Share

5. Bertemu Masa Lalu.

Gayatri hendak menggenggam tangan sang putri.

Hanya saja, ponsel Gayatri bergetar.

Sepertinya Iwas sudah tiba. Gayatri keluar ruangan dengan dada berdebar kencang.

Setelah sepuluh tahun, ini adalah kali pertamanya bertemu dengan Iwas. Dalam situasi tidak biasa pula. Semoga saja Iwas dan dirinya bisa menekan ego masing-masing demi keselamatan buah hati mereka. Yah, semoga.

Gayatri duduk dengan punggung sekaku papan di ruang tunggu rumah sakit. Iwas menelepon dan mengatakan bahwa posisinya sudah dekat. Iwas juga memintanya menunggu di depan. Ia tidak mau menghabiskan waktu dengan mencari-carinya di seluruh penjuru rumah sakit katanya. Ponsel Gayatri kembali berbunyi. Refleks, Gayatri berdiri. Pasti Iwas yang meneleponnya. 

Tatkala memindai ponsel dan nama ayahnya yang muncul, Gayatri mengerutkan kening.

Tumben ayahnya meneleponnya? Biasanya, ayahnya lebih suka meminjam lidah ibunya jikalau ingin berbicara dengannya. Semenjak ayahnya gemar bermain saham sekitar tiga tahun lalu, mereka memang kerap berselisih paham. Ayahnya acapkali kehilangan uang banyak saat bermain saham dan memintanya menjual asset untuk menutupi hutang.

"Hallo, Yah."

"Jual Hotel Grand Mediterania kita yang ada di Ubud pada Pak Bakri."

"Hah, menjual hotel lagi? Untuk apa, Yah? Ingat, kita sudah menjual dua hotel dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini karena pandemi dan hobby Ayah bermain saham. Kalau Ayah menjual Hotel Grand Mediterania, berarti kita hanya punya Emerald Green Hotel dan Sumatera Persada Hotel di Medan ini. Hitung-hitungan Ratri, income dari dua hotel ini, tidak akan cukup untuk menutup hutang bank dan biaya operasional hotel. Belum lagi biaya hidup kita. Ratri tidak mau menjualnya!" 

"Jadi kamu mau Ayah masuk penjara, hah? Ayah berhutang lima puluh milyar pada Pak Bakri."

"Hah, lima--lima puluh milyar? Untuk apa Ayah berhutang sebanyak itu?"

Gayatri berkeringat dingin saat mendengar hutang sang ayah. Satu pemikiran tiba-tiba masuk dalam benak Gayatri.

"Jangan bilang kalau Ayah meminjam uang Pak Bakri untuk bermain saham?"

"Dugaanmu benar. Saham yang Ayah beli anjlok dan beberapa ada yang tutup. Ayah bangkrut, Tri."

"Inilah yang Ratri takutkan, Yah! Ayah kembali bermain saham dan lagi-lagi bangkrut. Ayah tidak berpikir bagaimana kalau kita kehilangan semuanya? Kita bisa tidur di kolong jembatan, Yah!" Suara Gayatri bergetar karena panik. Mereka benar-benar bisa tidur di kolong jembatan karena ulah ayahnya.

"Ayah melakukan ini karena Ayah ingin kembali mengambil uang-uang Ayah terdahulu. Koh Asiong aja bisa kaya karena bermain saham, masa Ayah tidak?"

"Beda kasusnya, Yah. Koh Asiong itu mumpuni dalam masalah pasar saham karena ia sudah puluhan tahun bergulat di bidang itu. Koh Asiong juga rajin melakukan diversifikasi portofolio dan jeli dalam menganalisa pasar. Koh Asiong tidak sembarangan berinvestasi. Koh Asiong tidak seperti Ayah yang suka membeli saham gorengan karena klaim sepihak mampu meraih keuntungan lebih cepat. Ayah tidak melihat apakah perusahaan saham itu dikelola oleh manajemen yang profesional atau tidak? Apakah perusahaan masih akan tetap ada dalam lima atau sepuluh tahun ke depan? Ayah hanya--"

"Sudah! Jangan menggurui Ayah. Ayah sedang pusing. Kalau Ayah bilang jual, ya jual. Lagi pula hotel itu toh milik Ayah. Ayah sudah mengumpulkan pundi-pundi uang saat masih menjadi mentri dulu. Jadi kamu tidak berhak melarang Ayah menjual aset-aset Ayah sendiri. Pokoknya setelah urusanmu selesai di Medan sana, segera urus jual beli hotel itu."

Tangan Gayatri yang sedang memegang ponsel bergetar. Hati kecilnya mengatakan bahwa mereka akan benar-benar bangkrut sekarang. Pak Bakri itu licik. Gayatri tahu pak Bakri itu sudah lama mengincar hotel Grand Mediterania di Ubud.

"Yah, jawab Ratri dengan jujur. Apa benar Ayah hanya berhutang sebesar lima puluh milyar pada Pak Bakri?" Gayatri menanyakan pertanyaan yang sebenarnya ia tahu, bahwa ia akan sakit hati sendiri saat mendengar jawabannya. Ia pernah mendengar selentingan bahwa ayahnya dan Pak Bakri akhir-akhir ini gemar bermain judi di luar negeri.

Hening.

"Yah, hotel Grand Mediterania itu luas tanahnya 2,4 hektar dan memiliki 60 kamar. Dengan fasilitas lengkap restaurant, kolam renang, hingga meeting room harga jualnya minimal seratus tiga puluh miliar. Ayah juga tahu sendiri 'kan kalau occupancy rate hotel bisa mencapai 70 sampai 80 persen per tahun. Lantas mengapa Ayah menjualnya dengan harga 50 milyar saja? Jawab Ratri dengan jujur, Yah."

"Hutang Ayah pada Pak Bakri untuk membeli saham memang hanya 50 milyar. Sisanya adalah hutang Ayah saat kalah bermain judi di Macau dan Singapore."

Klik.

Ayahnya mematikan telepon. Gayatri terduduk di kursi ruang tunggu dengan bahu mencelos. Hancur sudah. Semua harta keluarga mereka hilang satu persatu. Dulu saat sang ayah masih menjabat sebagai Mentri PUPR mereka masih memiliki lima hotel berbintang 4 dan 5. Setelah  ayahnya tidak lagi menjabat dan pandemi melanda, satu persatu aset dijual. Dan kini ayahnya sedang demam bermain saham dan judi. Aset mereka nyaris habis. Entah bagaimana nasib mereka ke depannya, Gayatri tidak berani membayangkannya.

Di saat sedang termenung, sekonyong-konyong pandangan Gayatri tertuju pada sosok tinggi menjulang di antara para pengunjung rumah sakit lainnya. Sosok itu berjalan cepat mendahului para pengunjung yang juga berjalan tergesa-gesa. Iwas! Gayatri sudah bisa merasakan aura Iwas bahkan sebelum yang bersangkutan mengenalinya.

Melihat penampilan Iwas sekarang, Gayatri nyaris tidak mengenalinya. Iwas mengenakan blazer kerja simple berwarna abu-abu dan celana bahan hitam. Potongan slim fit-nya blazernya membuat badan kekar Iwas tampak indah dipandang. Penampilan Iwas ini sangat berbeda dengan penampilannya sepuluh tahun lalu. Dulu Iwas sering mengenakan kaos oblong dan celana jeans khas remaja. Selain itu perawakan Iwas sekarang juga berbeda. Dulu Iwas tinggi ramping cenderung kurus. Sekarang otot-otot Iwas tampak bersembulan di lengan kekarnya. Iwas remaja telah menjelma menjadi seorang pria dewasa mapan rupawan.

"Bang..." Gayatri berdiri menyambut kedatangan  Iwas. Namun Gayatri bingung karena Iwas melewatinya begitu saja. Jangan-jangan Iwas tidak mengenalinya. Gayatri baru bermaksud memanggil Iwas, saat ponselnya berdering. Iwas meneleponnya.

"Kamu di mana? Bukankah sudah saya bilang tunggu saya di depan?!"

Tunggu, apa Iwas benar-benar tidak mengenalinya rupanya saat ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status