Share

[2] Unplanned Meet

Anya menatap jengah meja makan yang terisi penuh oleh papa dan juga keluarga ibu tirinya. Tangannya mencengkram sendok sup, melampiaskan amarah yang membentuk gulungan ombak di dalam hatinya.

Seharusnya kursi itu ditempati oleh Sasmita Calista— mama kandungnya.

Memejamkan matanya, Anya lantas membanting sendok ditangannya ke dalam mangkok. Ia tidak bisa. Berapa kali pun mencoba menerima perceraian orang tuanya, ia tetap tak sanggup menciptakan keikhlasan itu.

Denting sendok yang menyeruak gendang telinga membuat Tanu, Soraya serta Josephine— kakak tirinya memalingkan muka ke arahnya.

“Jangan mulai lagi, Anya! Duduk!” perintah Tanu.

Tanu Handoyo— konglomerat Indonesia yang bisnisnya bergerak dibidang rokok tersebut meminta putrinya duduk. Anya selalu melakukan hal tersebut ketika Josephine berhasil ia tarik pulang ke rumah.

“Anya nggak selera!” pungkas Anya berdiri lalu membalikan tubuhnya.

“Satu langkah kamu beranjak, Papa pastikan kamu kehilangan seluruh fasilitas, Anya!”

Kedua telapak tangan Anya mengepal di sisi tubuhnya. Rahangnya mengeras sempurna mendengar ancaman sang papa. “Go ahead!” Ucapnya, menantang balik. Anya tidak pernah takut akan ancaman yang selalu Tanu berikan. Ia justru menunggu masa-masa itu.

“ANYA!” teriak Tanu.

“Sudah Pah. Anak kamu kan memang begitu. Mirip sekali dengan mamanya. Tidak bisa menghargai orang lain!” Ucap Soraya yang sayangnya masih bisa terdengar dikedua lubang telinga Anya.

Secepat rudal Anya kembali. Kali ini mendekati kursi yang dulunya ibunya gunakan untuk duduk. Tangannya meraih sup panas milik wanita itu, menggugurkannya tanpa perhitungan terlebih dahulu.

“Aaaa!! Panas! Apa yang kamu lakukan! Kulit kepala Mama bisa melepuh, Anya!” sentak Soraya seketika bangkit berdiri, begitu juga dengan Tanu dan Josephin.

Josephin, pria yang sejatinya merupakan sahabatnya dulu itu menyambar serbet yang terjatuh. Ia menuangkan air dengan suhu ruangan utnuk mengurangi panas dikulit kepala sang ibu.

“ANYA CAL..”

Plak!!

Tamparan mendarat pada pipi kanan Anya sampai wajahnya terbawa arus. Bukannya membalas Anya justru tertawa meremehkan. Tamparan itu jatuh lebih cepat dibandingkan sang papa yang tak meneruskan nama belakangan.

“Kenapa, Pah? Kenapa berhenti memanggil namaku? Apa mulut Papa sebegitu jijiknya mengucap nama Mama?” seringai diwajahnya muncul bersama dengan lirikan matanya, “atau wanita itu masih sangat mencemburui wanita yang Papa tinggalkan untuk dia?”

Sudah ratusan tamparan Anya terima sejak kedua orang tuanya bercerai beberapa tahun lalu. Wanita yang menjadi sahabat mamanya itu, secara sadar dengan tega menikam sahabatnya sendiri. Merampas kebahagiaan manusia yang setiap kali dia memiliki masalah, selalu memasang tubuhnya untuk membela.

Sungguh wanita yang menjijikan. Anya benar-benar membenci ibu tirinya sampai ke sumsum tulang belakangnya.

“Diam kamu! Apa kamu tidak merasa bersalah, sudah mencelakai Mama kamu, Hah?!”

“Mama?” sergap Anya. “How many times do I have to tell you that she is not my mother. I was not born from the womb of a bitch, Sir!” Mengakuinya sebagai ibu tiri saja ia tidak akan sudi, apalagi menyebutnya mama seperti yang dirinya panggilkan untuk sang ibu kandung.

Tunggu saja nyawanya melayang, siapa tahu arwahnya mau. Mungkin jika ketika jiwa itu pun khilaf.

“Perhatikan ucapan kamu, Anya! Dia istri, Pah! Wanita yang Papa jadikan ibu kedua kamu!”

Anya berdecih. “Wanitamu belum tentu ibuku, Pak Tanu. Jangan meminta sesuatu yang tidak bisa aku lakukan seumur hidupku.”

“Sampai kapan, Anya? Sampai kapan kamu mau bertingkah memuakkan begini. It's been two years. Jadilah dewasa!”

“Kalau begitu minta jalang Papa buat berkaca sebelum menjelek-jelekan Mamaku!” Jerit Anya. Kesabarannya memang setipis tisu seharga dua ribuan di toko kelontong. “Suruh dia ingat-ingat, siapa yang membantunya waktu dia kere dikejar-kejar debt collector!

“Suruh otaknya yang bebal itu buat nyari memori masa lalu. Siapa yang ngerawat anaknya waktu dia kabur ke luar negeri.”

Josephin menundukan kepalanya.

“Anaknya lulus bahkan dari uang Mamaku, Sialan!”

“Papa robek mulut kamu kalau masih berbicara nggak sopan!”

“Robek! Robek sekarang!” Anya menyodorkan tubuhnya pada Tanu, “nih mulut Anya!” tantangnya membuat Tanu terdiam.

“Anya bisa robek balik mulut jalang Papa sampai keliatan tulangnya. Nabrak dia aja Anya bisa kan?” kekehan Anya mengudara bebas. Ia mencoba mengingatkan Tanu tentang kejadian lima bulan lalu dimana setelah pertengkarannya dengan sang ibu tiri di pinggir jalan, ia langsung menabrak mobil wanita itu kencang.

Tanu meremas rambutnya, merasa kewalahan menghadapi sikap keras kepala Anya.

Why you so hard, Anya? Harus gimana Papa sama kamu?”

“Serahin hak asuh Anya ke Mama.” Sekali lagi Anya berusaha mencobanya. Ia tidak akan lelah membuat gara-gara agar bisa ikut dengan sang mama.

and make you lead a substandard life?

“Itu lebih baik dibandingkan hidup satu atap dengan keluarga yang menghancurkanku!”

Anya berlari meninggalkan manusia-manusia yang paling dirinya benci. Ia tidak suka menangis. Dibandingkan mengeluarkan air mata, Anya lebih suka membuat kesadarannya menghilang menggunakan alkohol. Ia membutuhkannya sekarang. Mamanya sedang berada di luar kota untuk suatu pekerjaan, menjadikannya tak bisa menangis di dalam pelukan wanita itu.

Mengganti pakaiannya, Anya lantas mengambil jaket bomber untuk menutupi crop tienya. Ia memakai parfum sebelum menghempaskannya ke lantai, membuat seluruh kaca yang melindungi cairan semerbak itu berhamburan.

“Soraya, Anjing!” makinya keras. Andai wanita itu tidak menjelek-jelekan mamanya, pertengkaran dengan papanya tidak mungkin terjadi.

Membuka pintu kamarnya, Anya lantas meninggalkannya tetap terbuka. Josephin berdiri tak jauh dari dirinya. Pria itu tampak membawa baskom berisikan air.

“Mau kemana, Nya? Gue kompres dulu tangan lo. Tangan lo juga kena sup panas tadi.”

“Bukan urusan lo, dan nggak usah sok peduli, Bangsat! Kita udah sepakat buat nggak saling kenal!”

Pernikahan Tanu dan Soraya tidak hanya menghancurkan keluarga bahagia Anya, tapi juga sebagian hatinya yang dimiliki oleh Josephin. Dulu mereka begitu dekat. Banyak orang menduga keduanya menjalin asmara dibalik tirai pertemanan yang mereka gelar. Siapa sangka pria itu juga menjadi bagian dari kerusakan hati yang bertubi-tubi menghantamnya.

Selepas kepergian Anya, Josephin menggigit bibir bawahnya. Pria itu mencoba menahan tangis yang setiap saat ingin mendobrak bilik matanya.

Jika saja bisa— ia ingin membawa Anya kabur. Menikmati dunia hanya berdua. Melepaskan lara yang merajai seluruh kehidupan mereka berdua.

Sayang sekali, Anya menolak ajakannya. Gadis itu lebih memilih ibunya. Memperjuangkan hak yang seharusnya dimiliki keduanya tanpa memperdulikan perasaan mereka satu sama lain. Untuk itulah ia bersedia tinggal, bahkan menerima jabatan di perusahaan papa Anya. Agar setiap saat dapat melihat sahabat yang dicintainya dalam diam.

.

.

Hingar bingar dunia malam bukan menjadi hal baru untuk Anya geluti. Sejak mendapatkan Kartu Tanda Kependudukan, detik itu juga Anya melesatkan kakinya memasuki sebuah kelab ternama di Jakarta. Ia dulu sering mencuri minuman-minuman papanya di gudang penyimpanan. Merasakan indahnya amnesia dari sekelumit sakit hati yang dideritanya.

Cara itu rupanya begitu manjur.

Menjadi mabuk membuatnya bisa melupakan jati dirinya sebagai anak broken home. Jelas walau itu hanya untuk sejenak saja. Beberapa jam kemudian, ia pasti kembali teringat dengan kehidupannya yang menyakitkan.

Apa gunanya menjadi kaya raya?

Apa istimewanya bisa mendapatkan seluruh fasilitas mewah, jika ia tak bisa hidup bersama keluarganya yang utuh?

Setiap malamnya ia tidak bisa tertidur. Terbayang akan ketukan palu hakim yang memisahkan keutuhan rumah tangga orang tuanya. Ia selalu terbayang bagaimana papanya mengusir sang mama karena tak menerima madunya.

“Nya, stop it! Lo udah teler banget.” Flora menahan lengan Anya yang ingin menenggak sisa whisky mereka.

“Udah, Nya! Bokap lo bisa tambah ngamuk kalau anaknya pulang nggak sadar!” timpal Angel, menambahi. Dua hari lalu keduanya terkena semprot karena tak dapat menjaga Anya.

“Bacot ah!” Anya meletakan botol Macallen ke atas meja yang dirinya buka. Ia berdiri, “nih liatin, kaki gue sama sekali nggak oleng,” tuturnya untuk membuktikan jika dirinya tidak mabuk. “Pesenin lagi dong! Jagger nggak apa-apa! Gue ke toilet dulu.”

“Nggak oleng apaan, Flor?! Jalan aja ngerambat begitu!” decak Angel sembari memperhatikan cara berjalan Anya. “Dia pasti berantem lagi sama Om Tanu.”

“Sian banget hidupnya. Udah broken home, putus cinta sebelum dinyatain lagi!”

Sepanjang menuju toilet, Anya terus meracau. Beberapa kali dirinya menunduk untuk meminta maaf karena menabrak seseorang— sampai pada tabrakan kesekian kalinya, gadis itu memegangi korbannya.

“Anya Calista.”

Mendengar suara taka sing memanggil nama lengkapnya, kepala Anya mendongak.

“Si Anjing, apaan sih hari ini! What the hell banget. Kenapa gue harus terlibat sama empat guk sekaligus dihari yang sama!” Ujarnya begitu keras.

“Udin! Dosen Taik sepanjang masa, sini gue goyang biar kalau kasih nilai pake otak dikit,” tepat setelah ucapannya, Anya menarik tengkuk Kamarudin Hasan, manusia ketiga yang menempati urutan makhluk paling dirinya benci di muka bumi ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status