dan bau hangus yang masih mengepul dari dinding.Di sudut ruangan, tersembunyi di bawah pecahan kayu yang hangus, ia melihatnya—sebuah buku tua dengan sampul kulit yang sudah retak, seolah hendak hancur jika disentuh. Jemarinya gemetar saat mengangkat buku itu, dan ketika membuka halaman

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status