"Jangan ge-er kamu. Saya mengenalimu, karena tidak ada orang yang memanggil saya Iwas di sini. Orang-orang sekarang memanggil saya Nara. Nama panggilan Iwas sudah saya kubur dalam-dalam."
"Saya minta maaf, Bang. Saya--"
Tut... tut... tut...
Gayatri berdecak. Iwas menutup teleponnya. Tidak bisa, ia harus mencari cara agar Iwas bersedia datang ke Medan. Gayatri kembali menelepon Iwas. Gayatri bertekad akan menebalkan telinga mendengar apapun sindiran Iwas. Yang penting putrinya selamat.
"Kalau kamu terus mengganggu saya, saya akan memblokir nomor ponselmu."
"Bang, dengar dulu. Saya tidak mungkin menelepon kalau saya tidak benar-benar membutuhkan bantuan Abang. Ada seseorang membutuhkan bantuan--"
"Siapa yang kali ini berulang tahun hingga kamu ingin meminta bantuan? Saya muak dengan segala tipu dayamu! Saya akan memblokir--"
"Anak kita, Bang. Anak kita yang membutuhkan bantuan Abang!" Gayatri langsung mengeluarkan kartu As-nya. Tidak ada waktu untuk memperhalus ucapannya. Ia takut nyawa Zana tidak tertolong.
Hening.
"Kamu bilang apa? A--anak?
"Iya, Bang. Anak. Anak kita. Aszanasari Parinduri namanya. Zana mengalami kecelakaan dan membutuhkan donor darah AB- secepatnya."
"Share location. Saya akan ke rumah sakit sekarang juga!"
"Tapi anak kita ada di Medan, Bang. Bukan di Jakarta."
"Saya kebetulan sedang di Medan juga. Share location sekarang. Jangankan ke Medan. Harus ke neraka sekali lagi pun, akan saya datangi. Kamu berhutang banyak penjelasan pada saya, Tri!"
Alhamdullilah, ternyata urusannya dimudahkan. Gayatri sama sekali tidak menyangka kalau Iwas ada di Medan.
Gayatri mengucap doa tak henti-henti. Kebetulan ini sungguh melegakannya. Allah Maha baik.
"Baik. Nanti akan saya jelaskan semuanya. Saya juga baru tahu tentang keberadaan Zana hari ini."
"Baru tahu keadaannya hari ini? Astaga, ibu macam apa kamu ini?"
Gayatri mengelus dada mendengar amukan Iwas.
"Nanti. Nanti semua pertanyaan Abang akan saya jawab. Abang ke sini saja secepatnya!"
Tut... tut... tut...
Iwas sudah menutup ponselnya.
[Jangan kebanyakan ngomong. Segera share location!]
Iwas langsung me-WA-nya rupanya. Gayatri mengetik cepat mengirimkan lokasi rumah sakit Harapan Bunda. Akhirnya tugas terberatnya usai sudah. Ia tidak menyangka kalau Iwas sangat kooperatif setelah ia menyebut soal anak mereka. Sekarang tinggal satu masalah lagi. Semoga saja Iwas datang tepat waktu agar Zana diselamatkan. Aamiin.
"Bagaimana, Mbak Tri. Apakah ayah kandung Zana bisa datang?" Dari balik punggungnya, Gayatri mendengar nada harap-harap cemas Bu Nuraini.
"Bisa, Bu. Ayah Zana kebetulan sedang di Medan. Sekarang ayah Zana dalam perjalanan ke rumah sakit ini."
"Alhamdullilah." Bu Nuraini menarik napas lega.
"Selagi menunggu ayah Zana, bisa tidak kita berbicara dari hati ke hati?"
Bu Nuraini pasti ingin membicarakan soal status Zana.
"Tentu saja boleh, Bu. Harus malahan." Gayatri menekankan kata harus agar Bu Nuraini memperhitungkan keberadaannya sebagai bagian dari Zana.
"Kita berbicara di taman saja ya, Mbak Tri? Karena yang akan saya ceritakan sangat panjang." Bu Nuraini tersenyum kecut. Apa boleh buat. Ia akan membuka rahasia yang sudah sepuluh tahun lamanya ia pendam.
"Baiklah." Gayatri mengikuti langkah-langkah Bu Nuraini. Selama berjalan bahu Bu Nuraini mencelos. Ada kekalahan dan keputusasaan di sana. Gayatri sangat memahami perasaan Bu Nuraini. Namun Gayatri juga ingin Bu Nuraini mengerti perasaannya.
"Kita duduk di sini saja ya, Mbak Tri?" Bu Nuraini menghempaskan pinggulnya di kursi panjang taman. Gayatri menyusul duduk di sebelahnya.
"Saya mandul, Mbak Tri." Tanpa tedeng aling-aling Bu Nuraini membeberkan rahasianya.
"Dari sebelum menikah dengan Bang Azwar saya sudah tahu kalau saya ini mandul. Bang Azwar pun mengetahuinya. Namun Bang Azwar tetap menikahi saya karena ia memang mencintai saya apa adanya. Saya pikir kalau Bang Azwar bersedia menerima kekurangan saya, ya sudah, masalah selesai. Nyatanya tidak sama sekali." Bu Nuraini memandangi langit kelam. Sekelam rahasia yang ia simpan.
"Kedua mertua saya, protes saat saya tidak juga hamil setelah lima tahun perkawinan. Mereka kemudian memaksa Bang Azwar untuk menikah lagi demi memperoleh keturunan. Bang Azwar tentu saja tidak setuju. Bang Azwar bilang ia akan mengakali orang tuanya dengan kehamilan palsu saja. Saya disuruh pura-pura hamil. Sembilan bulan kemudian ia akan mengadopsi anak dari panti asuhan dan mengakuinya sebagai anak saya. Nasib baik, salah seorang kerabat Bang Azwar yang bernama Pak Sanwani bercerita bahwa putrinya yang masih berusia tujuh belas tahun sedang hamil. Pak Sanwani dan Bang Azwar pun kemudian menyusun rencana."
"Saya sudah bisa menebak akhir ceritanya, Bu. Ibu tidak perlu menceritakan sisanya lagi." Gayatri menggigit bibir. Ayahnya sudah mempersiapkan cerita dongeng tentang kematian putrinya dari jauh-jauh hari. Tega sekali!
"Jadi Mbak Tri sudah mengerti bukan keadaan saya dan suami? Saya bisa dimusuhi keluarga besar suami bahkan dicerai bila mereka tahu kalau Zana bukanlah seorang Parinduri," ungkap Bu Nuraini lirih. Rumah tangga yang sudah ia bina selama lima belas tahun ini terancam bubar paksa.
"Saya mengerti keadaan Ibu. Tapi Ibu mengerti keadaan saya tidak?" balas Gayatri dingin.
"Ibu telah merampas paksa anak saya. Menyembunyikan keadaannya selama sepuluh tahun lamanya dari saya. Dan kini setelah nyawa anak ibu yang ternyata anak saya itu terancam, Ibu meminta saya menyelamatkannya. Setelah anak ibu itu aman, Ibu kemudian meminta saya pergi diam-diam begitu saja. Menurut Ibu, sikap Ibu itu adil tidak untuk saya?" Gayatri memberondong Bu Nuraini dengan kalimat-kalimat tajam.
"Kalau keadaannya dibalik? Ibu terima tidak diperlakukan seperti saya?" tandas Gayatri lagi.
Bu Nuraini tidak bisa menjawab. Ia tahu dirinya menjadi sangat egois karena takut kehilangan Zana.
"Maafkan istri saya ya, Mbak Tri? Istri saya sedang tidak bisa berpikir jernih. Atas nama istri, saya meminta maaf atas kalimat-kalimat tidak sepantasnya yang keluar dari mulut istri saya ini."
Pak Azwar keluar dari tempat persembunyiannya di ujung lorong rumah sakit. Sebenarnya ia tidak berniat menguping. Namun ia terpaksa melakukannya karena takut istrinya melakukan kesalahan. Apa yang ia khawatirkan kejadian juga. Istrinya telah bersikap sangat egois terhadap ibu kandung Zana.
"Karena ayah kandung Zana sudah bersedia untuk datang, kita menunggu di dalam saja Mbak Tri? Mbak tentu ingin melihat wajah Zana bukan?" Pak Azwar dengan luwes berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Ia harus bisa mengurai ketegangan agar tidak meruncing. Pak Azwar sadar bahwa dirinya dan Pak Sanwani telah melakukan kesalahan besar. Kalau Gayatri menuntut, mereka berdua bisa saja diseret ke meja hijau.
"Iya, saya ingin sekali melihat wajah anak kandung saya." Setelah mendapat kepastian dari Iwas kalau ia bersedia datang, Gayatri jadi ingin sekali melihat wajah putrinya. Seperti siapakah wajah putrinya? Mirip dirinya kah? Atau malah mirip Iwas?
"Ayo, Mbak Tri masuk saja sendiri ke dalam. Karena di ruang ICU, hanya satu orang yang boleh menjenguk." Pak Azwar membimbing langkah Gayatri. Terhadap sang istri yang dalam diam mengikuti, Pak Azwar memberikan tatapan peringatan. Bahwa mereka tidak boleh bertindak gegabah kalau tidak ingin kehilangan Zana atau malah sekalian masuk penjara.
Gayatri sendiri langkahnya mendadak berat saat mendekati ruang ICU. Padahal dirinya telah menggunakan masker dan juga penutup rambut berwarna hijau. Ia harus mempersiapkan mentalnya terlebih dahulu.
'In hale... ex hale... ' ucap Gayatri dalam hati.
Setelah merasa lebih tenang, perempuan itu menggeser pintu kaca. Pemandangan pertama yang menyambutnya adalah seorang gadis kecil berambut ikal yang sedang terbaring lemah. Wajahnya sangat pucat dengan kepala yang dibebat perban. Pada bagian dahi tampak luka benjol dan memar-memar. Kedua tangan putrinya luka-luka seperti terkena serpihan kaca. Gadis kecil ini tampak menyedihkan dengan selang oksigen, infus dan juga selang-selang lainnya.
Dalam keadaan kepala diperban dan tidak sadarkan diri begini saja, Gayatri sudah bisa melihat persamaan Zana dengannya. Hidung khas keluarga Harimurti dan lekuk bibirnya menjiplak dirinya. Sementara rambut, dagu dan bentuk wajahnya serupa dengan Iwas. Gayatri belum bisa melihat tatapan matanya karena masih terpejam. Gayatri yakin seratus persen bahwa Zana adalah putrinya dengan Iwas walau tanpa melakukan test DNA. Kemiripan Zana dengannya dan Iwas tidak terbantahkan.
"Ya Tuhan...."
Gayatri hendak menggenggam tangan sang putri.Hanya saja, ponsel Gayatri bergetar. Sepertinya Iwas sudah tiba. Gayatri keluar ruangan dengan dada berdebar kencang. Setelah sepuluh tahun, ini adalah kali pertamanya bertemu dengan Iwas. Dalam situasi tidak biasa pula. Semoga saja Iwas dan dirinya bisa menekan ego masing-masing demi keselamatan buah hati mereka. Yah, semoga.Gayatri duduk dengan punggung sekaku papan di ruang tunggu rumah sakit. Iwas menelepon dan mengatakan bahwa posisinya sudah dekat. Iwas juga memintanya menunggu di depan. Ia tidak mau menghabiskan waktu dengan mencari-carinya di seluruh penjuru rumah sakit katanya. Ponsel Gayatri kembali berbunyi. Refleks, Gayatri berdiri. Pasti Iwas yang meneleponnya. Tatkala memindai ponsel dan nama ayahnya yang muncul, Gayatri mengerutkan kening. Tumben ayahnya meneleponnya? Biasanya, ayahnya lebih suka meminjam lidah ibunya jikalau ingin berbicara dengannya. Semenjak ayahnya gemar bermain saham sekitar tiga tahun lalu, merek
"Saya memang menunggu di depan, Bang. Abang yang kelewatan jalannya. Coba Abang berbalik." Iwas terdiam sejenak. Ia mempersiapkan diri untuk bertemu kembali dengan penyebab utama kehancuran keluarganya. Bukan hal mudah baginya bertemu kembali dengan Gayatri. Tatkala Iwas berbalik, ia tertegun. Bayangannya akan sosok Gayatri yang glamour sangat jauh dari ekspektasinya. Sebelum bertemu dengan Gayatri, ia sempat mengintip Medsosnya. Sedikit banyak ia ingin tahu kehidupan Gayatri sekarang. Di media sosial Gayatri, ia hanya menemukan dua photo Gayatri pada moment gathering dengan client-clientnya. Yang lainnya adalah postingan promosi-promosi hotel. Gayatri terlihat bagai sosialita papan atas di sana. Glamour dengan barang-barang branded dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sementara Gayatri saat ini bernampilan ala karyawati magang dengan kemeja putih kusut dan celana bahan hitam. Rambutnya diikat buntut kuda dengan anak-anak rambut yang mencuat di sana sini. Gayatri mirip dengan ka
"Ceritakan semuanya dari awal." Iwas mendatangi Gayatri yang masih duduk bengong di ruang tunggu. "Maaf, Abang bilang apa?" Gayatri tergagap. Ia tidak menyadari kehadiran Iwas di sampingnya. Ia sedang bingung karena Harsa, anak Pak Bakri mendesaknya untuk segera kembali ke Jakarta. Harsa ingin secepatnya menyelesaikan urusan jual beli hotel Grand Mediterania. "Kamu ini aneh ya? Anak sedang sakit, tapi kamu tidak menunjukkan kekhawatiran sama sekali. Saya amati sikapmu lebih mirip dengan orang bingung daripada seorang ibu yang sedang khawatir. RIP kasih ibu sepanjang masa." Iwas meletakkan blazernya sembarang di kursi ruang tunggu. Ia kemudian mengancingkan kemeja putihnya sebelum menghempaskan pinggul di samping Gayatri. Kepalanya sedikit pusing karena baru saja mendonorkan darahnya cukup banyak untuk Zana. "Oh iya. Saya lupa. Kamu tidak pernah mau tahu tentang keberadaan anak ini sebelumnya. Kamu memberikannya pada orang lain dan masalah pun berakhir di hari itu juga. Hebat kam
Gayatri meluapkan semua perasaannya. Selama berbicara keduanya tangannya terkepal menahan emosi. Selama ini semua orang menyalahkannya. Kedua orang tuanya, Citra bahkan guru-guru di sekolah. Mereka memang tidak berani mengatakannya secara langsung. Tapi melalui tatapan mata dan sindir-sindiran halus antar sesama guru, saat ia mengambil ijazah. Mereka semua menyalahkannya padahal dirinya juga korban. Namun, mereka tidak menyadarinya.Lama keduanya bertatapan.Gayatri bahkan sempat sedikit merasakan penyesaalan dari mata Iwas. Sayangnya, itu tak berlangsung lama. "Oke. Kalau kamu memang mempertahankan anak kita, mengapa sekarang Zana ada di tangan keluarga Parinduri? Setelah Zana lahir baru kamu menyesal karena tanggung jawab untuk merawat seorang anak itu tidak mudah bukan?" tuduh Iwas lagi."Sampai sejauh ini ternyata prasangka buruk masih mendominasi pikiran Abang ya?" Gayatri tertawa sengau. "Kalau begitu ceritakan hingga tuntas, agar dugaan saya tidak meliar." "Baik, saya lanju
Gayatri tidak bisa membantah karena lambungnya terasa makin perih.Iwas benar. Ia memang sudah memerlukan pertolongan medis."Saya malu, Bang," desis Gayatri rikuh. Saat kembali ke kantin saja, beberapa pengunjung yang sedang makan memandanginya. Sebagian ada yang berbisik-bisik dan menyenggol orang yang duduk di sampingnya."Ini uang makan teman saya ya, Bu? Kembaliannya untuk Ibu saja." Dengan sebelah tangan, Iwas menarik selembar uang seratus ribuan dari saku dan memberikannya pada ibu pemilik kantin. Setelahnya ia melenggang dengan Gayatri di atas bahunya. Malu Gayatri memejamkan mata dan menulikan telinga dari bisikan para pengunjung rumah sakit. Selain itu rasa asam di mulut dan perih di lambungnya membuat Gayatri tidak bisa berpikir terlalu banyak. Ia sekarang sudah berkeringat dingin.Karena rasa mualnya kembali naik ke tenggorokan, tubuh Gayatri menegang menahan mual. Ia takut memuntahi Iwas."Jangan berani-berani memuntahi saya. Saya tidak membawa baju ganti. Tahan, sebentar
Itu bukan urusanmu, Was! Iwas berkutat dengan suara hatinya sendiri. Di tengah keheningan, ponsel Iwas berbunyi. Iwas bergegas bangkit dari kursi dan menjauh setelah melihat nama pemanggilnya."Ya, Vira? Ada apa? Masih. Lusa mungkin aku baru aku bisa pulang ke Surabaya."Dalam diam Gayatri mempertajam pendengarannya. Kata ganti aku yang Iwas ucapkan serta santainya nada bicara Iwas membuat Gayatri menarik satu kesimpulan. Bahwa orang yang menelepon Iwas pasti seseorang yang istimewa. Karena topeng dingin Iwas luruh kala berbicara dengan orang yang meneleponnya. "Heh, kok kamu tahu aku ada di rumah sakit? Sudah di depan mata? Mana?" Iwas terperanjat saat Vira mengatakan bahwa dirinya sudah berada di rumah sakit. Bahkan di depan matanya. Akan halnya Gayatri ia segera duduk lebih jauh saat menguping percakapan Iwas. Alam bawah sadarnya mengatakan bahwa Vira ini entah istri atau pacar Iwas. Ia harus bisa menjaga sikap. Sejurus kemudian tampak dua orang gadis masuk melalui koridor depan
"Tunggu... tunggu... aku masih bingung. Ini maksudnya bagaimana ya?" Vira mengangkat kedua tangannya ke udara. Kebingungan bercampur ketidakpercayaan tergambar jelas di wajahnya."Aku ke kantin dulu ya, Vir." Nia beringsut dari kursi. Ia mengerti bahwa Vira, Nara dan seorang wanita cantik berwajah sendu yang duduk tidak jauh dari mereka membutuhkan privasi."Duduk sini, Ratri. Dengan begitu saya tidak perlu ulang-ulang cerita." Iwas menunjuk bangku di samping Vira dengan kedikan kepala. Isyarat agar Gayatri duduk di sana. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya Gayatri pun mengikuti perintah Iwas. Ia pindah duduk di samping Vira dengan punggung sekaku papan. Setelah melihat Gayatri duduk, Iwas mulai berbicara."Kamu ingat ceritaku tentang mengapa kami sekeluarga pindah ke Surabaya bukan, Vir?" Iwas kembali melirik Gayatri saat mulai bercerita. Iwas ingin mengamati reaksi Gayatri. Apakah ia keberatan ditelanjangi di depan Vira, atau bagaimana? Menilik bahasa tubuh Gayatri yang hanya diam
"Saya paham, Ratri. Saya sangat mengerti posisimu. Dalam hidup ada beberapa hal yang kejadiannya di luar kontrol kita." Vira balas menggenggam tangan Gayatri dengan senyum getir. Dia juga mempunyai masalah yang jalan keluarnya belum ia temukan sampai saat ini. Karena masalah yang ia hadapi, kuasanya di luar kontrolnya. Makanya ia sangat memahami posisi Gayatri."Saya janji, untuk ke depannya jikalau ada hal yang berhubungan dengan putri saya, Zana, maka saya akan mengubungi Mbak Vira saja. Boleh tidak, Mbak?" Gayatri lega luar biasa atas kehangatan dan kebijaksanaan Vira. Kelak Zana akan mudah diterima oleh ibu sambung sedewasa Vira. "Tentu saja boleh, Tri. Ini simpan nomor ponsel saya." Vira membacakan nomor ponselnya yang segera disimpan oleh Gayatri. "Saya permisi pulang dulu ke Jakarta. Ada hal penting yang harus saya urus. Jikalau ada masalah yang berkaitan dengan Zana ke depannya, saya akan membahasnya dengan Mbak Vira saja. Saya jalan dulu ya, Mbak?" Gayatri berpamitan pada V