Vivian duduk di sofa apartemennya dengan cangkir kopi yang nyaris dingin di tangannya. Matanya terpaku pada layar televisi, menyaksikan berita yang tiba-tiba membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
{Victor Hayes Kingston, pengusaha muda dan CEO Kingston Group, baru-baru ini menarik perhatian atas proyek resort eksklusifnya di Miami yang dijadwalkan akan mulai konstruksi minggu ini.}
Tubuh Vivian langsung membeku terkejut melihat berita di televisi. Wanita cantik itu sampai mengerjap beberapa kali, menatap wajah tampan yang ada di layar. Sungguh, debar jantungnya kini terasa benar-benar tak karuan.
“Ya Tuhan!” Vivian sampai menjerit di kala yakin bahwa pria yang menghabiskan malam dengannya adalah Victor Hayes Kingston.
Vivian kini mondar-mandir tidak jelas akibat rasa panik yang membentang di dalam diri. Dia tak mungkin salah. Dia bangun dalam keadaan melihat jelas wajah pria yang menghabiskan malam dengannya.
“Bagaimana bisa aku mabuk dan mengacau pada orang penting seperti dia?!” Vivian memijat pelipisnya, dengan raut wajah putus asa. “Dia putra Kingston Group, Vivian! Kingston Group!”
Pria yang Vivian pikir hanya seorang asing ternyata adalah Victor Kingston, seorang pengusaha terkenal. Betapa dia tidak menyadarinya semalam—entah karena efek alkohol atau keadaan emosinya yang kacau.
“Tidak ... tidak. Kalau dia Victor Hayes Kingston yang super kaya dan terkenal itu, maka aku semakin wajib menjauhinya!” gumam Vivian penuh tekad.
Kepala Vivian semakin pusing. Seandainya dia tahu pria itu adalah Victor Kingston, dia takkan pernah membiarkan dirinya terjebak dalam situasi itu. Di tengah kepanikan itu, ponselnya bergetar di meja. Dia mengintip layar dan melihat sebuah nomor asing yang baru saja mengirim pesan.
{Selamat pagi, Nona Vivian. Saya Giore, asisten pribadi Victor Kingston. Tuan Victor meminta Anda untuk bertemu dengannya hari ini untuk meluruskan beberapa hal. Silakan hubungi saya jika ada waktu luang.}
“Asisten Victor katanya? Penipu sialan!” Vivian membaca pesan itu dengan alis terangkat. Dia mendengkus, merasa ini tak lebih dari sekadar spam atau mungkin lelucon tak lucu. “Orang ini pasti bercanda,” gumamnya, lalu dengan cepat menghapus pesan itu.
Namun, tak lama kemudian, ponselnya kembali bergetar. Nomor yang sama menelepon, tetapi Vivian menatap layar dengan tatapan skeptis, tak berniat menjawab sama sekali. Sebab terlalu banyak penipuan.
“Mungkin hanya orang iseng,” ucap Vivian, lalu meletakkan ponsel di meja, berusaha mengalihkan perhatiannya kembali pada berita. Meskipun begitu, pikirannya tetap terganggu, membayangkan kemungkinan bahwa pesan tadi bisa saja benar.
Di tempat lain, di kantor pusat Kingston Group, Giore menatap ponselnya dengan ekspresi frustasi. Dia sudah mencoba menelepon Vivian berkali-kali sejak pagi, tetapi wanita itu tidak pernah menjawab atau membalas pesan.
Victor berjalan masuk ke kantor, mengenakan setelan jas rapi. Melihat ekspresi asistennya yang tampak kesal, dia menatap Giore dengan alis terangkat serta sorot mata menuntut.
“Ada apa?” tanya Victor sambil meletakkan ponselnya ke atas meja.
Giore mendesah panjang, dan menatap bosnya itu. “Tuan Victor, saya sudah mencoba menghubungi Nona Vivian berkali-kali. Sepertinya dia mengabaikan telepon dan pesan saya.”
Victor mengernyit. “Dia tidak menjawab?”
“Tidak, Tuan. Sepertinya dia mengira ini hanya lelucon atau mungkin spam,” jawab Giore menjadi bingung.
Victor menghela napas, menimbang-nimbang langkah selanjutnya. “Kalau begitu, biarkan saja dulu. Kita ada jadwal penting hari ini. Kita harus terbang ke Miami dan memastikan semuanya siap untuk peletakan batu pertama proyek resort itu.”
Giore mengangguk, meskipun dia tampak sedikit ragu. “Baik, Tuan. Tapi, apakah Anda ingin saya terus menghubunginya nanti?”
Victor memikirkan sejenak, lalu mengangguk pelan. “Iya, coba hubungi dia lagi nanti. Pastikan dia tahu aku ingin berbicara dengannya. Sepertinya dia memang perlu diyakinkan.”
“Dimengerti, Tuan,” jawab Giore patuh akan ucapan bosnya.
***
Miami, Florida.
Victor melangkah keluar dari mobil, matanya menyapu proyek pembangunan resort di pantai Miami yang baru akan dimulai. Para pekerja dan alat berat tampak sibuk, suara mesin dan deru angin laut saling berbaur, mengisi udara dengan antusiasme sekaligus ketegangan.
Victor memasukkan tangannya ke dalam saku untuk merogoh ponselnya, berniat menghubungi arsitek proyek untuk memastikan beberapa rincian. Namun saat itu, sapu tangan putihnya jatuh tanpa dia sadari, terselip di antara tumpukan adukan semen yang basah dan berdebu di dekat pijakan kaki para pekerja.
Giore yang berada beberapa langkah di belakang Victor, melihat sekilas seseorang yang berjalan cepat dan mencurigakan, tetapi terlalu fokus mengikuti Victor untuk berhenti dan memastikan apa yang dilihatnya. Pikiran Giore sempat terganggu, tetapi dia memutuskan untuk tetap bersama bosnya, mengingat tugasnya adalah harus selalu siap mendampingi bosnya.
“Baiklah, kita mulai,” kata Victor dengan suara tenang tetapi tegas, memberi isyarat pada manajer proyek dan para pekerja yang menunggu instruksinya. “Pastikan pondasi ini sudah siap sepenuhnya sebelum peletakan batu pertama dimulai.”
Manajer proyek mengangguk. “Ya, Tuan Victor. Kami sudah mengikuti rencana desain dengan ketat. Semuanya berjalan sesuai jadwal.”
Victor tampak puas dan melanjutkan inspeksi ke beberapa titik lainnya di lokasi proyek. Tampak Giore terus berada di sampingnya, mencatat beberapa hal dan memperhatikan arahan darinya dengan teliti.
Sekitar satu jam berlalu, dan inspeksi hampir selesai. Victor melangkah mundur, menatap sekeliling dengan ekspresi puas, yakin bahwa proyek ini akan menjadi salah satu investasi paling sukses dalam portofolio Kingston Group.
Namun, saat mereka bersiap untuk meninggalkan lokasi, tiba-tiba terdengar teriakan seorang pekerja dari area adukan semen di mana sapu tangan Victor terjatuh. Wajah pekerja itu terlihat pucat, dan suaranya penuh dengan kepanikan.
“Ada mayat di sini!” teriak pekerja itu, membuat semua orang yang berada di lokasi seketika berhenti dan melihat ke arahnya dengan ekspresi terkejut.
Victor dan Giore saling pandang sejenak, lalu segera bergegas menuju tempat pekerja itu berdiri. Tanpa pikir panjang, mereka menerobos kerumunan pekerja yang mulai berdesakan untuk melihat lebih dekat.
Di sana, di dalam cor-coran yang masih setengah basah, terlihat sosok tubuh seorang wanita terkubur, tubuhnya sebagian tenggelam dalam adukan semen. Wajahnya tertutup lumpur, dan kulitnya tampak pucat dan kaku.
“Apa ini ... bagaimana ini bisa terjadi?” gumam Victor, menatap tubuh wanita itu dengan perasaan terkejut yang tak bisa dia sembunyikan.
Giore yang berdiri di sampingnya, mencoba mencerna apa yang dia lihat. “Tuan , kita perlu memanggil polisi sekarang juga.”
Victor mengangguk pelan, masih tertegun dengan pemandangan di depannya. Napasnya terasa semakin berat, sementara para pekerja mulai berbisik dengan ketakutan, saling bertanya bagaimana mungkin tubuh seseorang bisa terkubur di lokasi proyek mereka.
“Bagaimana bisa ada mayat wanita di sini?” bisik Victor, bertanya pada dirinya sendiri. Namun, sebelum dia bisa menarik kesimpulan, matanya menangkap sesuatu yang tergeletak tak jauh dari tubuh wanita itu.
Sapu tangannya. Terselip dan kotor, terjepit di antara beton yang setengah basah. Victor hendak mengambil sapu tangan miliknya, tapi tiba-tiba saja seseorang menghentikannya.
“Tuan, itu benda kotor. Jangan diambil!”
Victor menatap orang itu seraya mengerutkan keningnya. Orang yang menghentikan gerakannya adalah petugas proyek dengan masker dan helmet yang sama seperti pekerja lainnya. Namun, entah dia merasa ada yang aneh.
Victor menoleh dan menatap Giore. “Apa dia pekerja kita?” tanyanya memastikan.
Giore celingukan dan bertanya balik, “Yang mana, Tuan?”
Victor hendak menunjuk, tapi orang itu memang sudah menghilang. Dia mengurungkan niatnya dan menggeleng. “Mungkin aku salah lihat.”
Hati Victor berdegup kencang saat menyadari detail tersebut, dan dalam sekejap dia merasakan firasat buruk menguasai dirinya. Pikirannya berputar-putar, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Perasaannya jadi tidak enak.
Giore menatap Victor penuh tanda tanya, sementara sirene polisi yang mendekat mulai terdengar dari kejauhan. “Tuan, kita harus segera pergi dari sini sebelum polisi datang. Akan sangat merepotkan kalau terlibat secara langsung sekarang.”
“Tapi,” Victor menoleh ke belakang, ke arah sapu tangannya yang jatuh.
“Tuan, polisi akan segera sampai!” Giore membuka pintu mobil dan mendorong Victor masuk. “Biar para pekerja saja yang menjadi saksi.”
Victor mengembuskan napasnya, dan mengangguk setuju dengan ucapan sang asisten. Dia memilih meninggalkan lokasi dengan perasaan yang entah kenapa merasa tidak enak—seakan-akan dirinya akan terlibat masalah besar. Padahal diamerasa bahwa dirinya sudah berhati-hati. Namun, entah kenapa perasaan ini muncul.
Vivian melangkah masuk ke aula megah tempat pesta amal keluarga Garnece digelar, matanya menyapu sekeliling ruangan yang dipenuhi tamu-tamu orang kaya dan berpengaruh. Ornamen kristal menggantung dari langit-langit, memantulkan cahaya yang menambah kemewahan tempat itu.Wanita itu sampai menelan ludah, merasa canggung di tengah kerumunan ini, tapi memaksakan senyum kecil pada wajahnya. Malam ini, dia datang dengan satu tujuan, mencari investor yang bisa dia ajak bekerja sama, atau setidaknya, seseorang yang bersedia meminjamkan sejumlah uang untuk menutupi masalah finansial yang kian menjerat.“Nona Herlize, semoga kau menikmati pestanya malam ini.” Hans Garnece menyapa Vivian dengan sopan saat dia menyerahkan undangannya.Vivian mengangguk sopan, dan memberikan senyuman di wajahnya. “Seperti biasa, pesta Anda luar biasa, Tuan Garnece.”Di saat yang sama, di sudut lain aula pesta, Victor berdiri dengan bosan. Meskipun masih merasa tidak nyaman dengan penemuan mayat yang tiba-tiba di s
Vivian duduk di sofa apartemennya dengan cangkir kopi yang nyaris dingin di tangannya. Matanya terpaku pada layar televisi, menyaksikan berita yang tiba-tiba membuat jantungnya berdetak lebih cepat.{Victor Hayes Kingston, pengusaha muda dan CEO Kingston Group, baru-baru ini menarik perhatian atas proyek resort eksklusifnya di Miami yang dijadwalkan akan mulai konstruksi minggu ini.}Tubuh Vivian langsung membeku terkejut melihat berita di televisi. Wanita cantik itu sampai mengerjap beberapa kali, menatap wajah tampan yang ada di layar. Sungguh, debar jantungnya kini terasa benar-benar tak karuan.“Ya Tuhan!” Vivian sampai menjerit di kala yakin bahwa pria yang menghabiskan malam dengannya adalah Victor Hayes Kingston.Vivian kini mondar-mandir tidak jelas akibat rasa panik yang membentang di dalam diri. Dia tak mungkin salah. Dia bangun dalam keadaan melihat jelas wajah pria yang menghabiskan malam dengannya.“Bagaimana bisa aku mabuk dan mengacau pada orang penting seperti dia?!” V
Victor terdiam dengan raut wajah yang terkejut. Pria tampan itu jelas terkejut, karena belum pernah dirinya tidur dengan wanita masih perawan. Sementara Vivian, ternyarta wanita yang berbeda dari yang dia jumpai.“Kenapa kau berhenti?” Suara serak Vivian yang mabuk memecah keheningan.Victor terperangah, dia tidak menyangka akan mendapat respons seperti ini. Dia melihat wajah Vivian yang memerah karena mabuk berat. “Kau ingin melanjutkan ini?” tanyanya tampak ragu.Vivian mengangguk, dengan mata yang begitu sayu.Victor tidak berpikir panjang lagi. Dia langsung menggenggam batang tombak pusakanya dan mengarahkannya ke liang kewanitaan Vivian. Belum selesai Vivian berceloteh, tubuh mereka sudah bersatu dalam harmoni yang indah.Racauan Vivian berubah menjadi desahan demi desahan pendek. Merayakan keintiman yang telah timbul. Victor mendorong lebih dalam, bergerak dengan intens dan mengantarkan getaran kenikmatan yang baru pertama kali Vivian rasakan.Victor mulai bergerak lebih cepat,
Seorang wanita cantik bernama Vivian menatap layar ponselnya yang bergetar di atas meja, nomor ayahnya terpampang jelas. Panggilan itu adalah yang kelima malam ini, dan setiap getaran seolah memancarkan aura penuh desakan dan tuntutan yang sama yaitu uang dan uang.Mata Vivian menyipit, jemarinya gemetar, tetapi bukan karena takut—melainkan karena kemarahan yang sudah tertahan lama. Setiap kali ayahnya menghubungi, alasan yang diberikan selalu sama. Dia selalu dipaksa untuk membuka dompetnya, mengeluarkan uang yang dengan susah payah dia hasilkan, hanya untuk membiayai kebiasaan buruk ayahnya itu.Vivian akhirnya menghela napas panjang, lalu mematikan ponsel. Dia tahu jika terus mengangkat panggilan itu, dia akan kembali menyerah. Jadi, dia memutuskan untuk mematikan ponselnya guna membuat otaknya menjadi jauh lebih waras.Vivian bergumam pada dirinya sendiri, nada suaranya dingin dan tegas. “Aku sudah cukup peduli selama ini. Sekarang, saatnya memikirkan diriku sendiri. Aku lelah me