“Udin! Dosen Taik sepanjang masa, sini gue goyang biar kalau kasih nilai pake otak dikit,” tepat setelah ucapannya, Anya menarik tengkuk Kamarudin Hasan, manusia ketiga yang menempati urutan makhluk paling dirinya benci di muka bumi ini.
Kamarudin membeliak. Ia mengenal gadis ini sebagai mahasiswi penuh masalah pada kampus tempatnya mengajar. Sudah dua kali gadis bernama Anya tersebut mengulang mata kuliahnya. Hasilnya pun selalu buruk.
Semua tidak terlepas dari sikap buruk Anya sendiri. Sikapnya yang seenaknya dan cenderung sering menantang dosen, termasuk juga dirinya, membuat ia menjatuhkan nilai sesuai bad attitude Anya.
Tentu bukan hanya buruknya kualitas diri gadis itu yang menjadi tolak ukur pemberian nilai. Terdapat serangkaian peraturan yang sering Anya trobos, salah satunya persentase absensi yang tidak memenuhi kriteria kelulusan suatu mata kuliah.
Terlalu lama terkejut dengan tindakan impulsif yang tidak disadarinya, alih-alih mendorong sang mahasiswi rebel, Kamarudin justru memejamkan matanya. Alkohol serta sekelumit masalah pribadi yang dirinya hadapi hari ini membuatnya menikmati ciuman Anya.
Tidak hanya berciuman biasa— keduanya melakukan french kiss. Membuka mulut secara bergantian untuk melesakkan lidah masing-masing. Saling mengeksplorasi rongga-rongga mulut mereka satu sama lain.
Posisi keduanya bahkan telah berpindah. Kamarudin yang terbawa oleh hasrat kelaki-lakiannya, menyambut begitu mesra undangan terbuka salah satu mahasiswinya. Kamarudin memuaskan indra pengecapnya. Mengungkung tubuh Anya di antara tembok dan dirinya.
Barulah ketika Anya menepuk-nepuk dadanya, pria itu menjauhkan kepalanya. Sorotnya yang dulu selalu tajam menatap Anya, berubah menjadi kabut gairah.
“Nggak bisa napas,” ucap Anya, serupa desahan. Gadis itu menjatuhkan kepalanya pada dada bidang Kamarudin.
“Apa kita bisa melanjutkannya?”
Katakanlah Kamarudin gila. Bukan dirinya yang memulai semua ini. Anyalah yang memprovokasi sisi liar di dalam dirinya.
Kemarahan akan perselingkuhan sang kekasih bersama kerabat dekatnya membuat seluruh akal sehat Kamarudin menghilang. Disaat seluruh hatinya hancur lebur, Anya datang membangkitkan, apa yang seharusnya tak gadis itu bangkitkan.
“Saya dapat menyenangkan kamu. Sepertinya kita sama-sama sedang mengalami masalah berat.”
“Em,” dapat Kamarudin rasakan jika Anya menganggukan kepalanya. “Buat gue happy! Bikin gue nggak ngerasain sakit ini lagi.”
Kamarudin membelai rambut pada kepala bagian belakang Anya. “Baiklah. Kita akan saling mengobati malam ini.” Entah luka seperti apa yang diderita mahasiswinya, tapi yang Kamarudin tahu, ia ingin memberikan penawar walau hanya sesaat.
“Kalungkan tangan kamu. Saya akan membawa kamu ke tempat dimana kita tidak akan merasakan sakit.”
Kesadaran Anya yang tersisa hanya 30% itu tak mengetahui dengan pasti apa yang dosennya bicarakan. Dalam keadaan sadar, ia pasti akan melayangkan bogem mentah ketika tubuhnya tiba-tiba saja diangkat.
“Josephine brengsek!”
Ah, persoalan yang sama— mengenai asmara. Sepertinya mereka akan saling melengkapi mulai detik ini.
“Pak..”
Satpam pada pintu belakang kelab memberikan hormatnya. Kamarudin terbiasa melewati pintu tersebut ketika mengunjungi tempat hiburan malam milik sahabatnya.
Selain karena statusnya sebagai pendidik, Kamarudin tak ingin kehidupan pribadinya terekspos. Ayahnya telah mewanti-wanti dirinya untuk tak terlibat dengan para pencari berita.
Kamarudin Hasan— Pria berusia 34 tahun itu merupakan anak kedua dari pemilik perusahaan batu bara. Pusat manajemen perusahaan keluarganya berada di Jakarta, sedangkan beberapa kantor cabangnya tersebar pada titik-titik strategis kota-kota lain.
Sejak Kamarudin muda, ia sama sekali tak tertarik menggeluti bisnis. Sudah ada kakak tertuanya yang menjalankan peran sebagai penerus. Ia bebas memilih jalan hidupnya, asalkan tetap membantu ketika dirinya dibutuhkan.
“Sampaikan pada Alexiz, saya sudah meninggalkan kelab.” Pesan Kamarudin. Ia tidak akan sempat meski sekedar mengirimkan chat untuk sahabatnya. Kucing manisnya yang terus mengendus batang lehernya tampak tak sabaran.
“Baik, Pak Kamar.”
“Yah,” balas Kamarudin tertahan.
Sebenarnya ia tidak terlalu menyukai pemenggalan dalam penyebutan namanya. Kamar atau Udin, keduanya tetap terdengar menyakiti indera pendengarannya.
Tapi mau bagaimana lagi?! Ia tidak dapat mengatur manusia lain. Cukup satu orang saja nanti yang akan dirinya minta untuk merubah panggilan.
“Kamu mau duduk sendiri atau saya pangku? Apartemen saya tidak jauh dari sini.”
“Pangku Papa.” Rengek Anya membuat Kamarudin terkekeh. Baru kali ini ia melihat Anya bersikap begitu manis. Biasanya anak itu akan menyalak seperti anjing milik tetangga komplek sang mama.
“Kamu menggemaskan, Anya.”
“Anya sayang Papa. Kenapa Papa harus tinggalin Mama?! Kenapa dia Pah?! Kenapa bukan mama orang lain?!”
“Kenapa harus Mama Joshepin?”
Racauan beriring isakan Anya mengusik diri Kamarudin. Ia pikir Anya terlahir menjadi seorang putri dari keluarga kaya yang dimanja oleh orang tuanya. Jika dari apa yang dirinya dengar, hubungan internal keluarganya begitu rumit, melibatkan sosok pria yang dua kali disebutkan namanya.
Dibalik sikap tak takut orangnya, Anya— si mahasiswi pembuatan onar, ternyata menyimpan duka yang dalam.
“Luapkan saja. Peluk saya lebih erat, Anya. Kamu dapat membaginya dengan saya.”
“Bacot banget lo, Udin! Suara lo jelek banget!”
Kamarudin mengalihkan tatapannya menuju puncak kepalanya Anya. Mungkinkah mahasiswinya menderita gangguan suasana hati? Cepat sekali berubahnya.
“Paling bener mulut lo buat cium gue aja. Enak soalnya.”
Sudut bibir Kamarudin berkedut. Bukankah gadis dipangkuannya baru saja memujinya?!
“Saya cium lagi setelah sampai di unit apartemen saya.”
“Oke.”
Di kelab yang tak lama ditinggalkan oleh keduanya, sahabat-sahabat Anya dibuat kebingungan karena menghilangnya gadis itu. Flora dan Angel sudah mencari Anya sampai memasuki toilet pria, berpikir mungkin saja sahabatnya dibungkus oleh gadun-gadun pecinta daun muda.
Namun hasilnya nihil. Anya tidak ada di setiap bilik.
“Balik ke rumah kali, Flor.”
“Iya kali, ya. Besok kan kuliah perdana. Mana musuh bebuyutan dia lagi dosennya.”
Mengingat chatingan mereka sebelum berangkat, Angel menggoyangkan lengan Flora. “Kita juga harus balik, Flor! Kan udah janji mau nemenin ngampus.” Tukasnya bersemangat.
“Kita yang maksa mau ngikut, Ngel.”
“Is— sama aja. Demi Pak Kamarudin, Flora.”
Flora cengengesan. “Bener! Hidup Pak Kamarudin!”
“Hidup!!”
Dua sahabat Anya ber-high five. Mereka pulang tanpa menyadari jika dugaan mereka tentang Anya yang ‘dibungkus,’ oleh seseorang memanglah terjadi. Sahabat keduanya itu tak pulang ke rumah, melainkan ke atas ranjang dosen yang mereka idam-idamkan eksistensinya.
“Em-nghh..”
Di pangkuan Kamarudin, kepala Anya mendongak saat pria itu menjelajahi cupingnya. Anya merasakan tubuhnya semakin panas, seolah terbakar dari dalam. Ada gelenyar aneh yang membuatnya menggeliat bak cacing kepanasan.
Desahannya mengalun indah. Terlebih tatkala tangan-tangan Kamarudin meraba setiap inci tubuhnya. Anya mulai terlena. Ia terbawa arus oleh perasaan yang baru dirinya rasakan untuk pertama kalinya, begitu pula dengan Kamarudin.
Keduanya menyelami letupan-letupan yang mendebarkan jiwa. Membiarkan saraf-saraf menegang hingga mengirimkan sinyal-sinyal, kepada otak mereka untuk melakukan kegiatan yang lebih.
Dalam hentakan pelan, Kamarudin mencoba memasuki Anya. Ia tersentak saat merasakan miliknya seolah menembus sebuah penghalang.
“Are you a virgin?”
Melihat bagaimana Anya meringis, Kamarudin tahu jawabannya.
“Im sorry. Saya nggak menyangka kalau kamu ternyata masih gadis Anya.” Bisik Kamarudin merasa teramat bersalah. Siapa yang akan mengira. Penampilan Anya tergolong sangat terbuka sebagai seorang mahasiswi. Gadis itu kerap mengenakan crop top walau tak setinggi pusarnya seperti malam ini.
Belum lagi pertemuan mereka tadi, dimana Anya langsung menyerbu bibirnya. Gadis itu tampak begitu lihai berciuman panas, seolah dirinya memang kerap malukannya.
“I’ll be gentle, Anya. I promise you.”
Malam itu pergulatan yang berbeda terjadi diantara Anya dan dosen yang paling dirinya benci. Kalau biasanya Anya sibuk menimpali setiap perkataan Kamarudin, kali ini pria itulah yang menyahut kala Anya erangan Anya menyeruak sampai ke ubun-ubun kepalanya.
Tak terhitung banyaknya puncak yang mereka ledakan bersama. Keduanya tertidur usai Anya menyatakan kelelahannya.
“Sleep tight, Anya..” ucap Kamarudin mengecup punggung telanjang Anya. Tangannya melingkar, memeluk gadis yang tampaknya akan dirinya inginkan untuk waktu dekat ini.
‘Mama benar.. Satu cinta pergi, cinta lainnya akan datang menghampiri,’ batin Kamarudin sebelum mencoba memejamkan matanya. “Terima kasih, Anya. Maaf saya tetap tidak bisa memberikan gratifikasi atas kuliah kamu.”
Profesionalitas dalam bekerja harus dijunjung tinggi. Tak boleh ada keistimewaan, meski mereka terjerat cinta selibat dalam satu malam yang panjang.
“Kamarudin, Anjing!”
“Tidur Anya..” tangan Kamarudin menepu-nepuk pantat Anya dari dalam selimut yang membungkus dirinya. Ia tahu Anya belum sepenuhnya sadar. Gadis yang resmi menyandang status wanita dewasa tersebut membutuhkan istirahat untuk memulihkan tenaganya.
“Sepertinya besok akan menjadi pagi yang cukup ramai.”
Udin Anjing! Kelas Udin Anjing! Bangun! Neraka! Kamarudin mencengkram handle pintu ditangannya. Pria itu baru saja melebarkan daun pintu ketika berpikir Anya mengumpatinya. Suara Anya terdengar sangat keras— membuat dirinya yang sedang menggosok gigi berniat menghampiri sang mahasiswi. “Dia masih tidur, lalu suara dari mana ini?” gumam Kamarudin mencari sumber suara. Anya memang mengumpati dirinya, menyebutnya sebagai hewan dan itu disebutkan sebanyak dua kali— tapi bukan gadis itu yang sekarang berteriak. Ah, wanita maksudnya. Semalam dirinya sudah mengambil kegadisan Anya sampai tak bersisa. Udin Anjing! Kamarudin melirik tajam hand bag yang tergeletak di atas sofa kamarnya. Ia merasa dari sanalah umpatan tersebut berasal. Kaki Kamarudin melangkah, mendekati tas milik Anya. Semakin ia mendekati sofa, suara mahasiswa perempuannya tersebut, semakin terdengar lebih keras. ANYA NILAI F “NO!!” Anya berteriak. Alarm ponsel yang dirinya setting dua jam sebelum kelas sudah berbu
“Benar itu, Kamaru?” selidik Miranti. “Nak! Nggak ada perempuan lagi, selain wanita panggilan?” bentaknya murka.Mengapa anaknya asal saja meniduri perempuan? Padahal di luaran sana banyak yang tergila-gila kepadanya.“Ya Tuhan, Kamaru!!”“Bu, dia berbohong! Anya ini mahasiswi Kamaru di kampus.”“Eh, Pak!” Anya memukul paha Kamarudin, “emang kalau mahasiswa nggak bisa jual diri? Banyak tau di kampus yang jadi sugar baby!” sudah kepalang tanggung kan. Aktingnya harus totalitas supaya hidupnya tak semakin menjadi berantakan.“Makanya jangan cuman liatin yang berbatang aja, Pak.” Ejek Anya, termakan oleh cerita ibu Kamarudin.“Kamu beneran nggak suka perempuan, Kamaru?!” kali ini Atalaric yang menghardik putra keduanya. Ada raut khawatir yang tampak pada wajah pria paruh baya itu.“Astaga!” desah Kamarudin, menyugar rambutnya ke belakang. “Pak, saya loh merawanin dia!” jawabnya setengah kesal karena tidak dipercayai. “Coba lihat itu sepanjang lehernya, yang buat saya Pak.”“Loh katanya n
“Anya, terima saya ya?! Ibu sudah nggak sabar nunggu itu,” Kamarudin menggeser posisi tubuhnya. Tepat di depan Anya, wanita itu kembali dapat melihat sosok Miranti. “Hi, calon menantunya, Ibu!” Miranti melambaikan tangannya meski belum mengambil langkah untuk mendekat.Wajah Anya memucat. Kamarudin tidak hanya sendirian, pria itu membawa antek-antek absurdnya untuk membalaskan dendam. “Nya,” senggol Flora yang berada di sisi kiri Anya. “Ngomong sesuatu jangan diem aja!” pinta sang sahabatnya. “Gue sampe mau pingsan nih!”“Ginjal gue juga gemeteran, Nya,” sambung Angel, memberitahukan keadaannya usai mendengar pengakuan dosen idolanya.Jangankan Flora dan Angel— Anya tak sekedar ingin pingsan, kalau bisa malah mati aja sekalian. Sepertinya baru satu ia merasakan surga dunia tanpa bimbingan Kamarudin. Kenapa sekarang justru begini nasibnya.“Gaes, tolong bantu saya untuk membujuk Anya.” Kamarudin bangkit, ia menggunakan atensi para mahasiswanya yang tengah mengerubungi mereka. “Saya b
Anya merasa sangat sedih berada ditengah-tengah keharmonisan keluarga Kamarudin. Kedekatan mereka semakin membuka lubang menganga di hatinya. Ia telah kehilangan momen berharga tersebut bertahun-tahun lamanya.Wanita itu tersenyum miris. Ingatan mengenai kebahagiannya bersama kedua orang tuanya masih terekam indah di dalam benaknya. Entah kapan semua itu dapat terulang kembali. Rasanya tak akan mungkin mengingat perseteruan mereka.Anya tak menginginkan banyak hal. Berharap kedua orang tuanya kembali bersama merupakan sebuah kemustahilan, yang tak mungkin dapat terwujud. Ia sadar diri. Selain sang papa yang begitu membenci mamanya, wanita yang melahirkannya pun telah banyak menelan duri yang sengaja dijejalkan ke dalam tubuhnya. Sakit hati mamanya, sampai kiamat pun, papanya tidak akan bisa menyembuhkannya. Kesalahan pria itu terlalu fatal.“Lihat loh, Shaf. Dua Mas mu kalau cari pasangan oke-oke semua. Kamu kok dapetnya yang modelan papan catur mukanya! Abstrak!”“Bapak! Jangan godai
“Dengan siapa kamu di restoran tadi, Anya?!”“Bukan urusan, Papa!” Anya melenggang pergi, melewati ruang tamu dimana papanya menunggu dirinya. Ia sedang malas bertengkar. Seluruh energinya telah tersedot habis oleh rangkaian peristiwa yang dirinya lalui hari ini. Anya membutuhkan istirahat cukup untuk melalui hari-hari selanjutnya.“Anya! Papa bertanya sama kamu!”Menghakimi lebih tepatnya. Papanya tak pernah hanya bertanya. Apa pun topik yang dibuka, pria itu akan berakhir menyudutkan dirinya. Jadi Anya tak akan meresponnya kali ini. Sungguh, ia ingin merasakan empuknya ranjang.“Mas, ada apa sih ini? Kenapa teriak-teriak begitu?!”Anya memperlambat langkah kakinya saat suara Soraya terdengar pada gendang telinganya. Nenek sihir itu sudah muncul. Anya ingin memastikan mulutnya yang jalang tidak mengeluarkan kata-kata buruk untuk mamanya.Kalau urusan menghadapi Soraya, Anya memiliki simpanan energi ekstra yang tercadang di dalam tubuhnya. Seletih apa pun dirinya, Anya siap jika harus
Ketukan pintu kamar menampilkan salah satu ART keluarganya. Satu yang tersisa setelah mereka memilih mengundurkan diri karena sang nyonya tak lagi berada di istananya. Wanita paruh baya itu memberitahu, jika Tanu sudah menunggu kehadiran Anya di meja makan. Memuakkan! Papanya sama sekali tak pernah menyerah meski tahu acara makan itu akan berakhir dengan sebuah pertengkaran. Dia terlalu terobsesi ingin membangun keluarga cemara. Sayangnya Anya tak akan mengabulkannya. Ia bukan bagian dari Tanu Handoyo beserta nyonya barunya. “Bilang sama Papa, Bik. Duluan aja. Aku mau langsung ke kampus.” Anya menjelaskan kalau dosennya pagi ini sangat killer. Dosennya tidak menerima keterlambatan, walau itu satu menit saja. Mengingat ramainya kota Jakarta, kemungkinan terjebak macet sangatlah besar. “Tolong ya, Bik,” pinta Anya ramah. Wanita dihadapannya merupakan seseorang yang membantu mamanya untuk merawat dirinya sejak kecil. Dia sengaja tetap tinggal bersama suaminya. Mengabdikan dirinya unt
Anya berlari, menyongsong tubuh sang mama. Wanita itu telah menunggunya dengan tangan direntangkan. “Mama!” Panggil Anya, menumpahkan segala kerinduannya. Hanya beberapa hari tak bertemu, rasanya seperti lima abad. Kerinduan kepada sosok sang ibu membuat Anya melupakan kekesalannya. Ia tak lagi ingat pada cekcoknya dengan Kamarudin di mobil. Pria menyebalkan itu benar-benar spesies terkampret di dunia. Mulutnya yang nyinyir melebihi si nenek sihir, mengomentari dirinya yang tidak sengaja mendengkur saat tertidur. Woy, ngorok itu manusiawi ya! Apalagi setelah tidak tidur semalaman. Tubuh manusia juga memiliki batas. Wajar ia mendengkur karena terlalu lelah. Memang dasarnya Kamarudin saja yang suka cari gara-gara. “Anya kangen banget.” Anya bergelendot manja. Sebuah hal yang tidak Kamarudin pernah lihat ketika anak itu berada di kampus. Mahasiswanya itu selalu tampil garang. Hampir tak ada mahasiswa lain berani mengganggu karena kegalakannya. Macam-Macam sedikit, pasti langsung diliba
Plak!!Tanu Handoyo membulatkan matanya ketika sebuah tamparan mendarat pada pipinya. Matanya berkilat marah, tak menyangka mantan istrinya memberikan salam pembuka yang begitu kasar.“Apa yang kamu lakukan, Sasmita?!” Ia baru saja sampai dan hendak menyapa wanita itu. Belum sempat mulutnya yang terbuka mengeluarkan suara, sapaan lain justru menyambutnya. Membuat pipinya terasa kebas.“Seharusnya saya yang bertanya begitu, Mas!” Murka Sasmita, membentak. Kelembutannya tak lagi terlihat saat berhadapan dengan sang mantan suami. Ia kecewa— teramat sangat. Disaat pria itu dapat menugaskan seseorang untuk mengawasinya, mengapa dia tak melakukan hal yang sama untuk putri mereka. Dengan begitu putri mereka tidak akan terperosok pada lubang kesalahan.“Apa yang selama ini Mas lakukan sampai nggak becus jaga anak kita satu-satunya?” “Maksud kamu apa?” tanya Tanu. “Ada apa ini, Anya? Kenapa Mama kamu marah-marah ke Papa?” Pria itu lantas mengalihkan fokusnya, meminta penjelasan kepada sang pu