Hadi Firmansyah, mahasiswa tampan dan Playboy, tiba-tiba dijodohkan dengan Shiena, seorang janda beranak satu yang berwajah sederhana dan lebih tua darinya. Yang lebih membuatnya terkejut, wanita yang dinikahinya ternyata adalah dosennya.
ดูเพิ่มเติมHari ini merupakan hari yang paling menyebalkan bagiku. Karena hari ini ada mata kuliah yang dosennya paling menyebalkan sedunia. Sudah tiga kali aku membuat makalah, tapi dia terus saja menyalahkan tulisanku.
Kalau ada mahasiswa datang terlambat sedikit saja, dia pasti tak akan mengizinkannya masuk. “Ya ampun, mana hari ini aku telat lagi, alamat dapat semprotan lagi dari Bu Lidiya,” Aku terus berjalan menuju ruangan kuliahku. Aku berusaha mengintip dari balik jendela. “Ah, dosen itu sepertinya belum datang, sebaiknya aku segera masuk,” gumamku seraya membuka pintu ruangan. Kulihat teman-teman yang lain memandangiku sambil mengulum senyum. “Kenapa mereka melihatku seperti itu? Ah, sudahlah, biarin aja.” Tanpa menghiraukan mereka, aku gegas menuju kursi yang kosong, tapi belum sempat aku duduk, dari belakangku terdengar suara yang sangat kukenal. “Selamat siang, Pak Hadi Firmansyah,” ucap orang itu. Glek... Salivaku tertelan paksa saat kulihat dosen itu ternyata di belakangku, tepatnya dia duduk di kursi mahasiswa. “Akhhkhh ... mati aku!” pekikku dalam hati. Dia berdiri dan menghampiriku. “Duduk di sana!“ serunya sambil menunjuk ke arah kursinya. “Maksud Ibu, bagaimana?” tanyaku tak paham. Dia menatapku dengan pandangan dinginnya yang serasa menusuk jantungku. “Hari ini Anda yang akan menggantikan saya menyampaikan mata kuliah, dan saya akan duduk di sini sebagai mahasiswi,” ujarnya datar. “Akghghh, apa katanya tadi? Dia mau aku yang mengajar?” batinku. “Bu, Ibu jangan bercanda, deh. Masa Ibu mau saya yang ngajar gantiin Ibu? Emangnya Ibu mau makan gaji buta?” jawabku spontan. Dan, ahkh, kenapa aku malah berkata begitu? Bisa tambah marah dia. Ups! Aku membungkam mulutku saat kusadari aku salah ucap. Aku melirik ke arah teman-temanku yang kini terlihat cekikikan. “Saya makan gaji buta? Ok, kalau begitu, silakan Anda keluar dari ruangan ini, dan jangan salahkan saya jika nilai Anda di bawah C,” tegasnya sambil menunjuk ke arah pintu. “Ah, Ibu, Ibu gak adil!” pekikku tak kalah darinya. Dia terlihat menarik napas. “Baiklah teman-teman, menurut kalian bagaimana saya harus bersikap agar saya dianggap adil di ruangan ini?” tanyanya pada seluruh mahasiswa yang ada di ruangan. “Suruh aja dia berdiri di pojok ruangan, Bu! “ seru salah satu dari mereka. “Betul, Bu. Jangan lupa suruh sambil megang kuping, hihi,” sahut yang lainnya. “Sekalian suruh angkat sebelah kakinya, Bu,” timpal yang lain lagi. Akhhkhh, dasar teman gak ada akhlak semua, masa aku djsuruh menerima hukuman anak SD? Aku melirik ke arah Bu Lidya yang sekarang bersidekap. "Bagaimana Pak Hadi? Sekarang ada tiga pilihan untuk Anda. Anda mau pilih yang mana?” tanyanya sambil menatapku tajam. "Akhh dari pada aku dapat nilai D, atau ngajar, lebih baik aku pilih berdiri aja.” Tanpa menjawabnya, aku segera menuju pojok ruangan dan melakukan yang mereka minta, berdiri di pojok ruangan tentunya tanpa menuruti keinginan mereka yang menginginkan aku berdiri dengan mengangkat kaki. 'Enak aja! emangnya aku anak SD?' **** Usai mengikuti semua mata kuliah, aku segera berjalan menuju kantin. Rasa kesal pada dosen itu rasanya belum hilang juga. "Hei, Bro, kenapa muka elo di tekuk gitu? aah gue tahu, elo pasti habis dimarahi Bu Lidya. Iya,kan? Haha ayo ngaku!" tanya si brengsek Ilman, temanku yang beda jurusan. Entah kenapa dia selalu tahu dan selalu bisa menebak dari raut mukaku. " Ya, begitulah. Tuh dosen kayanya harus dinikahkan, biar gak saraf kaya gitu. Masa udah 3 kali gue bikin makalah, tapi masih disalahkan lagi, lagi dan lagi. Kan, gila tuh orang. Mana hari ini gue disuruh berdiri di pojok sambil pegang kuping, persis anak SD," jawabku berapi api. " Ha-ha-ha, dinikahkan? Maksudnya elo mau nikahi Bu Lidya, ya?" sahut Ilman meledekku. Menyebalkan. "Apa? Gue nikahi dia? cewek tua yang super killer itu? yang bener aja lu, Man? Yang ada gue berubah jadi kakek-kakek tar! ... ha-haha." Kami terbahak bersama, tapi kulihat Ilman merubah tawanya menjadi cengiran kuda. "Eh, denger, ya! Gue tuh udah punya cewek yang super duper kece, masih muda lagi, mana mungkin gue ninggalin cewek gue yang super cantik cuma demi wanita seperti Bu Lidya yang super killer dan udah tua ... haha ... sampai kapanpun dan walaupun di dunia ini gak ada cewek lain, gue gak bakal ngelirik tuh cewek ... haha?" Aku kembali tertawa terpingkal-pingkal, tapi kulihat Ilman malah salah tingkah. "Eh, Man, elu kenapa? Kok, bengong gitu?" Aku bertanya keheranan sambil memutar badanku dan ... " Ehmm, Sudah selesai menggibahnya? " Suara dingin yang sangat kukenal itu membuat jantungku terasa meloncat keluar. " Hmm, Bu-Bu Lidya? Saya ... sayaa." Aku tergagap-gagap. Ternyata Bu Lidya sedari tadi sudah ada di belakangku dan mendengar semua omongan jelekku tentangnya, tapi anehnya, dia tak terlihat marah, wajahnya tetap terlihat datar tak berekspresi. Dia mendekat dan memandangku dengan tajam. " Tuan Hadi Firmansyah, ikut saya ke Kantor!" tukasnya sambil melangkah ke arah ruangannya. "Ini makalah Anda, silakan perbaiki!" ujar Bu Lidiya sambil membanting sebuah map ke depanku. Mataku terbelalak melihat makalah yang tadi kuberikan padanya dikembalikan lagi, yang artinya tidak dia terima. "Apa, Bu?, kok, dikembalikan lagi? Kan, udah benar semua. Atau ... ooh saya tau, Ibu mengembalikan makalah saya karena ibu tersinggung dengan ucapan saya tadi. Iya, kan, Bu? " Aku terus nyerocos tanpa memikirkan perasaannya. "Jadi maksud Anda, saya tidak profesional? Maaf Hadi, justru karna saya profesional makanya saya kembalikan makalah ini ke kamu, karena saya ingin kamu perbaiki kesalahanmu," jawabnya masih dengan nada datar. " Maaf ya, Bu, Saya sudah perbaiki semua kesalahannya. Jadi, mana mungkin salah lagi.” Aku tetap ngotot tak mau disalahkan. "Saya menyuruh Anda membuat makalah, bukan novel. Iya, kan?" Dia terlihat mulai kesal. " Iya, itu, kan, saya buat makalah, Bu," tukasku tak kalah sewot. Dia menggeleng sambil berdecak kesal. " Coba kamu periksa dengan benar, Kalau kamu membuat makalah, pasti ada refrensinya, sekarang mana refrensinya? " tanyanya dengan nada suara mulai meninggi. Aku segera memeriksa makalahku. Dan benar saja, karena terburu-buru, aku lupa menaruh kertas yang sudah berisi tulisan tentang referensi buku yang akan kubuat. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. "Sekarang kerjakan itu! dan saya beri waktu sampai sore ini. Kalau sampai sore kamu tidak menyerahkan makalahnya, itu akan berpengaruh pada nilaimu nanti," ujarnya tegas. Aku tak bisa apa-apa selain mengikuti perintahnya. Bagaimana pun dia Dosenku. "Sebaiknya aku menemui Leni, dia kan, jago membuat makalah, ya tinggal aku turuti kemauan dia, pasti dia pengen shopping." Dengan langkah gontai, aku menuju ruangan Leni, pacarku yang beda jurusan denganku. Aku mengambil jurusan management, sedangkan Leni mengambil jurusan Akuntansi.Tubuhku terhuyung mendengar perkataan Resepsionis hotel tempatku menginap ini. Aku sungguh tak menyangka bahwa Nisa mampu melakukan hal ini padaku. "Mbak, istri saya membawa kabur semua milik saya, termasuk dompet bahkan ponsel saya juga. Jadi, bagaimana saya membayar uang sewa kamar?" tanyaku pada wanita cantik yang kini terlihat melongo. "Mas gak bohong?" Dia balik bertanya. Aku sungguh kesal karena tak dipercaya tapi aku paham, tak mungkin ada orang asing yang mempercayaiku begitu saja. "Ya kalau Mbak gak percaya, ayo ikut saya ke kamar dan cari barang saya. Silakan lihat cctv juga," jawabku tegas. 'Baiklah, kalau begitu saya akan mengatakan ini pada manager. Untuk sementara Anda duduk saja si situ!" lanjut resepsionis. Kemudian dia menelepon Manager hotel. Lama menunggu, akhirnya dia mau menemuiku. "Baiklah Pak Hadi, kalau memang gak mampu bayar. Mas bisa kerja di sini dan nanti gaji Mas dipotong untuk bayar sewa kamar kemaren," "Apa saya bisa bekerja di sini tanpa ijaza
"Aa, kenapa mereka bilang kita harus pergi dari rumah ini, bukannya ini rumah warisan kedua orang tua aa?'' tanya Nisa saat mereka sudah pergi. Aku mendengus kasar mendengar pertanyaan istriku itu. Entah kenapa dia sama sekali tak memperdulikan mamaku. "Mama sudah menjual rumah ini," jawabku datar tanpa melirik ke arahnya. "Apa, jadi rumah ini sudah dijual? lalu bagaimana dengan kita, di mana kita akan tinggal. Apa aa sudah membeli yang baru buat kita?" Lagi-lagi Nisa menanyakan tentang rumah dan uang, membuatku semakin kesal padanya. "Kita akan ngontrak lagi," ''Apa, ngontrak, Aa itu tega banget. Kenapa harus ngontrak lagi? Anak kita nanti bagaimana?" Nisa terus nyerocos meluapkan kekesalannya padaku. Sedangkan aku, aku segera mengemasi barang-barang yang aku punya. Aku pergi ke kamar yang ditempati Shiena. Ada rasa yang bercampur aduk, ketika kuedarkan pandanganku ke setiap inci kamar ini. Aku terus melangkah menuju tempat duduk di atas ranjang yang dulu pernah menjadi sa
"Jadi maksud kamu, kamu mau aku pergi dari sini?" Bu Shiena bertanya sekali lagi. Kumendongak ke arahnya, aku tak mampu menjawab pertanyaan itu. Sungguh, hati ini serasa sakit sekali harus mengatakan hal yang seharusnya tidak aku katakan. Dia memalingkan wajahnya, aku tahu dia mencoba menepis amarahnya dan mencoba bersikap tenang di depanku. ''Baik, jika itu maumu, aku akan pergi.'' "Siapa yang akan pergi?" Tiba-tiba mamaku masuk ke kamar tamu dan bertanya pada kami dengan nada keras. Aku sungguh gugup antara harus jujur atau pura-pura tak dengar. "Hadi, kenapa kamu tak menjawab?'' Mama kembali bertanya, tapi aku tak mampu menjawab, akhirnya aku berpamitan dan pergi ke rumah sakit lagi. "Maaf, Ma. Nisa hampir keguguran, jadi Hadi harus ke rumah sakit," pamitku pada Mamah. Setelahnya aku bersiap pergi. Sebelum pergi, kupandangi kamarku, ada rasa berat yang luar biasa mengganjal di hati, tapi aku tak mampu menghindari dan menolak kemauan Nisa. "Bu Shiena, maafkan Hadi. Semoga Bu
Keesokan harinya, aku kembali bekerja di Restoran Mama, Nisa meminta diantar ke Mall, tapi setelah pulang, aku tak mendapati Nisa di rumah. "Bu, apa ibu melihat Nisa?" tanyaku pada Shiena yang kebetulan masih di rumah mamah karena Mamah yang meminta."Dari sejak kamu antar dia, dia tak pulang lagi," jawab Shiena. Aku benar-benar terkejut mendengar perkataannya, kemana Nisa, kenapa dia belum pulang. Aku sudah menghubungi nomornya, tapi tak aktif. Aku sungguh pusing dibuatnya.Sampai tengah malam, aku terus menghubunginya, aku juga menghubungi teman-temannya, tapi tak ada yang melihat. Hingga hampir subuh, aku baru mendapat panggilan dari nomor yang tak kukenal."Hallo, selamat pagi, ini nomornya Pak Hadi? saya cuma mau memberi tahu, istri bapak ada di rumah sakit," ucap orang di seberang sana."Iya, saya Hadi, tolong beri alamatnya, Pak!" sahutku kemudian. Setelah mendapatkan alamat dari orang itu, aku bergegas ke rumah sakit."Dok, apa yang terjadi pada istri saya?" tanyaku pada dokte
Pov HadiDug! Dug! Dug! "Buka pintunya, dasar wanita murahan, udah cerai masih sekamar!" seru Nisa dari luar kamar. Aku dan Bu Shiena saling pandang tak paham dengan apa yang dikatakan oleh Nisa. "Kalau kalian tak mau keluar, kami akan mendobrak pintu.Kami bertambah bingung ketika mendengar suara dari luar, bukan cuma suara Nisa, tapi ada suara beberapa orang lagi, yang lebih membuatku heran, itu adalah suara laki-laki. "Ibu tunggu di sini, biar Hadi yang tengkok," ucapku sembari bergegas membuka pintu. Baru saja aku membukanya, aku sudah disambut oleh tangan Nisa yang menyeretku keluar."Nisa, apa-apaan sih kamu. Pak RT, Pak Hansip, dan Bapak-bapak, kenapa kalian malam-malam ke rumah saya?" tanyaku bertubi-bi pada rombongan Pak RT yanh kini berdiri di depan kamar. Entah siapa yang memanggil mereka."Halah, Mas Hadi jangan pura-pura, kami dengar kamu berz1na dengan mantan kamu, dan ternyata benar. Kalian sudah bercerai tapi masih sekamar," sahut salah seorang warga.Aku benar-benar
Pov: HadiAku sungguh sangat malu sekali dengan Shiena, ternyata Nisa menerima uang dari Hisyam atas namaku. "Kenapa kamu lakukan itu padaku? kenapa kamu bikin suamimu malu?" bentakku pada Nisa, tapi dia tak terima disalahkan."Ini semua salah aa, kalau saja Aa ngasih aku uang banyak, aku gak bakal nerima uang dari laki-laki itu," sahut Nisa tak kalah lantang denganku."Astagfirullah, memangnya aku harus memberi kamu uang berapa banyak. Aku sudah banting tulang, dan sekarang aku sudah mulai bekerja di restoran mama, aku ngasih kamu uang 100 ribu perhari dan makan pun kamu gak perlu mikirin lagi, karena sudah tersedia. Lalu apa lagi yang kamu mau?" Aku kembali membentaknya. Aku sungguh kecewa dengan sikap boros dan serakah yang dia miliki. Ahhkh, kenapa duly aku bisa mencintai wanita ini selama bertahun-tahun. Benar kata ceramah Ustadz yang kudengar, "Dalam pernikahan itu tak boleh mengandalkan cinta, cinta saja tak cukup untuk menjalani sebuah pernikahan. Cinta bisa berubah kapan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
ความคิดเห็น