Radit tidak menyangka bahwa mantannya itu sangat sukses. Padahal rasanya baru saja kemarin dia berpisah. Ia penasaran sesukses apa butik yang dimiliki oleh Dila sehingga menarik perhatian perusahaannya untuk bekerjasama.Butik tersebut sebenarnya sudah lama ada. Hanya saja akhir-akhir ini telah menarik perhatian warganet di media sosial. Terobosan inovasi-inovasi barulah yang mulai melambungkan nama butik tersebut.Radit segera berangkat ke tempat yang dimaksud. Sebenarnya, dia sedikit ragu karena orang yang dihadapinya merupakan mantan. Namun perasaan yakin lebih menguasainya. Ia sangat yakin bahwa Dila pasti masih merindukannya. Apalagi putri dari pernikahan mereka akan gembira dengan kedatangannya. Seketika, sebuah ide melintas di pikirannya. Ia punya alasan yang tepat untuk berkunjung yaitu menemui putrinya. Ia hampir lupa keberadaan kedua putrinya. Sekitar tiga minggu lebih, dia tidak sempat memikirkan mereka karena fokusnya teralihkan ke calon istrinya, yang sangat menggelorak
Dila menoleh kemudian memeluk putrinya. "Putri Mama, yang cantik! Syifa udah bangun?""Iya, Ma. Ma, Syifa ketemu Papa. Tuh, dia di sana." Putri kecil itu berbalik, menunjuk ke arah papanya.Dila mengelus rambut hitam putrinya. "Kamu sehat-sehat ya, walaupun tidak ada Papa.""Kenapa, Ma? Papa ke mana?"Radit mendongak, menatap serius ke Dila. Ia menunggu ucapan yang keluar dari mulut wanita yang sedang duduk di kursinya tersebut.Dila menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya. "Dia sangat sibuk mengurus status barunya ...." Putrinya seakan sulit memahami maksud ibunya. Begitu juga Radit yang mengerutkan kening. "Maksud Mama pekerjaan baru Papa-mu."Putri kecil itu menghampiri Papanya. "Jadi, Syifa gak akan ketemu Papa terus?" "Ketemu, kok. Papa akan sering menemuimu di sini." "Asyik ... Syifa akan ketemu Papa telus," ucap Syifa dengan girang sambil melompat-lompat. Radit tidak akan kehilangan cara. Menemui putrinya merupakan salah satu cara yang baik agar bisa berbicara lebih s
"Radit sangat kecewa kepada Ibu." Setelah mengatakannya, lelaki itu melangkah pergi dengan hati dongkol."Bang! Dia ibu kita, Bang. Kenapa ngomong kayak gitu?""Kamu diam! Abang tidak ingin berdebat."Bu Santi hanya bisa mengelus dada. Putra yang ia banggakan telah berkata kasar padanya, hanya karena seorang wanita. Hatinya sakit dan juga terluka. Sela dan ibunya hanya bisa menatap Radit dari kejauhan. Bayangan lelaki itu hilang seiring mobil melaju meninggalkan rumah. Radit berkali-kali memukul setir mobil. Ia bersungut-sungut dan menyalahkan kebodohannya. Ia tidak peka dari awal. Setidaknya, bertanya dulu atau mencari tahu sendiri. Bukan memercayai langsung tanpa mengecek kembali kebenarannya.Tidak hanya kecewa, rasa sakit pun menguasainya. Mendengar pengakuan dari ibunya membuat hatinya sangat terluka.Pikirannya kembali membayangkan Dila dan kedua putrinya. Bagaimana kabar mereka. Ia mulai merindukan mereka. Padahal, pagi tadi dia baru saja bertemu putri dan mantan istrinya. Na
Dila marah dan kesal. Ia sangat tidak nyaman dengan ucapan Radit karena didengar oleh para karyawannya. Lelaki itu tidak memikirkan akibat dari ucapannya. Ia ingin sekali menghardik, tetapi tidak mungkin. Situasinya tidak memungkinkan. Dila memutuskan pergi, meninggalkan lelaki tersebut kebingungan sendiri menunggu jawabannya. "Dila ... Abang serius!""Maaf, kamu siapa, ya? Apakah kamu sudah bercermin? Berani sekali mengatakan itu di depanku," bentak Dila karena geram dengan sikap Radit yang merasa biasa saja dengan ucapannya."Tawaranku tadi untuk kebaikan kita dan juga putri ki ....""Stop, aku tidak ingin mendengar kata-katamu menyebut kedua putriku. Aku katakan sekarang juga bahwa aku tidak mau, apalagi sudi kembali denganmu," ujar Dila kemudian berlalu. Mengingat perlakuan lelaki itu dan keluarganya pada dirinya, membuat Dila harus mendahulukan logikanya daripada perasaannya. Perlakuan mereka tidak bisa ditoleransi, apalagi mantan suaminya. Ia sadar bahwa kedua putrinya akan
"Bagaimanapun juga Syifa itu putriku."Dila merasa aneh, mendengar ucapan Radit. Lelaki itu bermaksud untuk menyampaikan pesan kepada dirinya bahwa dia juga punya andil dan tanggung jawab kepada putri mereka. "Jadi, kau ingin memperingatkan aku?" Radit ingin menyampaikan sesuatu. Ia sadar bahwa Dila menangkap maksudnya. Namun kemudian, ia mendelik. Ia tidak ingin wanita itu semakin kesal padanya. Mengambil hati itu butuh usaha dan pengorbanan. Ia sangat pahami hal itu."Bukan begitu, Dil. Aku hanya ....""Sudahlah, aku lagi malas mendengar pembelaanmu." Dila melangkah pergi kemudian mengejar putrinya yang sudah menjauh bersama Desri. "Kok, Papa gak ada? Papa mana, Ma?""Dia akan nyusul, katanya. Kita pergi lebih dulu." "Tapi ...." Syifa cemberut. Wajahnya nampak kecewa."Papa-mu ke kantor sebentar, ntar juga dia nyusul kita. Buruan masuk ke mobil!"Dengan berat hati putri kecil itu masuk ke dalam mobil. Wajahnya kembali terlihat masam. Tidak butuh waktu lama ia kembali ceria karen
"Maksud aku? Kamu nanya maksud Abang? Jangan pura-pura bego, Ser. Katakan saja. Kamu dari mana?" tanya Radit dengan menajamkan tatapannya."Aku kan udah bilang, Bang. Aku di kampus. Apa aku membohongimu? Nih, silakan lihat draft bimbinganku dan tanda tangan pembimbing, Serli. Perhatikan hari dan tanggalnya!" Radit menautkan alisnya ke atas ketika melihat beberapa kertas berisi draft bimbingan. Ekspresi wajahnya berubah sangat marah, seolah dia dicundangi oleh wanita di depannya. Ia tidak menyangka Serli sangat pandai menyembunyikan sesuatu darinya. Padahal jelas sekali dia melihat Serli berduaan dengan seorang pria di mall siang tadi. Akan tetapi, wanita itu masih menampik.Memang benar tanggal yang tertulis di draft bimbingan tersebut hari ini. Namun, Radit tidak mudah dibohongi karena dia melihat sendiri Serli di mana. Ia menduga bahwa Serli ke mall setelah bimbingan. Pakaian yang dikenakan Serli pun sama dengan di mall tadi. "Siapa lelaki itu?""Lelaki yang mana? Lelaki di balik
"Ja-di, Abang ....""Ya, dari tadi aku menunggumu. Karena lama menunggu, aku pun tertidur lagi dan tidak tahu sudah berapa lama," ucap lelaki bercambang itu. Serli terdiam setelah mendengar jawaban Radit. Ia masih menunggu ucapan berikutnya dari Radit. Ia tidak tahu apa yang hendak dilakukan oleh lelaki di sampingnya itu. Tiba-tiba, Radit menarik tubuh Serli agar mendekat padanya. "Kau sangat menakjubkan dan membuatku takluk. Aku sampai lupa waktu!" Serli lega karena lelaki itu tidak membahas tentang percakapannya lewat telepon barusan. Suatu pertanda bahwa lelaki di sampingnya tidak tahu atau tidak mendengar."Siapa dulu, dong. Serli gak pernah ngecewain. Iya 'kan?" sahut Serli dengan melepaskan senyuman. Ia sangat puas karena pujian Radit padanya. "Kamu ...." Radit mencubit pipi wanita itu. Mereka pun kembali tidur karena malam semakin larut dan hening. ***"Bagaimana perkembangan usahamu melobi pemilik butik tersebut?" tanya Herjunot, Kepala Direktur tempat Radit bekerja.Ra
Tatapan Radit belum berkedip memerhatikan Dila yang berjalan menuju ke depan. Di sana terletak meja dan bangku yang tersedia untuk para petinggi dan juga mitra yang bekerjasama dengan perusahaan. Radit bertanya-tanya di dalam hati dan kepalanya. Ia sebenarnya masih penasaran dengan dengan kedatangan Dila ke acara tersebut. Dila sengaja belum memberi jawaban atas tawaran Radit, karena sebelumnya dia sudah didatangi oleh David, sekretaris perusahaan. David langsung turun tangan karena tidak melihat progres yang baik dari Radit. Herjunot sendiri yang memintanya langsung menemui Dila. "Dit, kamu belum pulang?" Seorang teman menegurnya. Radit belum bergeming dari tempatnya duduk, sedangkan acara telah usai. Entah bagaimana menggambarkan raut wajah dan perasaannya. Ia menjadi bahan lelucon di antara teman-teman yang lain, karena sebelumnya dia mengira akan diundang ke depan untuk menerima bonus atas usahanya. Ia pun menyesali ucapannya tadi. Kalau saja dia tidak mengucapkannya di depa