Saat Victor Hayes Kingston, pewaris Kingston Group, dituduh sebagai pembunuh berantai yang sadis, hidupnya berubah dari kejayaan menjadi mimpi buruk dalam semalam. Untuk membersihkan namanya, dia menyewa Vivian Herlize, salah satu pengacara terbaik di New York, yang ternyata adalah wanita yang pernah menghabiskan malam panas bersamanya. Saat keduanya menyelidiki jejak pembunuhan yang semakin berbahaya, mereka mendapati diri mereka terperangkap dalam ketegangan, tipu daya, dan gairah yang tak terhindarkan. Bagaimana Victor akan menemukan pembunuh sebenarnya?
view moreSeorang wanita cantik bernama Vivian menatap layar ponselnya yang bergetar di atas meja, nomor ayahnya terpampang jelas. Panggilan itu adalah yang kelima malam ini, dan setiap getaran seolah memancarkan aura penuh desakan dan tuntutan yang sama yaitu uang dan uang.
Mata Vivian menyipit, jemarinya gemetar, tetapi bukan karena takut—melainkan karena kemarahan yang sudah tertahan lama. Setiap kali ayahnya menghubungi, alasan yang diberikan selalu sama. Dia selalu dipaksa untuk membuka dompetnya, mengeluarkan uang yang dengan susah payah dia hasilkan, hanya untuk membiayai kebiasaan buruk ayahnya itu.
Vivian akhirnya menghela napas panjang, lalu mematikan ponsel. Dia tahu jika terus mengangkat panggilan itu, dia akan kembali menyerah. Jadi, dia memutuskan untuk mematikan ponselnya guna membuat otaknya menjadi jauh lebih waras.
Vivian bergumam pada dirinya sendiri, nada suaranya dingin dan tegas. “Aku sudah cukup peduli selama ini. Sekarang, saatnya memikirkan diriku sendiri. Aku lelah memikirkan orang yang tidak punya otak.”
Tak butuh waktu lama baginya untuk memutuskan. Vivian mengambil mantel dari sandaran kursi, meraih kunci mobil, dan meninggalkan apartemen tanpa menoleh lagi. Langkahnya cepat dan mantap menuju mobil, seakan dia tahu persis ke mana dia akan pergi. Sekali lagi, dia memilih lari ke tempat yang paling dia tahu mampu memberinya pelarian sementara dari kenyataan, kelab malam elit di distrik Meatpacking. Setidaknya dia tahu bahwa banyak minuman di sana yang mampu menyegarkan pikiran.
Kelab itu sudah dipenuhi orang saat Vivian tiba. Cahaya neon yang berkelap-kelip, suara dentuman musik yang menghentak hingga menembus dinding-dinding, dan aroma parfum mahal yang bercampur dengan asap rokok—semua berpadu dalam cara yang aneh tetapi familier. Ini adalah tempat di mana dia bisa melupakan segalanya, meskipun hanya untuk semalam.
Vivian langsung menuju bar, memesan minuman tanpa banyak bicara. Begitu gelas martini disajikan, dia segera menyesapnya dengan mata terpejam, merasakan kehangatan alkohol yang mulai menyebar, memberinya sedikit kelegaan.
“Vivian?” Sebuah suara berat memanggilnya, membuat wanita itu menoleh.
“Hai,” jawab Vivian, memberikan senyuman tipis.
Pria it kini berdiri di sebelah Vivian, dia merupakan rekan sesama pengacara. “Wow, kau jadi sering ke sini?” tanyanya.
“Hanya menghilangkan suntuk,” sapa Vivian tanpa antusias, mencoba menyembunyikan wajah lelahnya di balik senyuman kecil.
“Kau baik-baik saja?” Pria itu menatap Vivian dengan tatapan yang seolah mengerti. “Kelihatannya ... kau punya beban berat.”
Vivian mendengkus pendek, suaranya nyaris tenggelam oleh musik. “Aku hanya ingin melupakan semuanya untuk malam ini. Bisa, kan?”
Teman Vivian itu mengangkat alis, menyadari bahwa Vivian tidak sedang dalam mood untuk berbagi cerita. Dia memesan minuman untuk diri sendiri, lalu menengguk sebelum menoleh lagi pada Vivian.
“Apakah masalahnya masih ... keluarga?” Pria itu bertanya hati-hati.
Vivian mendesah panjang. “Keluarga seharusnya menjadi tempat di mana kita merasa aman, kan? Tapi, entah kenapa, setiap kali aku mengangkat telepon dari ayahku, aku merasa semua kerja keras yang kulakukan sia-sia. Masalahnya hanya satu yaitu uang, uang, dan uang!”
“Kau bukan ATM.” Pria itu berkata tegas, nadanya penuh simpati.
“Andai aku adalah mesin ATM, aku tidak akan pusing seperti sekarang. Kau tahu hidupku juga hanya bisa dikatakan cukup saja.” Vivian tertawa getir,menyembunyikan perih di dada. “Tapi, ada kalanya ... aku merasa tidak punya pilihan. Dia selalu datang dengan alasan, dengan kata-kata yang membuatku merasa bersalah.”
Pria itu menggenggam bahu Vivian, dan menatapnya dalam-dalam. “Malam ini, lupakan semua itu. Kau pantas bahagia. Jika ada yang harus diprioritaskan, itu adalah kebahagiaanmu, bukan kebahagiaan orang lain.”
Vivian menatapnya, lalu tersenyum lemah. “Kau benar. Aku hanya ... lelah menjadi tempat bergantung semua orang.”
Pria itu menengguk minumannya lagi, lalu bangkit dari tempat duduk seraya mengulurkan tangannya ke arah Vivian. “Kita nikmati musik ini. Menarilah bersamaku, Vivian,” ajaknya.
Vivian mengangguk, menyambut uluran tangan temannya itu. Lantas, dia dan temannya itu menuju lantai dansa. Ya, malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Vivian merasa sedikit lebih ringan. Di tengah cahaya dan dentuman musik yang memekakkan telinga, dia membiarkan dirinya larut dalam ritme, melupakan semua masalah yang menghantuinya—setidaknya untuk satu malam.
Suara gemuruh musik dan riuh rendah suara orang-orang di kelab malam membaur di udara, menciptakan suasana yang penuh energi dan mengguncang. Namun, bagi seorang pria tampan bernama Victor Hayes Kingston, malam itu terasa hampa. Setiap tegukan whiskey di tangannya gagal mengusir kebisingan yang menghantui pikiran—suara ayahnya yang terus-menerus menuntutnya untuk meningkatkan bisnis Kingston Group.
“Victor, perusahaan ini adalah segalanya bagi keluarga kita. Jangan sampai mengecewakan!” suara Julian, ayah Victor terngiang lagi di telinga, tegas dan dingin seperti biasanya.
Victor memutar-mutar gelas di tangannya, merasa frustrasi sekaligus marah. Pria tampan itu menyesap minumannya lagi, pandangannya tiba-tiba tertarik oleh sosok seorang wanita cantik yang ada di ujung bar. Wanita itu baru turun dari lantai dansa. Wanita itu bersama seorang pria, tapi entah menurutnya pria itu hanya sekadar teman. Dia merasa seperti paranormal yang mampu menebak-nebak.
Victor masih memilih diam di tempatnya, menatap gerakan tarian wanita yang dia tatap bersama dengan seorang pria. Tawa wanita itu membuatnya tersenyum samar. Bahkan dia melihat jelas wanita itu cukup pandai dalam mengikuti musik yang berdentum.
Beberapa menit kemudian, Victor melihat wanita itu mulai duduk sendirian, dan membiarkan si pria yang menari bersamanya masih berada di lantai dansa. Hatinya mulai terdorong di kal melihat wanita yang menarik perhatiannya itu duduk seorang diri. Detik itu yang dia lakukan mengambil gelasnya, dan menghampiri wanita yang menarik itu.
“Kau membiarkan pria yang menari bersama denganmu tadi sendiri di lantai dansa. Kau tidak takut dia digoda wanita lain?” Victor mendekati wanita itu.
“Biarkan saja. Kalau temanku mendapatkan wanita di sini, aku senang. Aku sudah kelelahan. Aku ingin duduk saja,” jawab wanita itu datar.
Victor mengangguk samar, benar dugaannya bahwa pria yang berdansa dengan wanita yang menarik perhatiannya hanya teman. Lantas, tatapannya mulai teralih menatap kalung wanita itu dengan initial nama ‘V’.
“Initial nama kita sama.” Victor tersenyum samar. “Siapa namamu, Nona?” tanyanya dengan tatapan tak lepas menatap wanita itu.
“Vivian, siapa namamu?” jawab Vivian seraya menatap Victor yang berdiri di depannya. Postur tubuh pria itu tinggi gagah, membuatnya harus mendongak.
“Kau akan tahu jawabannya nanti,” balas Victor, lalu dia memesan vodka pada pelayan. “Kita minum bersama. Aku akan mentraktirmu.”
Mata Vivian menyipit tajam, menatap Victor. “Kau mau mentraktirku? Alkohol tidak murah. Apa kau tidak rugi?” tanyanya penasaran.
Victor terkekeh rendah. “Nikmatilah minumannya. Aku tidak akan miskin hanya karena mentraktirmu minuman itu.”
Vivian yang sedang frustrasi, memilih tak mengindahkan ucapan pria tampan yang sedang mengajaknya bicara.
Tak selang lama, seorang pelayan menghidangkan satu botol vokda dengan dua gelas kosong. Detik itu, Victor langsung menyodorkan minuman pada Vivian.
“Thanks,” jawab Vivian seraya menengguk vodka itu.
Victor terkekeh rendah. “Sepertinya kau sedang melalui hari berat.”
Vivian mengambil botol vodka, dan menuangkan ke gelas kosong. “Kau benar. Aku sedang berusaha melewati hari beratku.”
Victor tampak menikmati pemandangan di mana melihat Vivian terus menengguk minuman. “Kalau begitu kita sama. Aku juga sedang melewati hari beratku,” balasnya dengan senyuman tipis di wajahnya.
Vivian tersenyum seraya terus menengguk vodka-nya, tanpa mau menjawab ucapan pria itu. Sebab masalah yang dia hadapi sudah membuatnya pusing, dia tak mau ikut campur dengan urusan orang lain.
Victor terkekeh, dia terhibur dengan respons Vivian. Ini jadi menyenangkan. Belum pernah dia bertemu wanita yang bisa membuatnya senang begini. Dia menjadi berpikir, apa wanita ini bisa menghangatkan ranjangnya malam ini?
“Jadi, apa kau butuh pelarian?” tanya Victor, seraya menuangkan vodka lagi ke gelas Vivian.
Vivian mengangkat alis, menatapnya sejenak sebelum akhirnya tersenyum samar. “Pelarian? Apa maksudmu?” tanyanya tak mengerti.
Victor membalas tatapan Vivian. “Kau memiliki masalah, dan aku juga sedang dalam keadaan tidak baik. Jadi, kita di sini bisa sama samalari dari masalah kita sejenak.”
Vivian mengerjap bingung, matanya sudah sayu akibat alkohol telah menguasai dirinya. “Aku bingung, apa maksudmu?” tanyanya lagi.
Victor menarik dagu Vivian. “Habiskan malam denganku,” bisiknya serak.
Vivian mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Victor. “T-tapi kita tidak saling mengena,” jawabnya dengan nada sedikit meracau.
“Aku Victor, dan kau Vivian, kan? Well, artinya kita saling mengenal,” bisik Victor lagi tepat di depan bibir Vivian.
Vivian tersenyum dengan mata yang sayu. “Aku seseorang yang membutuhkan uang. Ayahku selalu meminta uang padaku,” ucapnya masih meracau.
Victor mengangguk tanpa ragu. “Jika kau butuh uang, maka aku akan memberikan uang. Malam ini kita habiskan malam bersama, dan aku akan memberikanmu uang.”
Vivian masih mencoba mencerna kata-kata Victor, tetapi karena mabuk dia akhrinya mengangguk pelan, seolah-olah dia mengerti setiap kata yang dikatakan Victor. Tampak senyuman di wajah Victor terlukis di kala Vivian mengangguk. Pria tampan itu meraih tangan Vivian dan menariknya ke arah lift menuju kamar hotel di lantai atas kelab itu.
Malam itu mereka berdua tersesat dalam pelukan satu sama lain, mengisi kekosongan masing-masing dalam keintiman yang tak butuh penjelasan. Namun di tengah gejolak malam itu, Victor tiba-tiba merasakan getaran halus dari tubuh Vivian, berbeda dari wanita lain yang pernah ditemuinya.
Vivian yang mabuk hanya pasrah di kala tubuh Victor menindihnya. “Ternyata ini rasanya ciuman. Sangat enak,” gumamnya meracau mabuk.
Sebelah alis Victor terangkat, dia mencerna kata-kata Vivian. Namun, karena dia tahu bahwa Vivian mabuk akhirnya dia memutuskan untuk melanjutkan ciumannya di bibir Vivian. Menangkup dada sintal Vivian dari luar pakaian, kemudian meremasnya lembut. Mengantarkan kenikmatan yang menjalar di seluruh tubuh wanita itu. Ini adalah sensasi yang memabukkan sekaligus mencandukan bagi Vivian.
Vivian membentangkan tangan dan merangkul leher Victor. Seakan-akan meminta pria itu memperdalam ciuman. “Eungh ... Ah,” desahan halus lolos begitu saja dari bibirnya.
Victor tidak menahan diri. Pria tampan itu melucuti pakaian yang melekat di tubuh Vivian. Membiarkan wanita itu telanjang, lalu memeluknya erat. Victor bergerilya. Lidahnya menyapu ke seluruh permukaan kulit Vivian.
Tak tahan, Vivian akhirnya menggelinjang. Serangan kenikmatan membuatnya lumpuh seketika seakan tak mampu berkutik sama sekali.
“Kau cantik.” Victor meremas dada Vivian bergantian. Lantas, dia menunduk, mengisap puncak payudara wanita itu yang terlihat merah menggoda.
Tak membuang waktu lama, Victor melucuti pakaiannya sendiri sampai telanjang bulat, kemudian mulai memposisikan dirinya memasuki liang sempit Vivian. Kewanitaan Vivian yang merekah seolah menyambutnya.
Victor kini merasakan kehangatan yang mengalir, dansesuatu yang buas dan primitif. Perasaan yang membuatnya terburu-buru memasukkan kejantanannya ke dalam liang kewanitaan Vivian. Begitu benda tumpul yang keras itu masuk, Vivian menjerit.
“Akh! Sa—sakit!” Vivian meronta, meremas seprai. Air mata mengalir di pipinya. “Apa yang kau lakukan? Sakit ....”
Victor terperangah, dia mencabut kejantanannya dan melihat jejak darah segar di batang benda pusakanya yang mengacung tegak. Setelah itu dari kewanitaan Vivian, dia bisa melihat ada cairan merah yang mengalir dan merembes sedikit sampai ke seprai.
“D-darah?” Victor terhenyak, melihat apa yang dia lihat saat ini.
Vivian melangkah masuk ke aula megah tempat pesta amal keluarga Garnece digelar, matanya menyapu sekeliling ruangan yang dipenuhi tamu-tamu orang kaya dan berpengaruh. Ornamen kristal menggantung dari langit-langit, memantulkan cahaya yang menambah kemewahan tempat itu.Wanita itu sampai menelan ludah, merasa canggung di tengah kerumunan ini, tapi memaksakan senyum kecil pada wajahnya. Malam ini, dia datang dengan satu tujuan, mencari investor yang bisa dia ajak bekerja sama, atau setidaknya, seseorang yang bersedia meminjamkan sejumlah uang untuk menutupi masalah finansial yang kian menjerat.“Nona Herlize, semoga kau menikmati pestanya malam ini.” Hans Garnece menyapa Vivian dengan sopan saat dia menyerahkan undangannya.Vivian mengangguk sopan, dan memberikan senyuman di wajahnya. “Seperti biasa, pesta Anda luar biasa, Tuan Garnece.”Di saat yang sama, di sudut lain aula pesta, Victor berdiri dengan bosan. Meskipun masih merasa tidak nyaman dengan penemuan mayat yang tiba-tiba di s
Vivian duduk di sofa apartemennya dengan cangkir kopi yang nyaris dingin di tangannya. Matanya terpaku pada layar televisi, menyaksikan berita yang tiba-tiba membuat jantungnya berdetak lebih cepat.{Victor Hayes Kingston, pengusaha muda dan CEO Kingston Group, baru-baru ini menarik perhatian atas proyek resort eksklusifnya di Miami yang dijadwalkan akan mulai konstruksi minggu ini.}Tubuh Vivian langsung membeku terkejut melihat berita di televisi. Wanita cantik itu sampai mengerjap beberapa kali, menatap wajah tampan yang ada di layar. Sungguh, debar jantungnya kini terasa benar-benar tak karuan.“Ya Tuhan!” Vivian sampai menjerit di kala yakin bahwa pria yang menghabiskan malam dengannya adalah Victor Hayes Kingston.Vivian kini mondar-mandir tidak jelas akibat rasa panik yang membentang di dalam diri. Dia tak mungkin salah. Dia bangun dalam keadaan melihat jelas wajah pria yang menghabiskan malam dengannya.“Bagaimana bisa aku mabuk dan mengacau pada orang penting seperti dia?!” V
Victor terdiam dengan raut wajah yang terkejut. Pria tampan itu jelas terkejut, karena belum pernah dirinya tidur dengan wanita masih perawan. Sementara Vivian, ternyarta wanita yang berbeda dari yang dia jumpai.“Kenapa kau berhenti?” Suara serak Vivian yang mabuk memecah keheningan.Victor terperangah, dia tidak menyangka akan mendapat respons seperti ini. Dia melihat wajah Vivian yang memerah karena mabuk berat. “Kau ingin melanjutkan ini?” tanyanya tampak ragu.Vivian mengangguk, dengan mata yang begitu sayu.Victor tidak berpikir panjang lagi. Dia langsung menggenggam batang tombak pusakanya dan mengarahkannya ke liang kewanitaan Vivian. Belum selesai Vivian berceloteh, tubuh mereka sudah bersatu dalam harmoni yang indah.Racauan Vivian berubah menjadi desahan demi desahan pendek. Merayakan keintiman yang telah timbul. Victor mendorong lebih dalam, bergerak dengan intens dan mengantarkan getaran kenikmatan yang baru pertama kali Vivian rasakan.Victor mulai bergerak lebih cepat,
Seorang wanita cantik bernama Vivian menatap layar ponselnya yang bergetar di atas meja, nomor ayahnya terpampang jelas. Panggilan itu adalah yang kelima malam ini, dan setiap getaran seolah memancarkan aura penuh desakan dan tuntutan yang sama yaitu uang dan uang.Mata Vivian menyipit, jemarinya gemetar, tetapi bukan karena takut—melainkan karena kemarahan yang sudah tertahan lama. Setiap kali ayahnya menghubungi, alasan yang diberikan selalu sama. Dia selalu dipaksa untuk membuka dompetnya, mengeluarkan uang yang dengan susah payah dia hasilkan, hanya untuk membiayai kebiasaan buruk ayahnya itu.Vivian akhirnya menghela napas panjang, lalu mematikan ponsel. Dia tahu jika terus mengangkat panggilan itu, dia akan kembali menyerah. Jadi, dia memutuskan untuk mematikan ponselnya guna membuat otaknya menjadi jauh lebih waras.Vivian bergumam pada dirinya sendiri, nada suaranya dingin dan tegas. “Aku sudah cukup peduli selama ini. Sekarang, saatnya memikirkan diriku sendiri. Aku lelah me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments