“Maaf, Ma. Itu nggak akan terjadi. Aku sama Cio nggak akan ninggalin Ibu dan panti asuhan sebelum bertemu orang yang benar-benar tulus. Hubungan Cio sama Mas Ardan emang nggak akan pernah berakhir, tapi hubunganku sama Mas Ardan, itu udah lama berakhir. Jadi, nggak pantas rasanya kalau aku sama Cio tinggal sama Mama,” ucap Luna dengan tegas. Kinanti menatap Luna dengan tatapan sedih. Ia menghela napas panjang, lalu mengusap tangan Luna dengan lembut. "Kalau Cio Mama bawa juga nggak boleh, ya?" tanya Kinanti, dengan suara pelan penuh harap. Luna langsung menggeleng sambil tersenyum manis. Sementara Ardan yang panik langsung menegur dengan keras, "Ma!" "Apa, sih? Mama cuma nanya," balas Kinanti. Bukan apa-apa, Ardan hanya khawatir Luna merasa tak nyaman dengan pertanyaan itu. Ia juga takut Luna tiba-tiba berubah pikiran dan berakhir menjauhkan dirinya dari Cio. "Jangan ngomong aneh-aneh. Kalau Mama pengen ketemu Cio tiap hari, pindah ke Bandung sekalian. Nanti Mama bisa jenguk
Pagi harinya, ketika baru saja bangun dari tidurnya, Ardan masuk ke dalam kamar Wulan untuk mengambil bajunya. Meskipun mereka sudah pisah ranjang, Ardan belum sempat memindahkan pakaian-pakaiannya dari kamar ini. Bahkan tadi malam, ia lebih memilih tidur di sofa ruang tamu daripada bersama Wulan di kamar.Saat sedang mencari baju di lemari, Ardan melihat ponsel Wulan yang menyala karena ada notifikasi masuk. Rasa penasaran tiba-tiba muncul dalam dirinya. Mumpung Wulan sedang berada di kamar mandi, ia pun meraih ponsel itu dan membaca pesan yang masuk.Desy New:[Hari ini Amar berangkat][Aku kasih uang saku lima juta]Ardan menggulir pesan tersebut ke atas, matanya menyipit membaca setiap kata. Begitu membaca pesan yang dikirim oleh Wulan tadi malam, rahang Ardan langsung mengeras dan tangannya meremas ponsel itu dengan kuat."Sialan, beraninya kamu, Wulan!" gumam Ardan dengan suara penuh amarah.Ardan meletakkan ponsel
Selesai mengambil baju dan barang-barang yang akan dibawa ke rumah sakit, Luna kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan bersama Ardan."Udah makan, Mas?" tanya Luna sambil melirik ke arah Ardan."Belum," jawab Ardan. "Aku juga belum. Mampir ke warung makan dulu, yuk," ajaknya. Ardan mengangguk setuju. "Kamu pengen makan apa? Saya ikut aja," jawabnya."Gimana kalau lontong sayur aja? Suka nggak?" tanya Luna. "Suka-suka aja," jawab Ardan.Tak lama kemudian, mereka sampai di warung makan sederhana yang terletak di pinggir jalan. Luna turun lebih dulu dari mobil dan menunggu Ardan yang segera menyusul. Setelah memesan makanan, mereka memilih duduk di meja yang paling ujung. Tak berselang lama, penjual datang membawa dua piring lontong sayur lengkap dengan kerupuk yang masih renyah. Luna segera mengambil sendok dan mencicipi kuahnya."Enak?" tanya Ardan. Luna mengangguk. "Lumayan. Cuma kurang asin aja menurut aku," jawabnya. Ardan meraih sendoknya dan mulai menikmati lontong sayur
Hari ini, sebenarnya Luna malas sekali berangkat ke kampus. Ia ingin mengirim surat izin, tetapi karena hari ini ada jadwal presentasi, ia terpaksa harus tetap berangkat. Meskipun di grup kelasnya belum ada gosip soal hubungannya dengan Ardan, Luna tetap merasa cemas. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa saat bertemu dengan Sila dan Nayla nanti. "Aku berangkat sendiri aja, Mas. Nanti Sila sama Nayla makin heboh kalau lihat kamu antar aku," ujar Luna sambil merapikan bajunya di depan kaca. Pagi ini, Ardan kembali memaksa untuk mengantar Luna ke kampus. Kebetulan, ia tidak ada jadwal mengajar hari ini, jadi ia akan menunggu Cio di rumah sakit bersama ibunya nanti, karena Bu Juli sudah kembali ke rumah tadi malam. "Lun, ini saya belum tahu, orang suruhan Wulan jadi datang ke Bandung atau enggak. Saya nggak bisa lepasin kamu begitu aja. Gimana kalau dia tiba-tiba muncul dan nyerang kamu?" Luna menghela na
Takut disangka pelakor oleh temannya, Luna buru-buru menjelaskan. “Aku terpaksa nikah sama Mas Ardan waktu itu, karena kita sama-sama saling membutuhkan. Mas Ardan dan istrinya butuh anak, sedangkan panti asuhanku butuh dana. Jadi kita sepakat buat ambil jalan itu. Aku nikah sama Mas Ardan dan kasih dia anak, sedangkan Mas Ardan bantu membiayai semua kebutuhan anak-anak di panti.”Sila dan Nayla masih tercengang. Mereka belum bisa berkata-kata karena terlalu terkejut. Setelah beberapa saat, akhirnya Nayla angkat bicara."Istrinya nggak marah suaminya nikah lagi?" tanya Nayla."Justru dia yang nyuruh suaminya nikah lagi. Dia yang kasih izin, tapi endingnya dia juga yang misahin," jawab Luna.Sila dan Nayla mengernyit bingung. "Maksudnya?" tanya Sila."Aku cerai sama Mas Ardan karena difitnah sama istri pertamanya," jelas Luna."Kok bisa?" Sila bertanya lagi dengan raut wajah yang sangat penasaran."Ya bisa, karena dia cemburu lihat Mas Ardan tiap hari sama aku," jawab Luna. "Aku juga s
Satu hari telah berlalu. Hari ini Cio akhirnya diperbolehkan pulang karena kondisinya sudah membaik. Kemarin, Luna menolak keras ajakan Kinanti untuk datang ke rumah Ardan. Biarlah urusan itu menjadi tanggung jawab mereka, Luna tidak ingin ikut campur dalam rumah tangga orang lain. Namun, sepertinya takdir masih ingin mempertemukannya kembali dengan Wulan setelah sekian lama. "Besok aja, Nak, main ke rumah Ayah. Sekarang kita pulang dulu, ya," bujuk Luna dengan lembut. "Nggak mau! Cio mau ke rumah Ayah sekarang!" rengek bocah itu keras kepala. Luna menghela napas panjang. Ini semua gara-gara Ardan yang sengaja memancing antusiasme Cio dengan memamerkan burung Kardinal barunya. Burung yang baru dibelinya itu langsung membuat Cio merengek ingin ikut pulang ke rumah Ardan, tapi dengan syarat bundanya juga harus ikut. Berbeda dengan Luna yang tampak kesal, Ardan justru terlihat sangat bahagia. Usah
Luna hanya tersenyum tipis, tampak tidak gentar oleh ancaman Wulan. "Terserah Mbak Wulan aja. Toh, setiap kali Mbak Wulan berbuat jahat, Mbak selalu dapat karmanya, kan? Jadi ya silahkan, kalau Mbak Wulan pengen merebut kebahagiaanku, paling nanti karmanya lebih brutal," balasnya santai, namun terkesan menantang. Wulan menggertakkan giginya. Tatapannya semakin tajam ke arah Luna. "Aku pastikan dalam waktu dekat ini, hidupmu dan hidup anakmu semakin menderita," desisnya tajam. "Jangan dikira karena aku lumpuh, aku nggak bisa balas dendam ke kamu. Kamu harus tahu, Luna, kaki tanganku banyak dan uangku juga masih banyak. Aku bisa melakukan apapun yang aku mau," lanjutnya, seolah melupakan jika Ardan masih berada di sana. "Dan jangan kira aku bakal diam aja kalau terjadi apa-apa ke Cio sama Luna. Aku bisa melakukan hal yang lebih besar dari kamu," sahut Ardan dengan suara yang lebih tenang, meskipun tatapannya tetap tajam, menusuk ke arah Wulan.
Malam ini, setelah menjatuhkan talak tiga, Ardan benar-benar mengantarkan Wulan kembali ke rumah orang tuanya. Perjalanan menuju Jakarta berlangsung dalam keheningan. Ardan dan ibunya duduk di kursi depan, sementara Wulan duduk sendirian di kursi belakang.Tadi sebelum berangkat, Wulan sempat melakukan perlawanan. Namun, setelah menerima telepon dari orang tuanya, ia akhirnya menurut, meskipun sepanjang perjalanan terus mengeluarkan sumpah serapah."Lihat aja kalau nanti aku udah bisa jalan, aku balas semua perlakuan kamu, Mas."Ardan hanya diam dan tetap tenang, matanya menatap lurus ke depan, berusaha untuk menjaga konsentrasinya. Semua ucapan yang keluar dari mulut Wulan ia abaikan, menganggapnya seperti ocehan orang gila.Kinanti pun melakukan hal yang sama. Ia menyumpal telinganya dengan earphone milik Ardan, agar tidak bisa mendengar cerocosan Wulan yang semakin lama semakin memancing emosinya."Kamu pikir setelah kita cerai aku bakal berhenti ganggu Luna? Enggak, Mas. Aku masih
Bu Juli tersenyum tipis melihat ketiganya duduk bersama. Pemandangan ini mengingatkannya pada masa lalu, ketika Ardan dan Luna masih bersama sebagai suami istri. "Cio mau makan pakai telur atau pakai ayam?" tanya Luna sambil menuangkan susu ke gelas kecil."Pakai telur dadar," jawab Cio yang masih melamun dengan suara yang masih lemas.Ardan langsung mengambil sepotong telur dadar dan meletakkannya di piring kecil Cio. "Ayah suapin, ya?" tawarnya lembut.Cio hanya mengangguk kecil. Tenaganya belum terkumpul sepenuhnya, jadi ia duduk diam menerima suapan demi suapan dari ayahnya."Makan dulu, Mas. Biar aku aja yang nyuapin," ujar Luna. "Enggak, kamu makan aja dulu. Biar aku yang nyuapin Cio," balas Ardan. Luna menghela napas, tapi tidak membantah. Karena perutnya juga sudah lapar, ia segera mengambil nasi, sepotong ayam, dan sedikit sambal.Meskipun sebenarnya kurang sopan makan lebih dulu daripada tamunya, Luna tak peduli. Lagipula, Ardan sendiri yang menolak untuk digantikan."Mi
"Ayah pulang ke rumah, Nak," ujar Luna lembut, berusaha membujuk Cio agar membiarkan ayahnya pergi. Namun, Cio menggeleng keras. Bibirnya sudah ditekuk ke bawah, tanda-tanda akan menangis. Dan benar saja, detik berikutnya, ia menyandarkan kepalanya ke pundak Ardan sambil terisak pelan. Semua orang di sana hanya bisa menghela napas melihatnya. "Udah, nggak papa. Nginep di sini aja, Dan. Ada satu kamar kosong di rumah ini," sahut Bu Juli sebelum melangkah masuk ke dalam rumah. Ardan menatap Luna, meminta persetujuan. Luna sendiri hanya bisa menghela napas dan mengangkat bahunya pasrah. "Yaudah, masuk, Mas," katanya akhirnya. Ardan pun tak bisa berbuat banyak selain mengikuti mereka masuk ke dalam rumah, sambil menggendong Cio yang enggan lepas darinya. Ya, tak ada yang bisa menolak permintaan bocah kecil itu. Jika tak dituruti, tangisnya pasti semakin menjadi-jadi. Beruntung, ada s
Ardan refleks menginjak rem sekuat tenaga. Benturan tak terhindarkan, namun setidaknya kecelakaan besar berhasil dicegah. Beruntung, posisi mereka berada di tepi jalan, dan arus kendaraan di belakang tidak terlalu padat, sehingga tabrakan beruntun dapat dihindari. "Astaga!" Luna tersentak, wajahnya menegang. Ia mengusap dadanya, merasakan jantungnya berdegup kencang. Napas keduanya masih memburu. Ardan yang masih gemetar segera menoleh ke arah Luna untuk memastikan keadaannya. "Kamu nggak papa?" tanya Ardan sambil mengguncang bahu Luna pelan. Luna hanya mengangguk sambil menghela napas panjang. Tangannya masih menekan dadanya, sementara kepalanya bersandar di kursi, mencoba untuk menenangkan dirinya. Tak lama kemudian, pengemudi mobil di depan keluar dengan ekspresi tidak menyenangkan dan langsung menghampiri Ardan. "Woi, keluar! Anda nyetir pakai mata atau pakai kaki?! Lihat tuh, mobil saya penyok gara-gara anda!" bentak pria yang berusia sekitar tiga puluhan itu, tangann
Luna melepaskan bekapan tangannya, lalu dengan kesal berjalan menuju mobil yang terparkir di depan. Melihat itu, Ardan hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Sementara itu, Kinanti yang penasaran langsung bertanya, "Apa, sih? Tadi kamu mau ngomong apa?"Ardan hanya menggeleng dengan senyum yang masih tersungging di bibirnya. Ia lalu meraih tangan ibunya dan berpamitan, "Kita berangkat dulu, Ma. Besok aku baru balik lagi ke Jakarta."Kinanti mengangguk. "Hati-hati di jalan," ucapnya lembut.Ia tetap berdiri di depan rumah, menatap mobil anaknya yang perlahan melaju pergi. Senyum hangat terukir di wajahnya saat ia bergumam, "Kalian pasangan yang serasi. Semoga Tuhan kasih kalian kesempatan buat memperbaiki hubungan lagi." "Nyonya, ayo masuk! Teh herbalnya sudah jadi," seru seorang pembantu dari dalam rumah, membuat Kinanti langsung bergegas masuk ke dalam.***** Sepanjang perjalanan, Ardan terus tersenyum sendiri seperti orang gila. Entah apa yang ada di kepalanya, setiap kali
Luna kaget, Ardan juga kaget. Keduanya sama-sama terdiam dalam posisi canggung. Ardan berdehem pelan, berusaha mengendalikan situasi. "Ehm..." Mendengar itu, Luna mendongak, matanya bertemu dengan tatapan Ardan. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. "AAAA!!!" Luna menjerit keras. Ia langsung melepas pelukannya dan menutup pintu kamar mandi dengan keras. BRAK! Ardan menghela napas panjang, mengusap dadanya yang masih berdebar. Matanya tertuju pada pintu kamar mandi sambil bergumam pelan, "Sialan... mana makin gede lagi." Ia menggelengkan kepala, berusaha menepis pikirannya yang mulai melenceng. Tanpa membuang waktu, Ardan segera melangkah keluar rumah menuju mobilnya. Ia berniat menyelesaikan urusannya secepat mungkin agar bisa segera kembali dan mengantar Luna pulang ke Bandung malam ini juga. Setelah dua puluh menit di perjalanan, Ardan memarkir mobilnya di depan sebuah warung kopi sederhana di pinggir jalan. Warung itu tampak sepi, hanya ada satu pria tua yang duduk di su
"Oh, udah akur ternyata," ujar teman Ardan sambil menatap Luna dengan senyum canggung."Iya, dong. Meskipun udah pisah, kita harus tetap akur demi anak," balas Ardan sambil tersenyum lebar.Luna menggeram dalam hati. Kalau tidak sedang berada di acara resmi seperti ini, mungkin high heels-nya sudah mendarat di wajah tampan Ardan."Oh, anaknya nggak diajak?" tanya pria itu lagi."Enggak. Dia baru sembuh dari sakit," jawab Ardan.Kesal, Luna berniat pergi dari sana. Namun, sebelum ia sempat melangkah, Ardan dengan sigap menarik pundaknya dan memeluknya erat."Lepasin, Mas!" bisik Luna geram. Ia menatap Ardan tajam, lalu melirik ke arah Dylan, berharap pria itu akan membantunya. Tapi Dylan hanya memalingkan wajah, rahangnya mengeras, dan rona merah terlihat di wajahnya.Luna merasa bersalah. Ia segera melepaskan pelukan Ardan dan hendak mengajak Dylan pergi. Namun, Dylan lebih dulu membuka suara."Aku ke kamar mandi dulu, Lun," ucapnya singkat, tanpa menoleh.Luna tertegun. Dylan pergi b
Saat ini, Luna dan Dylan sudah berada di perjalanan menuju Jakarta. Cio tidak diajak, karena bocah itu baru saja sembuh dari sakit. Alhasil, suasana di mobil terasa sangat canggung, karena biasanya Cio yang selalu mencairkan suasana. "Minggu depan ibuku berkunjung ke rumah," ujar Dylan, memulai percakapan. "Ke rumah siapa?" tanya Luna, menanggapi. "Ke rumahku," jawab Dylan santai. "Oh..." Luna mengangguk pelan. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Rasanya wajar saja kalau ibu Dylan berkunjung ke rumah anaknya, kan? "Nanti kamu temui," kata Dylan tiba-tiba. Luna menoleh, alisnya berkerut. "Hah? Aku?" tanyanya bingung. "Iya. Ibu pengen ketemu kamu," jawab Dylan. Luna tersenyum canggung. "Ngapain ketemu aku?" tanyanya lagi. "Mungkin ditanya, kapan nikah sama anak saya?" jawab Dylan, setengah bercanda. Luna menghela napas panjang,
"Mas Ardan itu siapa, Kak?" tanya Mega, salah satu teman Luna, sambil senyum-senyum menggoda.Luna langsung panik. Ia segera memalingkan wajahnya ke depan, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang. Bisa-bisanya ia tidak menyadari kalau teman-temannya mengintip layar ponselnya di belakang sedari tadi. Nayla dan Sila memilih untuk pura-pura tak peduli, meski sebenarnya mereka sedang menahan tawa. "Hayo... siapa itu Mas Ardan?" goda temannya yang lain. Luna mendengus kesal. Meski terus didesak, ia memilih bungkam. Namun, belum sempat ia bernapas lega, ponselnya kembali berdering. Nama Ardan muncul lagi di layar. Luna langsung panik dan berniat menolak panggilan itu, tapi Dafa dengan gesit merebut ponselnya."DAFA! BALIKIN HP KU!" bentak Luna, wajahnya memerah karena kesal.Bukannya mengembalikan, Dafa malah berlari ke depan kelas bersama temannya, lalu mengangkat panggilan itu dengan cepat. "Halo—" Dafa langsung terdiam begitu melihat wajah di layar ponsel. Mulutnya me
Malam ini, setelah menjatuhkan talak tiga, Ardan benar-benar mengantarkan Wulan kembali ke rumah orang tuanya. Perjalanan menuju Jakarta berlangsung dalam keheningan. Ardan dan ibunya duduk di kursi depan, sementara Wulan duduk sendirian di kursi belakang.Tadi sebelum berangkat, Wulan sempat melakukan perlawanan. Namun, setelah menerima telepon dari orang tuanya, ia akhirnya menurut, meskipun sepanjang perjalanan terus mengeluarkan sumpah serapah."Lihat aja kalau nanti aku udah bisa jalan, aku balas semua perlakuan kamu, Mas."Ardan hanya diam dan tetap tenang, matanya menatap lurus ke depan, berusaha untuk menjaga konsentrasinya. Semua ucapan yang keluar dari mulut Wulan ia abaikan, menganggapnya seperti ocehan orang gila.Kinanti pun melakukan hal yang sama. Ia menyumpal telinganya dengan earphone milik Ardan, agar tidak bisa mendengar cerocosan Wulan yang semakin lama semakin memancing emosinya."Kamu pikir setelah kita cerai aku bakal berhenti ganggu Luna? Enggak, Mas. Aku masih