Share

Bab 4: Gosip Panas

Author: HarunaHana
last update Last Updated: 2023-07-06 14:52:17

“Apa sampai sekarang kamu belum nemu perempuan yang sreg di hati kamu, Ran?” Suara Ratih bertemu gemericik air dari aquarium di sudut ruang makan. Ada harapan juga gusar pada mata kelabu perempuan itu. 

Amran menghentikan suapannya. Batagor di piring baru separuh berpindah ke lambung. Ditatapnya wajah sang ibu yang duduk di seberang meja. “Kenapa memangnya, Bu?” Sebenarnya Amran tahu ke mana arah pembicaraan ibunya, tetapi ia tetap bertanya. Biasanya Amran akan mencari cara berkelit sebelum sang ibu mengeluarkan petuah, tetapi malam itu ia sedang lelah. Tidak ada satu ide pun terlintas di kepala untuk mengalihkan topik pembicaraan. 

“Ibu sudah tua. Ibu tidak ingin meninggal sebelum kamu menikah.” 

Sudah bisa ditebak. Kalimat sakti itu selalu diucapkan ibunya. Hampir setiap hari, sampai Amran kadang bosan dan menganggap itu seperti angin lalu. Hanya demi sopan santun ia duduk dan menyediakan telinga bagi setiap keluh yang terlontar dari lisan sang ibu. 

“Jangan terlalu pilih-pilih. Asal agamanya baik, cukup. Bisa ngaji dan tidak tinggal salat.” 

Sepotong batagor masuk ke mulut. Amran mengunyah perlahan. Matanya masih tertuju pada wajah sang ibu, menanti kalimat-kalimat selanjutnya. Amran tahu, dari raut mukanya, ada begitu banyak uneg-uneg yang ingin dilepas. Ia memilih memberi ruang sampai semua kata selesai terucap.

“Ibu sudah berusaha mengenalkan kamu ke anak-anak teman Ibu, ke saudara jauh atau dekat. Tidak ada satu pun yang nyantol di hati kamu. Sekarang mereka semua sudah menikah, punya anak. Sementara kamu nggak jauh beda dengan batu karang di tengah laut. Sendiri.” 

Rasa pedas dari kuah kacang batagor seperti menyengat tenggorokannya. Amran berdiri, mengambil gelas di atas meja dan mengisi dengan air putih. Ia kembali duduk dan menggelontorkan separuh isi gelas ke mulut. Amran masih diam meski paras sang ibu mulai berubah kesal karena tidak ada tanggapan apa pun dari putranya. 

“Ibu jadi kepikiran kata orang.” 

Dahi Amran mengernyit. “Kata orang?” Jiwa keponya memaksa mulutnya terbuka. “Sejak kapan Ibu menggosip?” 

“Tidak penting dari mana Ibu dengar gosip dan selentingan itu.” Ratih menukas cepat. 

“Memangnya ada berita apa tentang saya?” Seperti tengah mmenanti titah sang guru, Amran menyilangkan kedua tangan di atas meja lalu menatap ibunya lurus-lurus. 

“Sebenarnya kamu ....” 

Kerut di dahi Amran semakin bertambah melihat ibunya tampak gelisah. Ia sedikit menelengkan kepala, menunggu sang ibu meneruskan ucapan. 

Ratih menarik napas dalam-dalam. Ada khawatir juga ketakutan di balik tatapan matanya.  “Sebenarnya ... kamu normal nggak, Ran?” 

Amran tersedak. Ia mengambil gelas dan meneguk air yang masih tersisa. 

“Apa bener ....” Berat bagi Ratih untuk bertanya, tetapi ia harus meminta penjelasan langsung pada Amran daripada ia mati penasaran. “Apa bener kamu suka sama laki-laki?” 

Air di mulut Amran menyembur keluar, sebagian mengenai batagor dan sisanya menyebar di sekeliling piring, membasahi meja. Pria itu mengusap wajah lalu mengembuskan napas kasar. Ia berpikir untuk membuat perhitungan pada para penyebar berita hoaks itu. Bila perlu, melaporkan mereka dengan tuduhan pencemaran nama baik. Biar mereka kapok dan tidak asal bicara.

“Giimana, Ran? Apa bener kamu seperti yang mereka tuduhkan?” Tatapan Ratih menuntut jawaban. Ketakutan di hatinya semakin bertambah melihat Amran hanya diam. Lebih baik aku mati kalau tuduhan mereka benar. Pikiran Ratih kelut-melut. 

Amran berdiri sambil tersenyum masam. Ia pergi ke dapur untuk mengambil kain lap lalu membersihkan meja. 

“Apa tidak ada gosip lain yang lebih wow untuk jadi buah bibir, Bu?” tanyanya setelah ceceran air terangkat sempurna dan lap sudah kembali ke dapur. Ia menarik piring dan meneruskan makan. 

“Kamu jawab saja, bener atau nggak.” 

“Siapa yang lebih Ibu percaya, saya atau mulut tetangga?” 

“Amran, jangan berbelit. Jawab saja biar Ibu tenang.” 

“Saya belum nikah bukan karena suka laki-laki, Bu. Tapi memang belum ketemu jodoh.” Amran melengkungkan bibir. Hatinya sedikit lebih tenang meski masih menyimpan kesal. “Ibu, kan, tahu, saya sudah berusaha. Tapi sampai sekarang belum berhasil. Saya bisa apa, Bu? Bukankah jodoh, rezeki, mati itu Allah yang atur?” 

“Harusnya, yang gagal nggak usah diingat. Masih banyak perempuan lain, Ran.” Raut muka ibunya terlihat letih sekaligus putus asa. “Kalau nggak salah, move on istilah anak sekarang.” 

Amran terkekeh. “Ibu gaul juga.” Ia memasukkan potongan terakhir batagor. 

“Beri hadiah terbaik sebelum ibu meninggal, Ran.” 

Amran terenyak. Kalimat itu diucapkan pelan, tetapi menusuk hatinya. Amran menghela napas. Pasti Ibu sudah sangat putus asa. “Ibu tenang saja. Jodoh nggak bisa dipaksakan.”

“Bukan memaksa. Tapi Ibu lihat kamu nggak usaha, nggak nyari. Gimana mau ketemu? Jodoh itu dijemput, bukan ditunggu!” Ratih membanting sapu tangan ke meja. Putra tunggalnya berubah menyebalkan kalau sudah bicara soal jodoh.  “Pokoknya Ibu nggak mau tahu. Lebaran tahun depan kamu harus sudah menikah. Titik!” Perempuan berusia jelang 70 tahun itu berdiri. 

“Kasih koma, Bu. Jangan titik.” Amran tersenyum, mencoba berkelakar demi meredakan kemarahan ibunya. Repot kalau ibu sudah mengultimatum. Lebih berat dari ultimatum NATO atau PBB. 

“Ibu sedang tidak ingin bercanda.” Perempuan itu meninggalkan meja makan dengan raut muka masam. 

Mulut Amran terbuka. Otaknya seketika berasap. Lebaran tahun depan berarti kurang hanya sekitar enam bulan lagi. Ya, Allah, memangnya nyari istri gampang? 

Tak ingin menghabiskan waktu dengan termenung-menung, Amran bangkit. Ia membawa piring gelas kotor ke dapur dan mencucinya lalu pergi ke kamar. Ia harus membuat presentasi materi kuliah pekan depan selama tiga hari keluar kota. 

Kemelut di pikiran membuat saraf-saraf otak Amran gagal bekerja optimal. Sudah satu jam berlalu dan tidak satu pun materi selesai dibuat. Layar laptop justru memperlihatkan sosok empat perempuan yang pernah hadir dalam hidupnya. Lalu, waktu seperti berputar dan mengirimnya kembali ke masa lampau. 

Amran pernah menyukai teman satu angkatan. Ketika lulus, dengan modal sedikit tabungan dan tentu saja kenekatan, ia datang melamar pada orangtua si gadis. Lamarannya ditolak karena pilihan hatinya telah dijodohkan dengan ASN kementrian keuangan. Ia yang saat itu belum dosen tetap kalah pamor. 

Selama kuliah di luar negeri, Amran dua kali menjajagi hubungan dengan teman-teman sesama perantau dan harapannya kembali kandas. Keduanya sama-sama bersikeras tidak akan kembali ke Indonesia. Udara dan tanah Jerman telah menyatu dalam kehidupan mereka. 

Ketika kembali ke Indonesia, ia dikenalkan dengan kolega dari fakultas lain dan semesta belum memeluk harapnya. Dengan alasan weton tidak cocok, ia ditolak. 

Empat kali kandas, Arman trauma. Kalau sampai gagal untuk kelima kalinya, ia layak mendapat hadiah payung cantik. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 64: Minta Satu Dapat Tiga

    Mei menghapus ingus. Ia sampai lupa kalau tadi pagi Nana menawarkan Umroh. "Iya, Mas. Nana sudah cerita. Tadi dia nelepon. Katanya kalau bisa berangkat berlima, ada diskon." "Jadi gimana? Kamu setuju?" Amran mengusap pipi Mei. "Siapa tahu sepulang dari tanah suci, hati kita lebih tenang dan senyum kamu kembali.” "Kalau Mas setuju, aku ikut saja. Sekalian Ibu kita ajak, Mas." "Oke, Meine Schatzi. Besok aku kabari Dr. Rezvan. Ia ingin berbulan madu di tanah suci dan Turki." "Kita juga akan ke Turki?""Kalau kamu mau, nanti aku bilang ke Dr. Rezvan kita ambil paket yang sama.""Aku ingin ke Maroko." "As you wish. Kita akan ke sana setelah umroh." Amran mengecup bibir Mei. “Sekarang senyum, terus tidur. Oke?” Lantas, di sinilah Mei, bersimpuh di Roudhoh dan berlanjut ke Ka’bah, melengitkan doa di tempat paling mustajab. Mei tidak tahu kenapa selama di Mekah dan Madinah, ari matanya begitu mudah tumpah. Bukan air mata kesedihan karena ia justru sangat bahagia sejak kakinya menginjak

  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 63: Maukah Engkau Menikah Lagi

    Bilah-bilah waktu yang berputar cepat menyisakan setitik rindu akan hadirnya anak di hati Mei. Titik-titik rindu itu seperti butir-butir salju yang jatuh ke bumi lalu mengeras dan menjadi bongkahan es. Dingin. Menggigit. Awalnya, Mei menjalani hidup dengan nyaman. Ia bisa menyelesaikan kuliah S2 dan lulus dengan nilai memuaskan. Tak ingin berdiam diri di rumah, Mei dan Kayla membuka toko sayur online yang menjual sayur organik dan non organik. Sedikit-sedikit, Mei membantu pemasaran produk-produk binaan Amran di Bantul. Lalu, komentar-komentar berkedok saran mulai muncul dari orang-orang di sekeliling Mei. Ada pula yang seolah menanyakan usaha apa saja yang sudah dilakukan Mei dan Amran kemudian memberi saran sembari menatap kasihan. Padahal Mei tidak ingin dikasihani. Dari sekian komentar, Mei paling sakit hati jika mereka menyinggung usianya dan Amran. Mereka memang telat menikah, tapi bukan berarti tidak bisa punya anak. Mati-matian berusaha menyingkirkan komentar-komentar buruk,

  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 62: Pengkhianatan Partner in Crime (21+)

    Mei berdiri kaku sambil tersenyum canggung ketika melihat Amran turun dari mobil. Awas kamu, Bas, sudah ngeprank aku. Mei mengomel dalam hati. Maksud hati ingin menghindari Amran dengan meminta tolong pada Bastian. Bukannya datang sesuai janji, Bastian malah bertukar posisi dengan Amran.. Mei yakin, setelah pembicaraan mereka, pasti Bastian melapor pada Amran. Pengkhianatan partner in crime, nih, ceritanya. Ingat, Bas, pembalasan selalu lebih kejam. “Kenapa motornya, Meine Schatzi?” Amran berujar tenang. Susah payah ia menahan diri agar tidak tertawa melihat raut muka Mei. “Nggak tahu, Mas. Tiba-tiba mogok. Sudah minta tolong pak parkir tetep nggak bisa nyala.” Mei sok cuek, seolah tidak sedang perang dingin. Rencana untuk menunda gencatan senjata sampai besok gagal total. Masa iya, sudah mau ditolong tetep perang dingin dan pasang muka judes. Di balik sikapnya yang seolah tanpa dosa, Mei merasa telah kehilangan muka. . “Kok, bisa kompakan sama yang punya, ya.” Amran tersenyum jahi

  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 61: Kenapa Bukan Dia yang Datang?

    Rumah terasa sunyi setelah Amran berangkat ke kampus karena Ibu belum pulang. Mei tidak tahu apakah sejak dulu Ibu juga betah menginap di rumah Kayla. Satu hal yang Mei rasakan, entah sengaja atau tidak, setiap kali Mei butuh sendiri atau sedang sedikit cekcok dengan Amran, Ibu akan menginap di rumah Kayla. Ada saja alasan Ibu. Mulai dari pengajian, masak bareng Kayla, atau diajak jalan. Bisa jadi juga karena di rumah Kayla ada kedua orangtuanya sebagai teman ngobrol Ibu. Entahlah, Mei tidak berani banyak bertanya. Kepergian Ibu justru melegakan hati Mei karena ia jadi punya ruang dan waktu untuk mengembalikan suasana hatinya ke setelan awal. Tidak mudah berpura-pura baik padahal hati sedang dilanda angin ribut. Mei bersyukur punya mertua sepengertian itu. “Meii, yuk triple date.” Pesan dari Aina masuk ke ponsel Mei ketika ia baru saja membersihkan dapur. “Calonnya Najma dan Pak Suami lagi di Jogja, nih. Buruan kasih tahu Prof. Amran biar dia kosongin jadwal, gih.” Kebiasaan Aina k

  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 60: Kenapa Tidak Menghubungi Aku, Mei?

    “Aku berangkat dulu, Meine Schatzi.” Tangan kanan Amran meraih tubuh Mei lalu memberi kecupan hangat yang hanya ditanggapi sambil lalu oleh Mei. “Weekend ini aku bisa kosongkan jadwal kalau kamu pengen liburan,” ujar Amran sambil masih menyimpan tubuh Mei dalam pelukan. “Iya, Prof, nanti aku pikirkan.” Mei menjawab malas lalu berusaha melepaskan diri dari rengkuhan Amran. “Nanti terlambat,” ucapnya sambil membetulkan dasi yang sebenarnya sudah terpasang rapi. Amran tersenyum. Setelah mengucapkan salam, ia pergi. Ia tidak terlalu ambil pusing ketika negosiasinya tadi malam berakhir deadlock. Segala bentuk rayuan sudah ia lakukan, tetapi sama sekali tidak membuahkan hasil. Mei terlalu tangguh untuk ditaklukkan. Kombinasi keras kepala dan marah memang cukup mematikan. Ketika semua usahanya gagal, menjelang tengah malam, Amran hanya bisa tidur sambil memeluk Mei, itu juga dari belakang. Sangat tidak menyenangkan, tetapi sedikit lebih baik ketimbang diusir keluar dan harus tidur di ruang

  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 59: Kamu Harus Dibalas, Prof

    Assalamualaikum, Sahabat. Mohon maaf baru melanjutkan cerita ini sekarang. Sejak akhir 2023 kondisi kesehatan saya kurang baik, harus sering bedrest sehingga tidak bisa nulis. Semoga tahun ini saya sehat dan bisa menyelesaikan cerita ini. Terima kasih masih bersedia mengikuti kisah Amran dan Mei :-) ***“Jangan lupa pakai seat belt-nya, Meine Schatzi.” Amran tersenyum lalu bergerak ingin memasangkan sabuk pengaman ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Amran tahu becandanya garing, tapi ia tidak tahan melihat wajah cemberut Mei. Ia selalu ingin menggoda Mei saat sedang marah atau cemberut. Ketika melihat Mei, Amran semakin sadar kalau Ibu dan Mei tak ubahnya seperti satu orang yang dibelah dua. Mereka memiliki banyak kesamaan. Karenanya, Amran tidak terlalu kesulitan menyesuaikan diri dengan kehadiran Mei dalam hidupnya. Mungkin karena itu jugalah Ibu langsung naksir Mei sejak bertemu pertama k

  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   58: Pertemuan Tak Terduga

    Amran menatap Bastian. "Kenapa dengan nama itu? Kamu kenal?" Jiwa kepo Amran meronta. Tiba-tiba ia khawatir kalau tingkah salah satu mahasiswanya itu ternyata tercium orang lain, termasuk Bastian. "Tidak, Prof." Bastian tersenyum samar. Otaknya bekerja cepat dan pertanyaan Mei kembali terlintas di kepala. Kini ia mengerti kenapa Mei tadi bertanya tentang Akira Hana. "Tapi dari wajah kamu, kayaknya kamu kenal dia." Amran yang sudah berdiri kembali duduk. Bastian meringis. "Kimbabnya enak, Prof." "Bas!" Bastian yang masih mengunyah dengan mulut penuh memberi isyarat dengan gerakan tangan pada Amran agar diam dan menunggu. Ya, ampun. Makhluk satu ini kenapa tiba-tiba bikin kesel? Amran menghela napas seraya menatap jengkel Bastian. Kalau ada asisten sedikit ngelunjak, Bastian orangnya. Namun, Amran terlanjur cocok bekerja dengan Bastian. Jadi, dia masih bisa menahan urat sabarnya agar tidak putus saat penyakit Bastian kambuh. "Cepetan ngomong," ujar Amran seraya menyodorkan air mi

  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 57: Pengagum Rahasia (2)

    Amran tidak tahu sejak kapan Mei berubah sikap padanya. Apakah sejak ia sakit dan karenanya Amran tidak menyadari perubahan raut muka dan gerstur tubuh Mei, atau baru-baru ini setelah ia sembuh. Amran baru merasakan perubahan Mei ketika tadi malam Mei lebih memilih memeluk guling ketimbang menggodanya. Namun, semalam ia terlalu lelah untuk mengobrol. Ia ingin cepat tidur karena hari ini harus mengajar jam pertama. Kebekuan Mei berlanjut pagi ini. Tidak ada senyum manis juga kecup mesra Mei yang biasanya ia dapat setiap kali akan pergi. "Apa aku tidak dapat bekal?" Amran yang baru saja selesai berpakaian dan siap berangkat tersenyum melihat Mei masuk ke kamar. Mei melihat Amran sekilas, tidak berminat menjawab pertanyaan sang suami. "Ini bekalnya, Prof." Ia hanya berujar singkat tanpa menatap Amran, meletakkan tas bekal di meja. Diambilnya jas dari gantungan baju kemudian diberikan pada Amran. Masih tanpa senyum dan raut muka datar. "Bukan bekal itu, Meine Schatzi." Amran meraih j

  • Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku   Bab 56: Pengagum Rahasia Amran

    "Akira Hana." Mei bergumam pelan. Ia belum pernah mendengar nama itu disebut Amran. Selama ini, suaminya lebih sering menyebut kolega laki-laki. Sangat jarang ia berbagi cerita tentang teman dosen perempuan kecuali Bu Andriana yang memang memiliki proyek bersama. "Mungkin mahasiswanya." Mei kembali bergumam. Ah, bukankah sejak dulu ia sudah tahu kalau Amran memang magnet bagi kaum hawa? Bukan tidak mungkin ada yang nekad mendekatinya meski status Amran sekarang telah berubah. Mei menghela napas. Dipukulkannya kepalan tangan ke tengah kemudi sementara parfum itu ia geletakkan begitu saja di kursi samping. Tiba-tiba saja seperti ada yang terbakar di dadanya. Mei masih tertegun dengan mata menatap lurus ke depan. Bayang masa lalu dengan Andra satu per satu mampir di kepala. Apakah ia harus menghadapi teror orang ketiga lagi? Kenapa hidupnya begitu sial dan pernikahannya selalu diganggu? Mei menggigit-gigit bibir. Gelisah. "Nanti aku cek hape Mas Amran. Jangan sampai ada penyusup dala

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status