Vivian melangkah masuk ke aula megah tempat pesta amal keluarga Garnece digelar, matanya menyapu sekeliling ruangan yang dipenuhi tamu-tamu orang kaya dan berpengaruh. Ornamen kristal menggantung dari langit-langit, memantulkan cahaya yang menambah kemewahan tempat itu.
Wanita itu sampai menelan ludah, merasa canggung di tengah kerumunan ini, tapi memaksakan senyum kecil pada wajahnya. Malam ini, dia datang dengan satu tujuan, mencari investor yang bisa dia ajak bekerja sama, atau setidaknya, seseorang yang bersedia meminjamkan sejumlah uang untuk menutupi masalah finansial yang kian menjerat.
“Nona Herlize, semoga kau menikmati pestanya malam ini.” Hans Garnece menyapa Vivian dengan sopan saat dia menyerahkan undangannya.
Vivian mengangguk sopan, dan memberikan senyuman di wajahnya. “Seperti biasa, pesta Anda luar biasa, Tuan Garnece.”
Di saat yang sama, di sudut lain aula pesta, Victor berdiri dengan bosan. Meskipun masih merasa tidak nyaman dengan penemuan mayat yang tiba-tiba di site konstruksi milik Kingston Group di Miami, tapi untungnya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Malam ini, dia sudah kembali ke New York dan sedang menghadiri pesta amal milik keluarga sahabatnya yaitu Hans Garnece.
Victor mengenakan setelan hitam yang rapi dan tampak berwibawa seperti biasanya. Hans menepuk bahunya, tersenyum sambil menunjuk beberapa tamu yang sudah menunggu untuk sekadar menyapa atau berbincang dengannya.
“Kuharap kau menikmati pestanya, Victor. Kapan lagi kita bisa bertemu tanpa harus membicarakan bisnis terus-menerus?” Hans tertawa kecil, menepuk bahu Victor.
Victor tersenyum tipis. “Kau benar. Aku butuh suasana seperti ini setelah minggu yang cukup ... melelahkan.”
Namun, saat Victor menoleh, pandangannya bertemu dengan sosok yang tidak disangkanya akan dia lihat di sini—Vivian. Wanita yang telah menghilang tanpa sepatah kata, dan kini berdiri di tengah kerumunan tamu, tampak memancarkan aura yang begitu menarik perhatian. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, sementara dia mencoba memahami mengapa takdir mempertemukan mereka lagi malam ini.
Vivian pun menyadari keberadaan Victor di saat yang sama. Matanya dan Victor kini bertemu, menimbulkan kejutan dan kecanggungan yang langsung membuatnya ingin segera pergi. Namun, pria itu kini sudah berjalan mendekatinya dengan langkah mantap serta tatapan penuh intensitas.
“Nona Vivian, senang bisa kembali bertemu denganmu.” Victor menyapanya, mencoba menunjukkan sikap tenang meski ada sorot penasaran di matanya. “Tidak kusangka kita bertemu lagi secepat ini.”
Begitu menoleh, Vivian langsung membeku sejenak. Dia berpura-pura tidak melihat Victor dan pergi ke sisi lain sambil membawa gelas minuman di tangannya. Namun, tentu Victor mengejarnya, seakan tak membiarkannya untuk menjauh.
“Kita harus bicara,” ucap Victor seraya meraih lengan Vivian.
Vivian tidak menoleh, karena memilih tak mau diusik. “Maaf, Tuan. Apa kita saling mengenal?” tanyanyadengan tenang.
Victor tersenyum miring, meledek Vivian yang berpura-pura. Meski wanita itu sempat mabuk di kelab malam waktu itu, tapi dia yakin pasti wanta itu pasti masih mengenali dirinya.
“Aku yakin kau tidak mungkin melupakanku,” bisik Victor serak. “Berhenti berpura-pura, karena aku tidak bodoh.”
Vivian mendesah panjang. “Tolong jangan ganggu aku. Aku tidak mau—“
“Aku ingin membahas malam itu,” potong Victor tegas.
Vivian merasa sedikit risih. “Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan, Tuan Victor. Kita hanya—”
“Oh, kau ingat namaku, rupanya.” Victor menyeringai penuh kemenangan.
“Akan sangat aneh kalau aku tidak tahu.” Vivian terdengar ketus.
“Aku perlu memastikan kau baik-baik saja,” potong Victor cepat. “Dan kupikir, setelah menyadari situasimu, aku ... bisa memberimu kompensasi. Sesuatu yang mungkin bisa membantu.”
“Aku baik-baik saja.” Vivian mendelik, dan matanya berkilat marah. “Tapi apa maksud Anda, Tuan Victor? Kompensasi?”
“Ya, aku tidak tahu bahwa kau masih perawan dan—”
“Memangnya Anda pikir saya ini apa? Perempuan bayaran?” suara Vivian merendah, tapi ada emosi yang memuncak di dalamnya. “Saya tidak butuh uang Anda!” serunya kesal, dan penuh penekanan.
“Kau salah paham. Aku hanya ingin membantumu,” jawab Victor dingin, dan tegas.
“Aku mungkin butuh uang, tapi aku tidak minta dari seseorang yang menganggap malam penuh kesalahan itu sebagai ... transaksi bisnis!” Vivian mendesis dengan suara rendah, menjaga agar kemarahan di wajahnya tidak terlalu mencolok di hadapan tamu lain. “Aku ini bukan pelacur.”
Victor menata Vivian dalam-dalam, melihat luka di balik tatapan kerasnya. “Aku tidak pernah menganggapmu sebagai pelacur,” jawabnya lagi.
“Aku rasa kita harus sudahi percakapan tidak penting ini. Maaf, permisi.” Vivian melangkah mundur, dan pergi begitu saja tanpa mau berkata apa pun.
Victor masih bergeming di tenpatnya, menatap Vivian yang mulai lenyap dari pandangannya. Senyuman di wajahnya terlukis. Dia merasa baru kali ini dirinya ditolak. Padaha yang dia tahu bahwa semua wanita menyukai uang.
***
Keesokan pagi, Victor terbangun dengan perasaan tak nyaman. Pra tampan itu datang di pagi hari ke kantor, tetapi tiba-tiba saja ada masalah terjadi. Ya, tak sampai 24 jam setelah kunjungannya ke Miami, berita mengaitkan Kingston Group dengan kasus pembunuhan berantai yang dikenal sebagai ‘The Stive.’ Media dengan cepat mengeksploitasi informasi itu, memublikasikan spekulasi tanpa bukti kuat, dan menciptakan kegemparan yang sangat merugikan citra perusahaannya. Nama Kingston Group, yang selama ini dikenal sebagai perusahaan berkelas dan terpercaya, kini tercemar, diseret dalam skandal mengerikan yang menyudutkan Victor.
“Tuan, gawat! Kita ada masalah!” Giore berlari masuk ke ruangan Victor, memberikan beberapa laporan yang mendesak. “Karena penemuan mayat kemarin, kita disangkut pautkan dengan The Stive!”
Victor mendelik, dia mengambil laporan dari Giore dan mulai mengepalkan tangan dengan kuat. “Sialan! Bagaimana ini bisa terjadi?!”
“Tuan, harga saham kita—“ Giore bingung untuk melanjutkan ucapannya.
“Cepat tampilkan!” titah Victor tegas.
Pagi itu, di ruang kantornya yang megah, Victor duduk diam memandangi laporan saham yang terus turun tajam. Setiap menit yang berlalu, saham Kingston Group kehilangan nilainya. Kantor yang biasanya tenang berubah tegang dengan staf yang lalu-lalang, sebagian besar khawatir akan kehilangan pekerjaan jika krisis ini berlarut-larut. Suasana penuh tekanan semakin terasa ketika Julian datang menghampiri Victor dengan ekspresi dingin dan penuh tuntutan.
“Apa yang terjadi, Victor? Bagaimana bisa Kingston Group terseret dalam berita ini?” Julian menatap Victor dengan penuh amarah yang ditahannya.
Victor menghela napas panjang, mencoba tetap tenang. “Aku sedang mencari tahu. Semua ini jelas hanya tuduhan tak berdasar. Kingston Group sama sekali tak ada kaitannya dengan kasus itu.”
“Ini kasus pembunuhan berantai yang sedang viral!” Julian melemparkan berkas-berkas yang berhubungan dengan The Stive. “Bagaimana bisa kau mengatakan tuduhan ini tidak berdasar? Kenapa kau tidak katakan ada mayat di area konstruksi Miami kemarin?”
“Memang benar ada mayat, tapi itu tidak ada sangkut pautnya dengan kita, Dad.” Victor mencoba menjelaskan. “Giore sudah memanggil polisi, dan mayat itu sudah di evakuasi. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kita terlibat. Itu hanya tuduhan kosong!”
“Tapi tuduhan itu sudah terlanjur tersebar,” desis Julian tajam, dengan nada menunjukkan emosi. “Saham kita terjun bebas, kepercayaan publik hancur, dan kita bisa kehilangan proyek besar kita di Miami kalau ini tidak segera ditangani!”
Victor mengepalkan tangannya di atas meja, menahan frustrasi. “Aku tahu, Dad. Aku akan memperbaiki semuanya. Aku mohon berikan aku waktu.”
Julian mengusap wajahnya kasar, meraskan pusing luar biasa akibat berita yang muncul. “Minta Giore kumpulkan beberapa pengacara yang berkompetensi untuk membantumu. Jangan hanya gunakan pengacara keluarga kita saja. Tapi cari juga pengacara dari luar. Kasus ini cukup besar. Akan berat jika ditangani satu pengacara saha.
“Ya, Dad. Aku berjanji akan mengurus kekacauan ini,” jawab Victor lagi, dan Julian memilih pergi karena ingin menenangkan diri.
“Tuan, kita—“
“Cepat kau kumpulkan data pengacara terbaik di New York!” bentak Victor di kala Giore masuk ke dalam ruang kerjanya, tepat di kala ayahnya pergi.
Giore mengangguk cepat, menanggapi ucapan bosnya.
Vivian melangkah masuk ke aula megah tempat pesta amal keluarga Garnece digelar, matanya menyapu sekeliling ruangan yang dipenuhi tamu-tamu orang kaya dan berpengaruh. Ornamen kristal menggantung dari langit-langit, memantulkan cahaya yang menambah kemewahan tempat itu.Wanita itu sampai menelan ludah, merasa canggung di tengah kerumunan ini, tapi memaksakan senyum kecil pada wajahnya. Malam ini, dia datang dengan satu tujuan, mencari investor yang bisa dia ajak bekerja sama, atau setidaknya, seseorang yang bersedia meminjamkan sejumlah uang untuk menutupi masalah finansial yang kian menjerat.“Nona Herlize, semoga kau menikmati pestanya malam ini.” Hans Garnece menyapa Vivian dengan sopan saat dia menyerahkan undangannya.Vivian mengangguk sopan, dan memberikan senyuman di wajahnya. “Seperti biasa, pesta Anda luar biasa, Tuan Garnece.”Di saat yang sama, di sudut lain aula pesta, Victor berdiri dengan bosan. Meskipun masih merasa tidak nyaman dengan penemuan mayat yang tiba-tiba di s
Vivian duduk di sofa apartemennya dengan cangkir kopi yang nyaris dingin di tangannya. Matanya terpaku pada layar televisi, menyaksikan berita yang tiba-tiba membuat jantungnya berdetak lebih cepat.{Victor Hayes Kingston, pengusaha muda dan CEO Kingston Group, baru-baru ini menarik perhatian atas proyek resort eksklusifnya di Miami yang dijadwalkan akan mulai konstruksi minggu ini.}Tubuh Vivian langsung membeku terkejut melihat berita di televisi. Wanita cantik itu sampai mengerjap beberapa kali, menatap wajah tampan yang ada di layar. Sungguh, debar jantungnya kini terasa benar-benar tak karuan.“Ya Tuhan!” Vivian sampai menjerit di kala yakin bahwa pria yang menghabiskan malam dengannya adalah Victor Hayes Kingston.Vivian kini mondar-mandir tidak jelas akibat rasa panik yang membentang di dalam diri. Dia tak mungkin salah. Dia bangun dalam keadaan melihat jelas wajah pria yang menghabiskan malam dengannya.“Bagaimana bisa aku mabuk dan mengacau pada orang penting seperti dia?!” V
Victor terdiam dengan raut wajah yang terkejut. Pria tampan itu jelas terkejut, karena belum pernah dirinya tidur dengan wanita masih perawan. Sementara Vivian, ternyarta wanita yang berbeda dari yang dia jumpai.“Kenapa kau berhenti?” Suara serak Vivian yang mabuk memecah keheningan.Victor terperangah, dia tidak menyangka akan mendapat respons seperti ini. Dia melihat wajah Vivian yang memerah karena mabuk berat. “Kau ingin melanjutkan ini?” tanyanya tampak ragu.Vivian mengangguk, dengan mata yang begitu sayu.Victor tidak berpikir panjang lagi. Dia langsung menggenggam batang tombak pusakanya dan mengarahkannya ke liang kewanitaan Vivian. Belum selesai Vivian berceloteh, tubuh mereka sudah bersatu dalam harmoni yang indah.Racauan Vivian berubah menjadi desahan demi desahan pendek. Merayakan keintiman yang telah timbul. Victor mendorong lebih dalam, bergerak dengan intens dan mengantarkan getaran kenikmatan yang baru pertama kali Vivian rasakan.Victor mulai bergerak lebih cepat,
Seorang wanita cantik bernama Vivian menatap layar ponselnya yang bergetar di atas meja, nomor ayahnya terpampang jelas. Panggilan itu adalah yang kelima malam ini, dan setiap getaran seolah memancarkan aura penuh desakan dan tuntutan yang sama yaitu uang dan uang.Mata Vivian menyipit, jemarinya gemetar, tetapi bukan karena takut—melainkan karena kemarahan yang sudah tertahan lama. Setiap kali ayahnya menghubungi, alasan yang diberikan selalu sama. Dia selalu dipaksa untuk membuka dompetnya, mengeluarkan uang yang dengan susah payah dia hasilkan, hanya untuk membiayai kebiasaan buruk ayahnya itu.Vivian akhirnya menghela napas panjang, lalu mematikan ponsel. Dia tahu jika terus mengangkat panggilan itu, dia akan kembali menyerah. Jadi, dia memutuskan untuk mematikan ponselnya guna membuat otaknya menjadi jauh lebih waras.Vivian bergumam pada dirinya sendiri, nada suaranya dingin dan tegas. “Aku sudah cukup peduli selama ini. Sekarang, saatnya memikirkan diriku sendiri. Aku lelah me