Azham berjalan menghampiri Riana yang berdiri di depan kamarnya. Memanggil Azham untuk memberi tahu kalau Zera datang dan ingin bertemu dengannya. “Bukan pintu lama banget. Lagi ngapain? Melisa mana?” tanya Riana seraya menengok ke belakang Azham tepatnya di dalam kamar. Azham segera menutup pintu kamarnya. “Lagi di balkon. Lagi asyik lihat bintang. Oh, iya. Zera sekarang di mana?” tanya Azham. “Itu, di ruang tamu. Temuin, deh.” Azham mengangguk lalu mengajak mamanya untuk ikut menemui Zera. Azham tahu, apa tujuan Zera datang menemuinya ke rumah orang tuanya. Azham hanya berharap dalam hati kalau Zera tidak akan membuat keributan dan membuat Melisa atau yang lain merasa tidak nyaman dan tidak enak. Sepanjang perjalanan Azham dan Riana ke ruang tamu untuk menemui Zera. Azham tidak henti-hentinya merapalkah doa. Agar Zera tidak melakukan hak gila lagi seperti di kantor tadi. Sesampai di ruang tamu. Azham melihat Zera sedang mengobrol dengan Fitri ibu Melisa. Azham merasakan kalau j
Zera melajukan mobilnya sangat kencang. Ia meluapkan segala lukanya dengan membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Untung saja jalanan sedang sepi. Hanya ada satu dua kendaraan yang berlalu di jalan itu. Air mata Zera tidak berhenti mengalir. Seolah sedang memperlihatkan isi hanya yang begitu hancur. Zera menancap gas. Menambah kecepatan mobilnya. Lalu mengerem tiba-tiba. Sehingga terjadi gesekan antara mobil dan ban menghasilkan suara berdenyit. Mobil Zera berputar untuk beberapa saat. Lalu berhenti perlahan di tengah-tengah. Zera memukul setir mobilnya seraya berteriak lantang. “Aarrrrgggggg ...,” teriaknya dengan air mata yang sudah sangat banjir di wajahnya.Zera menangis sejadi-jadinya memukul setir mobil yang tak tahu apa-apa. Dengan air mata yang terus mengalir membasahi wajahnya dan jatuh ke bajunya. Sungguh luar biasa rasa sakit yang dirasakan Zera saat ini. Saat mengetahui kebenarannya. Zera merutuki dirinya yang nekat ke rumah Azham. Hanya untuk mematikan kebenarannya
“Ah, oh, iya, Kev. Kau tahu, Ibu dan kedua mertuaku telah merencanakan aku dan Pak Azham akan berbulan madu. Dan kau tahu di mana? Di Bali. Tempat yang paling aku tidak sukai. Eum ... Mungkin tanpa aku jelaskan padamu. Kau sudah tahu alasannya kenapa aku membencinya, ‘kan?” ujar Melisa dengan sendu. “Ya, kamu benar, Kev. Karena tempat itu telah merenggutmu. Membuatku kehilanganmu untuk selama-lamanya. Aku tidak mau ke sana lagi. Aku tidak mau mengingat kejadian itu. Hal itu akan membuatku sedih dan tak berdaya.” Manik mata Melisa sudah berkaca-kaca. Melisa menundukkan kepalanya seraya menggelengkan kepalanya. “Jangan mengatakan itu, Kev. Aku tetap tidak akan kembali ke tempat itu. Walau kau membujukku,” kata Melisa seolah ada yang sedang ia ajak berbicara. “Kelvin, aku merindukanmu. Please, kembalilah padaku. Atau kalau kau tidak ingin kembali ke tempat ini. Paling tidak ambillah aku. Agar aku bisa bersamamu. Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu,” ucap Melisa meneteskan air matan
Saat ini Azham masih berada di rumah sakit sendirian menunggui Zera diperiksa oleh dokter. Ryan sudah sejak lima belas menit yang lalu berpamitan pada Azham untuk ke rumah Kia. Sudah sejak tadi Kia menunggunya, dan Ryan tidak boleh membiarkan kekasihnya itu semakin kesal padanya. Apalagi, sejak dulu, Kia—kekasih Ryan sama sekali tidak menyukai Zera. Azham juga tidak menahan Ryan, dan membiarkan sahabatnya itu untuk segera menemui kekasihnya dan meredakan kemarahan kekasih Ryan. Azham masih menunggu belum ingin meninggalkan Zera sebelum melihat kondisi sahabatnya itu. Juga sebelum keluarga Zera datang.Azham sudah menelfon adik Zera memberitahu keberadaan dan kondisi Zera. Dan kata adiknya sebentar lagi dia akan datang. Azham menghela nafas kasar, ia mengusap wajahnya kasar. Raut wajahnya sudah sangat jelas menjelaskan betapa kacaunya hati dan pikirannya saat ini. Azham menyandarkan kepalanya di tembok rumah sakit dan mendongak menatap ke langit-langit rumah sakit. “Kenapa bisa se
Melisa berjalan menuruni tangga hendak ke dapur. Tenggorokannya terasa kering dan ia ingin minum. Melisa mengernyitkan kening saat melihat Riana dan Fitri masih berada di ruang tengah sedang mengobrol. Seolah mereka tidak kehabisan topik. Namun, bukan itu yang membuat Melisa mengernyit bingung, tapi ia tidak melihat Azham di sana. Melisa mengira Azham berada di ruangan itu bersama dua orang itu. Karena Melisa mencarinya di kamar mandi, tetapi pria itu tidak ada. Melisa ke balkon saat Azham masuk ke kamar mandi untuk mandi. Tetapi, baru sebentar ke balkon dan kembali lagi. Azha sudah tidak ada. Melisa mengira Azham di sana, tetapi ternyata tidak ada. Lalu, ke mana Azham. “Pak Azham di mana, ya? Kok, di mana-mana nggak ada?” gumamnya pelan. Melisa yang penasaran melupakan niatnya turun ke lantai dua. Ia malah menghampiri dua perempuan itu. Fitri dan Riana tersenyum ke arah Melisa saat menyadari kedatangan gadis itu. “Ibu, Mama, masih di sini?” Riana tersenyum seraya mengangguk. Me
POV AZHAM Aku membelokkan mobilku masuk ke garasi rumah Mama. Turun setelah memarkirkannya juga mengunci otomatis. Berjalan masuk ke dalam rumah. Pikiranku kacau. Berkali-kali aku menghela nafas meyakinkan diriku kalau yang menimpa Zera bukan salahku, tapi tetap saja. Rasa bersalah itu tetap ada. Aku mengusap wajahku kasar. Mungkin benar mungkin salah. Mungkin salahku juga mungkin tidak. Ah, entahlah. Kepalaku pusing memikirkannya. Juga lapar. Mama dan Ibu yang ternyata masih duduk di ruang tamu menoleh saat aku mengucap salam. “Azham, dari mana saja? Mertuamu sudah lapar karena menunggumu,” omel Mama menyambutku. “Maaf, Ma, Bu. Gara-gara Azham kalian jadi menunggu,” kataku seraya menyalami keduanya secara bergantian. “Harusnya, kalian tidak usah menungguku pulang.” Aku duduk di sofa tiga. Ibu menggeleng seraya tersenyum. “Tidak apa-apa, Zham. Ibu juga belum terlalu lapar, kok. Lagian, enak kalau kita makan bareng.” Aku membalas senyumnya seraya mengangguk. “Memang kau dari mana
Azham dan Melisa sudah bersiap. Hari ini, mereka akan pergi berbulan madu di Bali. Azham memasukkan barang-barang ke dalam bagasi mobil.Melisa duduk di kursi yang ada di tera rumahnya. Perasaannya kacau. Ia tidak ingin pergi, tapi ia tidak bisa menolak. Sebenarnya, bisa. Akan tetapi, ia tak memiliki alasan yang tepat saja. “Melisa,” panggil Azham. Sontak Melisa menoleh ke arahnya. “Ya, Pak. Ada apa?” tanyanya pelan dengan raut wajah masam. “Ck, sejak tadi dipanggil diam saja. Ayo, pergi sekarang sebum ketinggalan pesawat, dan Mama akan mengomel.” Melisa menghela nafas kasar. “Baru tahu aku kalau ternyata Pak Azham seceret ini,” gumam Melisa pelan seraya beranjak dan mendekat. “Aku tidak akan ceret kalau kau tidak menyebalkan.” Ternyata, Azham mendengarnya. Melisa melirik Azham takut seraya tersenyum kecut. Azham hanya memutar bola mata jengah. “Pak Azham mendengarnya!?” Melisa menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal. Azham memutar bola mata jengah. “Menurutmu?” Melisa han
Azham dan Melisa sudah sampai di bandara. Sebentar lagi pesawat mereka akan lepas landas. Saat Melisa dan Azham ingin menuju pesawat, tiba-tiba ponsel Azham berdering menghentikan langkah mereka. Nama Ryan yang tertera di ponselnya saat Azham meraih di dalam saku celananya. “Halo...” “Halo, Zham. Kamu di mana?” tanya Ryan di seberang sana. “Di bandara, Yan. Ada apa?” “Bandara? Kamu akan ke mana? Perjalanan bisniskah?” “Ah, ke bali. Bukan, bukan perjalanan bisnis. Ini perjalanan biasa untuk aku dan Melisa,” jelas Azham. “Honeymoon?” tebak Ryan. “Ya, mungkin begitulah.” Azham melirik Melisa yang berdiri di sampingnya yang sedang mendengar tanpa minta. “Ada apa menelfonku?” tanya Azham kemudian. “Ah, iya, aku sampai lupa. Aku hanya ingin mengajakmu untuk ke rumah sakit menjenguk Zera, tapi kalau kau sudah akan berangkat. Ya, sudah. Biar aku saja,” terang Ryan. Azham terdiam sebentar. Harusnya, Azham memang berada di rumah sakit menjenguk sang sahabat. Akan tetapi, kondisi saat i