“Apa sampai sekarang kamu belum nemu perempuan yang sreg di hati kamu, Ran?” Suara Ratih bertemu gemericik air dari aquarium di sudut ruang makan. Ada harapan juga gusar pada mata kelabu perempuan itu.
Amran menghentikan suapannya. Batagor di piring baru separuh berpindah ke lambung. Ditatapnya wajah sang ibu yang duduk di seberang meja. “Kenapa memangnya, Bu?” Sebenarnya Amran tahu ke mana arah pembicaraan ibunya, tetapi ia tetap bertanya. Biasanya Amran akan mencari cara berkelit sebelum sang ibu mengeluarkan petuah, tetapi malam itu ia sedang lelah. Tidak ada satu ide pun terlintas di kepala untuk mengalihkan topik pembicaraan.
“Ibu sudah tua. Ibu tidak ingin meninggal sebelum kamu menikah.”
Sudah bisa ditebak. Kalimat sakti itu selalu diucapkan ibunya. Hampir setiap hari, sampai Amran kadang bosan dan menganggap itu seperti angin lalu. Hanya demi sopan santun ia duduk dan menyediakan telinga bagi setiap keluh yang terlontar dari lisan sang ibu.
“Jangan terlalu pilih-pilih. Asal agamanya baik, cukup. Bisa ngaji dan tidak tinggal salat.”
Sepotong batagor masuk ke mulut. Amran mengunyah perlahan. Matanya masih tertuju pada wajah sang ibu, menanti kalimat-kalimat selanjutnya. Amran tahu, dari raut mukanya, ada begitu banyak uneg-uneg yang ingin dilepas. Ia memilih memberi ruang sampai semua kata selesai terucap.
“Ibu sudah berusaha mengenalkan kamu ke anak-anak teman Ibu, ke saudara jauh atau dekat. Tidak ada satu pun yang nyantol di hati kamu. Sekarang mereka semua sudah menikah, punya anak. Sementara kamu nggak jauh beda dengan batu karang di tengah laut. Sendiri.”
Rasa pedas dari kuah kacang batagor seperti menyengat tenggorokannya. Amran berdiri, mengambil gelas di atas meja dan mengisi dengan air putih. Ia kembali duduk dan menggelontorkan separuh isi gelas ke mulut. Amran masih diam meski paras sang ibu mulai berubah kesal karena tidak ada tanggapan apa pun dari putranya.
“Ibu jadi kepikiran kata orang.”
Dahi Amran mengernyit. “Kata orang?” Jiwa keponya memaksa mulutnya terbuka. “Sejak kapan Ibu menggosip?”
“Tidak penting dari mana Ibu dengar gosip dan selentingan itu.” Ratih menukas cepat.
“Memangnya ada berita apa tentang saya?” Seperti tengah mmenanti titah sang guru, Amran menyilangkan kedua tangan di atas meja lalu menatap ibunya lurus-lurus.
“Sebenarnya kamu ....”
Kerut di dahi Amran semakin bertambah melihat ibunya tampak gelisah. Ia sedikit menelengkan kepala, menunggu sang ibu meneruskan ucapan.
Ratih menarik napas dalam-dalam. Ada khawatir juga ketakutan di balik tatapan matanya. “Sebenarnya ... kamu normal nggak, Ran?”
Amran tersedak. Ia mengambil gelas dan meneguk air yang masih tersisa.
“Apa bener ....” Berat bagi Ratih untuk bertanya, tetapi ia harus meminta penjelasan langsung pada Amran daripada ia mati penasaran. “Apa bener kamu suka sama laki-laki?”
Air di mulut Amran menyembur keluar, sebagian mengenai batagor dan sisanya menyebar di sekeliling piring, membasahi meja. Pria itu mengusap wajah lalu mengembuskan napas kasar. Ia berpikir untuk membuat perhitungan pada para penyebar berita hoaks itu. Bila perlu, melaporkan mereka dengan tuduhan pencemaran nama baik. Biar mereka kapok dan tidak asal bicara.
“Giimana, Ran? Apa bener kamu seperti yang mereka tuduhkan?” Tatapan Ratih menuntut jawaban. Ketakutan di hatinya semakin bertambah melihat Amran hanya diam. Lebih baik aku mati kalau tuduhan mereka benar. Pikiran Ratih kelut-melut.
Amran berdiri sambil tersenyum masam. Ia pergi ke dapur untuk mengambil kain lap lalu membersihkan meja.
“Apa tidak ada gosip lain yang lebih wow untuk jadi buah bibir, Bu?” tanyanya setelah ceceran air terangkat sempurna dan lap sudah kembali ke dapur. Ia menarik piring dan meneruskan makan.
“Kamu jawab saja, bener atau nggak.”
“Siapa yang lebih Ibu percaya, saya atau mulut tetangga?”
“Amran, jangan berbelit. Jawab saja biar Ibu tenang.”
“Saya belum nikah bukan karena suka laki-laki, Bu. Tapi memang belum ketemu jodoh.” Amran melengkungkan bibir. Hatinya sedikit lebih tenang meski masih menyimpan kesal. “Ibu, kan, tahu, saya sudah berusaha. Tapi sampai sekarang belum berhasil. Saya bisa apa, Bu? Bukankah jodoh, rezeki, mati itu Allah yang atur?”
“Harusnya, yang gagal nggak usah diingat. Masih banyak perempuan lain, Ran.” Raut muka ibunya terlihat letih sekaligus putus asa. “Kalau nggak salah, move on istilah anak sekarang.”
Amran terkekeh. “Ibu gaul juga.” Ia memasukkan potongan terakhir batagor.
“Beri hadiah terbaik sebelum ibu meninggal, Ran.”
Amran terenyak. Kalimat itu diucapkan pelan, tetapi menusuk hatinya. Amran menghela napas. Pasti Ibu sudah sangat putus asa. “Ibu tenang saja. Jodoh nggak bisa dipaksakan.”
“Bukan memaksa. Tapi Ibu lihat kamu nggak usaha, nggak nyari. Gimana mau ketemu? Jodoh itu dijemput, bukan ditunggu!” Ratih membanting sapu tangan ke meja. Putra tunggalnya berubah menyebalkan kalau sudah bicara soal jodoh. “Pokoknya Ibu nggak mau tahu. Lebaran tahun depan kamu harus sudah menikah. Titik!” Perempuan berusia jelang 70 tahun itu berdiri.
“Kasih koma, Bu. Jangan titik.” Amran tersenyum, mencoba berkelakar demi meredakan kemarahan ibunya. Repot kalau ibu sudah mengultimatum. Lebih berat dari ultimatum NATO atau PBB.
“Ibu sedang tidak ingin bercanda.” Perempuan itu meninggalkan meja makan dengan raut muka masam.
Mulut Amran terbuka. Otaknya seketika berasap. Lebaran tahun depan berarti kurang hanya sekitar enam bulan lagi. Ya, Allah, memangnya nyari istri gampang?
Tak ingin menghabiskan waktu dengan termenung-menung, Amran bangkit. Ia membawa piring gelas kotor ke dapur dan mencucinya lalu pergi ke kamar. Ia harus membuat presentasi materi kuliah pekan depan selama tiga hari keluar kota.
Kemelut di pikiran membuat saraf-saraf otak Amran gagal bekerja optimal. Sudah satu jam berlalu dan tidak satu pun materi selesai dibuat. Layar laptop justru memperlihatkan sosok empat perempuan yang pernah hadir dalam hidupnya. Lalu, waktu seperti berputar dan mengirimnya kembali ke masa lampau.
Amran pernah menyukai teman satu angkatan. Ketika lulus, dengan modal sedikit tabungan dan tentu saja kenekatan, ia datang melamar pada orangtua si gadis. Lamarannya ditolak karena pilihan hatinya telah dijodohkan dengan ASN kementrian keuangan. Ia yang saat itu belum dosen tetap kalah pamor.
Selama kuliah di luar negeri, Amran dua kali menjajagi hubungan dengan teman-teman sesama perantau dan harapannya kembali kandas. Keduanya sama-sama bersikeras tidak akan kembali ke Indonesia. Udara dan tanah Jerman telah menyatu dalam kehidupan mereka.
Ketika kembali ke Indonesia, ia dikenalkan dengan kolega dari fakultas lain dan semesta belum memeluk harapnya. Dengan alasan weton tidak cocok, ia ditolak.
Empat kali kandas, Arman trauma. Kalau sampai gagal untuk kelima kalinya, ia layak mendapat hadiah payung cantik.
Sepertinya aku harus tidur. Pikiran itu datang tepat ketika ia menyudahi lamunan dan ponselnya berkedip-kedip. Layar benda itu memperlihatkan notifikasi pesan dari Mei. “Maaf, Prof, nilai baru saya kirim sekarang.” Amran melihat jam di layar ponsel. Sepuluh menit sebelum jam sepuluh malam. “Oke, Mei. Makasih banyak. Kamu kerja keras sekali.” “Biasa saja, Prof. Sudah jadi tugas saya.” Emoticon senyum. “Revisi RAB proyek akan saya selesaikan dan kirim besok Prof. Tapi mungkin malam baru beres.” “It’s okay, Mei. Kamu punya waktu sampai jam 23.59.” Mei mengirim emoticon tertawa. “Saya usahakan sebelum jam cinderela sudah terkirim, Prof.” “Saya tunggu.” “Baik, Prof.” Percakapan berakhir. Amran masih menatap layar ponsel. Kalimat sang ibu terngiang. Jodoh itu dijemput. Bukan ditunggu.Amran menutup wajah dengan kedua tangan. Selama ini ia memang menunggu. Mungkin ia menunggu terlalu lama sampai lupa berusaha. Padahal tanpa usaha, Tuhan tidak pernah men
Amran hanya menghela napas. Ia pernah baca cerita novel online bertema pernikahan kontrak yang melintas di beranda media sosialnya. Ia jadi berpikir untuk melakukannya juga jika tenggat waktu enam bulan hampir habis. Masalahnya, siapa yang mau nikah kontrak dengan bujang karatan seperti dirinya? Amran melihat pantulan tubuhnya di kaca penutup rak buku di ruang tengah. Badannya memang masih tegap berisi karena menjaga makan dan olahraga teratur. Ia memiliki rambut hitam tebal terawat. Sepintas ia tidak terlihat seperti manusia dengan umur nyaris mendekati setengah abad. Sayangnya, umur tidak bisa bohong. Jika diperhatikan, tetap saja wajahnya enggan berdamai dengan waktu yang terus bergerak. Ada garis-garis yang tak bisa dicegah kehadirannya. Ia tetap menua, mengikuti pertambahan umur bumi. Arman sadar, bagaimanapun juga ia bukan ahjussi rasa oppa. Sebuah kesadaran yang membuat matahari pagi itu seperti lebih terik daripada biasanya. Ketika Amran menyingkir dari depan kaca penutup
Benar dugaannya. Mendadak tubuh Amran lemas. Berbagai lintasan pikiran buruk tumpah ruah di kepala. Darah. Kematian. Kata kecelakaan mengingatkannya pada almarhum Bapak. "Ditabrak orang waktu pulang dari salat Magrib di masjid." Nah, kan, kejadian juga. Amran sudah sering mengingatkan ibunya agar salat di musala dekat rumah saja. Masjid ada di ujung kampung dan harus menyeberang jalan desa. Lepas magrib, jalan itu sepi dan sering jadi ajang ngebut pengendara yang kebetulan melintas, terutama remaja-remaja yang sedang senang-senangnya pegang motor dan baru bisa asal ngegas. "Sekarang Ibu di rumah sakit." "Kata dokter kaki Ibu patah dan harus dioperasi. Gimana, Mas? Dokter menunggu persetujuan Mas Amran." Ada jeda tiga puluh menit dari pesan sebelumnya dan ada sepuluh pesan serupa yang dikirim setelahnya. Pak RT pasti sangat bingung.Amran segera menyentuh panel telepon. Di Indonesia masih jam sembilan malam. Belum terlalu larut dan masih ada kemungkinan dilakukan tindakan operasi s
Amran sedang tidak ingin melibatkan diri dalam perdebatan. Anggukan sudah cukup melegakan ibunya. “Tapi, Bu, nanti kalau ….” Mei masih berusaha mengelak.“Nggak akan terjadi apa-apa sama Ibu. Pokoknya kamu pulang diantar Amran. Ibu nggak mau kamu pulang sendiri. Titik.” Nah, Ibu mulai merajuk. Dalam hati Amran menyesalkan sikap ibunya yang merajuk pada Mei padahal mereka belum lama saling kenal. "Saya antar pulang, Mei." Akhirnya Amran memutuskan untuk memotong perdebatan dua perempuan itu. Ia capek dan malas melihat adu kata Ratih dan Mei. "Ta-tapi, Prof."Amran mengerjap, memberi isyarat pada Mei agar menurut. "Mau pulang sekarang?" "I-iya, Prof." “Nah, gitu, dong, Cah Ayu. Kalau kamu pulang sendiri, malah Ibu nggak tenang. Nanti tensinya naik.” Bibir Ratih melengkung. Amran berdeham. Kalau sudah ngadi-adi, ibunya bisa sangat hiperbolis.Mei tersenyum gugup. Ia memasukkan Al Qur'an ke dalam tas lalu mencangklongnya di pundak kanan. Dalam hati Mei berharap Prof Amran tidak b
"Mei asisten saya, Bu. Bukan pacar. Apalagi calon istri." "Kamu gimana, sih? Sudah ada yang cocok di depan mata malah nggak sat set. Dia belum nikah. Nggak masalah, kan, nikah sama asisten?" “Bukan gitu, Bu. Saya nggak tahu gimana perasaan Mei. Ya, kalau dia suka. Kalau nggak, apa saya nggak gigit jari?“Ya, ditanya, to, Ran. Gimana, sih, kamu?" Mei berseru gemas. Ia sudah melakukan pendekatan, malah Amran mager. Bener-bener bujang karatan nggak tahu diri! “Jangan sampai gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di lautan terlihat jelas. Jangan sampai kamu sibuk nyari di tempat yang jauh padahal yang di depan mata sudah ada.” "Ehm, kapan-kapan saya tanya. Tapi nggak janji. " Amran masih berpikir hubungannya dengan BlueMoon akan berlanjut karena mereka sama-sama serius. Lagi pula, ia memang tidak ada hati pada Mei. Ia benar-benar menganggap Mei sebatas mahasiswanya. "Kalau gitu Ibu saja yang tanya." "Eh jangan." Amran panik. "Secepatnya saya tanya, deh." "Nah, gitu. Katanya zam
Kepala Lila tertunduk sesaat. Ketika ia kembali mendongak, tatapannya berubah sendu dan wajahnya semuram langit tertutup awan kelabu. "Aku sudah cerai," ujarnya lirih setelah menghela napas. “So, sorry to hear that.” “It’s okay.” Lila melengkungkan bibir. “It’s over now. Saatnya membuka lembaran baru.” Awan gelap di wajah Lila memudar. "Jadi kamu mau nikah lagi? Anak-anak kamu gimana? Sudah setuju?" "Aku punya kehidupan sendiri dan tidak perlu meminta persetujuan orang lain." Lila menjawab dengan nada tegas. “Mereka harus bisa menghargai keputusan ibunya. Lagi pula mereka sudah besar. Mereka pasti bisa ngerti.” Mulut Amran sedikit terbuka lalu menutup kembali. Detik itu Amran menyadari jika Lila telah berubah. "Tapi nanti kamu tetap hidup dengan anak-anakmu. Tidak mungkin mengabaikan mereka begitu saja." Lila menggeleng. "Mereka ikut ayahnya. Tidak ada satu pun yang ingin hidup bersamaku. Semua karena hasutan manta suamiku. Laki-laki brengsek itu tidak hanya menghancurkan hidup
Layangan putus itu aku. Mei tersenyum getir. Ia tengah duduk menatap danau di taman kupu-kupu, sebelah barat kampus biru. Perempuan itu membungkuk lalu mengambil kerikil dan melemparnya sejauh mungkin. Kerikil itu jatuh agak ke tengah, menimbulkan gelombang di permukaan air danau yang semula tenang. Gelombang itu melebar lalu hilang dan permukaan danau kembali tenang. Di tepiannya, dua ekor rusa berkejaran. Beberapa pasang pengunjung duduk di kursi-kursi yang dipasang di bawah pohon. Rektorat menyebut danau dengan penangkaran kupu dan rusa itu dengan taman kupu-kupu. Mahasiswa menamainya lembah cinta saat hari terang dan berubah jadi lembah setan tatkala gelap. Bukan tanpa sebab nama itu hadir. Konon, ada yang pernah bunuh diri di sana dan menjadi arwah gentayangan mengganggu orang-orang yang pacaran.“Saya minta maaf atas sikap Ibu.” Ucapan Amran terngiang di telinga Mei. Baru satu jam lalu Mei pulang dari rumah Amran. Ia datang untuk memenuhi undangan Ratih. Meski kondisinya suda
“Apa portofolio Andra yang kutunjukkan tadi kurang jelas?” “Sangat jelas, Prof. Tapi saya kira, orang yang berpengalaman mengelola integrated farming system di dunia ini bukan hanya Pak Andra.” “Harusnya kamu ngomong dari awal kalau punya kandidat konsultan. Tadi Andra sudah tanda tangan kontrak. Saya tidak mungkin membatalkan sepihak.” Mei tertunduk. Bagaimana mungkin ia mengusulkan kandidat konsultan proyek? Ia bahkan tidak pernah berpikir Amran mengenal Andra dan mengajak kerjasama. Kalau sejak awal tahu, pasti Mei akan berusaha keras mencari konsultan lain. Nasi sudah jadi bubur Mei. Kamu cuma perlu menambah ayam suwir dan kuah agar bisa dinikmati. “Baik, Prof. Saya minta maaf.” Mei menarik kedua sudut bibirnya. Ia segera merapikan kertas-kertas di atas meja dan menyimpannya ke dalam map. Amran berdiri, memasukkan sebuah buku yang diambilnya dari rak ke dalam troli lalu kembali duduk. Sembari mengemas laptop dan dokumen, ia menelisik wajah Mei. Ia tahu, sejak awal meeting, Me