Victor terdiam dengan raut wajah yang terkejut. Pria tampan itu jelas terkejut, karena belum pernah dirinya tidur dengan wanita masih perawan. Sementara Vivian, ternyarta wanita yang berbeda dari yang dia jumpai.
“Kenapa kau berhenti?” Suara serak Vivian yang mabuk memecah keheningan.
Victor terperangah, dia tidak menyangka akan mendapat respons seperti ini. Dia melihat wajah Vivian yang memerah karena mabuk berat. “Kau ingin melanjutkan ini?” tanyanya tampak ragu.
Vivian mengangguk, dengan mata yang begitu sayu.
Victor tidak berpikir panjang lagi. Dia langsung menggenggam batang tombak pusakanya dan mengarahkannya ke liang kewanitaan Vivian. Belum selesai Vivian berceloteh, tubuh mereka sudah bersatu dalam harmoni yang indah.
Racauan Vivian berubah menjadi desahan demi desahan pendek. Merayakan keintiman yang telah timbul. Victor mendorong lebih dalam, bergerak dengan intens dan mengantarkan getaran kenikmatan yang baru pertama kali Vivian rasakan.
Victor mulai bergerak lebih cepat, pinggulnya menghentak kewanitaan Vivian dalam irama yang kuat dan sensual. Tampak Vivian melingkarkan kakinya di pinggang Victor, dan itu mendesak kejantanannya untuk masuk lebih dalam. Tubuh mereka saling beradu dalam tarian primitif antara nafsu dan hasrat.
Percintaan mereka sangat panas, setiap dorongan mengirimkan gelombang kenikmatan ke seluruh tubuh mereka. Vivian dapat merasakan dirinya semakin dekat pada pelepasannya, tapi Victor belum siap untuk melepaskannya.
Dalam satu dorongan terakhir, Victor akhirnya membenamkan kejantanannya sampai bagian terdalam tubuh Vivian. Tampak kali ini Vivian berteriak saat dia mengalami pelepasan yang paling hebat dalam hidupnya. Tubuhnya menggeliat dan berguncang, sedangkan Victor memeluknya erat-erat saat dia mencapai pelepasannya bersama-sama.
Hasrat Victor tak bisa dibendung lagi. Pria tampan itu terus mendekap Vivian dengan seluruh kehangatan dan gairah yang ada, membawanya berdua dengan Vivian tenggelam dalam gejolak yang kian panas hingga malam menjadi saksi bagi kesatuan dua jiwa yang saling mencari pelarian.
Saat gairah mereka mereda, keduanya ambruk bersama di tempat tidur, jantung mereka berdegup kencang dan tubuh mereka basah oleh keringat. Pertama kalinya setelah sekian lama, Vivian merasa benar-benar hidup. Tubuh wanita itu terasa lelah, Ya, malam itu rasa kantuk datang lebih cepat dari pada biasanya bagi Victor dan Vivian.
***
Keesokan pagi, cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela kamar hotel. Vivian membuka matanya perlahan, merasakan dinginnya pagi yang tiba-tiba menusuk kulitnya. Wanita cantik itu menoleh, mendapati Victor yang masih terlelap di sampingnya, tampak tenang dan damai. Perasaan hangat menyelinap di dalam hatinya, tetapi hanya sesaat sebelum kesadaran lain merayap masuk.
“Apa yang sudah kulakukan?” gumam Vivian pelan pada dirinya sendiri.
Wanita cantik itu duduk di tepi tempat tidur, menatap Victor yang masih tertidur dengan perasaan campur aduk—bingung, bersalah, dan bahkan sedikit takut. Dia tak pernah membayangkan akan terjadi seperti ini, apalagi dengan seorang pria yang tak benar-benar dia kenal. Ini tak seperti dirinya yang selalu terkontrol, penuh perhitungan, dan berhati-hati.
Saat Vivian sepenuhnya teringat tentang apa yang terjadi, dia bergidik ngeri. “Apa aku sudah menjual tubuhku tanpa sadar pada pria ini?” gumamnya lagi.
“Tidak, tidak. Kau gila, Vivian! Apa yang sudah kau lakukan semalam?!” Vivian mendadak panik, tapi dia kemudian menarik napas untuk menenangkan diri. “Oke, jangan panik. Sekarang yang harus kulakukan hanya pergi dari sini.”
Vivian menyingkap selimut dan mulai bergerak menjauh perlahan. “Lupakan mimpi buruk dan semua kekonyolan ini, dan pergi dari sini.”
Wanita cantik itu turun dari tempat tidur dan mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai. Dia berusaha secepat mungkin untuk meninggalkan kamar itu sebelum Victor terbangun.
Saat Vivian sudah di lobi hotel, pandangannya tertuju pada ponsel yang terus berdering di genggamannya. Nama ‘Dad’ muncul di layar, membuat perasaannya kembali kalut. Sepanjang pagi ini, sudah tiga kali ayahnya menelepon—panggilan yang selalu datang dengan rentetan permintaan yang semakin sulit dia penuhi.
“Not now,” gumam Vivian pelan, lalu menekan tombol untuk mengabaikan panggilan itu.
Namun, sesaat setelah panggilan berakhir, nomor yang sama kembali menelepon. Kali ini, sebuah firasat buruk muncul di benaknya. Setelah ragu beberapa detik, Vivian akhirnya menghela napas dan menerima panggilan tersebut, bersiap untuk mendengar alasan apa lagi yang mungkin diberikan ayahnya.
“Vivian Herlize?” Suara berat dan dingin terdengar di seberang, membuatnya merinding.
Vivian mengerutkan kening. Itu bukan suara ayahnya. “Ya, ini Vivian. Siapa ini?” tanyanya bingung.
Suara di telepon tertawa pelan, nada menghina terdengar jelas. “Kita belum pernah berjumpa, tapi mungkin kau tahu kenapa aku menelepon. Aku adalah orang yang dipanggil ayahmu sebagai 'penyelamat.' Dia punya utang yang cukup besar padaku. Sekarang, bunga utangnya mencapai 20 juta dolar.”
Darah Vivian seolah membeku mendengar itu. Tangannya gemetar, tetapi dia berusaha menenangkan diri. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya dengan nada berusaha tetap tegar.
“Semua orang tahu kau putri kebanggaan keluarga. Pengacara sukses dengan reputasi tinggi,” suara pria itu terdengar sinis. “Ayahmu menunggak bunga utangnya selama berbulan-bulan. Kalau kau tidak mau kami bertindak keras, maka bayar sekarang. Kaau kau tidak punya uangnya, maka bersiaplah kehilangan lebih dari sekadar reputasi.”
Vivian menelan ludah, otaknya berpacu mencari solusi. “Aku ... aku tidak punya uang sebanyak itu. Kalaupun aku punya, aku tidak akan membayar utang yang dia buat!”
Suara di telepon berubah kasar. “Jangan main-main, Nona Herlize. Kami tahu kau punya koneksi dan uang. Waktu kami terbatas, dan pilihanmu adalah membayar, atau bersiap menghadapi konsekuensinya.”
Vivian merasakan ketegangan yang semakin menekan. Napasnya semakin pendek. Dia tahu dirinya tak punya uang sebanyak itu. Bahkan jika ada, seluruh uangnya akan lebih baik digunakan untuk mempertahankan firma hukumnya, H-Justice Corporation, yang baru saja menghadapi beberapa kasus besar. Namun di sisi lain, dia tidak bisa membiarkan ancaman ini begitu saja.
“Dengarkan aku baik-baik,” kata Vivian, berusaha menenangkan diri. “Berikan aku waktu. Aku akan mencari cara. Tapi, kau tidak akan mendapatkannya sekarang.”
Pria di seberang telepon mendesah keras. “Kami sudah memberi waktu cukup lama pada ayahmu! Sekarang kau yang harus menanggung akibatnya. Jangan pernah mengabaikan panggilan ini lagi, atau hal buruk akan terjadi!”
Sambungan terputus, meninggalkan Vivian berdiri membeku di tengah lobi, dengan tatapan kosong dan hati yang berdegup kencang. Tampak kepanikan di wajahnya, tetapi dia berusaha menutupi itu. Dia kini memasukkan ponsel ke dalam tasnya dan keluar dari hotel, mencoba menghindari tatapan orang-orang di sekitarnya.
Napasnya semakin memburu, tubuhnya bergetar. Dalam kepanikan yang terus membuncah, hanya ada satu hal yang pasti yaitu dia takkan membayar utang ayahnya, tidak kali ini.
“Aku harus melindungi H-Justice,” gumam Vivian, seolah-olah meyakinkan diri sendiri.
Sambil berjalan cepat, Vivian mengeluarkan ponselnya lagi dan mengetik pesan untuk asistennya. “Siapkan semua berkas untuk pertemuan klien hari ini. Aku akan terlambat sedikit.”
Dalam benak Vivian, ancaman itu terus terngiang. Jika para mafia itu benar-benar menagih dan menekan lebih jauh, dia tahu situasinya akan semakin sulit. Akan tetapi, bagaimanapun, ini adalah pertempuran yang harus dia hadapi seorang diri.
***
Victor terbangun dalam kondisi linglung, matanya memicing saat sinar matahari yang menusuk dari celah tirai menyilaukan pandangannya. Pria tampan itu mengulurkan tangan ke samping, tetapi yang dia rasakan hanya dinginnya seprai kosong. Wanita itu—Vivian—telah pergi, meninggalkannya begitu saja tanpa jejak atau sepatah kata.
“Ke mana dia pergi?” gumam Victor pelan, masih setengah bingung, tetapi dia sadar bahwa dia telah ditinggal. “Berani-beraninya dia kabur dariku?!” lanjutnya dengan nada kali ini kesal.
Victor duduk di tepi ranjang, menyandarkan punggungnya sembari mencoba mencerna kejadian semalam. Sosok Vivian, wanita yang datang tiba-tiba dan menghilang seolah hantu, meninggalkan kesan yang dalam. Kenyataan bahwa dia telah menjadi yang pertama bagi wanita itu membuatnya merasa bertanggung jawab, entah kenapa.
Menyadari sudah terlambat bangun, Victor segera mengangkat telepon yang sejak tadi berdering. Pria tampan itu memanggil Giore, asisten pribadinya.
“Giore, aku butuh update jadwal hari ini,” perintah Victor tanpa basa-basi, di kala panggilan sudah terhubung.
“Selamat pagi, Tuan Victor,” jawab Giore dengan nada profesional. “Pagi ini ada pertemuan dengan dewan direktur, makan siang dengan klien di restoran di pusat kota, lalu pertemuan dengan ayah Anda di kantor pusat pada sore harinya.”
Victor menghela napas mendengar bagian terakhir jadwal itu. Ayahnya pasti akan menambah tekanannya lagi, membuat tuntutan yang lebih besar seperti biasanya. “Siapkan semuanya.”
“Apakah ada yang lain, Tuan?” tanya Giore.
Victor terdiam sejenak, lalu dengan nada penuh keraguan berkata, “Aku butuh bantuanmu untuk satu hal lagi. Temukan wanita yang bersamaku semalam. Namanya Vivian, tapi aku tidak tahu siapa dia atau dari mana asalnya.”
Giore sedikit terkejut. “Maaf, jika saya lancang, Anda tidak pernah mencari wanita yang menghabiskan malam dengan Anda. Ada apa kali ini, Tuan?”
Victor menggigit bibir, lalu menjawab dengan jujur, “Dia ... masih perawan, Giore. Dan aku merasa sedikit bersalah. Mungkin dia kesulitan secara finansial, jadi kalau kau bisa temukan dia, aku akan memastikan dia diberi kompensasi yang layak.”
“Akan saya selesaikan, Tuan,” jawab Giore cepat.
Setelah panggilan berakhir, Victor melangkah ke kamar mandi, berusaha menyegarkan diri dari sisa-sisa kebingungan dan keletihan semalam. Namun, saat dia selesai berpakaian dan menuju ke ruang tamu hotel, sebuah tayangan di televisi menarik perhatiannya.
{PEMBUNUH BERANTAI 'THE STIVE' MASIH BERKELIARAN.}
Wajah serius seorang reporter muncul di layar, mengabarkan berita yang membuat Victor menghentikan langkahnya sejenak.
{Polisi terus mencari pelaku yang dijuluki ‘The Stive,’ seorang pembunuh berantai yang telah menewaskan beberapa wanita muda dalam beberapa minggu terakhir. Ciri khasnya adalah cara dia membunuh korban-korbannya—dengan tujuh sayatan di dada dan pada bagian kewanitaan mereka. Polisi memperkirakan pelaku adalah seorang yang mengalami gangguan psikologis serius ...}
Klik!
Victor memutuskan untuk mematikan televisi, mengabaikan berita yang muncul. Dia bergegas meninggalkan kamar hotel itu. Dia sempat berharap Vivian masih ada, tetapi sialnya wanita itu malah melarikan diri darinya.
Vivian melangkah masuk ke aula megah tempat pesta amal keluarga Garnece digelar, matanya menyapu sekeliling ruangan yang dipenuhi tamu-tamu orang kaya dan berpengaruh. Ornamen kristal menggantung dari langit-langit, memantulkan cahaya yang menambah kemewahan tempat itu.Wanita itu sampai menelan ludah, merasa canggung di tengah kerumunan ini, tapi memaksakan senyum kecil pada wajahnya. Malam ini, dia datang dengan satu tujuan, mencari investor yang bisa dia ajak bekerja sama, atau setidaknya, seseorang yang bersedia meminjamkan sejumlah uang untuk menutupi masalah finansial yang kian menjerat.“Nona Herlize, semoga kau menikmati pestanya malam ini.” Hans Garnece menyapa Vivian dengan sopan saat dia menyerahkan undangannya.Vivian mengangguk sopan, dan memberikan senyuman di wajahnya. “Seperti biasa, pesta Anda luar biasa, Tuan Garnece.”Di saat yang sama, di sudut lain aula pesta, Victor berdiri dengan bosan. Meskipun masih merasa tidak nyaman dengan penemuan mayat yang tiba-tiba di s
Vivian duduk di sofa apartemennya dengan cangkir kopi yang nyaris dingin di tangannya. Matanya terpaku pada layar televisi, menyaksikan berita yang tiba-tiba membuat jantungnya berdetak lebih cepat.{Victor Hayes Kingston, pengusaha muda dan CEO Kingston Group, baru-baru ini menarik perhatian atas proyek resort eksklusifnya di Miami yang dijadwalkan akan mulai konstruksi minggu ini.}Tubuh Vivian langsung membeku terkejut melihat berita di televisi. Wanita cantik itu sampai mengerjap beberapa kali, menatap wajah tampan yang ada di layar. Sungguh, debar jantungnya kini terasa benar-benar tak karuan.“Ya Tuhan!” Vivian sampai menjerit di kala yakin bahwa pria yang menghabiskan malam dengannya adalah Victor Hayes Kingston.Vivian kini mondar-mandir tidak jelas akibat rasa panik yang membentang di dalam diri. Dia tak mungkin salah. Dia bangun dalam keadaan melihat jelas wajah pria yang menghabiskan malam dengannya.“Bagaimana bisa aku mabuk dan mengacau pada orang penting seperti dia?!” V
Victor terdiam dengan raut wajah yang terkejut. Pria tampan itu jelas terkejut, karena belum pernah dirinya tidur dengan wanita masih perawan. Sementara Vivian, ternyarta wanita yang berbeda dari yang dia jumpai.“Kenapa kau berhenti?” Suara serak Vivian yang mabuk memecah keheningan.Victor terperangah, dia tidak menyangka akan mendapat respons seperti ini. Dia melihat wajah Vivian yang memerah karena mabuk berat. “Kau ingin melanjutkan ini?” tanyanya tampak ragu.Vivian mengangguk, dengan mata yang begitu sayu.Victor tidak berpikir panjang lagi. Dia langsung menggenggam batang tombak pusakanya dan mengarahkannya ke liang kewanitaan Vivian. Belum selesai Vivian berceloteh, tubuh mereka sudah bersatu dalam harmoni yang indah.Racauan Vivian berubah menjadi desahan demi desahan pendek. Merayakan keintiman yang telah timbul. Victor mendorong lebih dalam, bergerak dengan intens dan mengantarkan getaran kenikmatan yang baru pertama kali Vivian rasakan.Victor mulai bergerak lebih cepat,
Seorang wanita cantik bernama Vivian menatap layar ponselnya yang bergetar di atas meja, nomor ayahnya terpampang jelas. Panggilan itu adalah yang kelima malam ini, dan setiap getaran seolah memancarkan aura penuh desakan dan tuntutan yang sama yaitu uang dan uang.Mata Vivian menyipit, jemarinya gemetar, tetapi bukan karena takut—melainkan karena kemarahan yang sudah tertahan lama. Setiap kali ayahnya menghubungi, alasan yang diberikan selalu sama. Dia selalu dipaksa untuk membuka dompetnya, mengeluarkan uang yang dengan susah payah dia hasilkan, hanya untuk membiayai kebiasaan buruk ayahnya itu.Vivian akhirnya menghela napas panjang, lalu mematikan ponsel. Dia tahu jika terus mengangkat panggilan itu, dia akan kembali menyerah. Jadi, dia memutuskan untuk mematikan ponselnya guna membuat otaknya menjadi jauh lebih waras.Vivian bergumam pada dirinya sendiri, nada suaranya dingin dan tegas. “Aku sudah cukup peduli selama ini. Sekarang, saatnya memikirkan diriku sendiri. Aku lelah me