Rexa melihat Arlina yang tampak sedih, lalu memegang wajahnya dan mencium bibirnya. "Bodoh, ini 'kan sudah keputusan yang diambil, kenapa kamu masih sedih?""Aku cuma kasihan sama kalian."Ujung jari Rexa membelai lengkungan alis Arlina. Gerakan mesra membuat suasana menjadi semakin hangat. "Terus, kamu nyesal nggak?"Pertanyaan Rexa membuat Arlina tertegun. Menyesal?Kalau waktu itu dia tidak pergi ke luar negeri, dia tidak akan punya pengalaman lima tahun itu, juga tidak akan tumbuh menjadi dirinya yang sekarang.Setelah terdiam sejenak, Arlina menggeleng. Dia sangat berterima kasih pada Rexa yang mengirimnya ke luar negeri. Dia tidak menyesal, tetapi itu tidak menghalangi rasa kasihan dan rindunya pada mereka.Saat seseorang berada di situasi yang tidak bisa mendapatkan keduanya, satu-satunya cara adalah memaksa diri untuk memilih satu jalan.Melihat Arlina menggeleng sambil tersenyum, Rexa berkata, "Asal kamu nggak menyesal, itu saja sudah cukup."Sebuah keputusan kadang baru bisa
Rexa menatap sosok besar dan kecil di depannya. Alisnya sedikit berkerut saat melangkah mendekati mereka. "Kenapa sampai begini?""Papa, kami berkelahi sama Chris dan mamanya." Annie langsung berseru.Mendengar itu, jantung Rexa berdegup kencang. "Kalian nggak terluka, 'kan?"Sambil bicara, dia mengamati Arlina dari atas sampai bawah, lalu berjongkok dan menggulung sedikit ujung celana Annie untuk melihat apakah ada luka atau memar."Nggak."Setelah memastikan anak kecil itu baik-baik saja, Rexa berdiri dan menatap Arlina. Dia pun bertanya dengan nada khawatir, "Apa yang terjadi?"Arlina baru hendak menjelaskan, tetapi suara kekanak-kanakan Annie sudah terdengar duluan. "Itu semua salah Chris. Dia motong antrean, terus kesandung, malah nuduh aku. Terus, dia dorong aku lagi. Jadinya kami berantem."Kali ini, Arlina menimpali, "Aku dan ibu Chris lihat kejadian itu, lalu lari ke sana. Nggak nyangka dia bukannya nasihatin anaknya, malah nyalahin Annie. Anak-anak saling ribut itu hal wajar,
"Kamu nggak mau kasih aku main."Dua tubuh kecil yang tingginya hampir sama itu saling mendorong seperti banteng. Arlina dan ibu Chris hampir bersamaan berlari ke arah mereka untuk memisahkan."Annie, kamu lepaskan dulu.""Annie, lepaskan Chris."Ucapan ibu Chris membuat Arlina langsung mengernyit. Biasanya kalau bertemu situasi seperti ini, orang tua akan menegur anaknya sendiri, tetapi wanita ini malah langsung memerintahkan Annie.Arlina belum sempat berbicara, Annie sudah berteriak, "Aku nggak mau lepas, dia yang dorong aku duluan. Kenapa aku yang harus lepas?"Chris juga berteriak, "Aku juga nggak mau lepas! Annie, kamu nggak masuk akal sekali. Pantas saja mamamu nggak mau sama kamu."Ucapan itu membuat dada Arlina terasa sesak.Wajah Annie semakin merah karena marah. "Mamaku nggak ninggalin aku!""Jangan kira kami nggak tahu. Mamaku bilang, mamamu sudah lama nggak pulang karena memang nggak mau sama kamu. Dia nggak suka sama kamu, bilang kamu nggak nurut, nggak masuk akal, makany
Begitu kata-kata itu keluar, beberapa wanita saling memandang. Tatapan terkejut mereka pun mengamati Arlina dari atas sampai bawah. Jadi, bukan ibu tiri, melainkan ibu kandung? Ternyata lebih muda dari yang mereka bayangkan.Arlina tetap berbicara dengan ramah, "Aku baru saja pulang dari luar negeri, jadi belum begitu kenal dengan tetangga di kompleks ini. Kak, anakmu yang mana ya?"Nada suaranya alami, punya kesan akrab, tanpa ada usaha berlebihan untuk mendekatkan diri atau menyenangkan hati.Salah satu wanita lebih dulu menyahut, menunjuk ke arah anak laki-laki yang sedang bermain bola tak jauh dari sana. "Itu anakku, namanya Ronaldo. Nakalnya minta ampun.""Anakku yang rambutnya dikepang itu, namanya Winnie.""Kalau aku, anakku yang lagi manjat perosotan sama Annie itu, namanya Summer."Mereka memperkenalkan diri satu per satu, bahkan tersenyum juga."Kalau di sini biasanya saling panggil apa?" tanya Arlina.Tak disangka, pertanyaan itu membuat mereka tertawa. Arlina sempat heran,
Ucapan Arlina membuat Rexa tertawa. Rexa membuka mulut, menerima permen kapas itu. Sudut bibirnya terangkat. "Terima kasih, Sayang."Annie tak bisa duduk diam lagi. Suaranya yang kekanak-kanakan pun terdengar. "Kalau aku? Kalau aku?"Arlina dan Rexa sama-sama menoleh padanya, serempak menjawab, "Kamu itu si kecil kesayangan."Annie langsung tersenyum malu-malu, lalu duduk kembali ke tempatnya dengan senang.Karena pulangnya agak malam, setelah makan malam, Arlina baru mengajak Annie turun bermain. Sementara itu, Rexa masih harus menangani urusan kerja mendadak sehingga tidak ikut turun.Fasilitas bermain di bawah kompleks perumahan itu cukup lengkap. Ada perosotan, jungkat-jungkit, dan kolam pasir. Arlina menemani Annie bermain pasir sebentar. Ketika putrinya berlari untuk bermain panjat-panjatan, Arlina berdiri di dekatnya sambil mengawasi.Jam segini cukup banyak orang tua yang membawa anak-anak mereka turun bermain, dari yang kecil sampai yang agak besar. Anak-anak yang saling kenal
Sekarang Arlina sama sekali tak punya pikiran untuk meladeni Hubert. Tanpa mengangkat kepala, dia membuka laptop dan menyahut, "Bukan."Mendengar itu, mata Hubert berkilau dan ujung bibirnya terangkat samar. Melihat Arlina tak sempat meladeninya, dia pun berbalik kembali ke mejanya sendiri.Di rumah, Annie sedang tengkurap di balkon bermain puzzle, tetapi pandangannya sesekali melirik ke bawah.Rexa memperhatikan gerak-geriknya sambil memasang bagian mata panda, lalu berucap, "Mama baru kirim pesan. Katanya setengah jam lagi baru sampai rumah."Annie merasa gerak-geriknya ketahuan ayahnya, jadi beralasan dengan canggung, "Aku nggak nungguin dia kok."Mana mungkin Rexa tak mengerti isi hati putrinya. Dia pun tersenyum, "Kita jemput Mama pulang kerja, mau nggak?"Mata si gadis kecil berkilat, tetapi dia segera sadar ayahnya sedang menatapnya sambil tersenyum. Dia pun berpura-pura tak begitu tertarik. "Oh."Namun, tubuhnya sudah bangkit dan kaki mungilnya sudah melangkah ke dalam rumah. "