Share

7. Debat Kusir.

"Ceritakan semuanya dari awal." Iwas mendatangi Gayatri yang masih duduk bengong di ruang tunggu.

"Maaf, Abang bilang apa?" Gayatri tergagap. Ia tidak menyadari kehadiran Iwas di sampingnya. Ia sedang bingung karena Harsa, anak Pak Bakri mendesaknya untuk segera kembali ke Jakarta. Harsa ingin secepatnya menyelesaikan urusan jual beli hotel Grand Mediterania. 

"Kamu ini aneh ya? Anak sedang sakit, tapi kamu tidak menunjukkan kekhawatiran sama sekali. Saya amati sikapmu lebih mirip dengan orang bingung daripada seorang ibu yang sedang khawatir. RIP kasih ibu sepanjang masa."

Iwas meletakkan blazernya sembarang di kursi ruang tunggu. Ia kemudian mengancingkan kemeja putihnya sebelum menghempaskan pinggul di samping Gayatri. Kepalanya sedikit pusing karena baru saja mendonorkan darahnya cukup banyak untuk Zana. 

"Oh iya. Saya lupa. Kamu tidak pernah mau tahu tentang keberadaan anak ini sebelumnya. Kamu memberikannya pada orang lain dan masalah pun berakhir di hari itu juga. Hebat kamu, hebat!

Lihatlah kearogan Iwas. Dia yang bertanya dia pula yang menjawabnya. Kalau begitu untuk apa ia bertanya bukan?

"Abang mau saya menceritakan apa? Bukannya Abang bilang kalau Abang tidak mau mendengarkan cerita apapun tentang saya?" Gayatri tidak mempedulikan sindiran Iwas. Kepalanya penat dengan berbagai kejadian mengejutkan dalam satu hari ini. Kalau Iwas lebih suka tembak langsung, ia akan melakukan hal yang sama. 

Satu kosong.

Iwas terdiam. Ia termakan omongannya sendiri. 

"Saya ingin kamu menceritakan tentang Zana. Bukan tentang dirimu." Akhirnya Iwas menemukan bantahan yang pas juga. 

"Kalau saya harus menceritakan soal Zana, itu artinya saya harus menceritakan diri saya terlebih dulu, Bang. Karena Zana itu hidup di diri saya. Zana tidak lahir dari batu."

Dua kosong.

Iwas mengatupkan mulutnya rapat. Gayatri ingin membalasnya rupanya.

"Kenapa kamu mempersulit pertanyaan yang sebenarnya sangat mudah kamu jawab. Apa maumu sebenarnya?" Iwas kehilangan kesabaran. Gayatri walau terlihat mengalah, sesungguhnya melawan. Hanya saja caranya halus. Lihatlah, ia sengaja membolak-balik kalimat untuk mempermainkannya.

"Saya mau Abang fokus pada masalah dan berhenti menghujat atau menyindir-nyindir saya," tegas Gayatri. 

"Aksimu yang tidak memberitahu saya perihal kehamilan serta tindakan sepihakmu memberikan anak tersebut pada orang lain, sangat pantas untuk dihujat. Sampai sejauh ini kamu masih merasa tidak bersalah ya? Hebat kamu... hebat..." Iwas bertepuk tangan dengan gaya dramatis.

Gayatri tersenyum miris. Sedari tadi Iwas terus menuduhnya tanpa bukti. Ia diam karena memikirkan Zana. Namun sekarang keadaan Zana sudah jauh lebih baik karena menerima transfusi darah dari Iwas. Sekaranglah saatnya ia membeberkan kebenaran di depan mata Iwas.

"Abang cuma tahu ABC saja. Sementara XYZ-nya nol besar. Baiklah, sekarang saya akan menceritakan semuanya. Semoga setelah mendengar cerita selengkapnya dari saya ini, Abang bisa lebih bijak dalam bersikap." Gayatri memperbaiki posisi duduknya. Ia menyerongkan tubuhnya agar bisa berhadapan muka dengan Iwas.

"Dua bulan setelah peristiwa di rumah Citra itu, saya merasa tidak enak badan. Setiap pagi saya mual-mual dan tidak bisa mencium aroma masakan. Satu hal yang kemudian saya sadari, sudah dua bulan ini saya tidak kedatangan tamu bulanan. Firasat saya mengatakan bahwa saya telah hamil. Ibu saya juga mempunyai dugaan yang sama. Hari itu juga kami ke dokter kandungan. Hasilnya saya dinyatakan positif hamil." 

Gayatri menatap langit-langit rumah sakit. Rasanya baru kemarin ia mengalami peristiwa ini. Nyatanya sepuluh tahun telah berlalu.

"Ayah marah besar. Ayah kemudian meminta ibu membawa saya ke rumah sakit Om Wahyudi, untuk menggugurkan kandungan."

"Brengsek!" Iwas mengumpat geram.

"Saya menentang keras. Anak itu tidak salah apa-apa. Saya memohon-mohon pada Ayah agar dibolehkan melahirkan anak saya. Dalam kegamangan akan masa depan, saya berusaha mencari jalan keluar yang saya anggap baik untuk semua." 

"Mengapa kamu tidak mencari saya?" tuntut Iwas keras.

"Mencari Abang? Cari ke mana, Bang?" Gayatri tertawa tanpa merasa lucu.

"Keberadaan Abang sekeluarga hilang bagai ditelan bumi. Apa saya harus mengumumkan berita kehamilan saya ke media sosial supaya Abang tahu dan mencari saya?" Gayatri tersenyum mengejek. 

"Kami sekeluarga terpaksa pergi demi bisa tetap waras. Ayahmu telah menghancurkan kehidupan kami!" Iwas berdiri sambil menyumpah-nyumpah. Ingatan masa lalu membuat emosinya kembali terkait.

"Begitu? Lantas masa depan saya bagaimana, Bang? Hancur tidak? Anak usia tujuh belas tahun hamil tanpa suami, menurut Abang dia hancur tidak?" Gayatri ikut berdiri. Dengan tatapan menyala-nyala ia menantang Iwas. 

"Selama ini Abang cuma fokus pada kehancuran nama baik, masa depan Abang dan sebagainya. Lantas nama baik dan masa depan saya bagaimana? Ingat ya, Bang. Yang hamil sembilan bulan sepuluh hari itu saya. Dan saya juga tidak hamil sendiri. Abanglah yang menghamili saya. Sampai di sini paham, Bang?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status