"Ceritakan semuanya dari awal." Iwas mendatangi Gayatri yang masih duduk bengong di ruang tunggu.
"Maaf, Abang bilang apa?" Gayatri tergagap. Ia tidak menyadari kehadiran Iwas di sampingnya. Ia sedang bingung karena Harsa, anak Pak Bakri mendesaknya untuk segera kembali ke Jakarta. Harsa ingin secepatnya menyelesaikan urusan jual beli hotel Grand Mediterania.
"Kamu ini aneh ya? Anak sedang sakit, tapi kamu tidak menunjukkan kekhawatiran sama sekali. Saya amati sikapmu lebih mirip dengan orang bingung daripada seorang ibu yang sedang khawatir. RIP kasih ibu sepanjang masa."
Iwas meletakkan blazernya sembarang di kursi ruang tunggu. Ia kemudian mengancingkan kemeja putihnya sebelum menghempaskan pinggul di samping Gayatri. Kepalanya sedikit pusing karena baru saja mendonorkan darahnya cukup banyak untuk Zana.
"Oh iya. Saya lupa. Kamu tidak pernah mau tahu tentang keberadaan anak ini sebelumnya. Kamu memberikannya pada orang lain dan masalah pun berakhir di hari itu juga. Hebat kamu, hebat!
Lihatlah kearogan Iwas. Dia yang bertanya dia pula yang menjawabnya. Kalau begitu untuk apa ia bertanya bukan?
"Abang mau saya menceritakan apa? Bukannya Abang bilang kalau Abang tidak mau mendengarkan cerita apapun tentang saya?" Gayatri tidak mempedulikan sindiran Iwas. Kepalanya penat dengan berbagai kejadian mengejutkan dalam satu hari ini. Kalau Iwas lebih suka tembak langsung, ia akan melakukan hal yang sama.
Satu kosong.
Iwas terdiam. Ia termakan omongannya sendiri.
"Saya ingin kamu menceritakan tentang Zana. Bukan tentang dirimu." Akhirnya Iwas menemukan bantahan yang pas juga.
"Kalau saya harus menceritakan soal Zana, itu artinya saya harus menceritakan diri saya terlebih dulu, Bang. Karena Zana itu hidup di diri saya. Zana tidak lahir dari batu."
Dua kosong.
Iwas mengatupkan mulutnya rapat. Gayatri ingin membalasnya rupanya.
"Kenapa kamu mempersulit pertanyaan yang sebenarnya sangat mudah kamu jawab. Apa maumu sebenarnya?" Iwas kehilangan kesabaran. Gayatri walau terlihat mengalah, sesungguhnya melawan. Hanya saja caranya halus. Lihatlah, ia sengaja membolak-balik kalimat untuk mempermainkannya.
"Saya mau Abang fokus pada masalah dan berhenti menghujat atau menyindir-nyindir saya," tegas Gayatri.
"Aksimu yang tidak memberitahu saya perihal kehamilan serta tindakan sepihakmu memberikan anak tersebut pada orang lain, sangat pantas untuk dihujat. Sampai sejauh ini kamu masih merasa tidak bersalah ya? Hebat kamu... hebat..." Iwas bertepuk tangan dengan gaya dramatis.
Gayatri tersenyum miris. Sedari tadi Iwas terus menuduhnya tanpa bukti. Ia diam karena memikirkan Zana. Namun sekarang keadaan Zana sudah jauh lebih baik karena menerima transfusi darah dari Iwas. Sekaranglah saatnya ia membeberkan kebenaran di depan mata Iwas.
"Abang cuma tahu ABC saja. Sementara XYZ-nya nol besar. Baiklah, sekarang saya akan menceritakan semuanya. Semoga setelah mendengar cerita selengkapnya dari saya ini, Abang bisa lebih bijak dalam bersikap." Gayatri memperbaiki posisi duduknya. Ia menyerongkan tubuhnya agar bisa berhadapan muka dengan Iwas.
"Dua bulan setelah peristiwa di rumah Citra itu, saya merasa tidak enak badan. Setiap pagi saya mual-mual dan tidak bisa mencium aroma masakan. Satu hal yang kemudian saya sadari, sudah dua bulan ini saya tidak kedatangan tamu bulanan. Firasat saya mengatakan bahwa saya telah hamil. Ibu saya juga mempunyai dugaan yang sama. Hari itu juga kami ke dokter kandungan. Hasilnya saya dinyatakan positif hamil."
Gayatri menatap langit-langit rumah sakit. Rasanya baru kemarin ia mengalami peristiwa ini. Nyatanya sepuluh tahun telah berlalu.
"Ayah marah besar. Ayah kemudian meminta ibu membawa saya ke rumah sakit Om Wahyudi, untuk menggugurkan kandungan."
"Brengsek!" Iwas mengumpat geram.
"Saya menentang keras. Anak itu tidak salah apa-apa. Saya memohon-mohon pada Ayah agar dibolehkan melahirkan anak saya. Dalam kegamangan akan masa depan, saya berusaha mencari jalan keluar yang saya anggap baik untuk semua."
"Mengapa kamu tidak mencari saya?" tuntut Iwas keras.
"Mencari Abang? Cari ke mana, Bang?" Gayatri tertawa tanpa merasa lucu.
"Keberadaan Abang sekeluarga hilang bagai ditelan bumi. Apa saya harus mengumumkan berita kehamilan saya ke media sosial supaya Abang tahu dan mencari saya?" Gayatri tersenyum mengejek.
"Kami sekeluarga terpaksa pergi demi bisa tetap waras. Ayahmu telah menghancurkan kehidupan kami!" Iwas berdiri sambil menyumpah-nyumpah. Ingatan masa lalu membuat emosinya kembali terkait.
"Begitu? Lantas masa depan saya bagaimana, Bang? Hancur tidak? Anak usia tujuh belas tahun hamil tanpa suami, menurut Abang dia hancur tidak?" Gayatri ikut berdiri. Dengan tatapan menyala-nyala ia menantang Iwas.
"Selama ini Abang cuma fokus pada kehancuran nama baik, masa depan Abang dan sebagainya. Lantas nama baik dan masa depan saya bagaimana? Ingat ya, Bang. Yang hamil sembilan bulan sepuluh hari itu saya. Dan saya juga tidak hamil sendiri. Abanglah yang menghamili saya. Sampai di sini paham, Bang?"
"Ramai sekali rumah Abang sepertinya ya?" Gayatri mengamati keadaan rumah Iwas. Dirinya dan Iwas baru saja tiba. Ada dua buah mobil yang diparkir sejajar di halaman. Iwas juga parkir sejajar di sana. Sekarang halaman dipenuhi oleh tiga buah mobil. "Seperti yang saya bilang tadi. Ada seseorang yang istimewa ingin bertemu denganmu." Iwas tersenyum simpul. Selain ingin mempertemukan Gayatri dengan tamunya, Sesungguhnya ia juga sudah tidak sabar ingin bertemu dengan tamu istimewa tersebut."Ayolah, Bang. Kemisteriusan sikap Abang membuat saya makin senewen saja." Gayatri mengikuti Iwas yang keluar dari mobil. Setelah Iwas menekan remote untuk mengunci pintu mobil, Gayatri melangkah lebar-lebar menuju pintu rumah Iwas."Kamu sudah sampai, Tri?" Gayatri disambut oleh ayah dan ibunya di ruang tamu. Kedua orang tua Iwas juga berada di ruangan yang sama. Hubungan orang tuanya dan Iwas memang semakin membaik dari hari ke hari."Oh, tamu istimewanya Ayah dan Ibu ya?" Gayatri meringis. Ia memang
Gayatri dan Iwas duduk bersisian di ruangan juru periksa kepolisian. Mereka berdua sedang menunggu kedatangan Vira. Pada akhirnya Gayatri bersedia memenuhi permintaan Vira. Ia dan Iwas terbang ke Surabaya tadi pagi. Dan sore ini mereka berdua sudah duduk di kantor polisi tempat Vira ditahan.Sejurus kemudian Vira masuk ke dalam ruangan dikawal oleh seorang petugas. Gayatri termangu melihat penampakan Vira. Jikalau di televisi kemarin Vira tampak sehat dan tegar, saat ini Vira terlihat depresi. Wajahnya murung dengan mata memerah. Ditambah rambutnya yang acak-acakan, Vira tampak nelangsa. Namun Vira memaksakan seulas senyum padanya dan Iwas setelah mereka duduk berhadapan."Apa kabar, Mbak?" Setelah kalimat pembukanya terucap, Gayatri menyesalinya. Pertanyaan ini bisa artikan ambigu. Salah satunya adalah mengejek keterpurukan Vira."Maaf, Mbak. Bukan maksud saya untuk menyindir keberadaan Mbak Vira di sini." Gayatri meralat kalimatnya. "Tidak apa-apa, Tri. Saya sudah mengenal kepriba
Setelah mematikan telepon, Gayatri segera membuka televisi. Vira yang kini berseragam oranye, diwawancari beberapa awak media."Semenjak saya kecil, saya sudah lama mengalami pelecehan seksua* oleh Om Danu. Saya tetap diam karena Om Danu mengancam akan membuka rahasia saya. Yaitu bahwa saya mempunyai orientasi seksua* yang menyimpang. Ya, saya adalah penyuka sesama jenis. Ketika Om Danu kembali mengetahui rahasia saya yang lainnya, ia kembali mengancam saya. Bahwa jikakau saya ingin rahasia saya aman lagi, maka saya harus mengizinkannya mengulangi perbuatannya seperti dulu. Saya melawan, yang berakhir dengan terbunuhnya Om Danu. Saya hanya membela diri.Gayatri terkesima. Ia tidak menyangka kalau Vira dengan gagah berani membuka semua rahasianya."Saya tidak pernah mencintai Narawastu Adiwangsa. Saya telah mempunyai pacar sesama jenis sejak lama sekali. Saya berpacaran dengan Nara, karena tuntutan orang tua dan kehidupan sosial saya. Mengenai Gayatri Harimurti, dia dan Nara sudah sepu
"Tidak apa-apa kalau mereka membatalkan pesanan, Pak Wayan. Selama mereka mengikuti prosedur, proses saja. Anggap saja belum rezeki mereka menginap di hotel kita." Gayatri menutup ponsel. Ia baru saja berbicara dengan pengurus hotel Grand Mediterania yang berlokasi di Ubud Bali. Semalam hingga siang hari ini, banyak tamu yang tiba-tiba membatalkan kamar yang sudah mereka pesan. Gayatri menduga hal itu ada hubungannya dengan berita-berita online yang berseliweran di media sosial.Sedari malam hingga siang ini Gayatri terus mendapat telepon dari relasi dan teman-teman dekatnya. Termasuk Citra dan juga Windy. Mereka memberinya link-link berita tentang dirinya dan Iwas yang wara wiri di tabloid online. Gayatri sama sekali tidak menduga. Kalau aksi lamaran tidak biasa Iwas akan mendapat tanggapan negatif dari netizen. Judul-judul berita yang ia baca dari berita-berita online tersebut rata-rata memojokkan dirinya dan Iwas. Malangnya nasib anak konglomerat ; dihianati kekasih, dilecehkan o
Di depan mobil, Gayatri melihat Iwas berdiri. Iwas mengembangkan sebuah poster di dada dengan tulisan ; will you make me the happiest man on earth and say yes? Bukan itu saja. Di samping kanan dan kiri Iwas tampak Citra dan Windy bertepuk tangan dan berteriak ; say yes, Bestie."Ya Allah, semoga semua kebahagiaan ini bukan mimpi," bisik Gayatri dengan bibir bergetar. "Baiklah, Bang. Mari kita sempurnakan kebahagiaan kita." Gayatri membuka pintu mobil. Ia kemudian berlari menghampiri Iwas. Ketika tinggal berjarak beberapa langkah, Gayatri menghentikan langkahnya.“I’ve been waiting for this moment all my life. And the answer is, yes!” Gayatri berteriak keras. Setelahnya ia berlari menuju Iwas yang mengembangkan kedua tangannya. Citra dan Windy berteriak gembira. Suitan dan tepuk tangan dari para pengguna jalan lainnya mengiringi kebahagiaan Gayatri dan Iwas. Beberapa orang tampak merekam aksi mereka dengan ponsel."Selamat ya, Tri, Bang Iwas." Citra memeluk Gayatri dan mengucapkan sel
Gayatri menguap lebar. Rapat baru saja ia bubarkan. Akhir-akhir ini dirinya dan segenap pengurus hotel memang bekerja lebih keras. Dengan adanya cicilan hutang yang jumlahnya tidak sedikit pada Harsa, Gayatri melakukan segala cara untuk menambah income hotel.Sembari memindai jam dinding, Gayatri memutar pinggangnya yang pegal ke kiri dan ke kanan. Gerakannya sangat hati-hati mengingat dirinya sedang mengandung. "Sudah pukul setengah tujuh rupanya," gumam Gayatri. Terlalu semangat bekerja telah membuatnya lupa waktu. Menguap lebar sekali lagi, Gayatri membereskan meja kerjanya. Setelah semua tertata rapi, Gayatri meraih tas. Ia bermaksud pulang dan beristirahat di rumah. Merogoh tas untuk mencari ponsel, Gayatri pun menelepon Pak Diman. Ia menginstruksikan agar Pak Diman menjemputnya di depan lobby. Gayatri memang meminta Pak Diman menjemputnya. Ia tadi menolak tawaran Iwas yang menelepin ingin mengantarnya pulang. Gayatri mengerti bahwa kedatangan Iwas ke Jakarta selain mengurus m