Amran sedang tidak ingin melibatkan diri dalam perdebatan. Anggukan sudah cukup melegakan ibunya. “Tapi, Bu, nanti kalau ….” Mei masih berusaha mengelak.“Nggak akan terjadi apa-apa sama Ibu. Pokoknya kamu pulang diantar Amran. Ibu nggak mau kamu pulang sendiri. Titik.” Nah, Ibu mulai merajuk. Dalam hati Amran menyesalkan sikap ibunya yang merajuk pada Mei padahal mereka belum lama saling kenal. "Saya antar pulang, Mei." Akhirnya Amran memutuskan untuk memotong perdebatan dua perempuan itu. Ia capek dan malas melihat adu kata Ratih dan Mei. "Ta-tapi, Prof."Amran mengerjap, memberi isyarat pada Mei agar menurut. "Mau pulang sekarang?" "I-iya, Prof." “Nah, gitu, dong, Cah Ayu. Kalau kamu pulang sendiri, malah Ibu nggak tenang. Nanti tensinya naik.” Bibir Ratih melengkung. Amran berdeham. Kalau sudah ngadi-adi, ibunya bisa sangat hiperbolis.Mei tersenyum gugup. Ia memasukkan Al Qur'an ke dalam tas lalu mencangklongnya di pundak kanan. Dalam hati Mei berharap Prof Amran tidak b
"Mei asisten saya, Bu. Bukan pacar. Apalagi calon istri." "Kamu gimana, sih? Sudah ada yang cocok di depan mata malah nggak sat set. Dia belum nikah. Nggak masalah, kan, nikah sama asisten?" “Bukan gitu, Bu. Saya nggak tahu gimana perasaan Mei. Ya, kalau dia suka. Kalau nggak, apa saya nggak gigit jari?“Ya, ditanya, to, Ran. Gimana, sih, kamu?" Mei berseru gemas. Ia sudah melakukan pendekatan, malah Amran mager. Bener-bener bujang karatan nggak tahu diri! “Jangan sampai gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di lautan terlihat jelas. Jangan sampai kamu sibuk nyari di tempat yang jauh padahal yang di depan mata sudah ada.” "Ehm, kapan-kapan saya tanya. Tapi nggak janji. " Amran masih berpikir hubungannya dengan BlueMoon akan berlanjut karena mereka sama-sama serius. Lagi pula, ia memang tidak ada hati pada Mei. Ia benar-benar menganggap Mei sebatas mahasiswanya. "Kalau gitu Ibu saja yang tanya." "Eh jangan." Amran panik. "Secepatnya saya tanya, deh." "Nah, gitu. Katanya zam
Kepala Lila tertunduk sesaat. Ketika ia kembali mendongak, tatapannya berubah sendu dan wajahnya semuram langit tertutup awan kelabu. "Aku sudah cerai," ujarnya lirih setelah menghela napas. “So, sorry to hear that.” “It’s okay.” Lila melengkungkan bibir. “It’s over now. Saatnya membuka lembaran baru.” Awan gelap di wajah Lila memudar. "Jadi kamu mau nikah lagi? Anak-anak kamu gimana? Sudah setuju?" "Aku punya kehidupan sendiri dan tidak perlu meminta persetujuan orang lain." Lila menjawab dengan nada tegas. “Mereka harus bisa menghargai keputusan ibunya. Lagi pula mereka sudah besar. Mereka pasti bisa ngerti.” Mulut Amran sedikit terbuka lalu menutup kembali. Detik itu Amran menyadari jika Lila telah berubah. "Tapi nanti kamu tetap hidup dengan anak-anakmu. Tidak mungkin mengabaikan mereka begitu saja." Lila menggeleng. "Mereka ikut ayahnya. Tidak ada satu pun yang ingin hidup bersamaku. Semua karena hasutan manta suamiku. Laki-laki brengsek itu tidak hanya menghancurkan hidup
Layangan putus itu aku. Mei tersenyum getir. Ia tengah duduk menatap danau di taman kupu-kupu, sebelah barat kampus biru. Perempuan itu membungkuk lalu mengambil kerikil dan melemparnya sejauh mungkin. Kerikil itu jatuh agak ke tengah, menimbulkan gelombang di permukaan air danau yang semula tenang. Gelombang itu melebar lalu hilang dan permukaan danau kembali tenang. Di tepiannya, dua ekor rusa berkejaran. Beberapa pasang pengunjung duduk di kursi-kursi yang dipasang di bawah pohon. Rektorat menyebut danau dengan penangkaran kupu dan rusa itu dengan taman kupu-kupu. Mahasiswa menamainya lembah cinta saat hari terang dan berubah jadi lembah setan tatkala gelap. Bukan tanpa sebab nama itu hadir. Konon, ada yang pernah bunuh diri di sana dan menjadi arwah gentayangan mengganggu orang-orang yang pacaran.“Saya minta maaf atas sikap Ibu.” Ucapan Amran terngiang di telinga Mei. Baru satu jam lalu Mei pulang dari rumah Amran. Ia datang untuk memenuhi undangan Ratih. Meski kondisinya suda
“Apa portofolio Andra yang kutunjukkan tadi kurang jelas?” “Sangat jelas, Prof. Tapi saya kira, orang yang berpengalaman mengelola integrated farming system di dunia ini bukan hanya Pak Andra.” “Harusnya kamu ngomong dari awal kalau punya kandidat konsultan. Tadi Andra sudah tanda tangan kontrak. Saya tidak mungkin membatalkan sepihak.” Mei tertunduk. Bagaimana mungkin ia mengusulkan kandidat konsultan proyek? Ia bahkan tidak pernah berpikir Amran mengenal Andra dan mengajak kerjasama. Kalau sejak awal tahu, pasti Mei akan berusaha keras mencari konsultan lain. Nasi sudah jadi bubur Mei. Kamu cuma perlu menambah ayam suwir dan kuah agar bisa dinikmati. “Baik, Prof. Saya minta maaf.” Mei menarik kedua sudut bibirnya. Ia segera merapikan kertas-kertas di atas meja dan menyimpannya ke dalam map. Amran berdiri, memasukkan sebuah buku yang diambilnya dari rak ke dalam troli lalu kembali duduk. Sembari mengemas laptop dan dokumen, ia menelisik wajah Mei. Ia tahu, sejak awal meeting, Me
Semula, Andra ingin mengajak Mei pulang bareng dan makan di kafe, tetapi urung karena tidak enak pada Amran. Andra tidak tahu bagaimana hubungan Amran dan Mei. Apa pun relasi keduanya, dari cara Amran memandang dan memperlakukan Mei, ia bisa menebak bagaimana perasaan Amran pada Mei. Saat ini, ia tidak ingin merusak suasana dengan membuka identitasnya pada Amran. Jika Amran tipe pencemburu dan posesif, bisa jadi ia akan kehilangan pekerjaan. Saat ini keadaan keuangannya sedang tidak baik-baik. Ia butuh pekerjaan ini. Perlahan, Andra melajukan mobil, mengikuti pergerakan Amran. Ia yakin Amran akan mengantar Mei pulang. Jadi ia bisa tahu rumah Mei tanpa harus bertanya. Andra menepikan mobil jauh di belakang Amran. Dari tempatnya menunggu, Andra melihat Mei turun. Sendiri. Andra bersyukur karena Amran tetap di mobil lalu pergi. Tanpa Amran, pekerjaannya akan lebih mudah. Setelah kepergian Amran, Andra melajukan mobil dan parkir di tempat Amran berhenti. Ia menengok ke arah gang sempit
“Tidak perlu, Mei. Kita akhiri saja demi kebaikan bersama.” “Tapi pasti ada jalan keluar, Mas. Perceraian itu perbuatan yang dibenci Allah. Tolong Mas pikirkan baik-baik.” “Aku sudah lama memikirkannya. Berpisah adalah jalan terbaik buat kita.” Mei tergugu. Hati Andra semakin kalap. “Malam ini juga, aku talak kamu, Mei. Mulai saat ini kita bukan suami istri lagi,” ucapnya dengan wajah kaku. “Besok aku antar kamu pulang ke rumah Bapak.” Ditinggalkannya Mei yang duduh bersimpuh di lantai dengan tubuh gemetar. Setelah hakim mengabulkan gugatannya, drama ternyata belum pergi dari kehidupan Andra. Bak sinetron ikan nyungsep, istri barunya ternyata seekor cheetah yang menyaru menjadi kucing cantik nan lucu. Lalu, tanpa sepengetahuan Andra, cheetah itu pelan-pelan menggerus hartanya. Ketika Andra sadar, semua sudah terlambat. Cheetah itu telah pergi membawa uang tabungan, mobil, dan hasil penjualan rumah beserta isinya. Tanpa sepengetahuan Andra, rumah tempat tinggal mereka dijual. Ata
Mei menghela napas lalu melangkah pergi. Mereka tadi menggunakan dua motor sehingga Mei tidak perlu bergantung pada Andra. Terserah Andra kalau masih mau di sawah. Seandainya Andra jadi orang-orangan sawah atau dikutuk jadi batu penunggu pohon kersen di dekat gubug pun, Mei ikhlas. Ketimbang keberadaannya hanya menambah runyam suasana hatinya. Bola mata Andra menatap tubuh Mei yang menjauh dengan hati lelah dan mata berkabut. Jika Mei tak bisa menerima raganya, ia ingin menjelma udara atau sinar matahari, tidak terlihat, tetapi bisa terus bersama. Bukankah manusia tidak bisa hidup tanpa udara dan sinar matahari? Andra memukulkan botol ke kayu penyangga gubuk hingga pecah dan airnya muncrat membasahi kemejanya. Sial! Seburuk itukah aku di matamu, Mei? Andra meremas botol yang sudah pecah lalu membuangnya ke sembarang arah. Aku tidak akan menyerah, Mei. Kita akan lihat, siapa yang akan menang! Andra memukulkan kepalan tangannya ke kayu penyangga. Pedih. Perih, seperih hatinya. E