Usai menerima ucapan selamat dari para tamu, kini saatnya acara adat yaitu 'makan spertemon' acara adat ini dilakukan di sebagian daerah Serang, di mana pengantin akan disuruh makan bersama dan saling menyuapi dipandu oleh ibu dukun branak, alias paraji.
Kini aku dan Bu Lidiya duduk saling berhadapan, dan di depan kami ada sepiring nasi kuning lengkap dengan lauk pauknya. "Had, ayo suapin istrimu!" printah Ibu dukun padaku setelah selesai berdoa. Aku meraih sesuap makanan dan .. Blep.. Aku memasukan makanan yang cukup banyak ke mulutnya hingga dia tak bisa mengunyah. "Makan yang banyak, Bu! Ayo telen, ya Bu! Biar nanti malam Ibu kuat malam pertama hihi," bisikku di telinganya. Sungguh menyenangkan melihat Ibu dosenku ini tak berdaya mengikuti kemauanku. Entah kenapa dia memandangku dengan pandangan horror, sepertinya dia sedang merencanakan sesuatu untuk membalasku. "Suamiku sayang, makan ini, ya! Biar kamu juga kuat , he he he," ucapnya di sertai kedipan mata. Ah, gawat, sepertinya dia merencanakan sesuatu yang menyeramkan untukku. Dia menyuapkan nasi kuning itu ke mulutku dan "huh .. Hah Huh "Hah pedes banget, Ibu naruh cabe, ya?" tanyaku sambil mengibaskan tanganku. Benar saja, dia membalasku dengan menaruh cabe di makanan itu. "cuma sebiji, kok," jawabnya santai. Sungguh keterlaluan "Ya udah, ambilin minum!" sambil tetap menahan rasa pedas yang membakar bibirku aku meminta segelas air padanya. "Ambil sendiri!" tukasnya. Dasar wanita aneh, baiklah aku akan membalsnya dan ... Cup .. Aku membalasnya dengan mengecup bib*rnya lagi, hal itu sontak membuat orang di sekeliling kami tergelak. Sementara dia terlihat seperti kepiting rebus. Aku pun ikut tertawa penuh kemenangan. "Ya Allah, Hadi, sabar dikit, napa? Ha ha ha.. Main nyosor aja!" Ibu dukun dan yang lainnya tertawa mnertawakan kekonyolanku yang kini tersenyum penuh kemenangan. **** Acara demi acara telah selesai, membuatku terkapar di sofa karena kelelahan. "Kamu udah salat dzuhur belum, Had? " Kulihat mama mendekatiku. "Hehe belum, Ma. Oh ya, Mah, kan, acaranya udah selesai ni, gimana kalau kita pulang? pintaku memelas. Mama tersenyum. "Lah, kenapa terburu-buru, Kan, ini acara pernikahan kamu. Lagian, sekarang ini kan kamu udah sah menjadi suaminya Shiena, jadi kamu harus tetap di sini sama mereka, atau nanti kamu bawa Shiena ke rumah kita aja, biar rame," ujar mama. Aku mendengus kesal. aku kira setelah menikahi nya,masalah telah selesai tapi ternyata makin panjang saja. Aku mengacak acak rambut ku sendiri." Mama aja yang ngajak dia ..Hadi tunggu di Mobil!" jawabku ketus. Tanpa menunggu jawaban mama, aku langsung bergegas pergi dari rumah yang membuatku sesak itu. Hampir satu jam aku menunggu di Mobil, baru terlihat lah mama datang. Mama datang bersama perempuan yang kini sudah sah menjadi istriku. Tapi yang membuatku tertarik melihat mereka, di tengah-tengah mereka ada anak kecil yang ikut. Seorang anak kecil yang berwajah blasteran, kulit nya putih kemerahan, hidungnya mancung, Matanya bulat dengan Iris mata kecoklatan senada dengan warna rambutnya yang kecoklatan. "Had, ayo masukkan barang barang Shiena ke mobil!" teriak mama mengagetkanku. Tanpa menghiraukan kata-kata mamà, aku berjalan mendekati gadis kecil yang bersama mereka. Aku berjongkok dan tersenyum padanya. "Ini siapa, Mah? cantik banget, kaya anak Turky?" tanyaku sambil mengelus kepalanya. "Aku Basmah, Om. Om suaminya mama, iya kan om?" Gadis kecil itu menjawab, membuatku semakin gemas. "Tapi eh, tadi dia bilang aku suami mamanya, apa ini berarti anak ini, adalah anak Lidya. apa mungkin?" Bukannya menjawab, aku malah bengong sendiri. "Hmm suami mama Kamu? Apa ini, mama kamu?" tanyaku sambil menunjuk ke arah Bu Lidya. "Benar om, ini mamaku, cantik, kan, Om?" jawab nya sambil bergelayut di kaki Shiena Eh, Aku manggil dia apa ya, Shiena atau Lidiya? hmm namanya Thuri Shiena Maulidyah, di kampus biasa dipanggil Lidya, sedang di rumah nya dia dipanggil Shiena. Aku memandang mereka berdua secara bergantian seakan ingin memastikan apa benar anak secantik ini anak Shiena yang berwajah pas'pasan itu. "Om, ko bengong ciih?" tanyanya lagi, menggemaskan. " Hehe iya ...sayang, Om Namanya om Hadi, ya udah, sekarang Basmah masuk dulu, yuu, kita pulang ke rumah om, ya" jawabku sambil menggendongnya dan memasukkannya ke mobil. Setelah selesai memasukkan semua barang barang mereka, aku gegas menyetir. "Kok, anaknya gak mirip ibu sih? jangan -jangan dia anak pungut ibu, ya?" bisikku di telinga Shiena. Kulirik wajahnya dan seperti yang kuduga, wajahnya memerah, dan yang menyebalkan tangannya mulai bergerilya di punggungku dan .. "Awww!" pekikku menahan sakit akibat cubitannya. "Kalau ngomong jangan sembarangan, mau..? Kalau saya kurangi nilai kamu nanti, hmm?" ancamnya sambil mencubit lebih keras. Dan ahhh, tadi dia mengancam menurunkan nilai? " Hmm i-iya deh, tapi jangan ngucapin kata kata danger itu, ya Bu, Pleas!" jawab ku sambil sekilas memandang wajahnya. Entah kenapa tiba tiba ada rasa nyaman yang menyeruak dalam hati saat netra ini memandang wajahnya yang sederhana itu. Setelah 3 jam lama nya aku menyetir, akhirnya aku sampai di halaman rumah ku.. " Alhamdulillah kita sudah sampaaaai. Ayo kita turun, cucu oma yang cantik.." Seru mama pada Basmah yang kini tertidur di pangkuan mama. " Basmah nya tidur ya bu, biar nanti saya yang gendong " Ujar bu Lidya sambil segera turun dari mobil dan membuka pintu mobil ku yang tenģah. "Biar Hadi aja, Na, yang gendong Basmah. Kamu masuk aja." Mama melarangnya membuatku sedikit kesal, karena disuruh menggendong anak terus juga disuruh membawakan barang-barang Bu Lidya yang lumayan banyak. Aku membawa Basmah masuk ke kamar Mama, tapi barang-barang B Lidya kutaruh di kamar tamu yang ada di depan. "Hadi, kenapa barang istrimu kamu taruh di kamar tamu? ayo pindahin ke kamar kamu!" seru Mamah ketika melihatku memasukkan barang. "Maa, tolong mengerti Hadi sedikit dong, Maa. Mama kan tahu, ini tuh hal yang masih sulit diterima oleh Hadi, Maa!" Aku mèmelas, tapi sama sekali tak dihiraukan oleh mama. "Mama gak peduli, Shiena harus tetap tidur di kamar kamu. Kalau Basmah gak apa apa biar sama ibu," tegas Mama tetap dengan keinginannya. Akhirnya aku terpaksa menurutinya, dan membawa semua barang Bu Lidya ke kamarku. Aku menggeret koper-koper Bu Lidiya sambil sedikit membantingnya. Rasanya kesal sekali teringat bahwa aku sudah menjadi suami dari wanita yang berusia lebih tua dariku.Tubuhku terhuyung mendengar perkataan Resepsionis hotel tempatku menginap ini. Aku sungguh tak menyangka bahwa Nisa mampu melakukan hal ini padaku. "Mbak, istri saya membawa kabur semua milik saya, termasuk dompet bahkan ponsel saya juga. Jadi, bagaimana saya membayar uang sewa kamar?" tanyaku pada wanita cantik yang kini terlihat melongo. "Mas gak bohong?" Dia balik bertanya. Aku sungguh kesal karena tak dipercaya tapi aku paham, tak mungkin ada orang asing yang mempercayaiku begitu saja. "Ya kalau Mbak gak percaya, ayo ikut saya ke kamar dan cari barang saya. Silakan lihat cctv juga," jawabku tegas. 'Baiklah, kalau begitu saya akan mengatakan ini pada manager. Untuk sementara Anda duduk saja si situ!" lanjut resepsionis. Kemudian dia menelepon Manager hotel. Lama menunggu, akhirnya dia mau menemuiku. "Baiklah Pak Hadi, kalau memang gak mampu bayar. Mas bisa kerja di sini dan nanti gaji Mas dipotong untuk bayar sewa kamar kemaren," "Apa saya bisa bekerja di sini tanpa ijaza
"Aa, kenapa mereka bilang kita harus pergi dari rumah ini, bukannya ini rumah warisan kedua orang tua aa?'' tanya Nisa saat mereka sudah pergi. Aku mendengus kasar mendengar pertanyaan istriku itu. Entah kenapa dia sama sekali tak memperdulikan mamaku. "Mama sudah menjual rumah ini," jawabku datar tanpa melirik ke arahnya. "Apa, jadi rumah ini sudah dijual? lalu bagaimana dengan kita, di mana kita akan tinggal. Apa aa sudah membeli yang baru buat kita?" Lagi-lagi Nisa menanyakan tentang rumah dan uang, membuatku semakin kesal padanya. "Kita akan ngontrak lagi," ''Apa, ngontrak, Aa itu tega banget. Kenapa harus ngontrak lagi? Anak kita nanti bagaimana?" Nisa terus nyerocos meluapkan kekesalannya padaku. Sedangkan aku, aku segera mengemasi barang-barang yang aku punya. Aku pergi ke kamar yang ditempati Shiena. Ada rasa yang bercampur aduk, ketika kuedarkan pandanganku ke setiap inci kamar ini. Aku terus melangkah menuju tempat duduk di atas ranjang yang dulu pernah menjadi sa
"Jadi maksud kamu, kamu mau aku pergi dari sini?" Bu Shiena bertanya sekali lagi. Kumendongak ke arahnya, aku tak mampu menjawab pertanyaan itu. Sungguh, hati ini serasa sakit sekali harus mengatakan hal yang seharusnya tidak aku katakan. Dia memalingkan wajahnya, aku tahu dia mencoba menepis amarahnya dan mencoba bersikap tenang di depanku. ''Baik, jika itu maumu, aku akan pergi.'' "Siapa yang akan pergi?" Tiba-tiba mamaku masuk ke kamar tamu dan bertanya pada kami dengan nada keras. Aku sungguh gugup antara harus jujur atau pura-pura tak dengar. "Hadi, kenapa kamu tak menjawab?'' Mama kembali bertanya, tapi aku tak mampu menjawab, akhirnya aku berpamitan dan pergi ke rumah sakit lagi. "Maaf, Ma. Nisa hampir keguguran, jadi Hadi harus ke rumah sakit," pamitku pada Mamah. Setelahnya aku bersiap pergi. Sebelum pergi, kupandangi kamarku, ada rasa berat yang luar biasa mengganjal di hati, tapi aku tak mampu menghindari dan menolak kemauan Nisa. "Bu Shiena, maafkan Hadi. Semoga Bu
Keesokan harinya, aku kembali bekerja di Restoran Mama, Nisa meminta diantar ke Mall, tapi setelah pulang, aku tak mendapati Nisa di rumah. "Bu, apa ibu melihat Nisa?" tanyaku pada Shiena yang kebetulan masih di rumah mamah karena Mamah yang meminta."Dari sejak kamu antar dia, dia tak pulang lagi," jawab Shiena. Aku benar-benar terkejut mendengar perkataannya, kemana Nisa, kenapa dia belum pulang. Aku sudah menghubungi nomornya, tapi tak aktif. Aku sungguh pusing dibuatnya.Sampai tengah malam, aku terus menghubunginya, aku juga menghubungi teman-temannya, tapi tak ada yang melihat. Hingga hampir subuh, aku baru mendapat panggilan dari nomor yang tak kukenal."Hallo, selamat pagi, ini nomornya Pak Hadi? saya cuma mau memberi tahu, istri bapak ada di rumah sakit," ucap orang di seberang sana."Iya, saya Hadi, tolong beri alamatnya, Pak!" sahutku kemudian. Setelah mendapatkan alamat dari orang itu, aku bergegas ke rumah sakit."Dok, apa yang terjadi pada istri saya?" tanyaku pada dokte
Pov HadiDug! Dug! Dug! "Buka pintunya, dasar wanita murahan, udah cerai masih sekamar!" seru Nisa dari luar kamar. Aku dan Bu Shiena saling pandang tak paham dengan apa yang dikatakan oleh Nisa. "Kalau kalian tak mau keluar, kami akan mendobrak pintu.Kami bertambah bingung ketika mendengar suara dari luar, bukan cuma suara Nisa, tapi ada suara beberapa orang lagi, yang lebih membuatku heran, itu adalah suara laki-laki. "Ibu tunggu di sini, biar Hadi yang tengkok," ucapku sembari bergegas membuka pintu. Baru saja aku membukanya, aku sudah disambut oleh tangan Nisa yang menyeretku keluar."Nisa, apa-apaan sih kamu. Pak RT, Pak Hansip, dan Bapak-bapak, kenapa kalian malam-malam ke rumah saya?" tanyaku bertubi-bi pada rombongan Pak RT yanh kini berdiri di depan kamar. Entah siapa yang memanggil mereka."Halah, Mas Hadi jangan pura-pura, kami dengar kamu berz1na dengan mantan kamu, dan ternyata benar. Kalian sudah bercerai tapi masih sekamar," sahut salah seorang warga.Aku benar-benar
Pov: HadiAku sungguh sangat malu sekali dengan Shiena, ternyata Nisa menerima uang dari Hisyam atas namaku. "Kenapa kamu lakukan itu padaku? kenapa kamu bikin suamimu malu?" bentakku pada Nisa, tapi dia tak terima disalahkan."Ini semua salah aa, kalau saja Aa ngasih aku uang banyak, aku gak bakal nerima uang dari laki-laki itu," sahut Nisa tak kalah lantang denganku."Astagfirullah, memangnya aku harus memberi kamu uang berapa banyak. Aku sudah banting tulang, dan sekarang aku sudah mulai bekerja di restoran mama, aku ngasih kamu uang 100 ribu perhari dan makan pun kamu gak perlu mikirin lagi, karena sudah tersedia. Lalu apa lagi yang kamu mau?" Aku kembali membentaknya. Aku sungguh kecewa dengan sikap boros dan serakah yang dia miliki. Ahhkh, kenapa duly aku bisa mencintai wanita ini selama bertahun-tahun. Benar kata ceramah Ustadz yang kudengar, "Dalam pernikahan itu tak boleh mengandalkan cinta, cinta saja tak cukup untuk menjalani sebuah pernikahan. Cinta bisa berubah kapan