“Apa?” Fernanda menjawab tanpa sadar. Matanya terbelalak kaget, jemarinya meremas ujung blazer yang ia kenakan. Reaksinya membuat Daniel tersenyum, sangat menggemaskan untuk ukuran seorang wanita dewasa.
“Jangan kaget begitu, hanya becanda. Ungkapan cinta selalu membuatmu kaget.”
“Daniel..."
”Aku tahu, hubungan kita hanya kontak fisik. Tanpa cinta, tanpa komitmen. Aku tahu, Nanda." Daniel mengangkat tangannya.
Berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri perempuan yang duduk termangu di depannya. Fernanda menatap Daniel dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Dengan lembut, Daniel meraih tangan Fernanda dan mengecup telapak tangan perempuan itu.
”Aku berharap, kamu mau mempertimbangkan perasaanku.” Daniel meremas lembut jemari Fernanda dalam genggamannya.
Fernanda memejamkan mata, merasakan ketidaknyamanan dari dalam hati. Sebagian dirinya menikmati sentuhan dan ucapan lembut Daniel, namun sebagian lagi seolah membatasi dirinya untuk membuka diri lebih jauh lagi dalam hubungan ini. la merasa bersalah pada Daniel yang telah begitu baik padanya, sedangkan ia tak pernah bisa membalas kebaikan laki-laki itu.
“Daniel, kamu tahu kan? Aku sedang sibuk membangun perusahaan."
”Aku tahu kamu sedang bekerja keras. Aku tidak memintamu berhenti.”
Daniel membelai rambut panjang Fernanda yang tergerai indah dan turun ke punggung perempuan itu. Siang ini, Fernanda memakai setelan blazer biru Iaut dengan kemeja satin putih sebagai dalaman. Terlihat begitu menawan, feminim namun memberikan kesan tangguh sekaligus.
Daniel sadar, Fernanda adalah satu-satunya harapan dan tumpuan kedua orangtuanya dalam meneruskan usaha keluarga mereka ini. Papanya telah mendidik Fernanda dengan sangat baik, hingga dalam usia yang relatif muda ia sudah mampu mengendalikan Perusahaan yang dirintis oleh Papanya.
“Aku juga tahu, kamu masih belum bisa melupakan Evan.”
Begitu saja nama terlarang itu meluncur dari bibir Daniel. Ia tahu tidak seharusnya ia menyebutkan nama itu. Satu nama yang telah merubah Fernanda hingga menjadi pribadi yang sulit ditembus oleh Daniel. Salah memang, tapi sudah terlambat.
Saat nama Evan disebut, punggung Fernanda mengeras. Dengan geram ia menepiskan tangan Daniel di atas punggunya dan bangkit dari sofa. la berdiri marah di hadapan Iaki-laki berkacamata yang selama beberapa bulan ini selalu menemaninya.
“Kenapa kamu mengungkit-ungkit soal itu?”
Daniel menggeleng. “Nggak ada maksud apa-apa. Aku hanya bertanya tentang kenyataan yang memang aku sudah tahu kebenarannya.”
Fernanda menghembuskan napas panjang. la merasa kesal, marah, tapi juga kecewa saat orang lain mengkaitkan dirinya dengan Evan. Baginya Evan adalah masa lalunya, dan hanya dia yang berhak mengungkit tentang laki-laki itu. la sudah berusaha mengubur dalam-dalam kenangannya bersama sang mantan tunangan, mencoba menutup luka. Dan kini, perkataan Daniel seperti menggali luka lama.
Seakan belum kering luka yang ditorehkan mantan tunangannya, kini Daniel menyiramkan garam dengan mengungkit kembali kenangan dengan sang mantan tunangan. Beberapa kali Fernanda menarik nafas panjangnya sebelum menjawab Daniel.
”Aku sudah melupakannya,” desahnya pelan. Dengan mata menatap meja kerjanya yang berada di ujung ruangan. Sengaja demikian, karena ia tidak mau ada kontak mata dengan Daniel.
“Benarkah? Aku tak melihat itu.”
Fernanda mengernyit, menatap Daniel yang memandangnya tajam dari balik Iensa kacamata. “Maksudmu apa berkata begitu?”
la tak beranjak dari tempatnya berdiri, saat Daniel mendekat. Iris keduanya beradu dalam satu garis lurus. Bisa dia rasakan napas berat laki-laki itu di telinganya, saat mereka berdekatan dengan tubuh menempel satu sama lain.
“Fernanda, siapa yang ingin kamu bohongi?” bisik Daniel dengan mulut menggigiti telinga Fernanda.
Seketika, rasa menggelenyar menjalari tubuh Fernanda. "Daniel, ini di kantor,” bisiknya lemah.
Ya, Fernanda memang selemah itu pada sentuhan Daniel. Sekalipun hatinya berusaha menolak namun respon tubuhnya tidak demikian. Bulu-bulu halus di lehar dan tengkuknya mulai meremang, saat sentuhan Daniel menjadi makin intens.
”Aku tahu ini di mana, nggak usah kamu ingatkan,” ucap Daniel dengan nada sensual yang makin membuat darah Fernanda berdesir hebat.
Dengan satu sentakan kecil, Daniel mengangkat dagu Fernanda. Tanpa aba-aba ia mencium bibir perempuan itu, melumat penuh gairah dan mengisap bibir Fernanda dengan kuat. Menyesapi setiap rasa dan inci bibir perempuan itu. la tak peduli meski Fernanda berusaha menghindar pada awalnya, karena beberapa detik berikutnya justru Fernanda sendiri yang memberikan respon atas setiap sentuhannya.
Setelah beberapa saat ia melepaskan dagu Fernanda. Membelai lembut bibir perempuan itu dengan ujung ibu jarinya. Bibit Fernanda yang memang sudah berwarna merah alami, merekah karena baru saja berciuman panas dengan Daniel.
“Tubuhmu, selalu bereaksi dengan tubuhku. Tapi, tidak hatimu," ujar Daniel dengan lembut.
Dengan perkataan terakhir, Daniel meninggalkan kantor Fernanda. Langkahnya mantap menuju pintu ruangan Fernanda. Membuat perempuan itu berdiri gamang dengan perasaan yang mengambang. Kesadarannya belum kembali sepenuhnya setelah mendapatkan ciuman lembut nan panas dari Daniel.
Kalimat spontan yang diucapkan Fernanda dengan tegas dan lugas cukup mengajutkan lawan bicaranya. Kali ini, bukan hanya Mei Ling yang kaget, Daniel pun sama. Laki-laki itu memandang Fernanda dengan ekpresi tidak percaya. Seribu tanya ada di dalam isi kepalanya, namun dia tahu ini bukan saat yang tepat untuk bertanya atau mendebat Fernanda.“Apa?” tanya Mei Ling sekali lagi. ”kamu mengaku-aku tunangan Daniel?"”Hah, aku memang tunangannya. Kami akan menikah bulan depan. Sudah sewajarnya kalau aku membelanya. Jangan lagi menuduhnya macam-macam!"Mei Ling mendengkus marah, memandang penuh dendam pada Daniel dan Fernanda. Lalu membalikkan tubuh tanpa mengatakan apa pun lagi.Fernanda memandang kepergian wanita itu dengan kelegaan. Tadinya, ia berpikir akan mencakar dan memukul wanita itu di sini, untunglah semua ketakutannya tak terjadi.“Nanda.”la mendongak, menatap Daniel yang tertegun."Iya, ada apa
Atmosfer tegang masih tercipta dalam ruangan itu, Ketiga anak perempuan Chen beserta suami mereka masih menatap Daniel dengan sinis. Chen mengangguk, menerima dokumen yang diulurkan padanya dan membawanya ke meja kayu. la membuka satu per satu lembaran dan tekun membaca.“Apa para kakakmu itu ada dendam padamu?” bisik Fernanda pada Daniel.“Nggak ada, kenapa?” tanya Daniel balik.“Entahlah, sikap mereka seakaan dengan senang hati akan mencincang tubuhmu jika diberi kesempatan. Terutama, Si Kurus yang sepertinya Kakak tertua.”Daniel tertawa Iirih. “Kalau begitu, kamu harus melindungiku. Karena, aku tak yakin bisa melawan mereka bertiga sendirian.”Fernanda terkikik sambil menutup mulut. Diam-diam mencuri pandang pada wanita- wnaita yang duduk di seberangnya. Mereka terlihat angkuh dan sombong. Sementara para laki-laki, hanya duduk tak peduli. la memandang tak suka pada suami Anaa, karena laki-laki itu
“Apa kamu siap?”“Apa, sih? Kayak mau diintrograsi polisi.”“Bukan memang tapi masuk tiang gantungan.”Fernanda tertawa. Meraih Iengan Daniel dan keduanya melangkah menyusuri jalan setapak menuju rumah besar di hadapan mereka. Rumah yang terasa sunyi meski ia tahu di dalam ada banyak penghuni sedang berkurnpul. Daniel memohon padanya, agar Fernanda menemani ke rumah orang tuanya. lni pertama kali baginya, menginjak rumah keluarga laki-laki itu.Setelah pembicaraan intens yang ditutup dengan dua sesi bercinta yang menggebu-gebu, keduanya sepakat untuk saling menjajaki dalam satu hubungan yang serius.“Aku nggak mungkin sesempurna Evan, tapi aku bisa pastikan kalau aku cinta sama kamu.”Fernanda menjawab lembut. “Aku bukan Renata. Aku hanya mengharap Daniel apa adanya, bukan Iaki-laki yang ingin menjadi seperti Evan.”Dengan tubuh berpeluh dan hati yang bertaut, keduanya berpel
“Ooh, begitu. Kamu menganggap aku kekanak-kanakan? Baiklah, kalau itu maumu.”Daniel merentangkan lengan, menunjuk ke arah pintu. “Silakan keluar, aku sibuk!”“Daniel, bukan begitu. Kamu salah paham.”“Bagian mana dari ucapanmu yang membuatku salah paham. Nanda,” ucap Daniel sedikit emosi. ”Kamu mengatakan aku kenak-kanakkan karena aku cemburu. Kamu nggak suka aku cemburu karena memang dari awal hubungan ita hanya sekadar sex! Baiklah, aku mengerti. Sekarang, tinggalkan aku sendiri!”Daniel berbalik, kembali menghadap meja. Mengabaikan wanita yang terlihat salah tingkah.”Aku tidak ada maksud seperti itu.” Fernanda memijat kepalanya. ”Aku mau minta maaf karena sudah membuatmu marah. Aku--,”“Aku mengerti, pergilah Nanda!” sela Daniel dingin.Fernanda mengerjap, matanya memanas. Titik air mata mulai menetes di ujung pelupuk. la merasa sakit
Malam kian larut, udara sejuk dari pendingin ruangan di kamar Fernanda membuat sesi curhat antara Mama dan anak malam itu semakin serius. Fernanda sudah menyamankan posisi setengah merebahnya dengan tumpukan bantal menopang punggungnya yang lelah. Sementara sang Mama masih setia dengan duduk di pinggir ranjang, dekat dengan posisi Fernanda berbaring.“Harusnya, kalau memang kamu nggak siap untuk menjalin hubungan serius dengan siapa pun, jauhi. Jangan clatangi dia saat kamu sedih, dan berpaling saat kamu bahagia.”“Nanda nggak berpaling, Ma. Kama hanya teman biasa.”“Jelaskan pada Daniel kalau begitu.”“Sudah, dia nggak mau dengar.”“Karena kamu melakukannya setengah hati.” Jihan mendatangi anaknya, mengelus rambut lembut milik Fernanda. "Mama ingat dulu kalian bertiga selalu bersama. Kamu, Evan, dan Daniel. Keduanya sama baik dan menawan. Tapi, dari dulu Daniel memang menunjukkan rasa cin
Kamar yang sepi, hanya terdengar dengung pelan dari pendingin ruangan. Fernanda yang baru saja pulang dari kantor, tanpa mengganti baju lebih dulu, merebahkan diri di ranjang, Menatap nanar pada langit-Iangit kamar yang dilukis bunga-bunga warna krem lembut. Ada lampu kristal kecil tergantung di tengah-tengah.Tangannya terulur ke dahi, memijat lembut di sekitar kepala. Migrain yang ia rasakan dari tadi sore tak jua sirna meski ia sudah meminum obat. Segelas Teh Camomile hangat pun sudah diteguknya hingga tandas, namun peningnya tak kunjung mereda.Benaknya berpikir cepat tentang rapat tak berkesudahan, penyelesaian cepat dari satu masalah ke masalah lain, memastikan produksi lancar, hingga memikirkan tentang Daniel.Desahan resah keluar dari mulutnya saat pikirannya tertuju pada Daniel. Laki-laki yang selama dua tahun ini selalu berada di sisinya. Dia masih tak mengerti salahnya di mana, dan kenapa Daniel begitu emosi saat melihatnya bersama Kama. Padahal, itu