Share

[4] Shitty Morning Ever!

Udin Anjing!

Kelas Udin Anjing!

Bangun!

Neraka!

Kamarudin mencengkram handle pintu ditangannya. Pria itu baru saja melebarkan daun pintu ketika berpikir Anya mengumpatinya. Suara Anya terdengar sangat keras— membuat dirinya yang sedang menggosok gigi berniat menghampiri sang mahasiswi.

“Dia masih tidur, lalu suara dari mana ini?” gumam Kamarudin mencari sumber suara.

Anya memang mengumpati dirinya, menyebutnya sebagai hewan dan itu disebutkan sebanyak dua kali— tapi bukan gadis itu yang sekarang berteriak.

Ah, wanita maksudnya. Semalam dirinya sudah mengambil kegadisan Anya sampai tak bersisa.

Udin Anjing!

Kamarudin melirik tajam hand bag yang tergeletak di atas sofa kamarnya. Ia merasa dari sanalah umpatan tersebut berasal.

 Kaki Kamarudin melangkah, mendekati tas milik Anya. Semakin ia mendekati sofa, suara mahasiswa perempuannya tersebut, semakin terdengar lebih keras.

ANYA NILAI F

NO!!” Anya berteriak. Alarm ponsel yang dirinya setting dua jam sebelum kelas sudah berbunyi. Ia tidak boleh terlambat di hari pertama kuliah. Kelas ini merupakan kelas ketiga yang dirinya ikuti. Jangan sampai mengulang. Anya bosan melihat dosen yang sama setiap semester ganjilnya.

“Kamu custom alarm dengan umpatan, Anya?”

“Hah? Kok ada suara si Udin Anjing, sih?!” gerutu Anya. Sepertinya ia terlalu membenci pria itu sampai-sampai terbayang-bayang suaranya. Kalau tidak salah ingat, ia juga seperti bertemu dengan sang dosen.

“Duh kepala gue rasanya mau copot.” Erangnya karena efek alkohol semalam. “Eh, badan gue juga. Aduh! Pegel bang… Huwaaa! Udiiin! Ngapain lo di kam..” Anya menghentikan teriakannya ketika memandang daun pintu dibelakang tubuh dosennya.

“Kok kaca? Perasaan pintu kamar mandi gue warnanya pink deh.”

“Itu memang bukan pintu kamar mandi kamu, Anya. Pintu itu milik saya.”

“Aaaaa!!” Anya kembali meneruskan teriakannya. Gadis yang tak lagi gadis itu berdiri. “Wey! Berasa ada yang gelantung… Aaaaakkk!!” lagi dirinya berteriak setelah menyaksikan kedua payudaranya tidak terlapisi kacamata sakti yang disebut dalaman.

Anya mendekap kedua asetnya erat sampai terhimpit, tapi pemandangan selanjutnya membuat mulutnya kembali bersuara sangat keras.

“Aaaaaakkkkkk!!”

Kamarudin sampai menutup kedua telinganya. Teriakan Anya sungguh dahsyat sekali. Mengalahkan pengeras suara yang biasa digunakan untuk demo para mahasiswanya.

Why gue nggak pakai baju? Bulu itu gue keliatan!”

Kamarudin mengulum bibirnya. Ia ingin tertawa mendengar ucapan Anya. Wanita itu sepertinya belum sepenuhnya sadar. Lihat saja dari tingkah lakunya sekarang. Sempat-Sempatnya dia membahas mengenai bulu kemaluannya. Padahal jelas-jelas tidak hanya inti tubuhnya saja yang terlihat, melainkan seluruhnya.

by the way, kamu sedang telanjang sekarang, Anya Calista. Coba lihat penampilan kamu dikaca itu,” ucap Kamarudin sembari menunjuk meja rias tempat dimana ia biasa meletakkan skincarenya.

“ANJENG!” kontan saja Anya menyambar selimut di bawah tubuhnya. “Tutup mata lo, Pak! Tutup!”

Kamarudin mengedikan bahunya. “Saya sudah melihat dan menikmatinya semalam,” selorohnya seolah tak ada beban. Pria itu lantas menuju lemari pakaian.

“Tidak usah teriak-teriak, kamu akan membuat seluruh tetangga apartemen saya keluar dari unit mereka.” Pria itu dengan santainya melepaskan handuk yang melilit pinggangnya.

“Bok-Bokong!”

“Kenapa? Mau kamu remas lagi seperti semalam?” tanya Kamarudin lalu mengerlingkan sebelah matanya. Ekspresi Anya sekarang begitu menghibur dirinya. Anya terlihat sangat menggemaskan dengan wajah shocknya.

“Sa-saya ngeremes itu?”

Kepala Kamarudin mengangguk, mengiyakan pertanyaan Anya.

“Nggak mungkin!”

“Coba ingat-ingat. Semalam kita barter loh. Semalam kamu meremas pantat saya dan sebagai gantinya saya meremas…” Kamarudin tak menjabarkan secara rinci. Pria itu memberikan kode melalui lirikan.

Tete saya?”

Correct!” pekik Kamarudin menjentikan jarinya.

God!” Anya mendudukan dirinya. “Jangan bilang semalem kita ena-ena, Pak?”

What is ena-ena?

Making love!” Anya menaut-nautkan telapak tangannya. Membolak-balik tangannya sembari, “ah-ah!” membuat desahan buatan.

CK! Desahan kamu lebih enak didengar yang semalam, Anya!”

“The Fuck! Gue nggak peduli, Guk!” murka Anya membalas kalimat tak berguna Kamarudin. Ditanya apa, balasnya kemana. Faktor U memang beda.

“Kamu mau kuliah atau izin saja?!”

“Kuliah lah! Ya kali hari pertama gunain kesempatan bolos. Kan pulang pagi.”

“Sejak kapan ada pulang pagi di kelas saya?!” Satu alis Kamarudin naik. “Kalau hanya membacakan RPS, percuma kalian bayar mahal-mahal. Seharusnya kalian protes kalau ada dosen yang seperti itu.”

“Ya terus ngapain Bapak nanya libur apa masuk?!”

“Siapa tahu kamu ingin beristirahat setelah percintaan kita semalam.”

Anya mengepalkan tangan. Asli! Kenapa dirinya harus menghabiskan malam dengan salah satu manusia yang dirinya benci. Ada banyak laki-laki di dunia ini. Mengapa harus melakukannya dengan Udin Anjing.

Tidak! Tidak!

Kepala Anya menggeleng. Bisa saja dirinya diprank sekarang. Sedang musimnya antar manusia melakukan prank.

“Kita nggak beneran making love kan, Pak?”

“Tenang saja. Saya pasti bertanggung jawab.”

“Nggak Usah!” jawab Anya, ngegas. Sampai hiu megalodon bangkit dari kepunahannya, Anya tak akan mau menerima segala bentuk tanggung jawab si dosen anjing.

Never!— lebih baik dirinya jomblo seumur hidup dibanding harus menikah dengan pria yang dibencinya.

“Kenapa? Kamu nggak takut hamil?!”

“Nggak apa-apa hamil di luar nikah. Siapa tahu saya bakalan dicoret dari Kartu Keluarga. Kalau beneran kejadian, nanti Bapak, saya traktir mie ayam grobakan depan kampus.”

Baru kali ini Kamarudin menemukan wanita seperti Anya. Perempuan itu sama sekali tidak takut didepak oleh keluarganya. Alih-Alih takut, Anya malah tampak senang dimatanya ketika membayangkan dirinya diusir.

“Saya tetap akan bertang..”

Ceklek..

Pintu kamar terbuka menampilkan sesosok wanita paruh baya.

“Aaaakk! Kamarudin! Apa yang kamu lakukan dengan anak gadis orang?!”

Kamarudin mengerjapkan matanya berulang kali. Ibunya— Ia tidak salah lihat. Wanita yang berdiri pada ambang pintu itu merupakan sosok yang telah melahirkannya ke dunia. Kanjeng Nyai Ratu Miranti Hasan, si pemilik tatanan surya dan seisi jagat raya.

“Pakai sempak dan pakaian kamu, Kamarudin! Mama tunggu di ruang tamu!” bentak Miranti membuat Kamarudin menyadari ketelanjangannya.

Shit!

“Kamu mengumpati Ibu, Kamaru?”

“Bu-Bukan, Bu. Kamaru..”

 “Hais, diam!” potong Miranti. “Kamu juga young lady, kenakan pakaian kamu dengan segera!” tunjuk Miranti pada Anya yang terlihat layaknya penonton penonton bayaran yang pasif.

“Loh, kok saya juga, Bu?!” beo Anya.

“Ya karena kamu yang sekarang ada di atas ranjang anak saya!”

Brak!!

Pintu lantas dibanting keras dari luar.

“Anya pakai pakaian kamu. Cepat! Kalau tidak, daun telinga kamu bisa putus dijewer sama Ibu saya.”

“itu Mamanya, Pak Udin?!”

“Iya, Anya!” geram Kamarudin.

“Kok nggak mirip? Bohongan ah! Jangan ngaku-ngaku deh, Pak. Ada pasalnya loh sekarang. Masuk ke penipuan…”

“Saya mirip, Bapak saya! Puas kamu?! Cepatlah! Ibu saya mantan dukun santet online. Mau kamu disantet jadi teripang?!”

“Sumpah, Pak? Masih bisa nyantet nggak? Saya mau pake jasanya buat dikirim ke ibu tiri saya..”

Kamarudin meremas rambutnya. Ia menyandarkan tubuhnya pada lemari untuk membentur-benturkan kepalanya disana. Seluruh tubuhnya melemas. Ia lupa jika Anya adalah mahasiswi yang kerap membuat saraf-saraf dikepalanya hampir putus.

“Seharusnya semalam saya tidak bertemu kamu, Anya!” lirih Kamarudin, tragis. Paginya tidak hanya ramai, tapi juga menjengkelkan.

.

.

“Duduk kalian berdua!” titah Miranti.

Kamarudin sungguh sangat menyesal. Mengapa di usianya yang sebentar lagi menyentuh angka 35, dirinya tetap diperlakukan layaknya anak kecil oleh sang ibu. Ia lupa jika ibunya akan selalu bertandang ke apartemennya untuk mengantarkan sarapan.

‘Semoga Ibu tidak bersama Bapak,’ ucapnya memanjatkan doa di dalam hati. Biasanya wanita itu berkunjung dengan suaminya agar mereka dapat menghabiskan sarapan bersama. Tapi mengingat dirinya tak melihat batang hidung sang bapak, seharusnya dirinya aman.

“Bu, sambalnya sudah Bapak ambilkan.. Ada apa ini?”

‘Gusti Pangeran,’ desah Kamarudin. 

“Kenapa ada perempuan di tempat anak kita, Bu?”

“Pak, jangan genggam tangan saya dong! Sakit! Kukunya Bapak nancep ini!” amuk Anya. Ia menggoyang-goyangkan tangannya supaya genggaman mereka terlepas.

“Kamaru! Di depan Bapak dan Ibu, kamu masih berani romantis-romantisan?” tegur Atalarik Hasan—sang bapak. “Dimana etika kamu? Setahu Bapak, Bapak menyekolahkan kamu sampai tingkat strata dua. Apa disana tidak diajarkan sopan santun, Pak Dosen?”

“Maaf, Bapak.” Barulah Kamarudin melepaskan tangannya.

Anya memiringkan tubuhnya, “dih iya lagi, Pak. Bapak mirip sama Papanya. Anjir! 100% saya nggak raguin lagi, Pak.”

“Tutup mulut kamu, Anya. Jangan buat kita berada di tepi jurang,” bisik Kamarudin. Tidak tahukah gadis disampingnya ini jika mereka sedang berada di antara hidup dan mati. Bisa-Bisanya dia membahas hal yang tidak penting.

“Ibu mau tanya.. Kalian sudah bercinta?”

Kamarudin tidak pernah berbohong, terlebih kepada wanita yang bertaruh nyawa untuk melahirkannya. Kepalanya menunduk— memberikan respon yang pastinya diketahui oleh Miranti.

Hadoh, Kamaru!!” sentak Miranti, geleng-geleng kepala. “Kamu se-depresi itu apa sampai ngelakuin semua ini? Ibu kenal kamu, Nak. Nggak mungkin kamu seperti yang dituduhkan mantan pacar kamu itu! Hanya karena kamu tidak terlihat menginginkan wanita, bukan berarti kamu homo!”

Ya, alasan Kamarudin diselingkuhi dengan kerabat dekatnya sendiri ialah karena tuduhan gay yang dilayangkan Michelin, mantan kekasihnya. Wanita itu berasumsi jika Kamarudin memiliki penyimpangan seksual. Selama tujuh tahun mereka berpacaran, Kamarudin tidak pernah menyentuh Michelin lebih dari sebatas ciuman bibir.

Maraknya pemberitahuan tentang berbeloknya haluan para kaum adam membuat kepercayaan Michelin menghilang. Padahal ia sudah mengatakan jika dirinya akan menyentuh wanita itu nanti setelah mereka menikah.

Tetap saja— Michelin tak menggubrisnya.

“Pak Udin pelangi?” cicit Anya, terkejut dengan informasi yang didengarnya.

“Tidak Anya! Kamu sendiri sudah merasakan keperkasaan saya semalam!” gigi-gigi Kamarudin bergemeletuk. Ia ingin menyeret Anya kembali ke kamar untuk menghukum pikiran jahat wanita itu.

“Kalian harus menikah!”

“Benar itu!” timpal Atalarik. Putranya memang harus bertanggung jawab. “Kamu sudah merusak masa depan seorang gadis, Kamaru! Tunjukan kalau kamu bukan laki-laki tidak berguna!”

“Eh, Eh, Eh!” Anya merentangkan telapak tangannya di depan dada, “saya nggak butuh, Pak, Bu. Saya ini cuman wanita bayaran! Iya! Kupu-Kupu Malam, nah itu sebutannya yang lagi viral sekarang!” bermaksud melindungi diri dan menolak pertanggung jawaban, Anya justru mengundang pekikan super maha dahsyat dari kedua orang tua Kamarudin.

“APAH?!” 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Carla
anya emang di luar nalar
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status