Nadine mengangguk, ia menelisik sekeliling sejenak. Pada akhirnya memilih kembali ke kamarnya, membuka gorden dan melihat citylight kota Jakarta.
Kepergian Nadine membuat kedua pelayan itu membeku, mereka saling melirik dengan peluh di pelipis. "Apa kita harus melakukan ini?" tanya salah satu dengan resah.
Keduanya tetap berdiri di ruang tengah, seolah kaki mereka berat untuk melangkah.
"Kalau kita tidak melakukannya, kita yang akan kena masalah," bisik salah satu pelayan, Rani, sambil memegang ujung celemeknya erat-erat.
"Tapi… dia bukan orang yang jahat," balas Sinta, temannya, suaranya nyaris tak terdengar.
Rani menghela napas panjang, lalu melirik ke arah kamera CCTV di sudut ruangan. “Sudah, jangan banyak bicara. Mereka pasti sedang memantau. Kita… pura-pura saja.”
Berita utama terpampang jelas di layar ponsel Nadine.Skandal besar mengguncang dunia bisnis dan politik internasional!Adrian Hartanto, pemilik perusahaan teknologi raksasaVtec, resmi ditetapkan sebagai tersangka kasuspencucian uang lintas negarasekaliguskebocoran server keamanan nasional. Laporan investigasi menyebutkan bahwa dana perusahaan digunakan untuk transaksi gelap, termasuk penyelundupan data rahasia milik negara.Tak berhenti di sana, nama
Raymond menunduk sedikit, suaranya melunak. “Biarkan publik bicara sesuka hati. Tugas saya hanya memastikan Anda hidup cukup lama untuk mendengar sendiri saat kebenaran akhirnya terungkap. Percayalah, Pak Leonard tidak akan berhenti sampai semua yang menjebak Anda hancur.”Hening sejenak. Lalu, dengan langkah goyah, Nadine akhirnya bangkit. Ia mengenakan mantel yang disodorkan Raymond. Tangan pria itu terulur cepat saat melihat tubuhnya hampir oleng. “Pelan-pelan,” gumam Raymond, menopang lengannya. Nadine hanya mengangguk pelan, pasrah.Di luar, sebuah mobil hitam berlapis baja sudah menunggu. Dua pengawal membuka pintu, dan Nadine diarahkan masuk dengan hati-hati. Raymond duduk di sampingnya, menatap lurus ke depan, sementara konvoi kecil dengan dua kendaraan lain mengiringi di depan dan belakang.
Pagi itusuara notifikasi ponsel bertubi-tubi membangunkan Nadine yang masih terbaring di ranjang. Dengan tubuh lemah, ia meraih ponselnya.Seketika matanya membelalak. Judul-judul berita online berbaris di layar:“Pustakawan cantik Nadine terciduk jadi wanita simpanan pejabat kaya raya!”“Video panas Nadine beredar, Leonard Sinclair terseret skandal!”“Si cantik simpanan hidung belang. Siapa Nadine sebenarnya?”Tubuhnya langsung gemetar. Nafasnya tercekat. Video itu… video yang kemarin direkam tanpa seizinnya. Jantungnya berdegup kencang, dadanya sesak seolah dunia runtuh menimpanya.Tangannya gemetar memegang ponsel hingga hampir terlepas. Air mata mulai jatuh deras, rasa malu dan ngeri bercampur jadi satu.“Tidak… tidak mungkin…” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Perasaan takut menggelayut, ia teringat dengan pisau yang berkali-kali menancap di lehernya.Leonard yang baru masuk dengan membawakan sarapan, menghentikan langkahnya begitu melihat wajah Nadine pucat pasi. “Nadine
"Leo! Jangan uji kesabaran mama dan papa!" bentak Victoria dengan berkacak pinggang. Nadine semakin gemetar, berusaha bangkit tapi ditahan Leonard."Leonard." Kini Alexander yang bersuara. "Usir wanita itu dari sini, atau kami akan menarik segala dukungan padamu!"Leonard menoleh perlahan, sorot matanya tajam menusuk Alexander, Victoria, dan Daisy sekaligus. Aura dingin yang menyelubunginya seketika membuat ruangan itu serasa kehilangan oksigen.Dengan gerakan tenang namun penuh wibawa, Leonard berdiri tegak di sisi ranjang, tubuhnya seolah membentuk perisai hidup di depan Nadine.“Tarik saja. Aku tak peduli,” suaranya bergetar oleh amarah yang ditahan, “lebih baik kaliananggap aku orang asing.”“Leonard!” Victoria terpekik, wajahnya merah karena kesal. “Beraninya kau bicara seperti itu pada orang tuamu sendiri?”“Bukan aku yang lancang,” balas Leonard, kali ini nadanya serupa cambuk yang menyambar. Alexander mendengus, suaranya berat dan menekan. “Kau membiarkan perasaan menguasaimu
Leonard gusar menunggu di lorong rumah sakit. Giginya gemeretak keras merasakan emosi yang membuncah. "Pak Leo, semua hasil visum sudah keluar," ujar dokter forensik. "Kasus penganiayaan. Pelaku orang yang sangat profesional."Leonard mendongak cepat, sorot matanya tajam menusuk dokter itu. “Profesional? Maksud Anda, ini bukan sekadar perampokan biasa?”Dokter forensik menghela napas, lalu menunduk sedikit. “Betul. Luka-luka yang dialami Ibu Nadine… tidak ada yang bersifat acak. Semua terarah, seperti ingin menguji batas nyali korban, bukan melukai untuk membunuh. Orang ini tahu betul bagaimana menekan mental seseorang.”Leonard mengepalkan tangan lebih keras hingga buku jarinya memutih. “Brengsek…” desisnya, napasnya memburu. “Dia mempermainkan Nadine. Menganggapnya mainan.”Dokter itu ragu sejenak, lalu menambahkan, “Kami juga menemukan residu logam di kulit lehernya. Bukan pisau dapur biasa, Pak. Ini senjata taktis.”Ucapan itu semakin mempertegas dugaan Leonard. Ia menepis udara
Dengan ragu, ia menunduk perlahan, memperhatikan mata pria itu tanpa berkedip.Pria itu memandangnya seperti pemburu yang hampir menangkap mangsa. “Bagus… Sekarang, diam saja.” Jemarinya bergerak cepat di sepanjang leher Nadine, lalu turun kebahu, menekan-nekan ringan seperti sedang memastikan sesuatu.“Kau… benar-benar gila,” desis Nadine di sela napas yang berat.Pria itu hanya tertawa pendek, tanpa melepaskan cengkeraman. “Kalau aku gila, kau sudah mati dari tadi. Ini hanya… misi.”Nadine semakin yakin, pria ini memang bukan sekadar penyusup atau perampok biasa. Caranya bergerak terlalu terlatih, dan tujuan utamanya jelas bukan untuk menyakitinya secara fisik—setidaknya, bukan itu yang ia incar.Pria itu melirik sekilas ke arah pintu kamar, seperti sedang menghitung waktu.