Brian langsung membanting tas saat masuk ke dalam ruangan kerjanya. Akhir-akhir ini semua hal semakin tidak terkendali. Wijaya sudah mulai menghentikan dukungan bisnis pada perusahaannya secara perlahan, dan juga sikap Kyra yang semakin kurang ajar padanya dan juga Vio.Dengan sedikit kasar, Brian mendudukkan bokong pada kursi, tak lupa dia juga memijit kening yang menjadi sebuah refleks jika dirinya sedang banyak pikiran. Belum lagi Azzura yang masih belum diketahui keberadaannya.Mungkin sekitar lima belas menit lelaki itu dalam posisi seperti itu, dan berhenti saat dering nada ponsel mengagetkannya. Matanya memicing saat melihat siapa yang tengah menelepon."Halo! Ada apa?" tanyanya dengan nada sedikit ketus. Brian begitu kesal dengan orang ini karena sudah berbulan-bulan, tetapi pekerjaannya tidak mendapatkan hasil."Jangan galak seperti itu, Bos." "Buat apa lemah lembut terhadap kamu? Mencari satu orang saja tidak becus," maki Brian. Orang yang meneleponnya adalah Vincet, anak b
"Vincent! Apakah kamu sudah memastikan untuk apa mertuaku datang ke Swiss?" tanya Brian saat Vincent menyetir mobil untuknya menuju bandara. Siang ini dia langsung membatalkan semua janji dan meminta Risa memesankan tiket ke Swiss. Dia yakin jika kepergian Wijaya kali ini ada hubungannya dengan Azzura."Seperti biasanya, Bos. Anak buah saya tidak bisa menembus pertahanan Pak Wijaya. Mereka hanya mengetahui tujuan Pak Wijaya, tetapi tidak bisa mengetahui dengan pasti apa yang terjadi di dalam sana."Brian mengangguk paham. Memang sangat sulit mematai-matai mertuanya tersebut. Entah bagaimana Wijaya selalu bisa mengecoh anak buah Brian.Tidak ada pertanyaan lagi yang keluar dari bibir Brian setelahnya. Hatinya sibuk memikirkan apa yang akan dia lakukan jika bertemu dengan Azzura nanti? Bagaimana keadaan istrinya itu sekarang? Apa dia baik-baik saja?Saat tiba di bandara, Vincent dengan sigap membawakan koper Brian. Lelaki itu sedikit kesulitan saat mengikuti langkah Brian yang lebih cep
Seperti disambar petir, itulah yang dirasakan Brian saat ini. Lutut lelaki itu tiba-tiba melemas seperti jeli dan membuat tubuhnya tiba-tiba luruh ke lantai. Bokongnya menyentuh lantai dengan siku yang menumpu pada kursi panjang di sebelahnya. Kepalanya tertunduk dalam dan tak lama terlihatlah bahunya yang bergetar. Lelaki itu kembali menangis setelah mengetahui jika anak dalam kandungan Vio tidak bisa diselamatkan.Vio telah terlebih dahulu keguguran dan saat ini dokter melakukan tindakan kuretasi atas persetujuan Vio. Dia mengira jika Brian tidak akan datang karena tahu jika lelaki itu akan berangkat ke Swiss.Wanita di depannya salah tingkah karena tidak tahu bagaimana harus bersikap. Tidak mungkin dia memeluk maupun menepuk punggung Brian karena dia hanya seorang karyawan. Namun, untungnya kondisi seperti itu tidak berlangsung lama. Brian lantas mengangkat wajahnya dan menghapus air mata yang terlanjur menetes. Brian bangkit dan langsung menuju ke ruang operasi. Walau bagaimanapu
Hidup Brian Pradipta sangatlah sempurna. Bisa dipastikan jika banyak pria yang iri dengan kehidupannya. Di usia 35 tahun dia sudah menjadi seorang CEO yang sangat sukses.Memiliki keluarga yang bahagia bersama dengan wanita yang sangat dia cintai, Azzura Wijaya. Azzura Wijaya adalah anak dari Antony Wijaya, investor terbesar di perusahaannya. Tapi, bukan dengan alasan itu mereka menikah, tetapi karena mereka saling mencintai.Dari pernikahan itu mereka dikaruniai seorang putri cantik yang mereka beri nama Kyra Wijaya Pradipta. Menyandang nama besar dua keluarga membuat kehidupan Kyra menjadi mimpi banyak anak gadis seusianya. Bahkan saat perayaan ulang tahunnya yang ke-sebelas, Brian menghadiahi putrinya itu dengan sebuah helikopter untuk anaknya. Kyra menjelma sebagai seorang sosialita di usia yang masih belia.Brian sangat bersyukur dengan kehidupannya yang sudah sempurna, hingga sebuah permintaan dari Azzura menggoyahkan harga dirinya."Mas ... menikahlah lagi
Pembicaraan Brian dengan istrinya malam itu sungguh membuat Brian tak konsen dalam kerjanya. Selama beberapa hari ini dia uring-uringan nggak jelas. Semua anak buahnya menjadi sasaran kemarahan dari CEO Pradipta Corporation itu. Termasuk Risa, sekertarisnya.BRAK!Terdengar suara bantingan. Rupanya Brian telah membanting map yang baru saja diberikan oleh Risa. Tak ada yang benar beberapa hari ini. Semua kacau."Kamu udah kerja sama aku berapa lama?! Kenapa bikin laporan kayak gini aja nggak bisa?!" Suara teriakan Brian menggema memenuhi kantornya. Risa begitu takut kali ini. Bosnya yang biasanya santai dan juga tenang, menjadi sangat temperamen. Sudah tiga hari ini, Risa menghitung saat Bosnya mulai berubah.'Ada masalah apa, si Bos, kok jadi kayak singa ngamuk gini?' batin Risa. Sungguh tiga hari ini telah menjadi hari terburuk untuknya selama lima tahun bekerja bersama Brian. Bahkan untuk sekejap, Risa sangat ingin keluar dari pekerjaannya."Jawa
Setelah meninggalkan Azzura, Brian tak tahu harus pergi ke mana. Dia hanya masuk ke dalam mobil lantas menghidupkan mesin, keluar dari rumah besarnya itu. Sedang tujuan, Brian tak tahu akan ke mana.Udara malam menemani perjalanan Brian malam ini. Sang Dewi Malam sedang menampakkan keindahannya. Langit yang cerah dengan ribuan bintang, menjadi saksi kegalauan hati lelaki itu. Jika bisa, dia akan mengumpat orang yang memintanya untuk menikah lagi. Tapi, sayangnya orang itu adalah Azzura, istrinya sendiri.Tak mungkin dia melontarkan berbagai macam makian untuk wanita yang sangat dia cintai, ibu dari buah hatinya."Argh ...! Brengsek! Brengsek!" Brian memukul klakson mobilnya. Hingga membuat jalanan yang aslinya senyap, menjadi berisik karena bunyi yang berasal dari klakson mobilnya itu.Jika sedang seperti ini, dia butuh sesuatu untuk menenangkannya. Segera Brian menepikan mobilnya di salah satu minimarket yang ada di pinggir jalan untuk membeli rokok. Ya,
"Cukup!" Baik Brian maupun gadis itu melihat ke arah orang yang tengah berteriak itu. Seorang pria botak berusia sekitar 50 tahun dengan perut buncit menghampiri mereka."Malam, Pak," sapa pelayan yang menghampiri mereka tadi. Sepertinya pria itu manager atau mungkin malah pemilik Minimarket itu."Hm ... ada apa ini?" tanya pria botak itu dengan wajah garang. Dia melihat ke arah kedua orang pembuat onar bergantian."Ini, Pak Gibran, tadi mereka bertengkar karena Mbak ini telah menuduh Bapak ini melakukan pelecehan terhadap Mbak-nya," jelas pelayan itu sedikit takut. Sang pegawai menunggu reaksi yang akan ditunjukkan bos-nya."Pelecehan? Pelecehan seperti apa?" tanya Pak Gibran, dia ingin tahu lebih lanjut."Dia meremas bokong saya, Pak!" ujar si gadis. Dia harus mempertahankan harga dirinya."Bukan saya!" bantah Brian."Masih nggak mau ngaku, Om?" Si gadis melotot ke arah Brian.Brian melihat
"Nah! Nah 'kan, lihat itu! Sudah kebukti sekarang, siapa yang salah?" Netra si gadis membola. Dia seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat. Dia merasa malu kali ini. Mau ditaruh di mana mukanya kali ini. Bisa-bisanya dia menuduh orang yang sama sekali tak bersalah."Mu-mungkin itu salah, Mas. C-coba putar lagi." Tidak! Dia tak boleh langsung percaya dengan apa yang dia lihat. CCTV itu 'kan belum HD, jadinya gambarnya masih blur. Mungkin tadi dia salah lihat."Ck! Masih belum percaya? Tu mata ilangin dulu beleknya biar jelas. Jangan sampai rabun!" Brian benar-benar kesal. Semua sudah terlihat dengan jelas, masih saja gadis itu belum mau menyerah untuk menuduhnya.Sontak si gadis langsung mengusap sudut matanya, takut jika beneran ada belek di sana. Brian terkekeh saat melihat pemandangan itu, sungguh gadis itu membuatnya menjadi pribadi yang lain.'Bego, lo, Vio. Om mesum itu 'kan cuma ngisengin kamu bilang kayak gitu. Mau aja lo dikerjain.' Gadi