Share

Bab 2: Perempuan Panggilan

"Ros, kamu bisa ke ruang kerja saya sekarang? Penting." 

Suara Amran terdengar di seberang. Mei baru selesai kuliah. Hari menjelang petang dan di luar mendung tebal. Turunnya hujan deras hanya tinggal menunggu waktu. 

"Maaf, Prof, saya Mei, bukan Ros." Perempuan berkulit putih itu meralat nama. Kebiasaan Amran sering salah memanggil nama orang. Anehnya, kesalahan itu hanya berlaku saat memanggil perempuan. Sementara pada laki-laki bisa dipastikan tidak pernah salah panggil. 

"Oh, iya, sorry. Kamu bisa ke ruangan saya sekarang?"

"Bisa, Prof. Kebetulan ini baru beres kuliah."

"Oke, saya tunggu." 

Mei mengiyakan perintah Amran. Sejak ia menjadi asistennya semester ini, Amran memang sering memberi tugas dadakan. Awalnya Mei merasa berat karena khawatir mengganggu kuliah. Namun, lebat laun ia mulai terbiasa. Karena itu, teman-temannya menjulukinya wanita panggilan. 

"Untung yang bolak-balik manggil ganteng, ya, Mbak,' goda teman-teman sekelasnya. 

"Nggak ganteng asal dompet tebal juga bakal dijabanin, ya, Mbak." Mereka makin menjadi. 

Mei hanya menanggapi dengan senyum. Lagi pula, kesibukan bagus buat Mei. Ia jadi bisa semakin melupakan masa lalu kelam dengan Andra. Satu tahun kuliah cukup untuk mengikis habis bayang-bayang mantan.

"Telepon dari Prof. Amran?" Aina, teman satu kontrakan dan satu kelas Mei bertanya setelah Mei menutup pembicaraan. 

 "Panggilan tugas lagi?" Pertanyaan susulan meluncur dari bibir Aina sebelum Mei sempat menjawab pertanyaan sebelumnya.

"Tugas apa tugas? Aku lihat, kamu sekarang sering dipanggil, deh, sama Prof. Amran." Aina tersenyum jahil. 

"Kamu ini nanya terus, tapi nggak ngasih kesempatan buat jawab." Mei merengut. "Aku ke ruang kerja Prof. Amran dulu. Aku ditinggal saja." 

"Cie, cie, yang mau ngedate sama profesor ganteng." Aina sengaja mengeraskan suara. Senyum jahil kembali ia terbitkan. 

Mei mengusap hidung sambil celingak-celinguk. Di sekitar mereka masih banyak mahasiswa yang baru selesai kuliah dan sedang melewati koridor yang sama. "Kamu ngapain pakai teriak-teriak?" Mei mengatupkan rahang sambil mencubit lengan Mei. Kamu ikut aku kalau gitu." Ditariknya Aina ke ruang kerja Amran di lantai tiga. 

"Lho, lho, yang dipanggil kamu, kok, aku harus ikut." Aina berusaha melepas cekalan tangan Mei. 

"Sudah, jangan banyak protes." Mei terus menarik Aina hingga ke depan ruang kerja Amran. Ia melepas tangan Aina lalu mengetuk pintu. Pada saat bersamaan, Aina berlari menjauh. 

"Bye, Mei. Met nge-date." Ia tertawa lalu meninggalkan Mei yang tersenyum masam. 

"Ada tugas apa, Prof?" tanya Mei sopan ketika sudah duduk di hadapan Amran. 

"Bukan tugas baru. Tapi kamu salah mengirim hasil pretest dan post test mahasiswa." 

"Oh." Mei hanya menjawab pendek. Sepasang mata bulatnya menatap layar komputer yang kini dihadapkan padanya. 

"Prestest mahasiswa semester tiga kamu masukkan ke semester lima. Begitu sebaliknya." 

"Oh, maaf, Prof. Mungkin semalam saya ngirim email sambil ngantuk." Mei meringis. Kulit wajahnya seketika memerah menahan malu. 

"Tolong segera perbaiki. Jangan sampai teledor lagi." 

Namun, ketenangan hidup Mei terganggu karena malam harinya Amran meneleponnya. 

"Baik, Prof." 

"Kamu bisa pulang sekarang." 

Mei mengucapkan terima kasih lalu pamit dengan hati lega. Setidaknya tugasnya hanya mengganti folder karena tugas lain belum ia kerjakan. 

“Senin besok saya harus keluar kota tiga hari. Saya ingin nilai anak-anak keluar sebelum pergi.” 

Kabar dari Amran memaksa Mei mengubah rencana kerja. Hanya ada waktu sampai lusa bagi Mei untuk mengoreksi hasil ujian Tengah mahasiswa semester tiga dan lima. 

Padahal besok, Mei ada kuliah dan bimbingan proposal tesis dari pagi sampai sore. Baru setelah salat Asar ia ada waktu. 

Sesaat Mei merasa kesal. Namun, segera dibuangnya jengkel di hati. Ditemani secangkir kopi dan satu stoples pangsit goreng, dia lembur. 

"Nih, aku buatin pisang panggang." Aina meletakkan sepiring pisang beraroma madu dan kayu manis di atas rak karena meja Mei penuh kertas. 

"Makasih, Na." Mei tersenyum tulus. 

"Ada yang bisa dibantu?"

Mei menggeleng seraya mengucapkan terima kasih. "Sepiring pisang ini sudah bantu banget."

"Kalau gitu aku tidur duluan, yak." Aina berdiri lalu meninggalkan Mei bersama tumpukan pekerjaan. 

Mei melanjutkan perjalanan sore berikutnya di perpus. Meski sudah mengganjal mata dengan kopi, tetap saja matanya tak bisa diajak kompromi.

Ponsel Mei berkedip tepat ketika petir menyambar diikuti gemuruh suara guntur bersahutan. Lalu, titik-titik hujan turun. Awalnya gerimis kemudian menderas dengan cepat. Dari tempatnya duduk di dekat jendela perpustakaan, Mei bisa melihat dedaunan bergerak ditimpa air dari langit. Suasana di luar gedung tampak begitu suram.

Mei mengambil ponsel dan menyentuh layarnya. Notifikasi pesan di grup Bidadari Tepi Kali masuk. 

“Mbak, pulang kapan? Mbak Aina bikin bakso, nih. Endes surendes.”  Pesan Najma disusul foto semangkuk bakso. 

Mei menelan ludah. Mendadak cacing di perutnya konser. “Aku lembur, nih. Masih ada kerjaan dari Prof. Amran.” 

“Sampai jam berapa? Serem, lho, kampus kalau malam.” 

Kepala Mei serta-merta diserbu rumor yang selama ini beredar, tentang penunggu pohon beringin tua di dekat gedung lama, juga penghuni gedung baru yang konon pindah dari bangunan kuno di belakang kampus. 

Astagfirullah. Mei menghela napas lalu mengedarkan pandang. Perpustakaan masih ramai. Selain karena mencari data, para mahasiswa itu pasti terjebak hujan sehingga terpaksa menunggu. Populasi kedua ini bisa dipastikan lebih besar karena mereka tidak membaca buku, melainkan asyik dengan ponsel masing-masing atau malah mengobrol. 

“Semoga cepet kelar, deh. Biar bisa pulang cepet. Masa iya aku harus nginep di kampus.” Aina menimpali. Ia mengirim foto bakso dengan kuah berwarna merah. 

“Woi, jangan flexing, dong. Aku jadi laper, nih.” 

 “Mbak Mei mau nginep sama Prof. Amran?” Najma mengirim pesan diikuti emoticon terkejut.

Astafirullah. Mata Mei melebar. Segera dikirimnya emoticon marah. Dasar junior nggak ada akhlak. Mei menutup aplikasi W******p dan meletakkan ponsel. Meladeni Najma dan Aina akan memperlama pekerjaannya.

Mei selesai mengoreksi pekerjaan mahasiswa semester tiga ketika azan Magrib terdengar. Ia berdiri lalu merenggangkan tubuh. Punggung, tangan, dan kakinya pegal-pegal. Matanya juga terasa pedih. Masih ada  setumpuk kertas jawaban ujian mahasiswa semester lima. Ia akan kerjakan setelah salat Magrib. 

Lepas magrib, penghuni perpustakaan sudah berkurang drastis. Hujan belum reda, tetapi sudah tidak terlalu deras. Tinggal dua orang tersisa. Jika dilihat dari raut muka dan buku-buku yang terserak, bisa dipastikan kalau keduanya sedang mengerjakan tugas dan mungkin mendekati deadline. Mereka terlihat seperti kucing mau beranak yang tidak ingin diganggu.

Meski perpustakaan tinggal dihuni tiga orang, Mei tidak khawatir karena  memang buka sampai jam delapan malam. Posisinya aman. 

Mei baru saja salat Magrib di salah satu sudut perpustakaan ketika Amran menelepon. Semoga dia tidak nagih kerjaan. Mei paling tidak enak kalau sampai ditagih. Ia selalu berusaha menyelesaikan tugas sesuai tenggat waktu yang diberikan. 

“Halo, Riska. Kamu ngoreksi kerjaan anak-anak di mana?” Suara hangat Amran terdengar di seberang.  

“Maaf, Prof. Saya Mei, bukan Riska.’  Duh, salah panggil lagi. Gimana rasanya jadi istri Prof. Arman terus tiba-tiba dia malah manggil mantan, bukan nama istrinya. Mei tersenyum geli membayangkan kejadian konyol itu. 

“Oh, iya. Sorry, Mei. Jadi kamu ngoreksi di mana?” 

“Di perpus, Prof. Apa ada yang harus saya kerjakan dan ambil di ruang kerja Prof?” 

“Tidak ada kerjaan lagi. Saya hanya ingin tahu kamu di mana karena pesenan makanan buat kamu sudah sampai  dan abang gojeknya nunggu di bawah.” 

“Pesanan makan? Saya tidak pesan apa-apa, Prof.” Ujung alis Mei bertemu. 

“Saya yang pesan.” 

Mei melongo. Tidak ada kata yang terucap karena ia kaget. 

“Wait, saya kasih tahu dulu abang gojeknya biar naik ke perpus.” 

Arman mengakhiri panggilan. 

Mei mematung dengan mata terkunci pada layar ponsel. 

Satu menit. 

Dua menit. 

Tiga menit. Amran kembali menelepon. 

 “Kamu tunggu di depan perpus. Abang gojeknya sudah otw ke atas.” 

“Tapi, Prof. Saya nggak pesen makan.” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status