"Ros, kamu bisa ke ruang kerja saya sekarang? Penting."
Suara Amran terdengar di seberang. Mei baru selesai kuliah. Hari menjelang petang dan di luar mendung tebal. Turunnya hujan deras hanya tinggal menunggu waktu.
"Maaf, Prof, saya Mei, bukan Ros." Perempuan berkulit putih itu meralat nama. Kebiasaan Amran sering salah memanggil nama orang. Anehnya, kesalahan itu hanya berlaku saat memanggil perempuan. Sementara pada laki-laki bisa dipastikan tidak pernah salah panggil.
"Oh, iya, sorry. Kamu bisa ke ruangan saya sekarang?"
"Bisa, Prof. Kebetulan ini baru beres kuliah."
"Oke, saya tunggu."
Mei mengiyakan perintah Amran. Sejak ia menjadi asistennya semester ini, Amran memang sering memberi tugas dadakan. Awalnya Mei merasa berat karena khawatir mengganggu kuliah. Namun, lebat laun ia mulai terbiasa. Karena itu, teman-temannya menjulukinya wanita panggilan.
"Untung yang bolak-balik manggil ganteng, ya, Mbak,' goda teman-teman sekelasnya.
"Nggak ganteng asal dompet tebal juga bakal dijabanin, ya, Mbak." Mereka makin menjadi.
Mei hanya menanggapi dengan senyum. Lagi pula, kesibukan bagus buat Mei. Ia jadi bisa semakin melupakan masa lalu kelam dengan Andra. Satu tahun kuliah cukup untuk mengikis habis bayang-bayang mantan.
"Telepon dari Prof. Amran?" Aina, teman satu kontrakan dan satu kelas Mei bertanya setelah Mei menutup pembicaraan.
"Panggilan tugas lagi?" Pertanyaan susulan meluncur dari bibir Aina sebelum Mei sempat menjawab pertanyaan sebelumnya.
"Tugas apa tugas? Aku lihat, kamu sekarang sering dipanggil, deh, sama Prof. Amran." Aina tersenyum jahil.
"Kamu ini nanya terus, tapi nggak ngasih kesempatan buat jawab." Mei merengut. "Aku ke ruang kerja Prof. Amran dulu. Aku ditinggal saja."
"Cie, cie, yang mau ngedate sama profesor ganteng." Aina sengaja mengeraskan suara. Senyum jahil kembali ia terbitkan.
Mei mengusap hidung sambil celingak-celinguk. Di sekitar mereka masih banyak mahasiswa yang baru selesai kuliah dan sedang melewati koridor yang sama. "Kamu ngapain pakai teriak-teriak?" Mei mengatupkan rahang sambil mencubit lengan Mei. Kamu ikut aku kalau gitu." Ditariknya Aina ke ruang kerja Amran di lantai tiga.
"Lho, lho, yang dipanggil kamu, kok, aku harus ikut." Aina berusaha melepas cekalan tangan Mei.
"Sudah, jangan banyak protes." Mei terus menarik Aina hingga ke depan ruang kerja Amran. Ia melepas tangan Aina lalu mengetuk pintu. Pada saat bersamaan, Aina berlari menjauh.
"Bye, Mei. Met nge-date." Ia tertawa lalu meninggalkan Mei yang tersenyum masam.
"Ada tugas apa, Prof?" tanya Mei sopan ketika sudah duduk di hadapan Amran.
"Bukan tugas baru. Tapi kamu salah mengirim hasil pretest dan post test mahasiswa."
"Oh." Mei hanya menjawab pendek. Sepasang mata bulatnya menatap layar komputer yang kini dihadapkan padanya.
"Prestest mahasiswa semester tiga kamu masukkan ke semester lima. Begitu sebaliknya."
"Oh, maaf, Prof. Mungkin semalam saya ngirim email sambil ngantuk." Mei meringis. Kulit wajahnya seketika memerah menahan malu.
"Tolong segera perbaiki. Jangan sampai teledor lagi."
Namun, ketenangan hidup Mei terganggu karena malam harinya Amran meneleponnya.
"Baik, Prof."
"Kamu bisa pulang sekarang."
Mei mengucapkan terima kasih lalu pamit dengan hati lega. Setidaknya tugasnya hanya mengganti folder karena tugas lain belum ia kerjakan.
“Senin besok saya harus keluar kota tiga hari. Saya ingin nilai anak-anak keluar sebelum pergi.”
Kabar dari Amran memaksa Mei mengubah rencana kerja. Hanya ada waktu sampai lusa bagi Mei untuk mengoreksi hasil ujian Tengah mahasiswa semester tiga dan lima.
Padahal besok, Mei ada kuliah dan bimbingan proposal tesis dari pagi sampai sore. Baru setelah salat Asar ia ada waktu.
Sesaat Mei merasa kesal. Namun, segera dibuangnya jengkel di hati. Ditemani secangkir kopi dan satu stoples pangsit goreng, dia lembur.
"Nih, aku buatin pisang panggang." Aina meletakkan sepiring pisang beraroma madu dan kayu manis di atas rak karena meja Mei penuh kertas.
"Makasih, Na." Mei tersenyum tulus.
"Ada yang bisa dibantu?"
Mei menggeleng seraya mengucapkan terima kasih. "Sepiring pisang ini sudah bantu banget."
"Kalau gitu aku tidur duluan, yak." Aina berdiri lalu meninggalkan Mei bersama tumpukan pekerjaan.
Mei melanjutkan perjalanan sore berikutnya di perpus. Meski sudah mengganjal mata dengan kopi, tetap saja matanya tak bisa diajak kompromi.
Ponsel Mei berkedip tepat ketika petir menyambar diikuti gemuruh suara guntur bersahutan. Lalu, titik-titik hujan turun. Awalnya gerimis kemudian menderas dengan cepat. Dari tempatnya duduk di dekat jendela perpustakaan, Mei bisa melihat dedaunan bergerak ditimpa air dari langit. Suasana di luar gedung tampak begitu suram.
Mei mengambil ponsel dan menyentuh layarnya. Notifikasi pesan di grup Bidadari Tepi Kali masuk.
“Mbak, pulang kapan? Mbak Aina bikin bakso, nih. Endes surendes.” Pesan Najma disusul foto semangkuk bakso.
Mei menelan ludah. Mendadak cacing di perutnya konser. “Aku lembur, nih. Masih ada kerjaan dari Prof. Amran.”
“Sampai jam berapa? Serem, lho, kampus kalau malam.”
Kepala Mei serta-merta diserbu rumor yang selama ini beredar, tentang penunggu pohon beringin tua di dekat gedung lama, juga penghuni gedung baru yang konon pindah dari bangunan kuno di belakang kampus.
Astagfirullah. Mei menghela napas lalu mengedarkan pandang. Perpustakaan masih ramai. Selain karena mencari data, para mahasiswa itu pasti terjebak hujan sehingga terpaksa menunggu. Populasi kedua ini bisa dipastikan lebih besar karena mereka tidak membaca buku, melainkan asyik dengan ponsel masing-masing atau malah mengobrol.
“Semoga cepet kelar, deh. Biar bisa pulang cepet. Masa iya aku harus nginep di kampus.” Aina menimpali. Ia mengirim foto bakso dengan kuah berwarna merah.
“Woi, jangan flexing, dong. Aku jadi laper, nih.”
“Mbak Mei mau nginep sama Prof. Amran?” Najma mengirim pesan diikuti emoticon terkejut.
Astafirullah. Mata Mei melebar. Segera dikirimnya emoticon marah. Dasar junior nggak ada akhlak. Mei menutup aplikasi W******p dan meletakkan ponsel. Meladeni Najma dan Aina akan memperlama pekerjaannya.
Mei selesai mengoreksi pekerjaan mahasiswa semester tiga ketika azan Magrib terdengar. Ia berdiri lalu merenggangkan tubuh. Punggung, tangan, dan kakinya pegal-pegal. Matanya juga terasa pedih. Masih ada setumpuk kertas jawaban ujian mahasiswa semester lima. Ia akan kerjakan setelah salat Magrib.
Lepas magrib, penghuni perpustakaan sudah berkurang drastis. Hujan belum reda, tetapi sudah tidak terlalu deras. Tinggal dua orang tersisa. Jika dilihat dari raut muka dan buku-buku yang terserak, bisa dipastikan kalau keduanya sedang mengerjakan tugas dan mungkin mendekati deadline. Mereka terlihat seperti kucing mau beranak yang tidak ingin diganggu.
Meski perpustakaan tinggal dihuni tiga orang, Mei tidak khawatir karena memang buka sampai jam delapan malam. Posisinya aman.
Mei baru saja salat Magrib di salah satu sudut perpustakaan ketika Amran menelepon. Semoga dia tidak nagih kerjaan. Mei paling tidak enak kalau sampai ditagih. Ia selalu berusaha menyelesaikan tugas sesuai tenggat waktu yang diberikan.
“Halo, Riska. Kamu ngoreksi kerjaan anak-anak di mana?” Suara hangat Amran terdengar di seberang.
“Maaf, Prof. Saya Mei, bukan Riska.’ Duh, salah panggil lagi. Gimana rasanya jadi istri Prof. Arman terus tiba-tiba dia malah manggil mantan, bukan nama istrinya. Mei tersenyum geli membayangkan kejadian konyol itu.
“Oh, iya. Sorry, Mei. Jadi kamu ngoreksi di mana?”
“Di perpus, Prof. Apa ada yang harus saya kerjakan dan ambil di ruang kerja Prof?”
“Tidak ada kerjaan lagi. Saya hanya ingin tahu kamu di mana karena pesenan makanan buat kamu sudah sampai dan abang gojeknya nunggu di bawah.”
“Pesanan makan? Saya tidak pesan apa-apa, Prof.” Ujung alis Mei bertemu.
“Saya yang pesan.”
Mei melongo. Tidak ada kata yang terucap karena ia kaget.
“Wait, saya kasih tahu dulu abang gojeknya biar naik ke perpus.”
Arman mengakhiri panggilan.
Mei mematung dengan mata terkunci pada layar ponsel.
Satu menit.
Dua menit.
Tiga menit. Amran kembali menelepon.
“Kamu tunggu di depan perpus. Abang gojeknya sudah otw ke atas.”
“Tapi, Prof. Saya nggak pesen makan.”
Mei menghapus ingus. Ia sampai lupa kalau tadi pagi Nana menawarkan Umroh. "Iya, Mas. Nana sudah cerita. Tadi dia nelepon. Katanya kalau bisa berangkat berlima, ada diskon." "Jadi gimana? Kamu setuju?" Amran mengusap pipi Mei. "Siapa tahu sepulang dari tanah suci, hati kita lebih tenang dan senyum kamu kembali.” "Kalau Mas setuju, aku ikut saja. Sekalian Ibu kita ajak, Mas." "Oke, Meine Schatzi. Besok aku kabari Dr. Rezvan. Ia ingin berbulan madu di tanah suci dan Turki." "Kita juga akan ke Turki?""Kalau kamu mau, nanti aku bilang ke Dr. Rezvan kita ambil paket yang sama.""Aku ingin ke Maroko." "As you wish. Kita akan ke sana setelah umroh." Amran mengecup bibir Mei. “Sekarang senyum, terus tidur. Oke?” Lantas, di sinilah Mei, bersimpuh di Roudhoh dan berlanjut ke Ka’bah, melengitkan doa di tempat paling mustajab. Mei tidak tahu kenapa selama di Mekah dan Madinah, ari matanya begitu mudah tumpah. Bukan air mata kesedihan karena ia justru sangat bahagia sejak kakinya menginjak
Bilah-bilah waktu yang berputar cepat menyisakan setitik rindu akan hadirnya anak di hati Mei. Titik-titik rindu itu seperti butir-butir salju yang jatuh ke bumi lalu mengeras dan menjadi bongkahan es. Dingin. Menggigit. Awalnya, Mei menjalani hidup dengan nyaman. Ia bisa menyelesaikan kuliah S2 dan lulus dengan nilai memuaskan. Tak ingin berdiam diri di rumah, Mei dan Kayla membuka toko sayur online yang menjual sayur organik dan non organik. Sedikit-sedikit, Mei membantu pemasaran produk-produk binaan Amran di Bantul. Lalu, komentar-komentar berkedok saran mulai muncul dari orang-orang di sekeliling Mei. Ada pula yang seolah menanyakan usaha apa saja yang sudah dilakukan Mei dan Amran kemudian memberi saran sembari menatap kasihan. Padahal Mei tidak ingin dikasihani. Dari sekian komentar, Mei paling sakit hati jika mereka menyinggung usianya dan Amran. Mereka memang telat menikah, tapi bukan berarti tidak bisa punya anak. Mati-matian berusaha menyingkirkan komentar-komentar buruk,
Mei berdiri kaku sambil tersenyum canggung ketika melihat Amran turun dari mobil. Awas kamu, Bas, sudah ngeprank aku. Mei mengomel dalam hati. Maksud hati ingin menghindari Amran dengan meminta tolong pada Bastian. Bukannya datang sesuai janji, Bastian malah bertukar posisi dengan Amran.. Mei yakin, setelah pembicaraan mereka, pasti Bastian melapor pada Amran. Pengkhianatan partner in crime, nih, ceritanya. Ingat, Bas, pembalasan selalu lebih kejam. “Kenapa motornya, Meine Schatzi?” Amran berujar tenang. Susah payah ia menahan diri agar tidak tertawa melihat raut muka Mei. “Nggak tahu, Mas. Tiba-tiba mogok. Sudah minta tolong pak parkir tetep nggak bisa nyala.” Mei sok cuek, seolah tidak sedang perang dingin. Rencana untuk menunda gencatan senjata sampai besok gagal total. Masa iya, sudah mau ditolong tetep perang dingin dan pasang muka judes. Di balik sikapnya yang seolah tanpa dosa, Mei merasa telah kehilangan muka. . “Kok, bisa kompakan sama yang punya, ya.” Amran tersenyum jahi
Rumah terasa sunyi setelah Amran berangkat ke kampus karena Ibu belum pulang. Mei tidak tahu apakah sejak dulu Ibu juga betah menginap di rumah Kayla. Satu hal yang Mei rasakan, entah sengaja atau tidak, setiap kali Mei butuh sendiri atau sedang sedikit cekcok dengan Amran, Ibu akan menginap di rumah Kayla. Ada saja alasan Ibu. Mulai dari pengajian, masak bareng Kayla, atau diajak jalan. Bisa jadi juga karena di rumah Kayla ada kedua orangtuanya sebagai teman ngobrol Ibu. Entahlah, Mei tidak berani banyak bertanya. Kepergian Ibu justru melegakan hati Mei karena ia jadi punya ruang dan waktu untuk mengembalikan suasana hatinya ke setelan awal. Tidak mudah berpura-pura baik padahal hati sedang dilanda angin ribut. Mei bersyukur punya mertua sepengertian itu. “Meii, yuk triple date.” Pesan dari Aina masuk ke ponsel Mei ketika ia baru saja membersihkan dapur. “Calonnya Najma dan Pak Suami lagi di Jogja, nih. Buruan kasih tahu Prof. Amran biar dia kosongin jadwal, gih.” Kebiasaan Aina k
“Aku berangkat dulu, Meine Schatzi.” Tangan kanan Amran meraih tubuh Mei lalu memberi kecupan hangat yang hanya ditanggapi sambil lalu oleh Mei. “Weekend ini aku bisa kosongkan jadwal kalau kamu pengen liburan,” ujar Amran sambil masih menyimpan tubuh Mei dalam pelukan. “Iya, Prof, nanti aku pikirkan.” Mei menjawab malas lalu berusaha melepaskan diri dari rengkuhan Amran. “Nanti terlambat,” ucapnya sambil membetulkan dasi yang sebenarnya sudah terpasang rapi. Amran tersenyum. Setelah mengucapkan salam, ia pergi. Ia tidak terlalu ambil pusing ketika negosiasinya tadi malam berakhir deadlock. Segala bentuk rayuan sudah ia lakukan, tetapi sama sekali tidak membuahkan hasil. Mei terlalu tangguh untuk ditaklukkan. Kombinasi keras kepala dan marah memang cukup mematikan. Ketika semua usahanya gagal, menjelang tengah malam, Amran hanya bisa tidur sambil memeluk Mei, itu juga dari belakang. Sangat tidak menyenangkan, tetapi sedikit lebih baik ketimbang diusir keluar dan harus tidur di ruang
Assalamualaikum, Sahabat. Mohon maaf baru melanjutkan cerita ini sekarang. Sejak akhir 2023 kondisi kesehatan saya kurang baik, harus sering bedrest sehingga tidak bisa nulis. Semoga tahun ini saya sehat dan bisa menyelesaikan cerita ini. Terima kasih masih bersedia mengikuti kisah Amran dan Mei :-) ***“Jangan lupa pakai seat belt-nya, Meine Schatzi.” Amran tersenyum lalu bergerak ingin memasangkan sabuk pengaman ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Amran tahu becandanya garing, tapi ia tidak tahan melihat wajah cemberut Mei. Ia selalu ingin menggoda Mei saat sedang marah atau cemberut. Ketika melihat Mei, Amran semakin sadar kalau Ibu dan Mei tak ubahnya seperti satu orang yang dibelah dua. Mereka memiliki banyak kesamaan. Karenanya, Amran tidak terlalu kesulitan menyesuaikan diri dengan kehadiran Mei dalam hidupnya. Mungkin karena itu jugalah Ibu langsung naksir Mei sejak bertemu pertama k
Amran menatap Bastian. "Kenapa dengan nama itu? Kamu kenal?" Jiwa kepo Amran meronta. Tiba-tiba ia khawatir kalau tingkah salah satu mahasiswanya itu ternyata tercium orang lain, termasuk Bastian. "Tidak, Prof." Bastian tersenyum samar. Otaknya bekerja cepat dan pertanyaan Mei kembali terlintas di kepala. Kini ia mengerti kenapa Mei tadi bertanya tentang Akira Hana. "Tapi dari wajah kamu, kayaknya kamu kenal dia." Amran yang sudah berdiri kembali duduk. Bastian meringis. "Kimbabnya enak, Prof." "Bas!" Bastian yang masih mengunyah dengan mulut penuh memberi isyarat dengan gerakan tangan pada Amran agar diam dan menunggu. Ya, ampun. Makhluk satu ini kenapa tiba-tiba bikin kesel? Amran menghela napas seraya menatap jengkel Bastian. Kalau ada asisten sedikit ngelunjak, Bastian orangnya. Namun, Amran terlanjur cocok bekerja dengan Bastian. Jadi, dia masih bisa menahan urat sabarnya agar tidak putus saat penyakit Bastian kambuh. "Cepetan ngomong," ujar Amran seraya menyodorkan air mi
Amran tidak tahu sejak kapan Mei berubah sikap padanya. Apakah sejak ia sakit dan karenanya Amran tidak menyadari perubahan raut muka dan gerstur tubuh Mei, atau baru-baru ini setelah ia sembuh. Amran baru merasakan perubahan Mei ketika tadi malam Mei lebih memilih memeluk guling ketimbang menggodanya. Namun, semalam ia terlalu lelah untuk mengobrol. Ia ingin cepat tidur karena hari ini harus mengajar jam pertama. Kebekuan Mei berlanjut pagi ini. Tidak ada senyum manis juga kecup mesra Mei yang biasanya ia dapat setiap kali akan pergi. "Apa aku tidak dapat bekal?" Amran yang baru saja selesai berpakaian dan siap berangkat tersenyum melihat Mei masuk ke kamar. Mei melihat Amran sekilas, tidak berminat menjawab pertanyaan sang suami. "Ini bekalnya, Prof." Ia hanya berujar singkat tanpa menatap Amran, meletakkan tas bekal di meja. Diambilnya jas dari gantungan baju kemudian diberikan pada Amran. Masih tanpa senyum dan raut muka datar. "Bukan bekal itu, Meine Schatzi." Amran meraih j
"Akira Hana." Mei bergumam pelan. Ia belum pernah mendengar nama itu disebut Amran. Selama ini, suaminya lebih sering menyebut kolega laki-laki. Sangat jarang ia berbagi cerita tentang teman dosen perempuan kecuali Bu Andriana yang memang memiliki proyek bersama. "Mungkin mahasiswanya." Mei kembali bergumam. Ah, bukankah sejak dulu ia sudah tahu kalau Amran memang magnet bagi kaum hawa? Bukan tidak mungkin ada yang nekad mendekatinya meski status Amran sekarang telah berubah. Mei menghela napas. Dipukulkannya kepalan tangan ke tengah kemudi sementara parfum itu ia geletakkan begitu saja di kursi samping. Tiba-tiba saja seperti ada yang terbakar di dadanya. Mei masih tertegun dengan mata menatap lurus ke depan. Bayang masa lalu dengan Andra satu per satu mampir di kepala. Apakah ia harus menghadapi teror orang ketiga lagi? Kenapa hidupnya begitu sial dan pernikahannya selalu diganggu? Mei menggigit-gigit bibir. Gelisah. "Nanti aku cek hape Mas Amran. Jangan sampai ada penyusup dala