Share

6. Demi si Buah Hati.

"Saya memang menunggu di depan, Bang. Abang yang kelewatan jalannya. Coba Abang berbalik." 

Iwas terdiam sejenak. Ia mempersiapkan diri untuk bertemu kembali dengan penyebab utama kehancuran keluarganya. Bukan hal mudah baginya bertemu kembali dengan Gayatri. Tatkala Iwas berbalik, ia tertegun. Bayangannya akan sosok Gayatri yang glamour sangat jauh dari ekspektasinya. Sebelum bertemu dengan Gayatri, ia sempat mengintip Medsosnya. Sedikit banyak ia ingin tahu kehidupan Gayatri sekarang. 

Di media sosial Gayatri, ia hanya menemukan dua photo Gayatri pada moment gathering dengan client-clientnya. Yang lainnya adalah postingan promosi-promosi hotel. Gayatri terlihat bagai sosialita papan atas di sana. Glamour dengan barang-barang branded dari ujung kepala hingga ujung kaki. 

Sementara Gayatri saat ini bernampilan ala karyawati magang dengan kemeja putih kusut dan celana bahan hitam. Rambutnya diikat buntut kuda dengan anak-anak rambut yang mencuat di sana sini. Gayatri mirip dengan karyawati magang galau yang kekurangan gaji.

"Maaf kalau penampilan kucel saya ini membuat Abang tidak mengenali saya lagi. Saya memang berangkat terburu-buru sehingga saya tidak sempat--"

"Cukup." Iwas mengangkat sebelah tangannya.

"Saya ke sini karena ingin melihat anak kita. Saya tidak punya waktu untuk mendengarkan segala cerita tentangmu."

Iwas masih seketus dulu. Pastinya juga masih sangat membencinya.

"Lewat sini, Bang." Gayatri tidak lagi berbasa-basi. Kalau Iwas memang tidak ingin berinteraksi yang tidak perlu dengannya, ia akan mengikuti. Pokoknya asal Zana selamat, ia mengalah saja.

"Aduh!" Gayatri nyaris terjungkal karena tersandung sudut kursi ruang tunggu. Iwas berjalan sangat cepat sehingga ia harus sedikit berlari untuk mengimbangi. Untungnya Iwas dengan sigap menahan bahunya.

"Hati-hati. Sepuluh tahun sudah berlalu. Tapi sikap gegabahmu tidak juga berubah!" cela Iwas. 

"Maaf, saya tidak sengaja. Abang jalannya cepat se--"

"Sudah saya bilang. Saya tidak tertarik mendengar apapun tentangmu!" tandas Iwas sambil melepaskan bahu Gayatri seolah jijik. Gayatri tidak mengatakan apapun lagi. Ia melanjutkan langkah sambil menunduk. Ia malu pada pengunjung rumah sakit lainnya. Iwas tadi membentaknya dengan suara yang cukup keras. Kalau saja Gayatri tidak memikirkan keselamatan Zana, ia pasti sudah balik membentak Iwas.

"Jangan memarahi istrimu di depan umum begini ya, Nak?" Seorang ibu paruh baya berkerudung putih menegur Iwas lembut. 

"Dari tadi Ibu perhatikan istrimu ini tampak sedih saat berbicara di telepon. Istrimu juga bolak balik melihat ke depan. Mungkin menunggu kehadiranmu. Jangan melukai hati seorang istri ya, Nak? Kalau pun kamu kesal karena menganggap istrimu terlalu banyak bicara, sesungguhnya ia hanya ingin diperhatikan. Elusan tanganmu saja pun sebenarnya sudah cukup membuat mereka merasa disayang. Ibu mengatakan semua ini karena Ibu juga seorang istri."

Mendengar nasehat Ibu berkerudung putih, mata  Gayatri mendadak berembun. Ibu ini mewakili perasaannya hatinya saat ini. Setelah bingung memikirkan masalah hotel, kini ia dibentak dan terus disindir-sindir Iwas. Gayatri merasa sangat merana. Dengan menahan-nahan tangis Gayatri mencoba meluruskan dugaan ibu berkerudung putih. Dirinya bukan istri Iwas.

"Saya bukan--"

"Terima kasih atas nasehatnya." Iwas memotong kalimat penyangkalan Gayatri. Ia tidak enak ditatap dengan pandangan memusuhi begini. Sembilan puluh persen pengunjung rumah sakit adalah perempuan. Bisa dicincang halus dirinya kalau lebih lama lagi berada di ruang tunggu ini. 

"Cepat sedikit jalannya. Jangan terus bertingkah playing victim. Sekarang saya sudah tidak bisa kamu pecundangi." Iwas menarik separuh menyeret pergelangan tangan Gayatri. 

"Lepaskan! Saya bisa jalan sendiri." Gayatri menepis tangan Iwas.

"Mbak Tri." Gayatri dan Iwas menoleh seperempak saat mendengar ada yang memanggil namanya. Pak Azwar dan Nuraini yang berdiri di depan ruang ICU rupanya.

"Pak Azwar, Bu Nuraini. Ini Bang Iwas, ayah kandung Zana." Gayatri memperkenalkan Iwas pada orang tua adopsi Zana.

"Saya Azwar dan ini istri saya, Nuraini." Pak Azwar dan Bu Nuraini menyalami Iwas.

"Saya Narawastu Adiwangsa. Panggil saja saya Nara." Iwas menyambut uluran tangan Pak Azwar dan Bu Nuraini sambil memperkenalkan diri.

"Di mana ruangan putri saya? Saya ingin melihat keadaannya." Iwas memberi tanda bahwa ia mempunyai hak yang sama dengan Pak Azwar.

"Putri kami ada di dalam, Bang. Silakan masuk saja langsung." Bu Nuraini tidak mau kalah gertak. Dari air muka dingin Iwas, Bu Nuraini melihat tekad kuat di sana. Seperti layaknya Gayatri, Iwas pun terlihat ingin menunjukkan posisinya. Melalui sudut mata Gayatri memindai bahwa Pak Azwar menyentuh pelan pundak Bu Nuraini. Seperti terhadapnya tadi, Pak Azwar terlihat memberi peringatan pada Bu Nuraini.

Iwas tidak mengatakan apapun lagi. Ia melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruang ICU. Setelah mengenakan masker dan penutup kepala yang disediakan oleh pihak rumah sakit, Iwas menghampiri sesosok tubuh mungil di atas ranjang. Mata Iwas berair saat melihat wajah sang gadis kecil. Rambut ikal, dagu tegas dan bentuk wajah gadis kecil ini benar-benar menjiplak dirinya. Ia tidak perlu melakukan test DNA lagi. Gadis kecil ini pasti darah dagingnya sendiri.

"Apa yang terjadi padamu, Nak? Mengapa kamu seperti ini?" Hati Iwas sakit melihat selang-selang yang memenuhi tubuh mungil putrinya. Mengingat kondisi sang putri, Iwas segera keluar dari ruang ICU. Ia harus mendonorkan darahnya secepatnya. Air muka putrinya sangat pucat seperti tidak dialiri darah.

"Bapak ayah kandung pasien bukan? Mari kita cek darah dulu sebelum melakukan transfusi. Putri Bapak sudah sangat lemah." Seorang perawat menyusul Iwas. 

"Baik, ayo kita lakukan transfusi secepatnya. Ambil saja darah saya sebanyak mungkin. Pokoknya asal putri saya selamat, saya bersedia melakukan apa saja. Apa saja!" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status