Share

Bab 4: Gosip Panas

“Apa sampai sekarang kamu belum nemu perempuan yang sreg di hati kamu, Ran?” Suara Ratih bertemu gemericik air dari aquarium di sudut ruang makan. Ada harapan juga gusar pada mata kelabu perempuan itu. 

Amran menghentikan suapannya. Batagor di piring baru separuh berpindah ke lambung. Ditatapnya wajah sang ibu yang duduk di seberang meja. “Kenapa memangnya, Bu?” Sebenarnya Amran tahu ke mana arah pembicaraan ibunya, tetapi ia tetap bertanya. Biasanya Amran akan mencari cara berkelit sebelum sang ibu mengeluarkan petuah, tetapi malam itu ia sedang lelah. Tidak ada satu ide pun terlintas di kepala untuk mengalihkan topik pembicaraan. 

“Ibu sudah tua. Ibu tidak ingin meninggal sebelum kamu menikah.” 

Sudah bisa ditebak. Kalimat sakti itu selalu diucapkan ibunya. Hampir setiap hari, sampai Amran kadang bosan dan menganggap itu seperti angin lalu. Hanya demi sopan santun ia duduk dan menyediakan telinga bagi setiap keluh yang terlontar dari lisan sang ibu. 

“Jangan terlalu pilih-pilih. Asal agamanya baik, cukup. Bisa ngaji dan tidak tinggal salat.” 

Sepotong batagor masuk ke mulut. Amran mengunyah perlahan. Matanya masih tertuju pada wajah sang ibu, menanti kalimat-kalimat selanjutnya. Amran tahu, dari raut mukanya, ada begitu banyak uneg-uneg yang ingin dilepas. Ia memilih memberi ruang sampai semua kata selesai terucap.

“Ibu sudah berusaha mengenalkan kamu ke anak-anak teman Ibu, ke saudara jauh atau dekat. Tidak ada satu pun yang nyantol di hati kamu. Sekarang mereka semua sudah menikah, punya anak. Sementara kamu nggak jauh beda dengan batu karang di tengah laut. Sendiri.” 

Rasa pedas dari kuah kacang batagor seperti menyengat tenggorokannya. Amran berdiri, mengambil gelas di atas meja dan mengisi dengan air putih. Ia kembali duduk dan menggelontorkan separuh isi gelas ke mulut. Amran masih diam meski paras sang ibu mulai berubah kesal karena tidak ada tanggapan apa pun dari putranya. 

“Ibu jadi kepikiran kata orang.” 

Dahi Amran mengernyit. “Kata orang?” Jiwa keponya memaksa mulutnya terbuka. “Sejak kapan Ibu menggosip?” 

“Tidak penting dari mana Ibu dengar gosip dan selentingan itu.” Ratih menukas cepat. 

“Memangnya ada berita apa tentang saya?” Seperti tengah mmenanti titah sang guru, Amran menyilangkan kedua tangan di atas meja lalu menatap ibunya lurus-lurus. 

“Sebenarnya kamu ....” 

Kerut di dahi Amran semakin bertambah melihat ibunya tampak gelisah. Ia sedikit menelengkan kepala, menunggu sang ibu meneruskan ucapan. 

Ratih menarik napas dalam-dalam. Ada khawatir juga ketakutan di balik tatapan matanya.  “Sebenarnya ... kamu normal nggak, Ran?” 

Amran tersedak. Ia mengambil gelas dan meneguk air yang masih tersisa. 

“Apa bener ....” Berat bagi Ratih untuk bertanya, tetapi ia harus meminta penjelasan langsung pada Amran daripada ia mati penasaran. “Apa bener kamu suka sama laki-laki?” 

Air di mulut Amran menyembur keluar, sebagian mengenai batagor dan sisanya menyebar di sekeliling piring, membasahi meja. Pria itu mengusap wajah lalu mengembuskan napas kasar. Ia berpikir untuk membuat perhitungan pada para penyebar berita hoaks itu. Bila perlu, melaporkan mereka dengan tuduhan pencemaran nama baik. Biar mereka kapok dan tidak asal bicara.

“Giimana, Ran? Apa bener kamu seperti yang mereka tuduhkan?” Tatapan Ratih menuntut jawaban. Ketakutan di hatinya semakin bertambah melihat Amran hanya diam. Lebih baik aku mati kalau tuduhan mereka benar. Pikiran Ratih kelut-melut. 

Amran berdiri sambil tersenyum masam. Ia pergi ke dapur untuk mengambil kain lap lalu membersihkan meja. 

“Apa tidak ada gosip lain yang lebih wow untuk jadi buah bibir, Bu?” tanyanya setelah ceceran air terangkat sempurna dan lap sudah kembali ke dapur. Ia menarik piring dan meneruskan makan. 

“Kamu jawab saja, bener atau nggak.” 

“Siapa yang lebih Ibu percaya, saya atau mulut tetangga?” 

“Amran, jangan berbelit. Jawab saja biar Ibu tenang.” 

“Saya belum nikah bukan karena suka laki-laki, Bu. Tapi memang belum ketemu jodoh.” Amran melengkungkan bibir. Hatinya sedikit lebih tenang meski masih menyimpan kesal. “Ibu, kan, tahu, saya sudah berusaha. Tapi sampai sekarang belum berhasil. Saya bisa apa, Bu? Bukankah jodoh, rezeki, mati itu Allah yang atur?” 

“Harusnya, yang gagal nggak usah diingat. Masih banyak perempuan lain, Ran.” Raut muka ibunya terlihat letih sekaligus putus asa. “Kalau nggak salah, move on istilah anak sekarang.” 

Amran terkekeh. “Ibu gaul juga.” Ia memasukkan potongan terakhir batagor. 

“Beri hadiah terbaik sebelum ibu meninggal, Ran.” 

Amran terenyak. Kalimat itu diucapkan pelan, tetapi menusuk hatinya. Amran menghela napas. Pasti Ibu sudah sangat putus asa. “Ibu tenang saja. Jodoh nggak bisa dipaksakan.”

“Bukan memaksa. Tapi Ibu lihat kamu nggak usaha, nggak nyari. Gimana mau ketemu? Jodoh itu dijemput, bukan ditunggu!” Ratih membanting sapu tangan ke meja. Putra tunggalnya berubah menyebalkan kalau sudah bicara soal jodoh.  “Pokoknya Ibu nggak mau tahu. Lebaran tahun depan kamu harus sudah menikah. Titik!” Perempuan berusia jelang 70 tahun itu berdiri. 

“Kasih koma, Bu. Jangan titik.” Amran tersenyum, mencoba berkelakar demi meredakan kemarahan ibunya. Repot kalau ibu sudah mengultimatum. Lebih berat dari ultimatum NATO atau PBB. 

“Ibu sedang tidak ingin bercanda.” Perempuan itu meninggalkan meja makan dengan raut muka masam. 

Mulut Amran terbuka. Otaknya seketika berasap. Lebaran tahun depan berarti kurang hanya sekitar enam bulan lagi. Ya, Allah, memangnya nyari istri gampang? 

Tak ingin menghabiskan waktu dengan termenung-menung, Amran bangkit. Ia membawa piring gelas kotor ke dapur dan mencucinya lalu pergi ke kamar. Ia harus membuat presentasi materi kuliah pekan depan selama tiga hari keluar kota. 

Kemelut di pikiran membuat saraf-saraf otak Amran gagal bekerja optimal. Sudah satu jam berlalu dan tidak satu pun materi selesai dibuat. Layar laptop justru memperlihatkan sosok empat perempuan yang pernah hadir dalam hidupnya. Lalu, waktu seperti berputar dan mengirimnya kembali ke masa lampau. 

Amran pernah menyukai teman satu angkatan. Ketika lulus, dengan modal sedikit tabungan dan tentu saja kenekatan, ia datang melamar pada orangtua si gadis. Lamarannya ditolak karena pilihan hatinya telah dijodohkan dengan ASN kementrian keuangan. Ia yang saat itu belum dosen tetap kalah pamor. 

Selama kuliah di luar negeri, Amran dua kali menjajagi hubungan dengan teman-teman sesama perantau dan harapannya kembali kandas. Keduanya sama-sama bersikeras tidak akan kembali ke Indonesia. Udara dan tanah Jerman telah menyatu dalam kehidupan mereka. 

Ketika kembali ke Indonesia, ia dikenalkan dengan kolega dari fakultas lain dan semesta belum memeluk harapnya. Dengan alasan weton tidak cocok, ia ditolak. 

Empat kali kandas, Arman trauma. Kalau sampai gagal untuk kelima kalinya, ia layak mendapat hadiah payung cantik. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status