Udin Anjing!
Kelas Udin Anjing!
Bangun!
Neraka!
Kamarudin mencengkram handle pintu ditangannya. Pria itu baru saja melebarkan daun pintu ketika berpikir Anya mengumpatinya. Suara Anya terdengar sangat keras— membuat dirinya yang sedang menggosok gigi berniat menghampiri sang mahasiswi.
“Dia masih tidur, lalu suara dari mana ini?” gumam Kamarudin mencari sumber suara.
Anya memang mengumpati dirinya, menyebutnya sebagai hewan dan itu disebutkan sebanyak dua kali— tapi bukan gadis itu yang sekarang berteriak.
Ah, wanita maksudnya. Semalam dirinya sudah mengambil kegadisan Anya sampai tak bersisa.
Udin Anjing!
Kamarudin melirik tajam hand bag yang tergeletak di atas sofa kamarnya. Ia merasa dari sanalah umpatan tersebut berasal.
Kaki Kamarudin melangkah, mendekati tas milik Anya. Semakin ia mendekati sofa, suara mahasiswa perempuannya tersebut, semakin terdengar lebih keras.
ANYA NILAI F
“NO!!” Anya berteriak. Alarm ponsel yang dirinya setting dua jam sebelum kelas sudah berbunyi. Ia tidak boleh terlambat di hari pertama kuliah. Kelas ini merupakan kelas ketiga yang dirinya ikuti. Jangan sampai mengulang. Anya bosan melihat dosen yang sama setiap semester ganjilnya.
“Kamu custom alarm dengan umpatan, Anya?”
“Hah? Kok ada suara si Udin Anjing, sih?!” gerutu Anya. Sepertinya ia terlalu membenci pria itu sampai-sampai terbayang-bayang suaranya. Kalau tidak salah ingat, ia juga seperti bertemu dengan sang dosen.
“Duh kepala gue rasanya mau copot.” Erangnya karena efek alkohol semalam. “Eh, badan gue juga. Aduh! Pegel bang… Huwaaa! Udiiin! Ngapain lo di kam..” Anya menghentikan teriakannya ketika memandang daun pintu dibelakang tubuh dosennya.
“Kok kaca? Perasaan pintu kamar mandi gue warnanya pink deh.”
“Itu memang bukan pintu kamar mandi kamu, Anya. Pintu itu milik saya.”
“Aaaaa!!” Anya kembali meneruskan teriakannya. Gadis yang tak lagi gadis itu berdiri. “Wey! Berasa ada yang gelantung… Aaaaakkk!!” lagi dirinya berteriak setelah menyaksikan kedua payudaranya tidak terlapisi kacamata sakti yang disebut dalaman.
Anya mendekap kedua asetnya erat sampai terhimpit, tapi pemandangan selanjutnya membuat mulutnya kembali bersuara sangat keras.
“Aaaaaakkkkkk!!”
Kamarudin sampai menutup kedua telinganya. Teriakan Anya sungguh dahsyat sekali. Mengalahkan pengeras suara yang biasa digunakan untuk demo para mahasiswanya.
“Why gue nggak pakai baju? Bulu itu gue keliatan!”
Kamarudin mengulum bibirnya. Ia ingin tertawa mendengar ucapan Anya. Wanita itu sepertinya belum sepenuhnya sadar. Lihat saja dari tingkah lakunya sekarang. Sempat-Sempatnya dia membahas mengenai bulu kemaluannya. Padahal jelas-jelas tidak hanya inti tubuhnya saja yang terlihat, melainkan seluruhnya.
“by the way, kamu sedang telanjang sekarang, Anya Calista. Coba lihat penampilan kamu dikaca itu,” ucap Kamarudin sembari menunjuk meja rias tempat dimana ia biasa meletakkan skincarenya.
“ANJENG!” kontan saja Anya menyambar selimut di bawah tubuhnya. “Tutup mata lo, Pak! Tutup!”
Kamarudin mengedikan bahunya. “Saya sudah melihat dan menikmatinya semalam,” selorohnya seolah tak ada beban. Pria itu lantas menuju lemari pakaian.
“Tidak usah teriak-teriak, kamu akan membuat seluruh tetangga apartemen saya keluar dari unit mereka.” Pria itu dengan santainya melepaskan handuk yang melilit pinggangnya.
“Bok-Bokong!”
“Kenapa? Mau kamu remas lagi seperti semalam?” tanya Kamarudin lalu mengerlingkan sebelah matanya. Ekspresi Anya sekarang begitu menghibur dirinya. Anya terlihat sangat menggemaskan dengan wajah shocknya.
“Sa-saya ngeremes itu?”
Kepala Kamarudin mengangguk, mengiyakan pertanyaan Anya.
“Nggak mungkin!”
“Coba ingat-ingat. Semalam kita barter loh. Semalam kamu meremas pantat saya dan sebagai gantinya saya meremas…” Kamarudin tak menjabarkan secara rinci. Pria itu memberikan kode melalui lirikan.
“Tete saya?”
“Correct!” pekik Kamarudin menjentikan jarinya.
“God!” Anya mendudukan dirinya. “Jangan bilang semalem kita ena-ena, Pak?”
“What is ena-ena?”
“Making love!” Anya menaut-nautkan telapak tangannya. Membolak-balik tangannya sembari, “ah-ah!” membuat desahan buatan.
“CK! Desahan kamu lebih enak didengar yang semalam, Anya!”
“The Fuck! Gue nggak peduli, Guk!” murka Anya membalas kalimat tak berguna Kamarudin. Ditanya apa, balasnya kemana. Faktor U memang beda.
“Kamu mau kuliah atau izin saja?!”
“Kuliah lah! Ya kali hari pertama gunain kesempatan bolos. Kan pulang pagi.”
“Sejak kapan ada pulang pagi di kelas saya?!” Satu alis Kamarudin naik. “Kalau hanya membacakan RPS, percuma kalian bayar mahal-mahal. Seharusnya kalian protes kalau ada dosen yang seperti itu.”
“Ya terus ngapain Bapak nanya libur apa masuk?!”
“Siapa tahu kamu ingin beristirahat setelah percintaan kita semalam.”
Anya mengepalkan tangan. Asli! Kenapa dirinya harus menghabiskan malam dengan salah satu manusia yang dirinya benci. Ada banyak laki-laki di dunia ini. Mengapa harus melakukannya dengan Udin Anjing.
Tidak! Tidak!
Kepala Anya menggeleng. Bisa saja dirinya diprank sekarang. Sedang musimnya antar manusia melakukan prank.
“Kita nggak beneran making love kan, Pak?”
“Tenang saja. Saya pasti bertanggung jawab.”
“Nggak Usah!” jawab Anya, ngegas. Sampai hiu megalodon bangkit dari kepunahannya, Anya tak akan mau menerima segala bentuk tanggung jawab si dosen anjing.
Never!— lebih baik dirinya jomblo seumur hidup dibanding harus menikah dengan pria yang dibencinya.
“Kenapa? Kamu nggak takut hamil?!”
“Nggak apa-apa hamil di luar nikah. Siapa tahu saya bakalan dicoret dari Kartu Keluarga. Kalau beneran kejadian, nanti Bapak, saya traktir mie ayam grobakan depan kampus.”
Baru kali ini Kamarudin menemukan wanita seperti Anya. Perempuan itu sama sekali tidak takut didepak oleh keluarganya. Alih-Alih takut, Anya malah tampak senang dimatanya ketika membayangkan dirinya diusir.
“Saya tetap akan bertang..”
Ceklek..
Pintu kamar terbuka menampilkan sesosok wanita paruh baya.
“Aaaakk! Kamarudin! Apa yang kamu lakukan dengan anak gadis orang?!”
Kamarudin mengerjapkan matanya berulang kali. Ibunya— Ia tidak salah lihat. Wanita yang berdiri pada ambang pintu itu merupakan sosok yang telah melahirkannya ke dunia. Kanjeng Nyai Ratu Miranti Hasan, si pemilik tatanan surya dan seisi jagat raya.
“Pakai sempak dan pakaian kamu, Kamarudin! Mama tunggu di ruang tamu!” bentak Miranti membuat Kamarudin menyadari ketelanjangannya.
“Shit!”
“Kamu mengumpati Ibu, Kamaru?”
“Bu-Bukan, Bu. Kamaru..”
“Hais, diam!” potong Miranti. “Kamu juga young lady, kenakan pakaian kamu dengan segera!” tunjuk Miranti pada Anya yang terlihat layaknya penonton penonton bayaran yang pasif.
“Loh, kok saya juga, Bu?!” beo Anya.
“Ya karena kamu yang sekarang ada di atas ranjang anak saya!”
Brak!!
Pintu lantas dibanting keras dari luar.
“Anya pakai pakaian kamu. Cepat! Kalau tidak, daun telinga kamu bisa putus dijewer sama Ibu saya.”
“itu Mamanya, Pak Udin?!”
“Iya, Anya!” geram Kamarudin.
“Kok nggak mirip? Bohongan ah! Jangan ngaku-ngaku deh, Pak. Ada pasalnya loh sekarang. Masuk ke penipuan…”
“Saya mirip, Bapak saya! Puas kamu?! Cepatlah! Ibu saya mantan dukun santet online. Mau kamu disantet jadi teripang?!”
“Sumpah, Pak? Masih bisa nyantet nggak? Saya mau pake jasanya buat dikirim ke ibu tiri saya..”
Kamarudin meremas rambutnya. Ia menyandarkan tubuhnya pada lemari untuk membentur-benturkan kepalanya disana. Seluruh tubuhnya melemas. Ia lupa jika Anya adalah mahasiswi yang kerap membuat saraf-saraf dikepalanya hampir putus.
“Seharusnya semalam saya tidak bertemu kamu, Anya!” lirih Kamarudin, tragis. Paginya tidak hanya ramai, tapi juga menjengkelkan.
.
.
“Duduk kalian berdua!” titah Miranti.
Kamarudin sungguh sangat menyesal. Mengapa di usianya yang sebentar lagi menyentuh angka 35, dirinya tetap diperlakukan layaknya anak kecil oleh sang ibu. Ia lupa jika ibunya akan selalu bertandang ke apartemennya untuk mengantarkan sarapan.
‘Semoga Ibu tidak bersama Bapak,’ ucapnya memanjatkan doa di dalam hati. Biasanya wanita itu berkunjung dengan suaminya agar mereka dapat menghabiskan sarapan bersama. Tapi mengingat dirinya tak melihat batang hidung sang bapak, seharusnya dirinya aman.
“Bu, sambalnya sudah Bapak ambilkan.. Ada apa ini?”
‘Gusti Pangeran,’ desah Kamarudin.
“Kenapa ada perempuan di tempat anak kita, Bu?”
“Pak, jangan genggam tangan saya dong! Sakit! Kukunya Bapak nancep ini!” amuk Anya. Ia menggoyang-goyangkan tangannya supaya genggaman mereka terlepas.
“Kamaru! Di depan Bapak dan Ibu, kamu masih berani romantis-romantisan?” tegur Atalarik Hasan—sang bapak. “Dimana etika kamu? Setahu Bapak, Bapak menyekolahkan kamu sampai tingkat strata dua. Apa disana tidak diajarkan sopan santun, Pak Dosen?”
“Maaf, Bapak.” Barulah Kamarudin melepaskan tangannya.
Anya memiringkan tubuhnya, “dih iya lagi, Pak. Bapak mirip sama Papanya. Anjir! 100% saya nggak raguin lagi, Pak.”
“Tutup mulut kamu, Anya. Jangan buat kita berada di tepi jurang,” bisik Kamarudin. Tidak tahukah gadis disampingnya ini jika mereka sedang berada di antara hidup dan mati. Bisa-Bisanya dia membahas hal yang tidak penting.
“Ibu mau tanya.. Kalian sudah bercinta?”
Kamarudin tidak pernah berbohong, terlebih kepada wanita yang bertaruh nyawa untuk melahirkannya. Kepalanya menunduk— memberikan respon yang pastinya diketahui oleh Miranti.
“Hadoh, Kamaru!!” sentak Miranti, geleng-geleng kepala. “Kamu se-depresi itu apa sampai ngelakuin semua ini? Ibu kenal kamu, Nak. Nggak mungkin kamu seperti yang dituduhkan mantan pacar kamu itu! Hanya karena kamu tidak terlihat menginginkan wanita, bukan berarti kamu homo!”
Ya, alasan Kamarudin diselingkuhi dengan kerabat dekatnya sendiri ialah karena tuduhan gay yang dilayangkan Michelin, mantan kekasihnya. Wanita itu berasumsi jika Kamarudin memiliki penyimpangan seksual. Selama tujuh tahun mereka berpacaran, Kamarudin tidak pernah menyentuh Michelin lebih dari sebatas ciuman bibir.
Maraknya pemberitahuan tentang berbeloknya haluan para kaum adam membuat kepercayaan Michelin menghilang. Padahal ia sudah mengatakan jika dirinya akan menyentuh wanita itu nanti setelah mereka menikah.
Tetap saja— Michelin tak menggubrisnya.
“Pak Udin pelangi?” cicit Anya, terkejut dengan informasi yang didengarnya.
“Tidak Anya! Kamu sendiri sudah merasakan keperkasaan saya semalam!” gigi-gigi Kamarudin bergemeletuk. Ia ingin menyeret Anya kembali ke kamar untuk menghukum pikiran jahat wanita itu.
“Kalian harus menikah!”
“Benar itu!” timpal Atalarik. Putranya memang harus bertanggung jawab. “Kamu sudah merusak masa depan seorang gadis, Kamaru! Tunjukan kalau kamu bukan laki-laki tidak berguna!”
“Eh, Eh, Eh!” Anya merentangkan telapak tangannya di depan dada, “saya nggak butuh, Pak, Bu. Saya ini cuman wanita bayaran! Iya! Kupu-Kupu Malam, nah itu sebutannya yang lagi viral sekarang!” bermaksud melindungi diri dan menolak pertanggung jawaban, Anya justru mengundang pekikan super maha dahsyat dari kedua orang tua Kamarudin.
“APAH?!”
Kegagalan Josephin dalam menikahi Jesika secara dadakan akhirnya terbalas. Dikarenakan dirinya yang merupakan kakak Kamasea, ijab qobulnya pun dilaksanakan terlebih dahulu. Tak seperti biasa, Josephin benar-benar tidak mau mengalah pada saudara kembarnya. Untuk pertama kalinya ia bersikap egois, memprioritaskan dirinya di atas kemauan sang adik. “Hi, Wife..” Sapa Josephin dengan senyuman sehangat mentari kala penghulu telah mengesahkan pernikahan mereka. “Hello, Jo..” Pada meja yang bersebelahan dengan prosesi ijab qobul Josephin, Kamasea berseru. “Cih! Abang shut up! Gilirannya Ceya ini!!” Seruannya itu terdengar oleh seluruh tamu undangan mengingat adanya alat pengeras yang terpasang di atas meja ijabnya. “Ya Tuhan.. Punya anak pada ngebet kawin.. Dikira kawin enak kali ya..” gumam Anya, menepuk keningnya. Setelah Michellion yang biang kerok itu ia lepaskan dengan segenap keikhlasan hati, kini tibalah pada momen yang menurut Anya paling berat. Sebagai seorang ibu yang mencintai
Duka mendalam sedang dirasakan oleh Alexiz. Sejak penghulu yang menikahkan putrinya pulang, pria tampan itu terus saja menangis. Kenyataan dimana putrinya telah dipersunting oleh anak sahabatnya semakin terasa nyata.“Tell me! It was a dream, right? Tadi mereka cuman simulasi ijab aja kan?!” Ucap lirih Alexiz yang belum dapat menerima kenyataan.Melepaskan putri kesayangannya ke tangan pria lain merupakan mimpi terburuk Alexiz. Apalagi kepada orang seperti Michellion Hasan yang ia kenal baik kebobrokannya.“Alexiz, wake up! ini nyata! Lexa kita udah nikah, Lex. Dia akhirnya bisa raih cita-citanya..”Alexiz pun terhenyak. ‘Cita-Cita sampah sialan!’ maki pria itu dalam hati.Sejak kapan tepatnya menikah menjadi cita-cita? Putrinya sungguh abnormal. Disaat anak lain mencita-citakan pekerjaan setinggi langit, putrinya yang cantik dan sedikit tidak baik hati justru mengidam-idamkan lelaki bermasa depan suram seperti Michellion.Ngenes.. Ngenes! Mana anak satu-satunya lagi ah!“Stop crying
“Saya terima nikah dan kawinnya, Alexa Sasongko bin..” “Bin.. Bin-tiiii..” Plak! “Argh, Mama!!” erang Michellion kesakitan. “Satu tarikan napas, Ichell!! Satu tarikan!” berang Anya tak mengindahkan protes kesakitan bungsunya. “Serius dong! Jangan salah-salah mulu! Sekali salah lagi, nggak bisa kawin selamanya kamu!” timpal Anya, menakut-nakuti Michellion. Putranya sudah dua kali mengacaukan ijab qobulnya. Anya kan gemas jadinya. Kalau memang tidak niat menikah, anak itu seharusnya bersikap gentle, berani mengakui ketidaksiapannya di depan Alexa dan keluarganya. Memang dasar Michellion! Otaknya hanya berkembang jika menyangkut uang, selebihnya mah nol besar. Michellion yang ragu dengan pernyataan Anya pun bertanya, “masa sih, Mah? Masa gitu doang Ichell terus harus jadi jomblo seumur hidup?” “Dih, nggak percaya-an! Auto blacklist kamu tuh. Iya kan Pak Penghulu?” “Ng..” Melihat pelototan maut Anya, penghulu yang tadinya hendak menyangkal pun merubah jawabannya. “Iya, Mas! Mas h
“Gundulmu!” Sembur Alexiz, ngegas.Calon menantunya memang minta ditendang sampai ke Afrika. Ya mengapatidak– disaat suasana sedang panas-panasnya, anak itu tetap bisa mengelantur.Padahal ia sedang panas dingin karena mendeteksi adanya sinyal permusuhan dariorang-orang rumahnya.Anya menjentikan jari. “Woi! Jadinya gimana? Kaki gue pegel nih berdiri mulu!” tanya perempuan itu tak santai.“...”“Mah, Mah!!” sela Josephin karena omnya tak kunjung menanggapi pertanyaan sang mama. “Nikahin sekarang aja sekalian, Mah. Itung-itung jagain Om Lexiz kalau berubah pikiran lagi ntarnya..”“What?!”Siapa sangka jika usul Josephin itu mengagetkan dua pria disana.Iya, kalian tidak salah jika menebak pekikan tersebut berasal dari mulut Michellion dan calon papa mertuanya.Kali ini keduanya terlihat sangat kompak. Karena kekompakan yang jarang terlihat itu, keduanya bahkan sampai bertatapan mesra.Respon kaget yang mengisyaratkan ketidaksetujuan itu berbanding terbalik dengan Alexa.Alexa yang te
‘Anjing lah! Perasaan gue jadi anak udah sholeh, kenapa ada aja sih ujiannya!’Ditengah umpatan yang Michellion pendam, bibir anak itu berkedut dikarenakan senyuman yang terpaksa harus dirinya hadirkan.“Kamu, bla-bla-bla..”Dengan wajah datarnya— bungsu kamarudin itu berpura-pura fokus mendengarkan. Setiap kali nada papa Alexa berubah, ia menganggukkan kepala. Padahal ia sendiri tidak menyimak serius kalimat-kalimat yang dikeluarkan oleh omnya.“Gara-gara kamu masa depan Lexa jadi kacau gini! Kalau sampai kamu nanti nggak bisa bahagiain Lexa... Siap-siap aja ya kamu.. Om bakal kirim kamu ke neraka jahanam!”“Heum..” gumam Michellion lemah sebagai jawaban.“Jalur express!!”“Via darat apa laut, Om?” celetuk Michellion. Ia paling tidak betah jika harus terus dalam mode serius. Menjadi orang serius bukanlah bakatnya. Melakukan itu hanya membuatnya lelah jiwa dan raga.“What the..”“Uhuk!! Banyak anak dibawah umur disini, Lex!” tegur Kalingga. Setelah tak bisa menghadiri acara lamaran ke
Pada hari berikutnya, kediaman Anya kembali ramai. Kali ini lamaran datang dari pihak orang kepercayaan Kamarudin.“Apaan nih, Man? Pake repot-repot segala.”“Sogokan biar lamarannya nanti diterima, Bu.” Kekeh Lukman dengan tawa renyah di akhir kalimatnya.“Aigo! Mana ada Kenan ditolak.. Bawa diri aja udah pasti diterima lamarannya.” Sahut Anya, membalas.Anya tak mungkin mempersulit masuknya Kenan ke dalam keluarga besar mereka. Selain dikarenakan putrinya yang terlanjur cinta mati, Kenan sendiri sudah dirinya incar sejak keduanya baru mendekatkan diri.Andaikan Kamarudin tidak bertindak sebagai ayah yang terlewat posesif kepada putrinya, pembicaraan tentang pernikahan Kamaseda dan Kenan pasti sudah lama terealisasikan.“Masuk, yuk.. Kita kirain nggak jadi kesini.. Abisnya lama banget nggak nyampe-nyampe kaliannya.” Ujar Kamarudin, mempersilahkan.“Iya, nih!! Ceya sampe udah mau banjir air mata itu..” pungkas Anya, menimpali perkataan Kamarudin.Kenan pun meminta maaf karena telah me
Sudah diputuskan!! Demi menghargai silsilah persaudaraan diantara anak-anaknya, Kamarudin dan Anya pun akhirnya menentukan hari yang berbeda untuk prosesi lamaran ketiganya. Ya, hanya 3 karena Josephin tidak dihitung.. Menjelang hari lamarannya, Josephin untuk sementara waktu diungsikan ke rumah orang tua Anya. Anak itu akan mengetuk pintu rumah mereka dengan didampingi opa dan kedua omanya. Terdengar rempong kan?! Namun bagi Anya, alur seperti itu, hukumnya wajib untuk dijalankan. Anya tidak ingin melepas putri pertamanya dengan asal-asalan. Ia ingin putrinya dilepaskan dengan alur yang semestinya, seperti para anak perempuan milik orang lain. Untuk itu, Josephin pun harus melakukannya sesuai prosedur, dengan bertindak seolah-olah dia merupakan pihak luar yang hendak meminang putri dari keluarganya. Yah, salah sendiri ngebet nikahnya sama dengan angota keluarga sendiri. Coba saja anak itu memilih gadis lain, pendampingan pada lamarannya pasti akan ditemani Anya dan Kamarudin se
“Ya Tuhan,” desah Kamarudin.Pria itu meletakkan ponselnya ke atas meja kerja.“Sialan lo, Lex!”Beberapa detik yang lalu Kamarudin baru saja mendapatkan laporan. Ia akhirnya mengetahui jika sahabat baiknya lah yang menjadi dalang dari meledaknya tagihan putra bungsunya.Sungguh sahabat yang baik. Pria itu sangat tahu cara untuk membalaskan dendamnya. Dengan begini, ia jadi tak bisa berkutik, termasuk memarahi putranya agar Michellion dapat belajar artinya bertanggung jawab dalam menggunakan uang.Yah, mereka juga tak mungkin mengambil kembali barang-barang yang telah diberikan. Hal itu sangat tidak etis. Sebesar apa pun mereka merugi, apa yang mereka hadiahkan jelas sudah menjadi hak si penerima, terlepas dari seberapa liciknya Alexiz dalam memanfaatkan momentum lamaran putrinya.“Man, buat lamaran Ceya nanti, kalian udah nyiapin apa?” tanya Kamarudin, mengangkat kepalanya dan memandang Lukman yang saat ini tengah membaca berkas di meja tamu ruangan kerjanya.“Standar saja sih, Pak..
Michellion berjalan mengendap setelah melewati pintu utama rumahnya.Kepalanya celingukan, memastikan jika dirinya aman, tak berpapasan dengan sang mama.Gila, Gila!Seharian berkeliling mencari hadiah benar-benar membuatnya ingin mati berdiri.Ia tidak tahu pasti berapa uang yang telah dirinya gelontorkan, tapi mengingat banyaknya perhiasan dan hal-hal lain yang calon papa mertuanya beli, sudah dipastikan ia akan tinggal nama ditangan mamanya.“Chell..”“Ssst, Kak, jangan kenceng-kenceng!” hardik Michellion, pelan. Ia kan tengah menghindari pertemuan dengan mamanya. Kalau sampai mamanya tahu ia sudah pulang, habis sudah telinga dan kewarasannya.Di Balik tembok yang memisahkan ruang tamu dengan keluarga, Michellion melambaikan tangan, mengundang sang kakak untuk mendekat ke arahnya.“Apaan sih? Kamu yang kesini lah!”Mendengar jawaban kakaknya, Michellion pun menghentakkan kaki-kakinya.“Cepetan ih!!” pinta Michellion, setengah mengerang.Rumahnya mungkin terlihat sepi, tapi dibalik