Share

Bab 7

Penulis: Sherlys01
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-07 20:17:11

Mereka semua saling memandang, lalu salah satu suster menoleh ke arah Eva.

'Bukannya dia pasien yang baru saja dipindahkan?' pikirnya.

"Maaf, anda mau bawa kemana pasien kami?" ucap salah satu suster.

Eva mengenali suara itu dan tubuhnya pun menegang. Tiba-tiba William merasakan sebuah getaran pada tangannya, ia melirik ke arah Eva dan melihat tubuhnya yang sedang gemetar, wajahnya menjadi pucat. Saat ia berpikir sejenak, akhirnya ia menyadari situasi yang sebenarnya.

Tangan William menggenggam erat tubuh gadis itu, seolah-olah memberikan tanda kalau semuanya akan baik-baik saja. Perlahan-lahan, tubuh Eva menjadi rileks dan tanpa sadar ia membenamkan kepalanya di dada pria itu.

Pandangan William menyapu ke arah suster tersebut, "apakah kalian yang memindahkannya kesini?"

Salah satu suster menyilangkan tangannya di depan dada, "iya, kami yang memindahkannya. Kenapa?"

William tersenyum sinis, "hmph. Sombong sekali kata-katamu, atas dasar apa kalian memindahkan pasien seenaknya?"

Suster tersebut mendengus, "tentu saja atas dasar kenyamanan pasien. Pasien yang ditempatkan di kamar VIP itu adalah orang yang sangat penting dan terpandang jadi perlu perawatan khusus. Jadi kami tidak salah 'kan kalau memindahkannya? Toh dia juga sudah dirawat selama sebulan disana."

William menyipitkan matanya, "jadi kalian merawat pasien hanya karena memandang status ya? Seperti inikah sikap seorang perawat? Saya jadi penasaran dengan latar pendidikan kalian..."

"Heh, apa urusannya denganmu? Kami ini lulusan dari Universitas ternama, kami berhasil masuk ke rumah sakit ini juga berkat kemampuan kami sendiri."

"Benar itu. Kami hanya menjalankan tugas kami saja, kenapa kami yang disalahkan?" sela salah satu suster.

William menarik nafasnya, "dari yang saya tahu, setiap rumah sakit itu punya prosedurnya masing-masing. Kalau mau memindahkan pasien ke kamar lain, bukankah kalian harus memberitahu pasien dan juga keluarganya? Tanpa pemberitahuan itu, berarti sama saja 'kan kalau kalian mengusir pasien tersebut... itu sudah melanggar kode etik lho."

Suster itu terkekeh pelan, "mengusir? Bahkan keluarga pasien ini saja tidak pernah datang sekalipun untuk menjenguk, lalu tidak tercantum nomor telepon keluarganya. Kalau sudah seperti ini, kami harus melapor kemana?"

Mendengar kata-kata itu, hati Eva terasa tertusuk oleh pisau. Raut wajahnya pun berubah menjadi sedih.

Benar juga, bahkan sekarang dirinya sudah tidak memiliki keluarga lagi. Bukan hal yang aneh kalau para suster itu langsung mengusirnya begitu saja, lagipula mereka hanya menjalankan tugasnya.

Eva menggenggam baju William dengan erat.

"Masalah pemindahan kamar, kalian bisa melaporkannya kepadaku."

Eva tertegun, ia menoleh ke arah William. Tatapan mereka saling bertemu, William hanya tersenyum.

"Melapor padamu?" suster tersebut memegang dagunya, "ohh, jadi kamu ya... pria yang selalu menemani pasien cacat itu? Wahh... sangat loyalitas sekali ya, ternyata ada pria tampan yang rela mengurus orang yang cacat sepertinya."

Pandangan William menggelap, ia menatap mereka dengan tajam. Aura di sekitarnya membuat siapapun menjadi tertekan dan terintimidasi. Kedua suster yang lain merasa bulu kuduknya merinding.

"Lalu kenapa kalau dia lumpuh? Dia juga termasuk seseorang yang memiliki hak untuk hidup. Kalian memanggilnya pasien cacat, apa kalian sudah merasa sempurna?"

Mata Eva mulai terasa panas, ia ingin menangis. Baru kali ini ada seseorang yang mau membelanya sampai sejauh ini.

"Ada apa ini?"

Tiba-tiba muncul seorang dokter sambil membawa kursi roda. Ia menatap para suster dengan tatapan heran, lalu tatapannya beralih kepada William.

Dokter tersebut membungkukkan badan, "selamat sore, pak William. Ini kursi rodanya sudah saya bawakan."

Para suster itu saling memandang.

William menurunkan Eva ke kursi roda. Sedangkan salah satu suster menghampiri dokter tersebut.

"Dokter, mengapa anda memanggil pria ini 'pak William'?"

"Kamu tidak tahu pak William?"

"Te-tentu saja saya tahu, pak William itu orang yang terpandang dan yang paling dihormati di berbagai rumah sakit, 'kan?"

Dokter itu mengangguk, "benar." ia menunjuk ke arah William, "orang yang berdiri disini adalah pak William."

Para suster itu matanya membelalak dan mulutnya ternganga.

"Ja-jadi... selama ini pria yang selalu menemani pasien ini adalah..."

Wajah suster itu berubah menjadi pucat. Habis sudah! Mereka sudah menyinggung orang penting bahkan meledeknya.

William menyeringai, "baru takut sekarang? Terlambat!"

Dokter tersebut menoleh ke arah suster dan menoleh lagi ke arah William, "sebenarnya ada apa ini?"

"Mereka sudah memindahkan Eva ke ruang kelas 3 tanpa sepengetahuan saya. Apakah dokter yang meminta mereka?"

"Hah?!" Dokter tersebut terkejut, ia refleks memegang dadanya. "Saya tidak pernah meminta mereka untuk memindahkannya."

"Ta-ta-tapi... kalau dia tidak dipindahkan ke kamar lain, lalu bagaimana dengan pasien yang baru-baru ini masuk? Keluarganya sudah membayar lunas semua biaya administrasinya, 'kan?"

Dokter tersebut menyipitkan matanya, "pasien itu bukannya saya minta dimasukkan ke kamar 301 ya?"

Suster itu terkejut, jantungnya terasa mencelos. Ia mundur beberapa langkah. "Sa-saya..."

Dokter itu mendecak, "dasar bodoh! Kalian bukan hanya menyinggung pak William, tapi kalian juga sudah melanggar kode etik."

Ia menoleh ke arah William, "pak William, maaf sudah menimbulkan kekacauan ini. Nanti saya yang akan memberi mereka pelajaran, lalu mengenai gadis ini..."

"Oh, benar juga." William mengambil secarik kertas dari sakunya lalu memberikannya kepada dokter.

"Saya sudah mengurus semua biaya administrasi Eva, ini adalah bukti pembayarannya."

"A-anda sudah mengurus semuanya?"

William mengangguk, "benar. Kami akan keluar malam ini."

"Kenapa tiba-tiba? Bukankah seharusnya Eva akan keluar besok?"

William menoleh ke arah suster tersebut. "Mereka sudah memindahkan Eva seenaknya tanpa pemberitahuan. Menurut anda, apakah saya masih tetap mempercayakannya kepada orang yang sudah melanggar kode etik?"

Dokter itu menggelengkan kepalanya, "oh, baiklah. saya mengerti, saya akan membantu anda mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan. Mari ikut saya."

William mendorong kursi roda Eva dan pergi mengikuti dokter. Saat mereka melewati para suster, William menoleh ke belakang dan menatap mereka dengan sangat tajam.

Mereka yang menatapnya seketika merasakan seluruh tubuhnya merinding, lalu mereka terduduk lemas.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dosenku Penyembuh Lukaku   Bab 111

    "Kenapa kamu bisa bilang seperti itu?"Eva sedikit menunduk dan meremas kedua tangannya. "Soalnya ... ada seseorang yang menyebarkan informasi kalau aku ini menyontek saat ujian di forum sekolah, terus ... dia juga memasukkan fotoku di postingan itu."Eva sesekali melirik ke arah William, tetapi William hanya diam mendengarkan saja, tetapi dahinya sedikit berkerut. "Dia memasukkan fotomu? Siapa yang berani melakukan hal itu?"Eva menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tahu, karena akun itu hanyalah akun anonim jadi nggak kelihatan siapa pemilik asli akun tersebut."William mengalihkan pandangannya, ia berpikir sejenak. Lalu, ia menoleh kembali ke arah Eva. "Terus, kamu ada rencana apa?""Untuk saat ini sih ... aku hanya bisa menjalankan kewajibanku sebagai seorang mahasiswa, yaitu belajar untuk ujian. Karena aku pikir, akan lebih baik kalau bisa membuktikkan di depan para dosen kalau aku ini innocent."William tersenyum tipis. "Siapa sangka, se

  • Dosenku Penyembuh Lukaku   Bab 110

    "Hm ... hanya kebetulan saja. Kebetulan aku sempat lewat Perpustakaan tadi dan sempat melihatmu bertarung dengan pemikiranmu sendiri."William sedikit menunduk dan menempelkan ujung hidungnya dengan ujung hidung Eva. "Kamu ini benar-benar nggak pernah gagal ya, untuk membuatku merasa kagum padamu."Eva tak bisa menahan air matanya, bibirnya sedikit bergetar. Ia meraih kepala William dan menempelkan bibirnya ke bibir William, William seketika terpaku di tempat. Tidak lama kemudian, Eva melepaskan ciumannya dan memeluk leher William."Terima kasih ... terima kasih sudah mau mempedulikanku sampai sejauh ini. Terima kasih sudah mau menjadi rumah untukku, terima kasih karena sudah mempersiapkan semua ini hanya untuk mengembangkan kemampuanku."Eva tidak bisa mengucapkan kata-kata lain selain berterima kasih. Tidak ada yang tahu seberapa bahagia dirinya yang sekarang, setelah belasan tahun tinggal di sebuah keluarga yang tidak pernah mempedulikannya sedikit pun

  • Dosenku Penyembuh Lukaku   Bab 109

    Eva merenung sejenak, ia mengalihkan pandangannya ke depan. "Hm ... untuk saat ini, aku masih belum tahu. Tapi satu-satunya hal yang bisa aku lakukan sekarang, paling cuman ... belajar buat ujian besok."Seketika mata Clara berkedut. "Kamu ini ya ... baru juga bisa menenangkan diri, tapi masih berniat buat belajar. Otakmu itu sebenarnya terbuat dari apa sih? Heran deh ..."Eva terkekeh. "Aku bener, 'kan? Memangnya apa tugas kita sebagai seorang mahasiswa? Kalau bukan belajar, terus apa lagi?""Ya, tapi ... kamu nggak mau gitu membersihkan namamu? Postingan itu sudah dilihat oleh semua mahasiswa di kampus ini, lho. Memangnya kamu rela dihujat terus sana sini?"Tentu saja mau, akan sangat merepotkan kalau berita ini bisa tersebar hingga keluar kampus. Tetapi Eva tidak ingin mengatakannya kepada Clara, selama buktinya masih belum ditemukan."Aku tahu kalau kamu sangat mengkhawatirkanku, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal itu."Clara mengernyitkan dahinya. "Kenapa begitu

  • Dosenku Penyembuh Lukaku   Bab 108

    Dengan nafas yang terengah-engah, Eva meraih kalung tersebut dan mengangkatnya hingga sejajar dengan matanya. Walau pun matanya mulai memerah, ia mengamati kalung yang ada di telapak tangannya selama beberapa saat. Dengan hati-hati, ia mengelus kalung itu dengan ibu jarinya.Entah bagaimana, ia bisa merasakan kehadiran seseorang di dekatnya. Dengan spontan, ia langsung menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi yang ia temukan hanyalah beberapa mahasiswa yang sedang membaca buku di mejanya masing-masing yang agak jauh darinya.Eva menoleh kembali pada kalung yang ia pegang. Jari tangannya perlahan-lahan menekuk hingga menutupi kalung yang ada di telapak tangannya. Sikutnya bertumpu pada pegangan tangan kursi roda.'Sudah, tenang ya. Kamu itu kuat.'Begitulah kata-kata yang terlintas di benak Eva. Kemudian, ia melepaskan genggamannya dan menyandarkan punggungnya ke kursi roda, kedua tangannya bertumpu pada pegangan tangan kursi roda, lalu ia menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya

  • Dosenku Penyembuh Lukaku   Bab 107

    Setelah Eva keluar dari ruang dosen, Eva menghembuskan nafas lega, Kemudian, ia berencana untuk pergi ke kantin sambil menunggu Clara. Selama perjalanan, banyak mahasiswa yang saling berbisik saat mereka melihat Eva."Eh, lihat itu. Dia itu anak yang katanya menyontek itu, 'kan?""Iya, benar. Kalau nggak salah dia baru saja keluar dari ruang dosen deh ...""Pasti habis dihukum."Eva mengerutkan dahinya, ia merasa bingung kenapa semakin banyak mahasiswa yang mengetahui kejadian itu. Padahal ia sudah membuktikan kejujurannya di depan dosen, lalu kenapa mereka masih saja menyinyir?Namun, Eva berusaha untuk mengatur nafasnya dan tetap bersikap tenang. Ia berusaha untuk tidak memikirkan semua itu, karena apa pun yang dikatakan oleh banyak orang, ia sendiri juga tidak bisa menghentikan mereka. Memang pahit, tapi itulah yang dinamakan kenyataan.Karena mendengar hinaan dari mahasiswa lain, Eva memutuskan untuk berpindah tempat. Ia tidak ingin pergi ke kantin, tetapi ke Perpustakaan. Karena

  • Dosenku Penyembuh Lukaku   Bab 106

    Eva mulai memfokuskan pikirannya untuk mengerjakan ujian. Seperti biasa, ia melakukan ritualnya dahulu sebelum akhirnya menjawab soal satu per satu. Dosen yang ada di sebelah Eva memperhatikannya dengan seksama, begitupula dengan Surya."Dia nggak ngerasa keganggu ya kalau kita di sini?"Surya menggelengkan kepalanya. "Nggak, tuh lihat saja wajah seriusnya. Mau kita berisik juga nggak akan memecah fokusnya."Dosen itu terkekeh. "Hebat ya, bahkan saya saja nggak bisa mempertahankan fokus seperti itu."'Ya dong ... siapa dulu biangnya.' batin Surya."Mahasiswi lagi ujian, kenapa kalian berdua malah berisik?"Surya dan dosen itu menoleh serentak. Lalu raut wajah Surya berubah menjadi masam."Ngapain kamu ke sini?"Ibu Ruth memegang pinggangnya dengan kedua tangan. "Apa maksud pak Surya? Saya di sini hanya ingin mengawasi mahasiswi saya saja kok, nggak boleh?"Surya memutarkan bola matanya dengan malas. Ibu Ruth mel

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status