Sosok itu ternyata adalah Lillia.Ternyata yang dipanggilnya itu Lillia, bukan Hubert. Hubert yang sempat mengira matahari terbit dari barat langsung merasa semuanya masuk akal.Lillia menoleh ketika mendengar Arlina memanggilnya, lalu tersenyum, "Bu Arlina, sudah lama nggak ketemu." Bagi Arlina, memang terasa sudah lama sekali. Dia seperti menanti sekian lama hingga akhirnya Lillia kembali."Kamu mau ke mana?" tanya Arlina."Aku baru kembali, mau ke kantor direktur sebentar.""Oh, baik." Arlina mengangguk.Di luar kantor direktur ada sebuah balkon yang menghadap ke arah matahari terbenam. Saat Lillia keluar dari kantor, dia melihat Arlina berdiri di balkon sambil memotret pemandangan senja. Cahaya emas matahari sore seolah melapisi tubuh Arlina dengan kilau hangat, membuatnya tampak begitu memesona. Siluet anggunnya, lengkungan lembut di sudut bibirnya ... semuanya memancarkan daya tarik.Yang membuat Lillia terkejut, Hubert yang duduk di meja kerjanya sedang menatap lekat ke arah Arl
Mengingat kejadian soal teh susu, Arlina membuka WhatsApp dan mengirim pesan ke Tania.[ Sudah bertahun-tahun berlalu, kamu sampai lupa rasa teh susu favoritku, dasar tukang ingkar janji! ][ Tania: ??? ][ Tania: Tehnya belum sampai, kenapa kamu tahu aku pesan apa? ][ Arlina: Belum sampai? ][ Tania: Iya, habis ngobrol sama kamu tadi aku kebetulan ke belakang buang air, jadi agak kelamaan. Barusan kulihat, kurirnya masih berjarak seratus meter lebih dari tempatmu. ]Lalu, teh susu yang tadi dikirim itu punya siapa? Jangan-jangan itu teh susu orang lain yang salah taruh?Arlina buru-buru bangkit dan berjalan ke meja perawat. Di sana dia melihat ada beberapa gelas teh susu yang sudah diminum sebagian di atas meja. Kebetulan Lucia sedang membawa cairan obat untuk ganti perban, Arlina buru-buru bertanya, "Lucia, kamu tahu nggak teh susu di mejaku itu punya siapa?"Lucia berjalan cepat sambil menjawab, "Dokter yang traktir semua orang. Waktu kamu nggak ada tadi, kami taruh langsung di mej
"Terima kasih, Pak Hubert," kata mereka hampir bersamaan saat melihatnya.Hubert hanya mengangguk tipis, lalu mendengar Miko berkata, "Pak, untuk minuman para dokter sudah saya taruh di meja mereka. Tadi waktu pesan ada beberapa dokter yang nggak di ruangannya, jadi saya nebak saja varian yang kira-kira mereka suka.""Baik."Hubert menjawab singkat, lalu masuk ke kantor. Di sana hanya ada Arlina yang sedang menunduk sambil membalas pesan suara, sepertinya sedang mengurus hal dari departemen lain.Melihat di mejanya ada segelas teh susu, sudut bibir Hubert terangkat tipis tanpa sadar. Dalam hati, dia merasa agak puas dengan sifat perhatiannya ini. Sebelumnya, Arlina mengatakan Hubert tidak menghargainya. Lihatlah, sekarang dia bahkan mentraktir seluruh departemen demi Arlina.Setelah duduk di tempatnya, Hubert terus melirik Arlina. Wanita itu sibuk bekerja, sama sekali tidak menyentuh teh susunya, seakan sudah lupa akan keberadaan minuman itu.Tak lama kemudian, seseorang masuk ke kanto
"Waaah, coba kalau orang tuaku bisa sebijak kamu," kata Tania hampir menangis."Paman dan Bibi bukannya nggak bijak. Dengan latar belakang zaman mereka, menikah dianggap sebagai tujuan akhir seorang perempuan. Cara berpikir mereka itulah yang menentukan sikap mereka, jadi kamu jangan menyalahkan mereka."Tania menghela napas, "Makanya penting buat banyak baca. Aku saja nggak bisa ngomongin hal-hal begini buat meyakinkan orang tuaku.""Percaya deh, sekalipun kamu bisa ngomong seperti itu, mereka juga belum tentu mau dengar."Kalimat itu membuat mereka berdua tertawa bersamaan.Pola pikir yang terbentuk selama empat atau lima dekade jelas bukan sesuatu yang bisa diubah hanya dengan beberapa kata. Keluarga seperti Tania sangat umum di dalam negeri. Ini memang benturan antara pemikiran zaman orang tua dan pemikiran modern."Sebenarnya aku masih agak kesal, tapi setelah kamu ngomong, rasanya lebih lega. Arlin, kamu sadar nggak sih, kamu makin mirip sama Pak Rexa?"Arlina tersenyum manis, "N
"Dia nggak marah karena aku bawa kamu ke bar? Apalagi kamu juga minum banyak semalam."Mana mungkin! Semalam Rexa jelas-jelas menikmati banget!Arlina berdeham. "Nggak kok, kamu takut apa sih? Kamu lupa ya semalam sebelum kita ke bar, kamu sendiri yang bilang apa?"Setelah makan malam dan mulai agak teler, Tania masih merasa kurang dan mengajak ke bar. Arlina sempat ragu, tetapi Tania langsung dengan lantang mengatakan tidak usah peduli pada Rexa. Dirinya yang akan menanggung jika Rexa marah.Sekarang bangun tidur malah langsung menelepon dan suaranya penuh kewaspadaan.Tania tentu tidak mau mengaku bahwa dirinya sebenarnya takut. Dia langsung menjawab dengan nada tinggi, "Aku bukan khawatir sama diriku sendiri! Aku cuma takut kamu diberi pelajaran sama Pak Rexa!"Ucapan itu membuat Arlina langsung berpikir yang tidak-tidak."Ya ... nggak gimana-gimana kok," jawab Arlina dengan ambigu."Tapi memang harus diakui, selama bertahun-tahun ini Pak Rexa kelihatannya nggak berubah, tapi juga k
Mendengar ucapan itu, Arlina nyaris tertawa."Aduh, kayaknya harga diri Pak Rexa terluka nih."Dia melangkah mendekat ke arah Rexa, berniat memeluk dan menenangkannya. Siapa sangka, Rexa justru memiringkan tubuhnya, menghindar dari pelukannya.Arlina sedikit terkejut, lalu mendengus kesal. "Ih, cuma gara-gara bilang otot perutmu kalah, aku jadi nggak boleh peluk kamu ya?"Rexa mengangkat pandangan dengan pasrah. "Badanku masih keringatan, kotor.""Aku tetap mau peluk, tetap mau!"Arlina ngotot memeluk pinggangnya dan Rexa akhirnya membalas pelukannya juga. Sudut bibirnya sudah membentuk senyuman.Siapa sangka, tiba-tiba Arlina mencubit perutnya. Rexa yang tak siap langsung menahan napas dan mengeluarkan suara tertahan. Arlina langsung berseru, "Eh, Sayang, baru olahraga sehari, otot perutmu sudah muncul lho!"Rexa benar-benar tidak tahu harus memasang ekspresi apa. Kalau terus begini, lama-kelamaan dia akan menjadi bayi karena terus dibujuk Arlina.Keduanya terus bermesraan di depan pi