Share

Keputusan Terberat

"Tidak ada!" Azman menegaskan.

Fatur diam lagi, sedangkan Anisa hanya menunduk.

"Kalau Anisa bersedia, saya hendak melamarnya." Azman kembali menjelaskan maksud kedatangannya ke sini.

"Saya tidak bisa memaksa. Itu harus sesuai keinginan Anisa, lalu saya di sini pun bersikap seperti Kakak." Fatur sendiri tak bisa menekan keinginan pada sang Adik. Kali ini tatapannya mengarah pada Anisa. "Kamu bisa menjawabnya, Dek."

Lamaran kali ini terasa berbeda dengan sebelumnya. Mungkin karena Azman datang ke rumah langsung, walaupun tanpa menghadap pada sang ayah. Akan tetapi, hal ini juga membuat bimbang. Satu sisi, ia sedikit bersalah jika Azman dikeluarkan hanya karena masalah yang seharusnya bisa diterima logika. Di sisi lain, Anisa memikirkan masalah pertemuannya dengan Karisma. Bagaimana ini?

"Kalau kamu menolak lagi, saya tidak masalah. Mungkin pelajaran saya akan tergantikan oleh dosen lain, saya harus segera pamitan dengan mahasiswa lainnya," kata Azman. Menyerah bukan sesuatu yang dipilih, tetapi setelah apa yang dilakukan dan hasil akhir tidak memuaskan. Itu bukan menjadi areanya lagi.

Anisa sejenak memejamkan mata. Pilihan sulit berada di depan. Karir seseorang atau pertemanan menjadi dua hal yang sukar untuk ditentukan. Setidaknya, jika ia memilih salah satunya. Ia perlu menanggung risiko untuk itu. Alasan mengapa seseorang tidak ingin dewasa mungkin demikian karena setelah dewasa masalah bukan seputar nilai yang merah saja, tetapi beragam sampai menguras emosi dan tenaga.

Azman membiarkan Anisa berpikir beberapa menit, begitu pun dengan Fatur. Keduanya menghormati waktu agar perempuan itu bisa memikirkan yang terbaik.

Anisa menghela napas lelah, lalu mengangkat kepala. Bukan Azman yang ditatap, melainkan Fatur. "Kak, kalau aku memilih menikah. Apa itu bisa dikatakan licik?"

Fatur terkejut. "Licik bagaimana?" Lelaki itu mengerutkan kening.

Kali ini pandangan Anisa tertuju pada Azman. "Pria yang di depan Kakak ini bukan sekadar dosen, tapi juga pria idaman banyak perempuan. Mereka mengatakan kalau aku melakukan cara licik untuk mendapatkannya."

Sorot mata Anisa mengisyaratkan bagaimana isi hati dan pikirannya sekarang. Azman bisa merasakan itu.

"Kalau kamu merasa begitu, tentu bisa dikatakan licik. Tapi, kalau kamu tidak merasa, jelas tidak," jawab Fatur.

Anisa bergeming lagi. Masih menatap Azman yang sama sekali tidak gugup ataupun takut. Ah … sepertinya lelaki itu memang pemberani. "Kalau seperti itu, saya terima lamaran Pak Azman."

Azman tersenyum kecil. Usahanya berubah manis, walaupun pada akhirnya diraih dengan sedikit masalah memalukan. "Terima kasih. Saya akan segera mempersiapkan semuanya."

Fatur tak bisa berkata-kata, asalkan itu tidak sampai menekan jiwa Anisa. Adiknya berhak menentukan pilihan hidup.

"Saya katakan ini sebelum kamu menikahi adik saya." Fatur menepuk pundak kiri Azman. "Kalau sampai ada satu tetes saja air mata sedih keluar dari mata Anisa, saya akan langsung menendangmu! Paham?"

Pandangan Azman tak kalah tajam dan lekat bercampur dengan keseriusan. "Insya Allah."

Hari itu lamaran seseorang diterima oleh Anisa. Sebuah keputusan yang sebenarnya akan berdampak buruk pada pertemanannya dengan Karisma. Lantas, bagaimana dengan karir Azman juga? Sama-sama pentingnya.

***

"Saudara Azman Al-farizi, saya nikahkan dan saya kawinkan Anda dengan adik perempuan saya bernama Anisa Syarifah Salsabilah dengan mas kawin uang tiga puluh juta dibayar Tunai." Fatur menggenggam tangan Azman di atas meja. Disaksikan banyak orang, termasuk penghulu dan juga kerabat serta teman Anisa. Keputusan Anisa sempat membuatnya shock, tetapi adik perempuannya itu tetap tidak mencabut keputusannya sama sekali.

"Saya terima nikah dan kawinnya Anisa Syarifah Salsabilah dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Dengan yakin dan bersuara tegas, Azman menyambut penyerahan Fatur padanya.

"Bagaimana saksi, sah?" tanya penghulu pada kedua orang saksi.

"Sah!" jawab kedua saksi tersebut.

"Alhamdulillah." Semua orang lega. Ijab qabul berjalan lancar.

Di antara para tamu itu, sosok Karisma berada di sana. Tidak menemani Anisa di kamar karena masih merasa kesal. Tangan Karisma mengepal di bawah, kekesalan itu semakin memuncak. "Pernikahan ini seharusnya tidak terjadi," lirih Karisma yang belum menerima sepenuhnya keputusan Anisa.

Tak berapa lama Anisa yang diboyong oleh Rara pun keluar. Aura cantik perempuan berkebaya putih dengan jilbab senada tersebut tidak bisa dihindari. Azman duduk sambil menatap sang istri. Tujuannya terwujud, tetapi muncul rasa khawatir. Apakah Anisa akan menerima kenyataan setelah ini? Semoga saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status