Gayatri hendak menggenggam tangan sang putri.
Hanya saja, ponsel Gayatri bergetar.
Sepertinya Iwas sudah tiba. Gayatri keluar ruangan dengan dada berdebar kencang.Setelah sepuluh tahun, ini adalah kali pertamanya bertemu dengan Iwas. Dalam situasi tidak biasa pula. Semoga saja Iwas dan dirinya bisa menekan ego masing-masing demi keselamatan buah hati mereka. Yah, semoga.
Gayatri duduk dengan punggung sekaku papan di ruang tunggu rumah sakit. Iwas menelepon dan mengatakan bahwa posisinya sudah dekat. Iwas juga memintanya menunggu di depan. Ia tidak mau menghabiskan waktu dengan mencari-carinya di seluruh penjuru rumah sakit katanya. Ponsel Gayatri kembali berbunyi. Refleks, Gayatri berdiri. Pasti Iwas yang meneleponnya.Tatkala memindai ponsel dan nama ayahnya yang muncul, Gayatri mengerutkan kening.
Tumben ayahnya meneleponnya? Biasanya, ayahnya lebih suka meminjam lidah ibunya jikalau ingin berbicara dengannya. Semenjak ayahnya gemar bermain saham sekitar tiga tahun lalu, mereka memang kerap berselisih paham. Ayahnya acapkali kehilangan uang banyak saat bermain saham dan memintanya menjual asset untuk menutupi hutang."Hallo, Yah."
"Jual Hotel Grand Mediterania kita yang ada di Ubud pada Pak Bakri."
"Hah, menjual hotel lagi? Untuk apa, Yah? Ingat, kita sudah menjual dua hotel dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini karena pandemi dan hobby Ayah bermain saham. Kalau Ayah menjual Hotel Grand Mediterania, berarti kita hanya punya Emerald Green Hotel dan Sumatera Persada Hotel di Medan ini. Hitung-hitungan Ratri, income dari dua hotel ini, tidak akan cukup untuk menutup hutang bank dan biaya operasional hotel. Belum lagi biaya hidup kita. Ratri tidak mau menjualnya!"
"Jadi kamu mau Ayah masuk penjara, hah? Ayah berhutang lima puluh milyar pada Pak Bakri."
"Hah, lima--lima puluh milyar? Untuk apa Ayah berhutang sebanyak itu?"
Gayatri berkeringat dingin saat mendengar hutang sang ayah. Satu pemikiran tiba-tiba masuk dalam benak Gayatri.
"Jangan bilang kalau Ayah meminjam uang Pak Bakri untuk bermain saham?"
"Dugaanmu benar. Saham yang Ayah beli anjlok dan beberapa ada yang tutup. Ayah bangkrut, Tri."
"Inilah yang Ratri takutkan, Yah! Ayah kembali bermain saham dan lagi-lagi bangkrut. Ayah tidak berpikir bagaimana kalau kita kehilangan semuanya? Kita bisa tidur di kolong jembatan, Yah!" Suara Gayatri bergetar karena panik. Mereka benar-benar bisa tidur di kolong jembatan karena ulah ayahnya.
"Ayah melakukan ini karena Ayah ingin kembali mengambil uang-uang Ayah terdahulu. Koh Asiong aja bisa kaya karena bermain saham, masa Ayah tidak?"
"Beda kasusnya, Yah. Koh Asiong itu mumpuni dalam masalah pasar saham karena ia sudah puluhan tahun bergulat di bidang itu. Koh Asiong juga rajin melakukan diversifikasi portofolio dan jeli dalam menganalisa pasar. Koh Asiong tidak sembarangan berinvestasi. Koh Asiong tidak seperti Ayah yang suka membeli saham gorengan karena klaim sepihak mampu meraih keuntungan lebih cepat. Ayah tidak melihat apakah perusahaan saham itu dikelola oleh manajemen yang profesional atau tidak? Apakah perusahaan masih akan tetap ada dalam lima atau sepuluh tahun ke depan? Ayah hanya--"
"Sudah! Jangan menggurui Ayah. Ayah sedang pusing. Kalau Ayah bilang jual, ya jual. Lagi pula hotel itu toh milik Ayah. Ayah sudah mengumpulkan pundi-pundi uang saat masih menjadi mentri dulu. Jadi kamu tidak berhak melarang Ayah menjual aset-aset Ayah sendiri. Pokoknya setelah urusanmu selesai di Medan sana, segera urus jual beli hotel itu."
Tangan Gayatri yang sedang memegang ponsel bergetar. Hati kecilnya mengatakan bahwa mereka akan benar-benar bangkrut sekarang. Pak Bakri itu licik. Gayatri tahu pak Bakri itu sudah lama mengincar hotel Grand Mediterania di Ubud.
"Yah, jawab Ratri dengan jujur. Apa benar Ayah hanya berhutang sebesar lima puluh milyar pada Pak Bakri?" Gayatri menanyakan pertanyaan yang sebenarnya ia tahu, bahwa ia akan sakit hati sendiri saat mendengar jawabannya. Ia pernah mendengar selentingan bahwa ayahnya dan Pak Bakri akhir-akhir ini gemar bermain judi di luar negeri.
Hening.
"Yah, hotel Grand Mediterania itu luas tanahnya 2,4 hektar dan memiliki 60 kamar. Dengan fasilitas lengkap restaurant, kolam renang, hingga meeting room harga jualnya minimal seratus tiga puluh miliar. Ayah juga tahu sendiri 'kan kalau occupancy rate hotel bisa mencapai 70 sampai 80 persen per tahun. Lantas mengapa Ayah menjualnya dengan harga 50 milyar saja? Jawab Ratri dengan jujur, Yah."
"Hutang Ayah pada Pak Bakri untuk membeli saham memang hanya 50 milyar. Sisanya adalah hutang Ayah saat kalah bermain judi di Macau dan Singapore."
Klik.
Ayahnya mematikan telepon. Gayatri terduduk di kursi ruang tunggu dengan bahu mencelos. Hancur sudah. Semua harta keluarga mereka hilang satu persatu. Dulu saat sang ayah masih menjabat sebagai Mentri PUPR mereka masih memiliki lima hotel berbintang 4 dan 5. Setelah ayahnya tidak lagi menjabat dan pandemi melanda, satu persatu aset dijual. Dan kini ayahnya sedang demam bermain saham dan judi. Aset mereka nyaris habis. Entah bagaimana nasib mereka ke depannya, Gayatri tidak berani membayangkannya.
Di saat sedang termenung, sekonyong-konyong pandangan Gayatri tertuju pada sosok tinggi menjulang di antara para pengunjung rumah sakit lainnya. Sosok itu berjalan cepat mendahului para pengunjung yang juga berjalan tergesa-gesa. Iwas! Gayatri sudah bisa merasakan aura Iwas bahkan sebelum yang bersangkutan mengenalinya.
Melihat penampilan Iwas sekarang, Gayatri nyaris tidak mengenalinya. Iwas mengenakan blazer kerja simple berwarna abu-abu dan celana bahan hitam. Potongan slim fit-nya blazernya membuat badan kekar Iwas tampak indah dipandang. Penampilan Iwas ini sangat berbeda dengan penampilannya sepuluh tahun lalu. Dulu Iwas sering mengenakan kaos oblong dan celana jeans khas remaja. Selain itu perawakan Iwas sekarang juga berbeda. Dulu Iwas tinggi ramping cenderung kurus. Sekarang otot-otot Iwas tampak bersembulan di lengan kekarnya. Iwas remaja telah menjelma menjadi seorang pria dewasa mapan rupawan.
"Bang..." Gayatri berdiri menyambut kedatangan Iwas. Namun Gayatri bingung karena Iwas melewatinya begitu saja. Jangan-jangan Iwas tidak mengenalinya. Gayatri baru bermaksud memanggil Iwas, saat ponselnya berdering. Iwas meneleponnya.
"Kamu di mana? Bukankah sudah saya bilang tunggu saya di depan?!"
Tunggu, apa Iwas benar-benar tidak mengenalinya rupanya saat ini?
"Saya memang menunggu di depan, Bang. Abang yang kelewatan jalannya. Coba Abang berbalik." Iwas terdiam sejenak. Ia mempersiapkan diri untuk bertemu kembali dengan penyebab utama kehancuran keluarganya. Bukan hal mudah baginya bertemu kembali dengan Gayatri. Tatkala Iwas berbalik, ia tertegun. Bayangannya akan sosok Gayatri yang glamour sangat jauh dari ekspektasinya. Sebelum bertemu dengan Gayatri, ia sempat mengintip Medsosnya. Sedikit banyak ia ingin tahu kehidupan Gayatri sekarang. Di media sosial Gayatri, ia hanya menemukan dua photo Gayatri pada moment gathering dengan client-clientnya. Yang lainnya adalah postingan promosi-promosi hotel. Gayatri terlihat bagai sosialita papan atas di sana. Glamour dengan barang-barang branded dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sementara Gayatri saat ini bernampilan ala karyawati magang dengan kemeja putih kusut dan celana bahan hitam. Rambutnya diikat buntut kuda dengan anak-anak rambut yang mencuat di sana sini. Gayatri mirip dengan ka
"Ceritakan semuanya dari awal." Iwas mendatangi Gayatri yang masih duduk bengong di ruang tunggu. "Maaf, Abang bilang apa?" Gayatri tergagap. Ia tidak menyadari kehadiran Iwas di sampingnya. Ia sedang bingung karena Harsa, anak Pak Bakri mendesaknya untuk segera kembali ke Jakarta. Harsa ingin secepatnya menyelesaikan urusan jual beli hotel Grand Mediterania. "Kamu ini aneh ya? Anak sedang sakit, tapi kamu tidak menunjukkan kekhawatiran sama sekali. Saya amati sikapmu lebih mirip dengan orang bingung daripada seorang ibu yang sedang khawatir. RIP kasih ibu sepanjang masa." Iwas meletakkan blazernya sembarang di kursi ruang tunggu. Ia kemudian mengancingkan kemeja putihnya sebelum menghempaskan pinggul di samping Gayatri. Kepalanya sedikit pusing karena baru saja mendonorkan darahnya cukup banyak untuk Zana. "Oh iya. Saya lupa. Kamu tidak pernah mau tahu tentang keberadaan anak ini sebelumnya. Kamu memberikannya pada orang lain dan masalah pun berakhir di hari itu juga. Hebat kam
Gayatri meluapkan semua perasaannya. Selama berbicara keduanya tangannya terkepal menahan emosi. Selama ini semua orang menyalahkannya. Kedua orang tuanya, Citra bahkan guru-guru di sekolah. Mereka memang tidak berani mengatakannya secara langsung. Tapi melalui tatapan mata dan sindir-sindiran halus antar sesama guru, saat ia mengambil ijazah. Mereka semua menyalahkannya padahal dirinya juga korban. Namun, mereka tidak menyadarinya.Lama keduanya bertatapan.Gayatri bahkan sempat sedikit merasakan penyesaalan dari mata Iwas. Sayangnya, itu tak berlangsung lama. "Oke. Kalau kamu memang mempertahankan anak kita, mengapa sekarang Zana ada di tangan keluarga Parinduri? Setelah Zana lahir baru kamu menyesal karena tanggung jawab untuk merawat seorang anak itu tidak mudah bukan?" tuduh Iwas lagi."Sampai sejauh ini ternyata prasangka buruk masih mendominasi pikiran Abang ya?" Gayatri tertawa sengau. "Kalau begitu ceritakan hingga tuntas, agar dugaan saya tidak meliar." "Baik, saya lanju
Gayatri tidak bisa membantah karena lambungnya terasa makin perih.Iwas benar. Ia memang sudah memerlukan pertolongan medis."Saya malu, Bang," desis Gayatri rikuh. Saat kembali ke kantin saja, beberapa pengunjung yang sedang makan memandanginya. Sebagian ada yang berbisik-bisik dan menyenggol orang yang duduk di sampingnya."Ini uang makan teman saya ya, Bu? Kembaliannya untuk Ibu saja." Dengan sebelah tangan, Iwas menarik selembar uang seratus ribuan dari saku dan memberikannya pada ibu pemilik kantin. Setelahnya ia melenggang dengan Gayatri di atas bahunya. Malu Gayatri memejamkan mata dan menulikan telinga dari bisikan para pengunjung rumah sakit. Selain itu rasa asam di mulut dan perih di lambungnya membuat Gayatri tidak bisa berpikir terlalu banyak. Ia sekarang sudah berkeringat dingin.Karena rasa mualnya kembali naik ke tenggorokan, tubuh Gayatri menegang menahan mual. Ia takut memuntahi Iwas."Jangan berani-berani memuntahi saya. Saya tidak membawa baju ganti. Tahan, sebentar
Itu bukan urusanmu, Was! Iwas berkutat dengan suara hatinya sendiri. Di tengah keheningan, ponsel Iwas berbunyi. Iwas bergegas bangkit dari kursi dan menjauh setelah melihat nama pemanggilnya."Ya, Vira? Ada apa? Masih. Lusa mungkin aku baru aku bisa pulang ke Surabaya."Dalam diam Gayatri mempertajam pendengarannya. Kata ganti aku yang Iwas ucapkan serta santainya nada bicara Iwas membuat Gayatri menarik satu kesimpulan. Bahwa orang yang menelepon Iwas pasti seseorang yang istimewa. Karena topeng dingin Iwas luruh kala berbicara dengan orang yang meneleponnya. "Heh, kok kamu tahu aku ada di rumah sakit? Sudah di depan mata? Mana?" Iwas terperanjat saat Vira mengatakan bahwa dirinya sudah berada di rumah sakit. Bahkan di depan matanya. Akan halnya Gayatri ia segera duduk lebih jauh saat menguping percakapan Iwas. Alam bawah sadarnya mengatakan bahwa Vira ini entah istri atau pacar Iwas. Ia harus bisa menjaga sikap. Sejurus kemudian tampak dua orang gadis masuk melalui koridor depan
"Tunggu... tunggu... aku masih bingung. Ini maksudnya bagaimana ya?" Vira mengangkat kedua tangannya ke udara. Kebingungan bercampur ketidakpercayaan tergambar jelas di wajahnya."Aku ke kantin dulu ya, Vir." Nia beringsut dari kursi. Ia mengerti bahwa Vira, Nara dan seorang wanita cantik berwajah sendu yang duduk tidak jauh dari mereka membutuhkan privasi."Duduk sini, Ratri. Dengan begitu saya tidak perlu ulang-ulang cerita." Iwas menunjuk bangku di samping Vira dengan kedikan kepala. Isyarat agar Gayatri duduk di sana. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya Gayatri pun mengikuti perintah Iwas. Ia pindah duduk di samping Vira dengan punggung sekaku papan. Setelah melihat Gayatri duduk, Iwas mulai berbicara."Kamu ingat ceritaku tentang mengapa kami sekeluarga pindah ke Surabaya bukan, Vir?" Iwas kembali melirik Gayatri saat mulai bercerita. Iwas ingin mengamati reaksi Gayatri. Apakah ia keberatan ditelanjangi di depan Vira, atau bagaimana? Menilik bahasa tubuh Gayatri yang hanya diam
"Saya paham, Ratri. Saya sangat mengerti posisimu. Dalam hidup ada beberapa hal yang kejadiannya di luar kontrol kita." Vira balas menggenggam tangan Gayatri dengan senyum getir. Dia juga mempunyai masalah yang jalan keluarnya belum ia temukan sampai saat ini. Karena masalah yang ia hadapi, kuasanya di luar kontrolnya. Makanya ia sangat memahami posisi Gayatri."Saya janji, untuk ke depannya jikalau ada hal yang berhubungan dengan putri saya, Zana, maka saya akan mengubungi Mbak Vira saja. Boleh tidak, Mbak?" Gayatri lega luar biasa atas kehangatan dan kebijaksanaan Vira. Kelak Zana akan mudah diterima oleh ibu sambung sedewasa Vira. "Tentu saja boleh, Tri. Ini simpan nomor ponsel saya." Vira membacakan nomor ponselnya yang segera disimpan oleh Gayatri. "Saya permisi pulang dulu ke Jakarta. Ada hal penting yang harus saya urus. Jikalau ada masalah yang berkaitan dengan Zana ke depannya, saya akan membahasnya dengan Mbak Vira saja. Saya jalan dulu ya, Mbak?" Gayatri berpamitan pada V
"Tenang saja, Sa. Nanti akan Bapak atur. Percayakan saja semuanya pada Bapak ya?" Dari balik pintu ruang tengah, Gayatri menggeram marah. Ayahnya berani menjanjikan sesuatu tanpa menanyakan persetujuannya. Padahal tadi ia sudah jelas-jelas menolak lamaran Harsa dan langsung masuk ke dalam. Ia tidak ingin mendengar penawaran apapun lagi. Bayangkan, Harsa baru saja mengajukan gugatan perceraian terhadap Novi. Namun Harsa sudah berani melamarnya. Luar biasa!"Asal kamu berjanji akan mencintai dan menjaga Ratri dengan baik, Bapak akan mencoba meluluhkan hatinya." Gayatri mengepalkan tangannya.Saat ini ayahnya tengah mengantar Harsa dan Pak Bakri ke teras. Ayah dan anak itu akan segera pulang. "Ayah ini bagaimana sih? Masa Ayah mau membarter Ratri dengan hotel?" Setelah mobil Harsa dan Pak Bakri berlalu, Gayatri menyusul ayahnya ke teras. "Membarter bagaimana maksudmu, Tri? Ayah mencarikan jodoh yang pas buatmu. Bukan membarter. Masalah hotel yang akan tetap menjadi milik kita, anggap