Ucapan sang sopir sebenarnya cukup penuh makna, tapi Arlina terus saja memikirkan ambulans-ambulans yang baru saja lewat tadi. "Pak, seberapa jauh dari sini ke lokasi kecelakaannya?"Sopir itu tidak paham kenapa Arlina bertanya demikian, tetapi dia tetap mengecilkan tampilan navigasi di ponselnya. "Kira-kira 1,1 kilometer."Arlina memperkirakan waktunya secara kasar, lalu segera mengambil keputusan. "Pak, aku turun di sini saja. Tolong buka bagasi belakang, aku mau ambil koperku.""Apa?" Sopir itu terkejut dengan keputusan Arlina. "Nona, aku tahu kamu sedang buru-buru, tapi jangan gegabah. Turun di sini bahaya, lho.""Aku mau lihat apakah di depan ada yang bisa kubantu."Sopir itu malah tertawa kesal. "Kamu bisa bantu apa?"Arlina menatapnya dengan serius. "Aku seorang dokter."Ucapan itu membuat darah si sopir seperti tersulut semangat.Setelah berbicara, Arlina memindai kode QR pembayaran yang tertempel di belakang kursi penumpang depan. Dia mentransfer 400 ribu. "Pak, uangnya sudah
Rexa merasa sedikit pusing mendengarnya. "Summer camp ini memang untuk melatih anak-anak, menumbuhkan keberanian, dan membuka wawasan. Annie juga sudah lima tahun.""Cuma lima tahun, bukan lima puluh!" Jazlan langsung merasa kesal. "Rexa, kamu tega sekali. Kasihan Annie. Ayah kandungnya nggak peduli, yang paling sayang malah ayah angkatnya. Nggak bisa, aku ajukan cuti ke rumah sakit saja. Aku mau ke Kota Marwan untuk nyusul dia.""Ibuku sudah pergi duluan," sahut Rexa tenang."Hah??" Jazlan langsung terdiam."Ibuku juga sama khawatirnya seperti kamu. Makanya dia daftar jadi relawan biar bisa ikut rombongan."Jazlan mendesah, lalu bergumam, "Memang tetap nenek yang paling cinta cucu.""Lagian, ada guru-guru di sana. Wajar saja kalau anak kecil sesekali jatuh atau kebentur, bukan berarti bahaya. Annie juga bukan tipe anak yang dimanja. Dia malah sangat antusias ikut kegiatan ini.""Itu semua gara-gara kamu doktrin dia terus soal mandiri. Istrimu sudah kamu kirim pergi, sekarang anak juga
Semua hal itu disampaikan Tania sendiri kepadanya. Selama beberapa tahun terakhir, mereka memang jarang berkomunikasi. Namun, hubungan di antara mereka tetap dekat, sama seperti saat masa kuliah.Suara Tania yang terdengar agak malu-malu menyusul di seberang telepon, "Aduh, semua ini nggak sesuai dengan jurusan yang kuambil. Sebaiknya merendah saja, jangan terlalu mencolok."Tak lama setelah itu, seseorang terdengar memanggil Tania dari kejauhan. Dia buru-buru menambahkan, "Arlin, aku lagi syuting promosi untuk salah satu tempat wisata. Kerjaanku sudah dimulai, kita ngobrol lagi nanti ya, tunggu aku pulang.""Ya, kamu kerja dulu. Aku juga mau naik taksi pulang."Di ujung telepon, terdengar suara cekikikan penuh arti dari Tania. "Eh, kamu sama Pak Rexa sudah lama nggak ketemu, jangan-jangan nanti pas ketemu langsung terbakar api asmara. Baru sampai rumah langsung naik ke ranjang ... aduh, membayangkannya saja sudah seru duluan."Wajah Arlina langsung memerah. "Sudah deh, buang jauh-jauh
Lima tahun kemudian.Sebuah pesawat mendarat dengan mulus di landasan. Di area kedatangan bandara, banyak orang berdiri menunggu dengan penuh harap, menantikan keluarga atau teman yang mereka rindukan.Di antara kerumunan, sebuah sosok perlahan muncul dari pintu keluar. Lima tahun telah berlalu dan wajah Arlina kini telah kehilangan kesan polos saat masih muda. Matanya yang hitam jernih memancarkan kepercayaan diri.Rambut panjangnya dulu kini berganti menjadi potongan pendek sebahu, tubuhnya ramping, kulitnya bening, dan tatapan matanya sejernih air. Seluruh penampilannya tampak bersih, segar, dan memikat. Dia melangkah dengan tenang dan anggun.Satu tangannya menarik koper, sementara tangan lainnya menempelkan ponsel ke telinga. Suara ceria terdengar dari ujung sana. "Arlin, kamu benaran pulang kampung tanpa bilang-bilang ke suami dan anakmu?"Arlina tersenyum tipis. "Iya. Aku pulang lebih awal."Sebenarnya acara wisuda masih dua minggu lagi, tapi Arlina sudah tidak sabar. Begitu sel
"Kebetulan ada kesempatan ini," kata Rexa, matanya menatap ke arah gelap di kejauhan."Lalu bagaimana dengan anak itu?" Suara Levi terdengar dari telepon."Aku sudah ajukan cuti tanpa gaji selama satu tahun ke kampus. Nanti kalau anaknya sudah agak besar, baru cari orang untuk bantu jagain.""Tapi kamu sendirian ....""Sekitar 80 persen keluarga di dalam negeri ini, peran ayah itu cuma formalitas. Ibu yang menanggung semua urusan anak. Kalau ibu bisa, kenapa ayah nggak bisa?""Tapi akan lebih baik kalau ayah dan ibu sama-sama ada," ujar Levi."Seorang anak bisa tumbuh sehat kalau dia menerima cukup banyak cinta. Aku yakin aku bisa. Lagi pula, Arlin juga bukan nggak akan kembali.""Tapi ...." Levi masih ingin bicara, tetapi suaranya dipotong oleh Hazel di sebelahnya."Biarkan. Aku dukung Arlin pergi."Levi berkata, "Kenapa kamu berubah secepat itu."Hazel tidak menggubrisnya, suaranya terdengar jelas dari seberang, "Hidup Arlin itu juga hidup. Dia masih muda dan jadi ibu bukan berarti d
Ini adalah ungkapan terindah yang pernah didengar oleh Arlina. Matanya memanas, tetapi dia tidak bisa menahan senyum yang merekah di wajahnya.Malam harinya, Rexa memeluk Arlina dalam tidurnya. Lampu di samping tempat tidur memancarkan cahaya redup yang hangat. Rexa masih belum terlelap. Dia membuka mata, memandangi wajah Arlina yang ada tepat di hadapannya.Sejak melahirkan, pikirannya terlalu banyak terbebani. Dalam beberapa hari ini berat badannya turun cukup banyak, garis rahangnya kini tampak lebih tegas. Hidungnya yang mungil terlihat manis dan bulu matanya yang panjang membentuk bayangan halus di pipinya.Arlina membalikkan tubuh. Saat membuka mata, tanpa sengaja dia bertemu dengan tatapan Rexa.Rexa sedang menatapnya dalam diam, sorot matanya pekat dan begitu dalam hingga sulit ditebak apa yang sedang dia pikirkan."Ada apa?" Jantung Arlina berdebar tak menentu."Arlin ...." Suara Rexa serak dan lembut, "Aku sangat mencintaimu, kamu tahu, 'kan?"Entah mengapa, dada Arlina teras