Share

Dosenku Mantan Suamiku
Dosenku Mantan Suamiku
Penulis: caramelsky

PROLOG

Penulis: caramelsky
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-06 18:14:43

*Flashback lima tahun yang lalu 

Drucia Luna, gadis cantik yang baru saja merayakan kelulusan SMA, tengah bermain bersama saudara-saudaranya di halaman belakang panti asuhan. Suasana sore itu terasa begitu ceria, dengan tawa dan canda yang mengiringi permainan mereka. Namun, keceriaan itu terganggu saat pasangan suami istri yang tidak dikenal mendekat ke arah mereka. 

Pasangan itu tidak datang sendiri. Mereka terlihat berjalan bersama Ibu Panti, yang wajahnya tampak serius.   

"Luna..." panggil Ibu pantinya dengan suara lembut.  

Luna berhenti sejenak dan menatap mereka dengan tatapan bingung. "Ibu mau bicara sebentar," ujar wanita paruh baya itu lagi.  

"Ada apa, Ibu?" tanyanya Luna, matanya melirik pasangan suami istri yang tampak serius. 

Ibu Panti tersenyum tipis, meski senyumnya terasa dipaksakan. "Ini Tuan dan Nyonya Kusuma. Mereka mau bicara sama kamu," jawabnya.  

Luna menghela napas. Kemudian ia mengikuti ketiga orang dewasa itu yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam rumah.  

Di dalam rumah, Ibu Panti sudah duduk di kursinya dengan wajah yang tampak tenang, meskipun matanya menyiratkan kekhawatiran. Pasangan suami istri itu duduk di sofa, tepat di depan Luna, menatapnya dengan penuh perhatian dan harap.  

"Kami datang ke sini untuk memberikan tawaran kepadamu, Luna." Tuan Kusuma mulai membuka percakapan, sementara Nyonya Kusuma masih terdiam.  

"Aku mau di adopsi?" tanya Luna dengan wajah tak suka pada Ibu pantinya.  

"Dengerin dulu, Nak," sahut Ibu pantinya dengan lembut. 

Luna menghela napas. Kemudian kembali menatap pasangan itu dengan wajah tak nyaman. 

"Perkenalkan, saya Ardan, dan ini istri saya, Wulan." Pria itu kembali berbicara, sementara sang istri di sampingnya hanya diam, matanya tetap memandang Luna dengan penuh perhatian. 

"Kami ingin menawarkan sesuatu kepadamu, Luna." Kali ini Nyonya Kusuma yang angkat bicara. "Kami sudah tujuh tahun menikah, tetapi kami belum dikaruniai anak."  

Luna mendengarnya dengan wajah masam, pikirannya langsung mengarah pada kemungkinan bahwa pasangan ini datang untuk mengadopsinya. 

"Aku nggak mau diadopsi. Aku sudah besar, aku masih nyaman tinggal di sini," ujar Luna dengan tegas 

"Kami bukan bermaksud mengadopsi kamu, Luna," sahut Nyonya Kusuma. 

"Terus?" tanya Luna dengan tatapan sinis.  

"Saya ingin menawarkan kamu untuk menjadi istri kedua suami saya dan melahirkan seorang anak untuk keluarga kami," lanjut Nyonya Kusuma. "Kami akan memberi imbalan satu milyar rupiah dan merenovasi seluruh bangunan panti ini. Setelah anak itu lahir, kamu bisa bercerai dari suami saya tanpa membawa anak itu, dan kamu bisa melanjutkan hidupmu seperti biasa." 

Luna terkejut. Matanya terbelalak dan mulutnya terbuka lebar. Ia menatap pasangan suami istri itu dengan tatapan tak percaya. 

"Kami juga akan menjadi donatur tetap di panti ini jika kamu menerima tawarannya," tambah Tuan Kusuma dengan suara penuh harap. 

Tanpa ragu sedikitpun, Luna langsung menjawab dengan lantang. "ENGGAK!"  

Tuan Kusuma dan Nyonya Kusuma saling bertukar pandang, lalu menghela napas. Kemudian Tuan Kusuma kembali angkat bicara dengan nada yang lebih serius, "Pikirkan baik-baik, Luna. Kalau kamu merasa ini sangat berat, setidaknya pikirkan Ibu Panti dan adik-adikmu. Dengan uang sebanyak itu, kamu nggak akan hidup susah lagi. Adik-adikmu juga pasti terpenuhi kebutuhannya. Mereka nggak akan lagi tidur di kamar yang bocor, nggak akan kekurangan makanan, dan nggak lagi kekurangan uang jajan."  

Luna terdiam, kata-kata Tuan Kusuma seperti menembus pertahanannya. Hatinya bergejolak, merasa terjebak dalam pilihan yang sangat sulit. Di satu sisi, tawaran itu bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi panti asuhan dan keluarganya. Namun di sisi lain, tawaran itu sangat melukai harga dirinya.  

Ia cantik, muda dan berprestasi. Banyak pria lajang yang menyukainya. Bagaimana mungkin ia harus menyerahkan hidupnya kepada pria tua yang sudah beristri? Meskipun pria itu terlihat masih gagah dan tampan, Luna tetap tidak bisa menerimanya. 

"Luna..." Ibu Panti hendak berbicara, namun Luna langsung menyahut dengan cepat. "Nggak mau, Bu. Aku masih kecil. Aku aja kayak anaknya mereka." Mata Luna mulai berkaca-kaca, menahan tangis yang ingin pecah. 

"Ibu banyak hutang, Nak. Ibu juga sudah nggak punya uang lagi buat biayain adik-adik kamu. Ibu cuma bisa sekolahin kamu sama Andaru aja. Ibu sudah nggak sanggup lagi, karena buat makan saja Ibu harus hutang ke mana-mana," ucap Ibu Panti dengan mata yang berkaca-kaca. Luna tak tega melihatnya. Wanita paruh baya itu sudah tampak begitu lelah. Mengingat betapa seringnya ibunya sakit-sakitan, Luna semakin bimbang dengan tawaran itu. 

Luna bukan anak yang kurang ajar. Ia tahu caranya berbalas budi. Selama ini ia juga selalu membantu ibunya mencari uang dengan berjualan. Namun itu tak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.  

Sekarang, keadaan ekonomi mereka semakin memburuk. Tak ada satupun donatur yang mau berdonasi ke panti ini karena uang yang disumbangkan sering kali diselewengkan oleh bendahara panti yang kini sudah kabur entah ke mana.  

Satu-satunya cara untuk menyelamatkan kehidupan mereka adalah dengan menerima tawaran itu. Luna tak ingin ibunya semakin sakit, dan ia juga tak mau adik-adiknya putus sekolah atau sampai kekurangan makanan setiap harinya.  

Mereka tumbuh bersama di sini. Meskipun tak sedarah, Luna sangat menyayangi mereka. 

"Bagaimana?" tanya Nyonya Kusuma.  

"Kenapa kalian nggak mencoba bayi tabung aja?" Luna balik bertanya, mencoba untuk mencari kejelasan.  

Nyonya Kusuma tersenyum tipis, senyum yang penuh keputusasaan. "Kami sudah pernah mencobanya, Luna, tapi gagal. Kami sudah nggak punya harapan untuk memiliki anak lagi, karena rahim saya sudah diangkat."  

Luna menatap Nyonya Kusuma dengan mata yang mulai berkaca-kaca, merasa campur aduk antara kasihan dan kebingungannya sendiri. Ia menghela napas berat, merasa terpojok dalam keputusan yang begitu sulit. 

"Aku... aku akan coba bantu," kata Luna akhirnya dengan suara yang hampir tak terdengar. "Tapi hanya sekali, hanya untuk anak itu. Setelah itu, aku ingin hidupku kembali seperti semula." 

Tuan Kusuma dan Nyonya Kusuma saling berpandangan, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Namun, mereka hanya mengangguk penuh rasa terima kasih. 

Luna menunduk, matanya basah, tetapi ia tahu ini adalah satu-satunya cara untuk membantu adik-adiknya dan Ibu panti yang telah merawatnya selama ini. Dengan perasaan berat, ia menerima tawaran itu, meskipun hatinya masih belum ikhlas.  

*****  

Selama lima bulan pertama pernikahan, Luna masih sering menangis. Ia belum bisa menerima nasibnya yang dinikahi oleh pria yang sudah beristri dan usianya 15 tahun lebih tua darinya. Luna benar-benar merasa tertekan. Meski Ardan selalu baik dan perhatian padanya, ia tidak merasa nyaman menjadi istrinya karena Wulan mulai menampakkan sifat aslinya.  

Jika Ardan ada di dekat mereka, Wulan selalu bersikap manis dan perhatian. Namun, jika Ardan tidak ada, Wulan tidak segan-segan memarahinya, bahkan menyiksanya dengan sesuka hati. Ia selalu diperintah layaknya pembantu, padahal posisinya kini sudah mengandung anak Ardan. 

"Kehadiran kamu cuma merusak hubungan saya sama Mas Ardan! Kamu nggak tahu diri! Semenjak ada kamu, perhatian Mas Ardan jadi terbagi. Dia bahkan jarang senyum ke saya lagi!" Wulan memarahi Luna sambil menjambak rambutnya dengan keras. 

Luna menangis, tak punya daya untuk melawan karena tubuhnya sedang sakit. Ia sudah sering melaporkan kejadian ini ke Ardan, namun Ardan hanya menanggapinya dengan kata-kata tanpa tindakan nyata. 

"Tolong aku, Mas. Aku nggak kuat kalau tinggal sama Mbak Wulan terus. Aku disiksa kalau nggak ada kamu, Mas!"  

"Udah saya tegur. Wulan memang begitu sikapnya, tapi sebenarnya dia baik. Kamu harus bisa beradaptasi sama dia, nanti lama-lama juga terbiasa."  

Semakin hari, Luna semakin menderita. Apalagi saat kandungannya memasuki usia enam bulan, Wulan tidak memberinya kesempatan untuk beristirahat hingga menyebabkan Luna hampir keguguran. 

"Kalau akhirnya Mbak Wulan cemburu, kenapa dulu Mbak harus memaksa saya untuk jadi istri kedua Mas Ardan? Andai waktu itu Mbak Wulan nggak maksa, mungkin saya nggak akan menderita, dan Mbak Wulan juga nggak akan kehilangan perhatian Mas Ardan," ucap Luna dengan suara lemah. 

"Terus kenapa kamu terima?! Dasar mata duitan! Saya melakukan itu karena saya takut diceraikan Mas Ardan!" teriak Wulan dengan emosi yang memuncak. 

Luna sudah pernah bertanya pada Wulan, kenapa dari sekian banyak wanita, ia yang dipilih untuk menjadi istri kedua Ardan. Dan Wulan menjawab, bahwa ia dipilih karena anak-anak di panti asuhan dianggap tak berharga dan bisa diperlakukan semena-mena. Selain itu, Wulan mengaku bahwa Luna memiliki wajah yang cantik, yang dianggapnya akan menghasilkan keturunan dengan gen yang baik untuk masa depan mereka. 

Sungguh jahat sekali bukan?  

Di usia kandungan Luna yang sudah menginjak delapan bulan, menjelang kelahiran anaknya, Wulan semakin cemburu pada perhatian yang diberikan Ardan kepada Luna. Karena rasa cemburunya yang semakin mendalam, Wulan bahkan rela menyewa pria bayaran untuk melancarkan fitnahnya terhadap Luna. 

Akibatnya, Ardan marah besar dan berakhir menceraikan Luna karena terpengaruh oleh ucapan Wulan yang mengatakan bahwa anak yang dikandung Luna bukanlah anak Ardan, melainkan anak dari pria lain yang konon tidur bersama Luna setiap kali Ardan tidak ada di rumah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dosenku Mantan Suamiku   49. Kembali bersama (Tamat)

    "Aku kasih cincin ini ke kamu, kamu kasih kesempatan kedua ke aku."Luna yang semula tegang perlahan tersenyum. Ia menatap cincin yang sudah tersemat di jarinya dengan perasaan campur aduk."Ini kesempatan terakhir. Manfaatin sebaik mungkin," ucapnya.Senyum Ardan langsung mengembang. Tanpa menunggu persetujuan, ia berdiri, meraih kepala Luna, lalu mengecup keningnya dengan cepat.Luna langsung melotot, refleks memukul lengan Ardan. "Mas! Nanti dilihat orang!" geramnya, sambil melirik sekitar dengan wajah memerah.Ardan terkekeh pelan. "Enggak. Tenang aja. Pelayan udah masuk ke dapur semua."Luna mendengus kesal, tapi tak bisa menyembunyikan senyum kecil di sudut bibirnya.Setelah selesai makan malam, mereka keluar dari restoran. Mobil masih terparkir rapi di tempatnya, tetapi alih-alih langsung pulang, mereka memilih berjalan-jalan di trotoar, menikmati malam yang tenang sambil bergandengan tangan.Bagi Luna, m

  • Dosenku Mantan Suamiku   48. Dinner romantis

    Luna perlahan bangkit dari duduknya, menatap orang-orang di hadapannya dengan senyum tipis yang mulai merekah di wajahnya."Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga. Sekarang juga... sekarang juga."Mereka terus bernyanyi sambil bertepuk tangan, menciptakan suasana yang semakin hangat dan meriah.Luna masih tersenyum, matanya berbinar penuh haru. Begitu nyanyian mereka berhenti, ia segera meniup lilin di atas kue dengan satu tarikan napas."Yeay!" seru mereka serempak, diiringi tepuk tangan yang semakin riuh.Setelah meniup lilin, Luna mengambil pisau yang sudah disiapkan di samping kue. Dengan senyum hangat, ia mulai memotong kue dan membagikannya kepada semua orang. Cio menjadi orang pertama yang mendapat potongan kue, yang langsung disambutnya dengan wajah penuh antusias.Mereka kemudian duduk melingkar, menikmati kue sambil bercanda dan mengobrol santai. Suasana terasa begitu hangat dan penuh kebahagiaan. Nam

  • Dosenku Mantan Suamiku   47. Kejutan

    Sejak resmi menyandang status duda, Ardan semakin gencar mendekati Luna. Tak jarang, pria itu menjadikan Cio sebagai senjatanya. Bahkan, Sila dan Nayla pun sering diajak bekerja sama untuk meluluhkan hati Luna.Seperti hari ini, di ulang tahun Luna, Ardan kembali menyusun rencana. Dengan bantuan Sila dan Nayla, ia menyiapkan kejutan di danau yang sering menjadi tempat Luna menenangkan diri.“Bunda masih masak, Ayah,” ujar Cio pelan, berusaha agar suaranya tidak terdengar oleh sang bunda.Diam-diam, bocah itu meminjam ponsel bundanya untuk menelepon Ardan demi menjalankan rencana yang telah mereka susun. Ia bersembunyi di kamar neneknya, sementara Luna masih sibuk di dapur."Yaudah, nanti langsung ajak Bunda ke danau kalau sudah selesai, ya." Suara Ardan terdengar di ujung telepon.Cio mengangguk meskipun sang ayah tak bisa melihatnya. Setelah panggilan berakhir, ia berlari kecil keluar kamar dan dengan hati-hati meletakkan kembali ponsel

  • Dosenku Mantan Suamiku   46. Hangatnya kebersamaan

    Suasana di sekitar mendadak hening, hingga suara kecil yang polos memecah kebisuan.“Bunda kok cium Ayah?” tanya Cio sambil menatap mereka dengan wajah bingung.Luna tersentak. Kesadarannya langsung kembali. Dengan wajah memerah, ia buru-buru berusaha bangkit. Namun, sialnya, tangannya malah terpeleset di dada Ardan, membuatnya semakin panik.Sementara itu, pria di bawahnya hanya terkekeh santai tanpa berniat untuk segera bangun."Santai aja, nggak usah gugup," ujar Ardan dengan nada menggoda, membuat wajah Luna semakin memanas.Dengan wajah yang masih bersemu merah, Luna buru-buru beringsut dan akhirnya berhasil bangkit. Ia merapikan bajunya yang sedikit berantakan, lalu berjalan cepat meninggalkan tempat kejadian dengan kepala tertunduk.Jangan tanya seberapa malunya Luna saat ini. Kalau bisa, ia ingin meminjam pintu Doraemon dan menghilang seketika. Sakit akibat terjatuh memang tidak seberapa, tapi rasa malunya? Tidak terkira!

  • Dosenku Mantan Suamiku   45. Ciuman

    Malam semakin larut, tapi baik Luna maupun Ardan masih duduk di tepi sungai. Mereka tidak banyak bicara, hanya menikmati suasana tenang dengan suara gemericik air yang mengalir.Hingga akhirnya, setelah cukup lama terdiam, Luna membuka suara. "Udah, sana ke tenda, Mas. Nanti mereka makin mikir yang enggak-enggak.""Nggak papa. Biarin aja. Lagian mereka juga udah tahu kalau aku masih suka sama kamu," balas Ardan santai.Luna mendengus kesal. "Nggak seharusnya kamu ngomong kayak gitu di depan mereka. Aku sebenarnya marah banget, tapi mau gimana lagi? Mulutmu emang nggak bisa dikontrol."Ardan menoleh, menatapnya dengan tenang. "Maksud kamu, aku harus bohong gitu?"Luna terdiam, tak langsung menjawab.Ardan tersenyum tipis. "Aku memang masih suka sama kamu, Luna. Masa aku harus bilang sebaliknya?"Luna mendesah pelan, lalu berdecak kesal. "Setidaknya, kamu nggak harus blak-blakan di depan mereka."Ardan terkekeh pe

  • Dosenku Mantan Suamiku   44. Truth or dare

    Permainan pun dimulai. Mega mulai memutar botol. Semua mata mengikuti gerakan botol yang berputar dengan cepat, hingga akhirnya melambat dan berhenti… menunjuk ke Dafa."Truth or dare?" tanya Nayla.Dafa menyeringai. "Dare, dong! Apa tantanganku?" tanyanya songong.Nayla dan Mega saling pandang, lalu berbisik sebentar sebelum akhirnya Nayla berkata, "Nyanyi lagu cinta sambil tatap-tatapan sama Siska."Ledakan tawa pun pecah. Dafa langsung protes, sementara Siska yang duduk di seberang Dafa mendengus kesal. Semua orang di sini tahu betapa seringnya mereka bertengkar dan saling sindir. Karena itulah, Mega dan Nayla sepakat memberi tantangan ini."Sialan kalian!" gerutu Dafa, tapi tetap melakukannya. Ia menatap Siska dengan ekspresi malas, lalu mulai menyanyikan lagu romantis dengan suara sengaja dibuat fals, membuat semua orang makin tertawa.Setelah Dafa menyelesaikan tantangannya, Mega kembali mengambil botol dan memutarnya lagi.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status