Vivi sontak mendongak, menatapnya dengan mata membesar. “Hah? Nggak usah, Ton. Aku bisa pesan ojol sendiri.”
Antonio memasukkan tangannya ke saku celana, wajahnya santai. “Aku bawa motor kok. Lagian aku tahu alamat kamu kok. Ngapain kamu ribet pesan ojol kalau bisa aku antar?”Vivi menelan ludah. 'Kenapa dia tiba-tiba nawarin begini? Kalau aku nolak, kesannya nggak enakan. Tapi kalau aku terima … duh, aku harus duduk satu motor sama dia?'Ia menunduk, sibuk menatap layar ponsel. “Aku … nggak mau ngerepotin.”“Tapi aku yang nawarin,” balas Antonio cepat, tatapannya teduh. “Biar aku pastiin kamu pulang dengan aman.”“Itu bukan repot. Aku yang nawarin,” balas Antonio tenang, tatapannya lurus ke arah Vivi.Ia menelan ludah, lalu tersenyum kaku. “Nggak apa-apa, Ton. Aku lebih nyaman naik ojol. Lagian aku udah terbiasa.”Antonio sempat terdiam, menatapnya beberapa detik. Sorot matanya sulit ditebak. Tapi akhirnya ia mengangguSetelah telepon terakhir itu, Antonio benar-benar tak menghubungi Vivi lagi. Tak ada pesan masuk, tak ada panggilan tak terjawab. Vivi menghela napas lega. Malam menjelang, ia memutuskan mandi agar pikirannya lebih segar. Ia mengenakan kaus abu-abu longgar dan celana panjang berbahan katun. Rambutnya ia biarkan tergerai, masih sedikit basah.Dari balik pintu kamarnya, terdengar suara berisik dari dapur. Vivi melirik ke arah sana. Giorgio sudah berganti pakaian, kaus hitam polos dan celana panjang. Dia terlihat berbeda. Terlihat lebih santai. Jika mengenakan kemeja dan celana bahan pria itu terlihat lebih berwibawa. Giorgio membuka-buka pintu lemari dapur, memeriksa satu per satu rak dan laci.Vivi berjalan pelan keluar. “Nyari apa?” tanyanya sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Giorgio melirik sekilas, lalu menghela napas pendek. “Stok bahan buat masak besok habis. Telur tinggal dua, sayur udah nggak layak, bahkan nasi pun nggak ada.” Ia menutup laci terakhir dan merapika
“Sudahlah, Antonio. Aku nggak akan datang,” ucap Vivi datar sambil menutup bukunya.Antonio yang sejak tadi bersandar di tepi meja langsung menegakkan tubuh. Rahangnya mengencang, matanya menatap Vivi tanpa berkedip.“Ya terus kamu maunya apa supaya datang?” tanyanya serius, nada suaranya lebih berat dari sebelumnya.Vivi menoleh sebentar lalu mengangkat alis santai. “Nggak ada,” sahutnya pendek. “Itu jawabannya.”Tanpa menunggu reaksi, Vivi memasukkan buku ke tas dan berdiri. Ia berjalan melewati deretan bangku kuliah tanpa sedikit pun menoleh ke arah Antonio. Antonio hanya bisa mengikuti punggung Vivi dengan tatapan tajam. Jemarinya mengepal di samping tubuh, napasnya tertahan seolah mencoba menahan kesal.“Dia pikir bisa seenaknya aja nolak?” gumamnya pelan. Namun, Vivi sudah menghilang di ambang pintu, tak tertarik lagi meladeni perdebatan apa pun.Antonio masih terpaku di tempatnya, rahangnya mengera
Vivi baru saja melangkah masuk ke ruang kelas, masih menenteng buku catatan ketika tiba-tiba seseorang menarik lengannya pelan.“Eh—” Vivi menoleh cepat. Ternyata Antonio. Tanpa banyak bicara, cowok itu menuntunnya duduk di bangku kosong di sebelahnya.“Kamu kenapa narik-narik? Ada apa?” tanya Vivi sambil mengangkat alis.Antonio menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, matanya menatap penasaran. “Gimana acara camping malam keakraban kemarin? Seru, nggak?”Vivi langsung paham arah pertanyaannya. Antonio memang nggak hadir di acara itu.“Biasa aja,” jawabnya santai. “Nggak ada yang aneh. Tapi kamu kenapa nggak datang? Setahu aku itu acara wajib, kan?”Antonio menghela napas. “Aku nggak bisa datang karena ada acara keluarga. Wajib banget ikut. Daripada dipecat jadi anak.”Vivi menatapnya heran. “Emang ada ya acara keluarga yang modelnya gitu?”Antonio memiringkan kepala, menatapnya tajam, tapi sambil senyum tipis. “Jangan pura-pura nggak tahu, Vi.”Vivi mengembuskan napas, malas menanggapi
Vivi berdiri sambil merapikan tasnya. “La, aku duluan ya. Taksi udah nunggu di depan.”Lala langsung menoleh cepat. “Hah? Kok bisa? Kapan kamu pesen taksinya? Tadi di truk kamu tidur pules, baru melek juga sekarang. Mana sempet pesen taksi?”Vivi sempat terdiam sepersekian detik, matanya bergerak gelisah sebelum cepat-cepat menjawab, “Oh, aku pesennya pas kita masih di gunung tadi.”Senyumnya muncul, tapi agak kikuk, lebih mirip orang habis bohong.Lala menatapnya dari atas sampai bawah dengan ekspresi nggak percaya. “Hilah, kamu tuh aneh banget. Masa pesen taksi dari gunung? Udah sana pulang. Hati-hati di jalan, istirahat yang bener ya, Vi.”“Iya, La.” Vivi mengangguk kecil. “Aku jalan dulu. Ketemu lagi Senin ya.”Lala hanya mengangkat tangan sambil mengangguk, masih heran, tapi malas memperpanjang.Vivi kemudian melangkah cepat menuju gerbang kampus. Matahari siang menyengat, tapi pikirannya hanya tertuju pada satu hal
Vivi malas menanggapi celotehan Lala. Ia menunduk, menghabiskan suapan terakhir sarapannya tanpa komentar. Begitu kotaknya kosong, ia langsung bangkit dan berjalan cepat menuju tenda. Jaketnya yang tebal ia lepas satu, lalu disampirkan di ujung tas.“La, aku mandi duluan, ya,” ucapnya sambil membongkar perlengkapan mandi.“Heh, Vi, tunggu dulu!” Lala menyusul. “Kamu pasti ngambek gara-gara Pak Giorgio, kan?”Vivi mendengkus pendek tanpa menoleh. “Nggak, La. Lihat ini udah jam berapa? Udah setengah sembilan. Jam sembilan kita harus kumpul lagi.”Lala spontan melirik jam tangannya. “Eh, iya juga!” Ia buru-buru menyuap sisa sarapannya. “Tunggu aku habisin dulu sarapanku, Vi!”“Cepetan,” sahut Vivi sambil mengganti pakaian.Lala masuk ke dalam tenda menyambar baju ganti. Tak lama kemudian mereka berjalan menuju kamar mandi. Untungnya, antrean sudah tidak sepanjang pagi tadi.“Nah, lumayan kosong,” gumam Lala, senang.
Vivi merapatkan jaket pink berbahan lembut yang membungkus tubuhnya. Sentuhannya hangat dan nyaman, seakan dibuat khusus untuk menghalau dingin semacam ini. Semakin ia tarik resleting hingga leher, semakin yakin, ini pasti pemberian Giorgio. Ia tak tahu kapan pria itu memasukkannya ke dalam tas. Satu-satunya kemungkinan adalah saat ia tertidur di apartemen.Di dalam tenda, hanya ada suara napas dan bunyi gesekan sleeping bag. Lala baru saja duduk sambil mengucek mata, rambutnya masih acak-acakan.“La,” bisik Vivi sambil menatap pintu tenda yang tertutup rapat, “acara mulai jam enam kan? Di luar dingin banget. Kita di sini aja dulu ya?”Lala masih mengantuk, tapi mengangguk pelan. “Iya, Vi.”Tatapannya lalu jatuh ke jaket Vivi. Keningnya langsung berkerut. “Eh, Vi,itu jaket kamu? Aku baru lihat. Beli di mana?”Vivi refleks terdiam sepersekian detik, jantungnya berdebar. Ia buru-buru memalingkan wajah, pura-pura sibuk membetulkan tudung jaket.“Oh, ini.” Vivi berdeham sambil tersenyum