“Sudah saya katakan, saya yang pesen. Kamu tinggal makan. Saya nggak mau asisten saya sakit karena kelaparan saat lembur.” Prof. Amran tertawa. “Sudah, ya. Selamat makan. Semoga kamu suka.”
Ketika pintu perpustakaan didorong dari luar dan abang ojol masuk, refleks Mei mendongak dan ia menepuk jidat karena lupa untuk menunggu pesanan makanan itu di luar ruangan. Sebelum pria berjaket hijau itu bertanya pada penjaga perpustakaan, Mei sudah bangkit dan bergerak menyongsongnya.
“Dengan Mbak Mei?” Abang gojek itu menyapa lebih dulu ketika Mei sudah berada di depannya.
“Iya, Mas. Mau anter pesenan, ya?” Mei membalas senyum abang ojol.
Abang ojol mengiyakan pertanyaan Mei. “Tadi ada pesanan ayam geprek dan jus mangga dari Pak Amran. Katanya buat Mbak.” Ia mengulurkan kantung kresek di tangan. Wangi ayam goreng menyelip di antara aroma woody dari pengharum ruangan di perpustakaan.
"Makasih banyak, Mas.” Kantung kresek berpindah tempat dalam hitungan detik. Mei memberi tip yang disambut semringah. Ia kembali ke tempat semula setelah transaksi selesai.
Merasa belum yakin dengan pemberian Prof. Arman, Mei menelepon pria itu. “Maaf, Prof, ini beneran buat saya? Halal buat saya makan?”
“Halal.” Amran berujar santai.
“Makasih, Prof.” Hening sejenak. Sepotong pertanyaan mampir di benak Mei. Mengabaikan perasaan tidak enak, Mei nekat bertanya. “Tapi Prof makan apa?”
“Saya juga sudah mesen makan.”
“Baik, Prof. Sekali lagi terima kasih.”
“Sama-sama. Oh, iya, jangan pulang terlalu malam. Udara malam sangat dingin.”
“Ya, Prof. Saya cuma sampai jam delapan, kok.” Mei segera menyudahi basa-basi lalu meneruskan pekerjaan.
Tumpukan kertas jawaban melupakan Mei dari makan malam. Ia harus segera menyelesaikan koreksian dan makan akan mengurangi banyak waktunya. Mei memilih mengganjal perut dengan jus mangga dan sepotong roti cokelat kacang yang sempat dibelinya tadi siang.
Jam dinding sudah menunjuk angka delapan ketika Mei membereskan kertas-kertas ujian Mahasiswa semester lima. Semua sudah selesai dikoreksi. Ia tinggal merekap nilai dan menyerahkan pada Prof Amran besok.
Mei menggeliat, merenggangkan otot-otot tubuh yang penat lalu berkemas. Dua penghuni lain melakukan hal serupa. Setelah saling menyapa dan berpamitan, keduanya pergi lebih dulu. Mei masih harus merapikan memasukkan kertas-kertas jawaban ke dalam map plastik dan menyimpannya ke dalam tas jinjing bersama sekotak ayam geprek.
“Mau nginep, Mbak?” Penjaga perpustakaan tersenyum jenaka. Ia mengambil buku-buku dari meja dan memasukkannya ke dalam troli. Mungkin dia baru akan mengembalikan ke rak besok pagi. Tidak ada yang ingin tertinggal sendirian di gedung ini saat malam.
“Eh, tungguin bentar, Mbak. Saya sudah selesai, kok.” Mei mempercepat gerakan tangannya membereskan alat tulis. Ia turun ke lantai satu bersama petugas perpustakaan. Perempuan itu sudah ditunggu suaminya ketika mereka sampai di selasar gedung fakultas. Tinggallah Mei sendirian.
Mei membuka ransel, mencari payung lipatnya. Tidak ada. Mei menepuk jidat. Dia pasti lupa memasukkan payung kuning itu tadi pagi.
Segera, Mei melepas jaket, bersiap menutupi kepalanya. Walaupun tinggal gerimis tersisa, jarak selasar sampai parkiran cukup jauh. Ia bisa basah jika nekat menerobos hujan tanpa pelindung.
Namun, belum sempat kakinya melangkah menuruni tangga selasar, bayangan payung menaungi tubuhnya tercetak di lantai selasar.
Mei menoleh. Di sampingnya berdiri Amran. Payung di tangan pria itu terkembang, menaungi tubuh Mei. “Butuh payung sampai ke parkiran?” Amran bertanya dengan suara renyah.
“Eh, iya, Prof.” Mei tersenyum segan. Hubungannya dengan Amran memang tidak sekaku dulu. Enam bulan bekerja sama mengajar dua kelas dan bimbingan tesis yang cukup intens mendekatkan mereka. Meski demikian, ia tetap tidak pernah punya keinginan untuk meminjam barang sang profesor.
Bibir Amran melengkung. Kedua matanya menyipit sementara tangannya mengulurkan gagang payung.
Dada Mei sedikit berdebar. Ia tidak enak, tetapi butuh. Dilihatnya arloji. Waktu bergerak cepat. Lalu pandangannya tertuju ke halaman. Di bawah temaram sinar lampu berwarna kuning, titik-titik air seperti jarum disebar dari langit. Ia harus segera pulang.
“Saya boleh pinjam sebentar, Prof.?” Akhirnya Mei menekan perasaan tidak enak di hatinya.
“Bawa saja.” Posisi tangan Amran tidak berubah.
“Nanti Prof kehujanan.”
“Saya selalu bawa payung dua.” Amran menepuk ransel di punggung. “Untuk berjaga-jaga kalau ada orang-orang seperti kamu,” lanjutnya.
Mulut Mei sedikit terbuka. Ia belum pernah bertemu orang yang sengaja membawa dua payung agar bisa membantu orang lain. “Terima kasih, Prof.” Mei mengambil payung dari tangan Amran. Lalu, dilihatnya pria itu menurunkan ransel lalu mengambil payung lipat merah.
“Saya duluan.” Lagi Amran tersenyum kemudian mengayunkan kaki dengan cepat menuju parkiran mobil.
Mei membatu sesaat. Senyum Amran seperti sihir yang membuatnya kehilangan kekuatan untuk bergerak. Malam itu Mei menyadari kebenaran ucapan Najma kalau Amran memiliki senyum semanis tiramisu cokelat. Ia tersadar ketika petir menyambar diikuti gemuruh guntur di langit.
Astaghfirullah. Mei mengusap wajah lalu menuruni tangga selasar dan berjalan perlahan melintasi halaman menuju parkiran motor. Sesekali ia melompat, menghindari genangan agar kaos kaki dan ujung roknya tidak basah meski upayanya sia-sia.
Sebuah mobil berhenti tidak jauh dari tempatnya berdiri ketika Mei baru separuh jalan melintasi halaman. Ia menengok. Rupanya Honda Jazz. Arman. Mei mendekat karena pria itu menurunkan kaca jendela dan melihat ke arahnya.
“Bapak mau ambil payungnya sekarang?”
Amran tersenyum, sedikit lebih lebar dari biasanya. “Apa muka saya terlihat seperti orang menagih utang?”
“Oh, bukan begitu, Prof.” Mei mengusap ujung hidung lalu meremas tepi rok.
“Saya mau nawarin tumpangan. Sudah malem, hujan. Kamu bisa kedinginan kalau naik motor.”
“Belum jam sembilan, Prof. Insyaallah nggak apa-apa. Lagi pula saya senang hujan-hujanan.”
“Oke, kalau begitu. Selamat bermain hujan.” Amran tersenyum kemudian menaikkan kaca mobilnya.
Di bawah guyuran air hujan, Mei berdiri, menatap Honda Jazz biru metalik itu menjauh hingga hilang di tikungan. Lagi-lagi, ia disadarkan oleh kilatan petir. Hari ini ia sering sekali melihat senyum Amran. Sepertinya ia butuh secangkir teh dan semangkuk bakso pedas untuk menjaga kewarasan otaknya agar tidak oleng karena kesambet senyum dosen tampan itu.
Mei segera berjalan ke parkiran. Masih ada beberapa motor di sana. Ia melongok ke sisi kanan di luar tempat parkir. Sekretariat himpunan mahasiswa pertanian masih ramai. Lampu berwarna kuning menyala terang. Mei menarik napas lega, setidaknya ia bukan penghuni terakhir kampus.
Setelah mengangguk sopan dan mengucapkan terima kasih pada penjaga parkir, Mei memacu motor menuju kontrakannya di deka kali code.
“Eh, kamu dipinjemin payung Prof. Amran, ya?” todong Aina ketika Mei tiba di rumah. Ia baru saja memarkir motor di garasi lalu mengembangkan payung dan meletakkannya di atas jok motor.
“Kok, tahu?”
“Aku hapal payung Prof. Amran, soalnya dua kali dipinjemin.” Aina menunjuk payung biru gelap.
“Oh.” Hanya jawaban itu yang keluar dari bibir Mei. Ia merasa tidak perlu membahas pinjaman payung itu lebih panjang.
“Kalau musim hujan gini, Prof. Amran kayaknya punya kerjaan sambilan jadi ojek payung.”
“Hush.” Mei melambaikan tangan di depan wajah Aina lalu kami tergelak.
“Dia itu baik, ganteng, pinter. Sayang masih jomlo. Coba aku belum nikah, pasti sudah aku pepet.”
“Aku laporin suami kamu, lho, kalau kamu naksir Prof. Amran.”
“Coba aja laporin. Justru kalau dia cemburu, artinya masih sayang sama aku.”
“Dasar bucin.” Mei mencubit lengan Aina.
“Eh, gimana kalau kamu saja yang pepetin dia? Kalian kayaknya cocok.”
“Hah?”
Mei menghapus ingus. Ia sampai lupa kalau tadi pagi Nana menawarkan Umroh. "Iya, Mas. Nana sudah cerita. Tadi dia nelepon. Katanya kalau bisa berangkat berlima, ada diskon." "Jadi gimana? Kamu setuju?" Amran mengusap pipi Mei. "Siapa tahu sepulang dari tanah suci, hati kita lebih tenang dan senyum kamu kembali.” "Kalau Mas setuju, aku ikut saja. Sekalian Ibu kita ajak, Mas." "Oke, Meine Schatzi. Besok aku kabari Dr. Rezvan. Ia ingin berbulan madu di tanah suci dan Turki." "Kita juga akan ke Turki?""Kalau kamu mau, nanti aku bilang ke Dr. Rezvan kita ambil paket yang sama.""Aku ingin ke Maroko." "As you wish. Kita akan ke sana setelah umroh." Amran mengecup bibir Mei. “Sekarang senyum, terus tidur. Oke?” Lantas, di sinilah Mei, bersimpuh di Roudhoh dan berlanjut ke Ka’bah, melengitkan doa di tempat paling mustajab. Mei tidak tahu kenapa selama di Mekah dan Madinah, ari matanya begitu mudah tumpah. Bukan air mata kesedihan karena ia justru sangat bahagia sejak kakinya menginjak
Bilah-bilah waktu yang berputar cepat menyisakan setitik rindu akan hadirnya anak di hati Mei. Titik-titik rindu itu seperti butir-butir salju yang jatuh ke bumi lalu mengeras dan menjadi bongkahan es. Dingin. Menggigit. Awalnya, Mei menjalani hidup dengan nyaman. Ia bisa menyelesaikan kuliah S2 dan lulus dengan nilai memuaskan. Tak ingin berdiam diri di rumah, Mei dan Kayla membuka toko sayur online yang menjual sayur organik dan non organik. Sedikit-sedikit, Mei membantu pemasaran produk-produk binaan Amran di Bantul. Lalu, komentar-komentar berkedok saran mulai muncul dari orang-orang di sekeliling Mei. Ada pula yang seolah menanyakan usaha apa saja yang sudah dilakukan Mei dan Amran kemudian memberi saran sembari menatap kasihan. Padahal Mei tidak ingin dikasihani. Dari sekian komentar, Mei paling sakit hati jika mereka menyinggung usianya dan Amran. Mereka memang telat menikah, tapi bukan berarti tidak bisa punya anak. Mati-matian berusaha menyingkirkan komentar-komentar buruk,
Mei berdiri kaku sambil tersenyum canggung ketika melihat Amran turun dari mobil. Awas kamu, Bas, sudah ngeprank aku. Mei mengomel dalam hati. Maksud hati ingin menghindari Amran dengan meminta tolong pada Bastian. Bukannya datang sesuai janji, Bastian malah bertukar posisi dengan Amran.. Mei yakin, setelah pembicaraan mereka, pasti Bastian melapor pada Amran. Pengkhianatan partner in crime, nih, ceritanya. Ingat, Bas, pembalasan selalu lebih kejam. “Kenapa motornya, Meine Schatzi?” Amran berujar tenang. Susah payah ia menahan diri agar tidak tertawa melihat raut muka Mei. “Nggak tahu, Mas. Tiba-tiba mogok. Sudah minta tolong pak parkir tetep nggak bisa nyala.” Mei sok cuek, seolah tidak sedang perang dingin. Rencana untuk menunda gencatan senjata sampai besok gagal total. Masa iya, sudah mau ditolong tetep perang dingin dan pasang muka judes. Di balik sikapnya yang seolah tanpa dosa, Mei merasa telah kehilangan muka. . “Kok, bisa kompakan sama yang punya, ya.” Amran tersenyum jahi
Rumah terasa sunyi setelah Amran berangkat ke kampus karena Ibu belum pulang. Mei tidak tahu apakah sejak dulu Ibu juga betah menginap di rumah Kayla. Satu hal yang Mei rasakan, entah sengaja atau tidak, setiap kali Mei butuh sendiri atau sedang sedikit cekcok dengan Amran, Ibu akan menginap di rumah Kayla. Ada saja alasan Ibu. Mulai dari pengajian, masak bareng Kayla, atau diajak jalan. Bisa jadi juga karena di rumah Kayla ada kedua orangtuanya sebagai teman ngobrol Ibu. Entahlah, Mei tidak berani banyak bertanya. Kepergian Ibu justru melegakan hati Mei karena ia jadi punya ruang dan waktu untuk mengembalikan suasana hatinya ke setelan awal. Tidak mudah berpura-pura baik padahal hati sedang dilanda angin ribut. Mei bersyukur punya mertua sepengertian itu. “Meii, yuk triple date.” Pesan dari Aina masuk ke ponsel Mei ketika ia baru saja membersihkan dapur. “Calonnya Najma dan Pak Suami lagi di Jogja, nih. Buruan kasih tahu Prof. Amran biar dia kosongin jadwal, gih.” Kebiasaan Aina k
“Aku berangkat dulu, Meine Schatzi.” Tangan kanan Amran meraih tubuh Mei lalu memberi kecupan hangat yang hanya ditanggapi sambil lalu oleh Mei. “Weekend ini aku bisa kosongkan jadwal kalau kamu pengen liburan,” ujar Amran sambil masih menyimpan tubuh Mei dalam pelukan. “Iya, Prof, nanti aku pikirkan.” Mei menjawab malas lalu berusaha melepaskan diri dari rengkuhan Amran. “Nanti terlambat,” ucapnya sambil membetulkan dasi yang sebenarnya sudah terpasang rapi. Amran tersenyum. Setelah mengucapkan salam, ia pergi. Ia tidak terlalu ambil pusing ketika negosiasinya tadi malam berakhir deadlock. Segala bentuk rayuan sudah ia lakukan, tetapi sama sekali tidak membuahkan hasil. Mei terlalu tangguh untuk ditaklukkan. Kombinasi keras kepala dan marah memang cukup mematikan. Ketika semua usahanya gagal, menjelang tengah malam, Amran hanya bisa tidur sambil memeluk Mei, itu juga dari belakang. Sangat tidak menyenangkan, tetapi sedikit lebih baik ketimbang diusir keluar dan harus tidur di ruang
Assalamualaikum, Sahabat. Mohon maaf baru melanjutkan cerita ini sekarang. Sejak akhir 2023 kondisi kesehatan saya kurang baik, harus sering bedrest sehingga tidak bisa nulis. Semoga tahun ini saya sehat dan bisa menyelesaikan cerita ini. Terima kasih masih bersedia mengikuti kisah Amran dan Mei :-) ***“Jangan lupa pakai seat belt-nya, Meine Schatzi.” Amran tersenyum lalu bergerak ingin memasangkan sabuk pengaman ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Amran tahu becandanya garing, tapi ia tidak tahan melihat wajah cemberut Mei. Ia selalu ingin menggoda Mei saat sedang marah atau cemberut. Ketika melihat Mei, Amran semakin sadar kalau Ibu dan Mei tak ubahnya seperti satu orang yang dibelah dua. Mereka memiliki banyak kesamaan. Karenanya, Amran tidak terlalu kesulitan menyesuaikan diri dengan kehadiran Mei dalam hidupnya. Mungkin karena itu jugalah Ibu langsung naksir Mei sejak bertemu pertama k
Amran menatap Bastian. "Kenapa dengan nama itu? Kamu kenal?" Jiwa kepo Amran meronta. Tiba-tiba ia khawatir kalau tingkah salah satu mahasiswanya itu ternyata tercium orang lain, termasuk Bastian. "Tidak, Prof." Bastian tersenyum samar. Otaknya bekerja cepat dan pertanyaan Mei kembali terlintas di kepala. Kini ia mengerti kenapa Mei tadi bertanya tentang Akira Hana. "Tapi dari wajah kamu, kayaknya kamu kenal dia." Amran yang sudah berdiri kembali duduk. Bastian meringis. "Kimbabnya enak, Prof." "Bas!" Bastian yang masih mengunyah dengan mulut penuh memberi isyarat dengan gerakan tangan pada Amran agar diam dan menunggu. Ya, ampun. Makhluk satu ini kenapa tiba-tiba bikin kesel? Amran menghela napas seraya menatap jengkel Bastian. Kalau ada asisten sedikit ngelunjak, Bastian orangnya. Namun, Amran terlanjur cocok bekerja dengan Bastian. Jadi, dia masih bisa menahan urat sabarnya agar tidak putus saat penyakit Bastian kambuh. "Cepetan ngomong," ujar Amran seraya menyodorkan air mi
Amran tidak tahu sejak kapan Mei berubah sikap padanya. Apakah sejak ia sakit dan karenanya Amran tidak menyadari perubahan raut muka dan gerstur tubuh Mei, atau baru-baru ini setelah ia sembuh. Amran baru merasakan perubahan Mei ketika tadi malam Mei lebih memilih memeluk guling ketimbang menggodanya. Namun, semalam ia terlalu lelah untuk mengobrol. Ia ingin cepat tidur karena hari ini harus mengajar jam pertama. Kebekuan Mei berlanjut pagi ini. Tidak ada senyum manis juga kecup mesra Mei yang biasanya ia dapat setiap kali akan pergi. "Apa aku tidak dapat bekal?" Amran yang baru saja selesai berpakaian dan siap berangkat tersenyum melihat Mei masuk ke kamar. Mei melihat Amran sekilas, tidak berminat menjawab pertanyaan sang suami. "Ini bekalnya, Prof." Ia hanya berujar singkat tanpa menatap Amran, meletakkan tas bekal di meja. Diambilnya jas dari gantungan baju kemudian diberikan pada Amran. Masih tanpa senyum dan raut muka datar. "Bukan bekal itu, Meine Schatzi." Amran meraih j
"Akira Hana." Mei bergumam pelan. Ia belum pernah mendengar nama itu disebut Amran. Selama ini, suaminya lebih sering menyebut kolega laki-laki. Sangat jarang ia berbagi cerita tentang teman dosen perempuan kecuali Bu Andriana yang memang memiliki proyek bersama. "Mungkin mahasiswanya." Mei kembali bergumam. Ah, bukankah sejak dulu ia sudah tahu kalau Amran memang magnet bagi kaum hawa? Bukan tidak mungkin ada yang nekad mendekatinya meski status Amran sekarang telah berubah. Mei menghela napas. Dipukulkannya kepalan tangan ke tengah kemudi sementara parfum itu ia geletakkan begitu saja di kursi samping. Tiba-tiba saja seperti ada yang terbakar di dadanya. Mei masih tertegun dengan mata menatap lurus ke depan. Bayang masa lalu dengan Andra satu per satu mampir di kepala. Apakah ia harus menghadapi teror orang ketiga lagi? Kenapa hidupnya begitu sial dan pernikahannya selalu diganggu? Mei menggigit-gigit bibir. Gelisah. "Nanti aku cek hape Mas Amran. Jangan sampai ada penyusup dala