"Saya memang menunggu di depan, Bang. Abang yang kelewatan jalannya. Coba Abang berbalik."
Iwas terdiam sejenak. Ia mempersiapkan diri untuk bertemu kembali dengan penyebab utama kehancuran keluarganya. Bukan hal mudah baginya bertemu kembali dengan Gayatri. Tatkala Iwas berbalik, ia tertegun. Bayangannya akan sosok Gayatri yang glamour sangat jauh dari ekspektasinya. Sebelum bertemu dengan Gayatri, ia sempat mengintip Medsosnya. Sedikit banyak ia ingin tahu kehidupan Gayatri sekarang.
Di media sosial Gayatri, ia hanya menemukan dua photo Gayatri pada moment gathering dengan client-clientnya. Yang lainnya adalah postingan promosi-promosi hotel. Gayatri terlihat bagai sosialita papan atas di sana. Glamour dengan barang-barang branded dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Sementara Gayatri saat ini bernampilan ala karyawati magang dengan kemeja putih kusut dan celana bahan hitam. Rambutnya diikat buntut kuda dengan anak-anak rambut yang mencuat di sana sini. Gayatri mirip dengan karyawati magang galau yang kekurangan gaji.
"Maaf kalau penampilan kucel saya ini membuat Abang tidak mengenali saya lagi. Saya memang berangkat terburu-buru sehingga saya tidak sempat--"
"Cukup." Iwas mengangkat sebelah tangannya.
"Saya ke sini karena ingin melihat anak kita. Saya tidak punya waktu untuk mendengarkan segala cerita tentangmu."
Iwas masih seketus dulu. Pastinya juga masih sangat membencinya.
"Lewat sini, Bang." Gayatri tidak lagi berbasa-basi. Kalau Iwas memang tidak ingin berinteraksi yang tidak perlu dengannya, ia akan mengikuti. Pokoknya asal Zana selamat, ia mengalah saja.
"Aduh!" Gayatri nyaris terjungkal karena tersandung sudut kursi ruang tunggu. Iwas berjalan sangat cepat sehingga ia harus sedikit berlari untuk mengimbangi. Untungnya Iwas dengan sigap menahan bahunya.
"Hati-hati. Sepuluh tahun sudah berlalu. Tapi sikap gegabahmu tidak juga berubah!" cela Iwas.
"Maaf, saya tidak sengaja. Abang jalannya cepat se--"
"Sudah saya bilang. Saya tidak tertarik mendengar apapun tentangmu!" tandas Iwas sambil melepaskan bahu Gayatri seolah jijik. Gayatri tidak mengatakan apapun lagi. Ia melanjutkan langkah sambil menunduk. Ia malu pada pengunjung rumah sakit lainnya. Iwas tadi membentaknya dengan suara yang cukup keras. Kalau saja Gayatri tidak memikirkan keselamatan Zana, ia pasti sudah balik membentak Iwas.
"Jangan memarahi istrimu di depan umum begini ya, Nak?" Seorang ibu paruh baya berkerudung putih menegur Iwas lembut.
"Dari tadi Ibu perhatikan istrimu ini tampak sedih saat berbicara di telepon. Istrimu juga bolak balik melihat ke depan. Mungkin menunggu kehadiranmu. Jangan melukai hati seorang istri ya, Nak? Kalau pun kamu kesal karena menganggap istrimu terlalu banyak bicara, sesungguhnya ia hanya ingin diperhatikan. Elusan tanganmu saja pun sebenarnya sudah cukup membuat mereka merasa disayang. Ibu mengatakan semua ini karena Ibu juga seorang istri."
Mendengar nasehat Ibu berkerudung putih, mata Gayatri mendadak berembun. Ibu ini mewakili perasaannya hatinya saat ini. Setelah bingung memikirkan masalah hotel, kini ia dibentak dan terus disindir-sindir Iwas. Gayatri merasa sangat merana. Dengan menahan-nahan tangis Gayatri mencoba meluruskan dugaan ibu berkerudung putih. Dirinya bukan istri Iwas.
"Saya bukan--"
"Terima kasih atas nasehatnya." Iwas memotong kalimat penyangkalan Gayatri. Ia tidak enak ditatap dengan pandangan memusuhi begini. Sembilan puluh persen pengunjung rumah sakit adalah perempuan. Bisa dicincang halus dirinya kalau lebih lama lagi berada di ruang tunggu ini.
"Cepat sedikit jalannya. Jangan terus bertingkah playing victim. Sekarang saya sudah tidak bisa kamu pecundangi." Iwas menarik separuh menyeret pergelangan tangan Gayatri.
"Lepaskan! Saya bisa jalan sendiri." Gayatri menepis tangan Iwas.
"Mbak Tri." Gayatri dan Iwas menoleh seperempak saat mendengar ada yang memanggil namanya. Pak Azwar dan Nuraini yang berdiri di depan ruang ICU rupanya.
"Pak Azwar, Bu Nuraini. Ini Bang Iwas, ayah kandung Zana." Gayatri memperkenalkan Iwas pada orang tua adopsi Zana.
"Saya Azwar dan ini istri saya, Nuraini." Pak Azwar dan Bu Nuraini menyalami Iwas.
"Saya Narawastu Adiwangsa. Panggil saja saya Nara." Iwas menyambut uluran tangan Pak Azwar dan Bu Nuraini sambil memperkenalkan diri.
"Di mana ruangan putri saya? Saya ingin melihat keadaannya." Iwas memberi tanda bahwa ia mempunyai hak yang sama dengan Pak Azwar.
"Putri kami ada di dalam, Bang. Silakan masuk saja langsung." Bu Nuraini tidak mau kalah gertak. Dari air muka dingin Iwas, Bu Nuraini melihat tekad kuat di sana. Seperti layaknya Gayatri, Iwas pun terlihat ingin menunjukkan posisinya. Melalui sudut mata Gayatri memindai bahwa Pak Azwar menyentuh pelan pundak Bu Nuraini. Seperti terhadapnya tadi, Pak Azwar terlihat memberi peringatan pada Bu Nuraini.
Iwas tidak mengatakan apapun lagi. Ia melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruang ICU. Setelah mengenakan masker dan penutup kepala yang disediakan oleh pihak rumah sakit, Iwas menghampiri sesosok tubuh mungil di atas ranjang. Mata Iwas berair saat melihat wajah sang gadis kecil. Rambut ikal, dagu tegas dan bentuk wajah gadis kecil ini benar-benar menjiplak dirinya. Ia tidak perlu melakukan test DNA lagi. Gadis kecil ini pasti darah dagingnya sendiri.
"Apa yang terjadi padamu, Nak? Mengapa kamu seperti ini?" Hati Iwas sakit melihat selang-selang yang memenuhi tubuh mungil putrinya. Mengingat kondisi sang putri, Iwas segera keluar dari ruang ICU. Ia harus mendonorkan darahnya secepatnya. Air muka putrinya sangat pucat seperti tidak dialiri darah.
"Bapak ayah kandung pasien bukan? Mari kita cek darah dulu sebelum melakukan transfusi. Putri Bapak sudah sangat lemah." Seorang perawat menyusul Iwas.
"Baik, ayo kita lakukan transfusi secepatnya. Ambil saja darah saya sebanyak mungkin. Pokoknya asal putri saya selamat, saya bersedia melakukan apa saja. Apa saja!"
"Ramai sekali rumah Abang sepertinya ya?" Gayatri mengamati keadaan rumah Iwas. Dirinya dan Iwas baru saja tiba. Ada dua buah mobil yang diparkir sejajar di halaman. Iwas juga parkir sejajar di sana. Sekarang halaman dipenuhi oleh tiga buah mobil. "Seperti yang saya bilang tadi. Ada seseorang yang istimewa ingin bertemu denganmu." Iwas tersenyum simpul. Selain ingin mempertemukan Gayatri dengan tamunya, Sesungguhnya ia juga sudah tidak sabar ingin bertemu dengan tamu istimewa tersebut."Ayolah, Bang. Kemisteriusan sikap Abang membuat saya makin senewen saja." Gayatri mengikuti Iwas yang keluar dari mobil. Setelah Iwas menekan remote untuk mengunci pintu mobil, Gayatri melangkah lebar-lebar menuju pintu rumah Iwas."Kamu sudah sampai, Tri?" Gayatri disambut oleh ayah dan ibunya di ruang tamu. Kedua orang tua Iwas juga berada di ruangan yang sama. Hubungan orang tuanya dan Iwas memang semakin membaik dari hari ke hari."Oh, tamu istimewanya Ayah dan Ibu ya?" Gayatri meringis. Ia memang
Gayatri dan Iwas duduk bersisian di ruangan juru periksa kepolisian. Mereka berdua sedang menunggu kedatangan Vira. Pada akhirnya Gayatri bersedia memenuhi permintaan Vira. Ia dan Iwas terbang ke Surabaya tadi pagi. Dan sore ini mereka berdua sudah duduk di kantor polisi tempat Vira ditahan.Sejurus kemudian Vira masuk ke dalam ruangan dikawal oleh seorang petugas. Gayatri termangu melihat penampakan Vira. Jikalau di televisi kemarin Vira tampak sehat dan tegar, saat ini Vira terlihat depresi. Wajahnya murung dengan mata memerah. Ditambah rambutnya yang acak-acakan, Vira tampak nelangsa. Namun Vira memaksakan seulas senyum padanya dan Iwas setelah mereka duduk berhadapan."Apa kabar, Mbak?" Setelah kalimat pembukanya terucap, Gayatri menyesalinya. Pertanyaan ini bisa artikan ambigu. Salah satunya adalah mengejek keterpurukan Vira."Maaf, Mbak. Bukan maksud saya untuk menyindir keberadaan Mbak Vira di sini." Gayatri meralat kalimatnya. "Tidak apa-apa, Tri. Saya sudah mengenal kepriba
Setelah mematikan telepon, Gayatri segera membuka televisi. Vira yang kini berseragam oranye, diwawancari beberapa awak media."Semenjak saya kecil, saya sudah lama mengalami pelecehan seksua* oleh Om Danu. Saya tetap diam karena Om Danu mengancam akan membuka rahasia saya. Yaitu bahwa saya mempunyai orientasi seksua* yang menyimpang. Ya, saya adalah penyuka sesama jenis. Ketika Om Danu kembali mengetahui rahasia saya yang lainnya, ia kembali mengancam saya. Bahwa jikakau saya ingin rahasia saya aman lagi, maka saya harus mengizinkannya mengulangi perbuatannya seperti dulu. Saya melawan, yang berakhir dengan terbunuhnya Om Danu. Saya hanya membela diri.Gayatri terkesima. Ia tidak menyangka kalau Vira dengan gagah berani membuka semua rahasianya."Saya tidak pernah mencintai Narawastu Adiwangsa. Saya telah mempunyai pacar sesama jenis sejak lama sekali. Saya berpacaran dengan Nara, karena tuntutan orang tua dan kehidupan sosial saya. Mengenai Gayatri Harimurti, dia dan Nara sudah sepu
"Tidak apa-apa kalau mereka membatalkan pesanan, Pak Wayan. Selama mereka mengikuti prosedur, proses saja. Anggap saja belum rezeki mereka menginap di hotel kita." Gayatri menutup ponsel. Ia baru saja berbicara dengan pengurus hotel Grand Mediterania yang berlokasi di Ubud Bali. Semalam hingga siang hari ini, banyak tamu yang tiba-tiba membatalkan kamar yang sudah mereka pesan. Gayatri menduga hal itu ada hubungannya dengan berita-berita online yang berseliweran di media sosial.Sedari malam hingga siang ini Gayatri terus mendapat telepon dari relasi dan teman-teman dekatnya. Termasuk Citra dan juga Windy. Mereka memberinya link-link berita tentang dirinya dan Iwas yang wara wiri di tabloid online. Gayatri sama sekali tidak menduga. Kalau aksi lamaran tidak biasa Iwas akan mendapat tanggapan negatif dari netizen. Judul-judul berita yang ia baca dari berita-berita online tersebut rata-rata memojokkan dirinya dan Iwas. Malangnya nasib anak konglomerat ; dihianati kekasih, dilecehkan o
Di depan mobil, Gayatri melihat Iwas berdiri. Iwas mengembangkan sebuah poster di dada dengan tulisan ; will you make me the happiest man on earth and say yes? Bukan itu saja. Di samping kanan dan kiri Iwas tampak Citra dan Windy bertepuk tangan dan berteriak ; say yes, Bestie."Ya Allah, semoga semua kebahagiaan ini bukan mimpi," bisik Gayatri dengan bibir bergetar. "Baiklah, Bang. Mari kita sempurnakan kebahagiaan kita." Gayatri membuka pintu mobil. Ia kemudian berlari menghampiri Iwas. Ketika tinggal berjarak beberapa langkah, Gayatri menghentikan langkahnya.“I’ve been waiting for this moment all my life. And the answer is, yes!” Gayatri berteriak keras. Setelahnya ia berlari menuju Iwas yang mengembangkan kedua tangannya. Citra dan Windy berteriak gembira. Suitan dan tepuk tangan dari para pengguna jalan lainnya mengiringi kebahagiaan Gayatri dan Iwas. Beberapa orang tampak merekam aksi mereka dengan ponsel."Selamat ya, Tri, Bang Iwas." Citra memeluk Gayatri dan mengucapkan sel
Gayatri menguap lebar. Rapat baru saja ia bubarkan. Akhir-akhir ini dirinya dan segenap pengurus hotel memang bekerja lebih keras. Dengan adanya cicilan hutang yang jumlahnya tidak sedikit pada Harsa, Gayatri melakukan segala cara untuk menambah income hotel.Sembari memindai jam dinding, Gayatri memutar pinggangnya yang pegal ke kiri dan ke kanan. Gerakannya sangat hati-hati mengingat dirinya sedang mengandung. "Sudah pukul setengah tujuh rupanya," gumam Gayatri. Terlalu semangat bekerja telah membuatnya lupa waktu. Menguap lebar sekali lagi, Gayatri membereskan meja kerjanya. Setelah semua tertata rapi, Gayatri meraih tas. Ia bermaksud pulang dan beristirahat di rumah. Merogoh tas untuk mencari ponsel, Gayatri pun menelepon Pak Diman. Ia menginstruksikan agar Pak Diman menjemputnya di depan lobby. Gayatri memang meminta Pak Diman menjemputnya. Ia tadi menolak tawaran Iwas yang menelepin ingin mengantarnya pulang. Gayatri mengerti bahwa kedatangan Iwas ke Jakarta selain mengurus m