Sejak tadi, Melisa tidak bisa tertidur. Ia terus mengubah posisi berbaringnya agar bisa terlelap, tapi tetap saja tidak bisa. Entah apa alasan pastinya, tapi mungkin salah satunya karena ada Azham di sampingnya yang tidur dengan pulas.
Untuk pertama kalinya, Melisa tertidur di ranjang yang sama dengan lawan jenisnya. Membuat dirinya merasa canggung. Meskipun, Azham tidak meminta yang macam-macam, dan langsung tidur begitu saja di samping Melisa setelah makan malam.
Namun tetap saja, Melisa merasa canggung dan gelisah. Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya tidur bersama laki-laki. Untuk kesekian kalinya, Melisa mengubah posisi tidurnya yang tadinya tertidur miring sekarang telentang menghadap langit-langit kamar.
"Berhenti bergerak, Melisa. Kamu membuatku tidak bisa tidur kalau terus saja bergerak tidak bisa diam," ujar Azham tiba-tiba membuat Melisa terkejut.
Ia melirik ke samping melihat Azham yang juga sedang menatapnya. Netra mereka berdua saling beradu satu sama lain. Membuat jantung keduanya berdebar kencang. Ternyata, bukan hanya Melisa saja merasa canggung, tapi juga Azham. Hanya saja, Azham pandai untuk bersikap biasa-biasa saja, dan tidak ketahuan kalau ia pun merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan Melisa.
"Bukan cuman kamu saja yang merasa canggung tidur berdua begini," ucap Azham setelah beberapa saat terdiam.
Azham berdehem beberapa kali untuk mengurangi groginya. Lalu berkata, "Karena... Saya juga." Azham memutuskan pandangannya ke arah lain.
Melisa pun, melakukan hal yang sama. Melisa memalingkan wajahnya ke arah samping. Melisa menghembuskan nafasnya kasar, ternyata dia tidak sendirian merasakan kecanggungan di malam sunyi seperti ini, tapi Azham juga.
"Maaf," lirih Melisa. "Masalahnya... Saya cukup gugup," ungkap gadis itu.
Azham melirik Melisa memperhatikan wajah Melisa dari samping, tanpa ia sadari, ia memuji wajah cantik milik Melisa. Azham cepat-cepat memalingkan wajahnya saat melihat Melisa menggerakkan kepalanya menoleh ke arahnya.
Melisa mengernyitkan kening saat Azham tidak meresponsnya dan hanya diam, malah hanya menatapnya tanpa berkedip. Melisa bisa tahu itu karena ia melihat dari ujung matanya. Debaran di dalam dadanya semakin kencang saat menyadari itu.
"Kenapa menatapku seperti itu, Pak?" tanya Melisa.
Azham terkaget mendengar Melisa tahu kalau ia menatapnya tadi, ia semakin merasa canggung dan malu kedapatan oleh Melisa. Azham merutuki dirinya yang sangat bodoh karena harus terpesona akan kecantikan alami yang dipancarkan oleh Melisa.
"He'em... Siapa yang menatapmu? Jangan ke ge-eran kamu," kilah Azham.
"Really?" tanya Melisa tidak percaya.
Azham mendengus sebal. "Memang untuk apa saya menatapmu? Bikin sakit mata saja," ejek Azham membuat Melisa mendelik.
"Bikin sakit mata, tapi tetap ditatap sampai nggak bisa kedip gitu," ledek Melisa membuat Azham menghela nafas kasar.
Ia tidak memedulikan Melisa, ia menarik selimut dan mengubah posisi tidurnya membelakangi Melisa. Melisa tersenyum puas sudah menggoda Azham, setidaknya rasa gugupnya sedikit berkurang.
"Yakin, Pak. Nggak mau natap lagi, nih?" goda Melisa lagi.
"Nggak!" ketus Azham membuat Melisa terkekeh.
Melisa kemudian kembali mengubah posisinya dengan posisi yang sama dengan suaminya. Membelakangi Azham sembari menarik selimut menutupi setengah tubuhnya sebatas dada. Kemudian mencoba untuk tertidur. Dan akhirnya, ia pun bisa tidur dengan nyenyak.
Sudah tak perlu berekspekfasi tinggi. Memang apa yang akan diharapkan oleh dua orang yang terikat dalam perjodohan? Malam pertama yang manis? Penuh gairah? Tentu tidak ada. Semuanya masih merasa kaku, dan mungkin masing-masing di antara mereka sedang menyesuaikan diri.
***
Melisa terbangun saat mendengar suara Azdan subuh di mesjid berkumandang. Ia mengusap wajahnya kembur untuk menghilangkan rasa kantuk, akibat tidak bisa tertidur semalam. Semua itu dikarenakan Azham.
Melisa bergerak pelan menyingkap selimut dan bergerak turun dari ranjang, agar tidak membangunkan Azham yang tertidur pulas di sampingnya. Akan tetapi, pergerakan kasur di samping Azham membuat pria itu ikut terbangun.
Melisa berhenti bergerak saat melihat mata Azham perlahan terbuka. Melisa menutup mulutnya merasa bersalah karena tidak sengaja membangunkan Azham yang sekarang sedang menatapnya dengan tatapan sayu karna kantuk.
“Maaf membangunkan, Bapak.” Azham mengusap wajahnya kasar. “Tadi, saya hanya ingin bangun salat. Bapak lanjut tidur saja. Sekali lagi maaf,” ujar Melisa merasa tidak enak.
Azham terdiam mendengar Melisa yang ingin salat subuh. Azham teringat bahwa dirinya sudah lama meninggalkan salat lima waktu, dan sudah hampir tidak punya waktu untuk melaksanakannya.
Apa salah kalau aku ikut salat dengan gadis ini? batin Azham.
Melisa mengernyitkan keningnya melihat Azham terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. Melisa semakin merasa tidak enak. Ia berpikir, Azham marah karena tidurnya diganggu olehnya.
“Pak,” panggil Melisa pelan. “Bapak marah?” tanya Melisa hati-hati.
Azha tersadar dan melirik Melisa. Ia lalu menatap Melisa cukup lama. Hal itu tentu membuat Melisa khawatir.
“Pak?” tanya Melisa kembali. Tak lama, Azha pun menggeleng, lalu menyahut singkat, “Tidak.” Gadis itu seketika bernafas lega karenanya. Padahal, sedari tadi jantung Melisa sudah berdegup kencang karena takut.“Ouh.. kirain,” kata Melisa lega. “Kalau begitu, Bapak tidur lagi saja. Saya mau salat dulu,” kata Melisa pada Azham sembari bergerak turun melanjutkan niatnya salat lima subuh.“Melisa,” panggil Azham.Baru juga Melisa turun, Azham sudah memanggilnya menghentikan gerak Melisa. Melisa menatap kaget pada Azham yang memanggilnya tiba-tiba.“Ada apa, Pak?” tanya Melisa bingung.Azham bangkut dari berbaringnya dan memilih posisi duduk di atas ranjang menghadap Melisa yang menatapnya dengan alis terangkat sebelah menunggu apa yang akan dikatakan Azham padanya.Azham merasa malu dan gugup untuk mengatakan pada Melisa kalau ia ingin ikut Salat dengan gadis itu, apalagi mengatakan kalau dirinya ingin menjadi imam Melisa.“Kenapa diam, Pak?” tanya Melisa lagi saat lama menunggu Azham b
“Jadi, apa Ma?” potong Azham.“Ish, Mama sama Papa mau kamu datang ke rumah. Jangan lupa ajak Melisa. Entar malam,” kata Raina memberitahu.Azham menghela nafas kasar. “Tapi Ma. Az—““Nggak ada alasan, Zham. Mama tunggu nanti malam ya. Ya sudah Mama tutup dulu,” kata Raina mematikan sambungan telfon sepihak.Azham yang baru saja membuka mulutnya ingin menyela, tapi belum selesai Mamanya sudah mematikan sambungan telfonnya. Azham mengusap wajahnya kasar sembari melempar ponselnya ke atas ranjang.“Mama memang menyebalkan.”***Melisa baru saja selesai mandi, ia membuka pintu kamar mandi hendak keluar dan berhias tipis di meja rias yang ada di dalam kamarnya. Melisa melirik ke arah Azham yang duduk di tepi ranjang sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya.Melisa mengernyitkan kening heran. “Ada apa, Pak?” tanya Melisa. “Bapak sakit kepala?” Azham yang tidak menyadari kehadiran Melisa sontak terkejut.“Kamu mengagetkan saja, Melisa.,” protes Azham sebal. Melisa hanya nyengir kuda
“Lupakan saja! Sepertinya, saya sudah telat.” Kegugupan jelas tercetak di raut wajah Azham.Azham menggaruk ceruk lehernya yang bisa dipastikan tidak gatal sama sekali. Wajahnya memanas menahan malu.Melisa menatap Azham dengan mata yang mengerjap lucu. Jujur saja, Azham sangat gemas dengan tatapan itu. Namun karena sangat malu, ia pun pergi begitu saja.Melisa masih terdiam, belum bisa mengontrol kondisi saat ini. Benarkah, Azham mengatakan itu barusan? Ah, entahlah, Melisa tidak ingin memikirkan itu.Melisa bangkit dan membereskan meja makan, serta mengutip piring bekas makannya dan Azham.Melisa baru saja ingin mengunci pintu untuk berangkat ke kampus, tetapi geraknya terhenti kala dering di ponselnya.Melisa lantas merogoh tas dan memeriksa siapa yang sedang menghubunginya. Nama ibunya yang tertera di layar ponselnya. Melisa mendesah, tapi tetap mengangkatnya.“Ada apa, Bu?” tanya Melisa saat sambungan telepon tersambung.“Ck, sekalinya sudah menikah. Ibunya dilupakan,” ujar Fitri
“Jadi, bagaimana Pak. Anda setuju dengan kontrak kerja sama kita?” tanya Azham pada kliennya. “Tidak ada alasan untuk menolak, Pak Azham,” ujar pria paruh baya yang menjadi patner kerja sama Azham kali ini. Pria itu tersenyum, tapi seperti biasa Azham hanya akan membalasnya dengan anggukan pelan tanpa adanya senyum ramah di sudut bibirnya. Memang apa yang akan kalian harapkan dengan seorang Azham si gunung salju itu? Senyum ramah? Atau sapaan yang ramah serta kata yang hangat? Ah, sudahlah! Jangan terlalu berharap. Zera sebagai sekretaris yang mendampingi Azham meeting hanya menghela nafas kasar. “Baik kalau begitu. Itu artinya kita deal Tuan Deon?” tanya Azham. Pria paruh baya yang bernama Deon itu mengangguk seraya mengulas senyum manis sekali lagi. “Deal, Pak Azham.” Pria paruh baya itu berdiri dan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan tanda mereka sudah sepakat. Spontan Azham ikut berdiri dan menyambut jabat tangan dari kliennya. Deon sepertinya senang sekali mendapat kese
Zera masih diam dan manik matanya sudah dipenuhi bulir bening yang sekali saja Zera berkedip. Bulir bening itu akan jatuh membasahi pipinya.“Dengarkan aku, Zer. Kamu harus tahu ini. Kenapa aku memilih menjadikanmu sebagai sahabatku selamanya. Karena, aku tidak mau menjadikan hubungan yang sudah lama kita jalani hancur hanya karena cinta yang mungkin tidak akan pernah abadi,” lanjut Azham. “Tidak ada yang tahu, Zer. Perasaan cinta kita akan abadi sampai kapan? Jadi, tolong terima keputusanku ini. Tetaplah menjadi Zera sahabatku yang aku sayangi dan jangan berubah hanya soal cintamu yang tak terbalas. Sebab, hubungan persahabatan lebih murni dibanding kau harus memaksa cinta tumbuh di hati yang memang bukan untukmu,” sambung Azham panjang lebar.“Aku akan tetap berada di sampingmu kapan dan di mana kau mau. Bahkan, dalam keadaan apa pun. Aku janji,” tambah Zera. Zera mengangguk mengiyakan. Meski sakit tapi Zera tidak dapat berbuat apa-apa. Ini keputusan Azham, dan dia tidak bisa mema
Selama perjalanan, Azham dan Melisa sama-sama terdiam dengan pikiran mereka masing-masing. Azham dengan kemudinya dan segala hal yang terjadi di kantor tadi memenuhi isi kepalanya. Sementara, Melisa menatap keluar jendela dengan pikirannya yang kesal dengan Azham. Mereka hanya dengan pemikiran mereka. “Ini ... Kita mau ke mana?” tanya Melisa saat tahu jalan yang ditempuh Azham bukan jalan ke rumah mereka. “Ck, tadi pagi saya sudah bilang, bukan!? Kita akan ke rumah Mama. Mama meminta kita ke sana,” jelas Azham tanpa menoleh ke arah Melisa. Melisa hanya mangut-mangut seolah mengerti. Azham yang melihatnya mendengus sebal. “Kenapa memangnya?” “Ke rumah Mama, untuk apa?” “Kau bisa tanyakan itu nanti, pada mertuamu. Setelah sampia,” ucap Azham ketus. Melisa mendecak. Lalu mereka kembali terdiam. Azham kembali memikirkan perihal Zera yang sekarang sudah berani mengungkap perihal perasannya secara terang-terangan. Azham tidak menyangka Zera akan melakukan itu. Juga, Azham tidak tahu
“Pak Azham?” tanya Riana dengan kening mengerut sementara Melisa menjawabnya dengan anggukan. “Why? Kenapa kamu masih memanggilnya, Pak Azham? Kalian, ‘kan sudah suami istri!?” Melisa menjadi kikuk untuk menjawab pertanyaan Riana. Melisa tidak tahu harus menjawab apa. Karena ia juga tidak tahu harus memanggil Azham dengan sebutan apa? Sedangkan kebiasaan Melisa hanya memanggil Pak saja. “Melisa,” ujar Riana seraya menyentuh tangan Melisa lembut. “Azham suamimu saat di rumah. Kalau di kampus mungkin sah, sah saja kau memanggilnya dengan sebutan begitu. Tetapi, apa kamu tidak akan mengganti panggilanmu dengannya saat berdua saja di rumah? Seperti Ma-s mungkin. Atau sayang,” usul Riana membuat Melisa mendengus dalam hati. Usulan pertama mungkin masih bisa diterima Melisa. Usulan kedua. Melisa ingin muntah. Tidak mungkin Melisa akan memanggilnya dengan sebutan itu. Terlalu canggung dan aneh menurut Melisa. “Hehe... Iya, Ma. Masalahnya, Melisa kebiasaan di kampus. Jadi, terbawa-bawa s
Melisa dan Riana sudah berada di dalam kamar tidur Riana—mertuanya itu. Riana mempersilahkan Melisa masuk dan duduk di sofa yang ada di dalam kamarnya. Selagi ia mencari baju-baju lamanya untuk Melisa. “Kamu sukanya pakai dress atau—““Terserah yang ada saja, Ma. Yang cocok sama aku,” kata Melisa memotong ucapan mertuanya. Riana menoleh seraya tersenyum. “Baiklah, tunggu sebentar. Mama carikan dulu, ya. Semoga saja ada yang cocok denganmu,” ujarnya sembari mencari-cari baju yang akan dikenakan Melisa yang ada di dalam lemari pakaiannya. Sementara di ruang tengah, Azham dan Rama masih duduk di sana dengan Damar yang masih fokus dengan pertandingan bola favoritnya. Dan Azham yang hanya duduk bersandar seraya memperhatikan tanpa minat. Mood Azham sudah jelek akibat mamanya yang datang membuat rusuh. Azham tidak pernah menyangka mamanya akan seagresif itu setelah memilik menantu. Tahu begitu, Azham tidak akan cepat-cepat menikah dan mungkin ia akan menolak mentah-menatah perjodohan i