Gama balas menatap Hera dengan mengedikkan bahunya santai. "Ya. Apa ucapanku tadi belum jelas? Kau akan tinggal di paviliun bersama dengan para pelayanku. Kenapa? Kau merasa keberatan, Hera? Atau kau ingin tinggal di rumah ini bersama denganku? Begitu, hmm?" tanya Gama menaikan sebelah alisnya. Ia memasang wajah mengejek pada Hera yang saat ini tercenung melihatnya.
"Jangan pernah bermimpi terlalu tinggi, Hera! Aku tidak mencintaimu! Mungkin kita memang sudah menikah. Tetapi jangan berpikir kalau aku akan sudi menyentuhmu! Hal yang paling mustahil kulakukan!" desis Gama mengangkat telunjuknya dan menekankan setiap kata-katanya pada Hera.
Gama ingin membuat Hera mengerti jika wanita itu tidak bisa masuk dalam kehidupannya. Gama ingin membuat jarak di antara mereka. Hera harus tahu, jika hati Gama lebih keras dari sebuah batu sekalipun.
Hera tidak membalas ucapan Gama. Tetapi ia hanya menatap bola mata lelaki itu dengan tatapan dalam. Mungkin Hera merasa sakit dalam hatinya atas ucapan lelaki itu. Tapi ia lebih memilih diam alih-alih membalas perkataan Gama yang menusuk hatinya.
"Diar!" teriak Gama memanggil salah seorang dari puluhan pelayan itu.
"Iya, Tuan Gama?" Diar bergerak menghampiri Gama dan berdiri di depan tuannya dengan kepala yang sedikit menunduk.
"Antar dia ke kamar yang masih kosong di paviliun. Dan biarkan dia membawa barang-barangnya sendiri!" perintah Gama pada Diar yang langsung diangguki oleh pelayan itu.
"Baik, Tuan Gama." meski merasa tidak enak pada Hera yang seharusnya diperlakukan spesial di rumah ini karena ia adalah istri dari tuannya, tetapi mau tak mau Diar tetap menjalankan perintah Gama.
Diar mengajak Hera agar membawa kopernya dan mengikutinya ke paviliun. Sebelum pergi, Hera sempat melayangkan tatapan benci pada Gama yang balas menatapnya tajam. Gama tampak tak peduli jika Hera membencinya. Mungkin hal itu justru akan lebih baik bagi Gama karena Hera akan cepat pergi dan menyerah dalam pernikahan ini.
Sesampainya di paviliun, Hera menjatuhkan kopernya di lantai sebuah kamar yang tampak bersih meskipun tidak sebesar kamarnya saat di rumahnya dulu.
Ah, Hera jadi teringat dengan rumahnya dan juga kedua orang tuanya.
"Maaf, Nyonya Hera. Kamar ini mungkin tidak sebesar kamar yang ada di rumah utama. Dan maaf juga karena tidak seharusnya saya mengajak Anda ke sini," suara Diar terdengar mencicit. Ia menunduk tak enak melihat Hera yang berdiri di depannya.
Semua kamar yang ada di dalam paviliun ini memang khusus untuk pelayan. Maka dari itu kamar yang ada di sana ukurannya tak sebesar kamar yang ada di rumah utama yang ditempati oleh Gama.
Diar merasa Hera tak pantas tinggal di paviliun karena bagaimanapun Hera adalah majikannya juga. Tetapi apa yang bisa para pelayan itu lakukan selain mematuhi perintah Gama?
Hera menggeleng sembari melempar senyum tipis. "Bukan masalah. Tidak apa jika Gama memang ingin aku tinggal di sini. Lagipula aku lebih suka tidur di paviliun bersama dengan kalian daripada harus tidur di rumah mewah yang seperti neraka itu," kata Hera mengucapkannya dengan lantang tanpa takut Gama mendengarnya.
Sementara Diar meringis. Ia berharap ucapan Hera tadi tidak akan sampai ke telinga Gama.
"Aku salut pada kalian. Karena tetap patuh meski memiliki tuan yang tak punya perasaan seperti lelaki itu." Hera semakin berani melontarkan kata-katanya.
"Nyonya..." Diar berniat mengingatkan Hera agar menjaga ucapannya, takut jika Gama mendengar.
"Jangan memanggilnya dengan sebutan Nyonya, Diar!" namun ternyata Gama malah sudah berdiri di ambang pintu. Membuat Diar dan Hera terhenyak menatapnya yang saat ini sedang menatap Hera dengan mengetatkan giginya. Kedua tangan Gama masuk ke dalam saku celana.
Jika sosok iblis tidak ada dalam diri Gama, mungkin Hera akan mengakui bahwa Gama adalah lelaki paling tampan yang pernah ia temui. Tubuh lelaki itu nyaris sempurna. Membuat hati wanita manapun pasti akan berdesir melihatnya.
Hanya saja, ketampanan itu tertutup oleh sikapnya yang dingin dan tak tersentuh. Yang ada Hera malah merasa suasana selalu mencekam setiap kali Gama menatapnya.
Jantung Hera bagai diremas ketika Gama melangkah makin dekat ke arahnya. Lantas berdiri di depan Hera dengan wajah yang menantang.
"Tidak boleh ada satu orang pun yang memanggil dia dengan sebutan Nyonya!" tegas Gama lagi mengulang pernyataannya sambil menujuk pada wajah Hera. "Karena dia tidak pantas disebut begitu. Panggil saja dia dengan nama. Aku sudah tegaskan tadi kalau dia tidak istimewa sama sekali. Jadi perlakukan dia sama seperti kalian memperlakukan sesama pelayan!" lanjut Gama yang tak melepaskan pandangannya sedikitpun dari wajah Hera yang tampak marah. Namun Hera masih bisa mengendalikan emosinya.
Tak ingin dianggap rendah dan membuat Gama semakin senang, Hera balas mengangkat dagunya dan berseru pada lelaki itu.
"Aku juga tidak ingin sedikitpun dianggap istimewa apalagi oleh monster sepertimu!" kini giliran Hera yang menunjuk wajah Gama. Rasanya Hera ingin menampar wajah Gama yang sayangnya sudah terlanjur ia nikahi itu.
"Oh iya? Baguslah kalau kau sudah tahu bahwa suami yang kau nikahi ini adalah monster," ucap Gama yang malah mendekatkan wajahnya dan membalas ucapan Hera dengan raut mengejek.
"Kau harus sadar dimana posisimu dan dimana posisiku! Jika kau merasa menderita, salahkan saja kedua orang tuamu yang telah membuat wasiat konyol ini hingga membuat kita terjebak dalam pernikahan yang sama sekali tidak diinginkan. Wasiatnya benar-benar menyusahkan!" desis Gama lalu mendengkus kesal.
Mendengar Gama membawa-bawa nama kedua orang tuanya, membuat darah Hera mendidih.
"Kau boleh menghinaku sepuas hatimu dan marah karena tidak menyukai pernikahan ini. Tapi jangan pernah menghina kedua orang tuaku! Aku tidak akan terima dengan hal itu!" tegas Hera. Ia berteriak pada Gama. Siapa yang akan senang mendengar kedua orang tuanya direndahkan.
Gama menaikan sebelah alisnya pada Hera. Sepertinya ia sangat suka memancing kemarahan Hera.
"Memangnya kenapa? Aku berkata sesuai fakta. Aku tahu jika sebenarnya kau pun tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi lihatlah! Kedua orang tuamu itu meskipun sudah terkubur dalam tanah, malah membuat susah orang lain!"
"Lalu bagaimana dengan Karin? Bukankah dia juga sudah terkubur di dalam tanah, tapi dia masih saja membuat hubunganmu dengan kedua orang tuamu menjadi renggang. Jadi apa bedanya Karin dengan kedua orang tuaku?!" Hera benar-benar menunjukkan keberaniannya. Ia membalas telak ucapan Gama hingga membuat lelaki itu naik pitam.
"Kau?!" Gama mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya. Nyaris saja Gama mengangkatnya untuk menampar Hera. Tapi ia kembali menjatuhkan tangannya lagi saat akal sehat sedikit mengusainya.
Hera yang sempat memejamkan mata, bersiap menerima tamparan dari Gama kini membuka matanya perlahan. Dan yang pertama Hera lihat adalah tatapan Gama yang begitu menusuk padanya. Lelaki itu benar-benar menyiratkan amarah yang luar biasa setiap kali mendengar nama Karin direndahkan.
"Diar! Tutup pintu kamar ini dan biarkan dia sendirian!" perintah Gama pada Diar yang hanya bisa mengangguk patuh. Gama kemudian membalikan badan dan berjalan melewati pintu dengan langkah lebarnya.
Steve menyentuh lengan Hera, mengusap punggungnya menenangkan.“Maaf. Aku tidak tahu kalau Mentari akan jadi murung dan tidak mau makan seperti ini karena bersikeras menunggu Gama.” anak itu memang tidak mau makan. Padahal Steve sudah menjelaskan padanya bahwa sebenarnya Gama tidak akan datang ke Singapore.Tetapi anak itu tetap bersikukuh menunggu Gama sambil menatap ke luar jendela yang terbuka, membiarkan angin menerpa kulit wajahnya yang putih, terkadang menggoyangkan rambutnya perlahan.Suara bell yang berbunyi membuyarkan lamunan mereka. Hera mengerjap, menoleh ke arah pintu.“Mungkin itu tukang laundry. Aku akan bukakan pintu dulu,” katanya yang dijawab anggukan oleh Steve.Kaki jenjang Hera berjalan menuju pintu, tangan itu menarik kenop dan membukanya.Selanjutnya mata Hera membeliak lebar. Mulutnya terbuka saking tidak percayanya dengan apa yang ia lihat saat ini.“Ga-Gama!” pe
“Ma? Kita akan kembali ke Singapore ya? Kita akan naik pesawat lagi seperti waktu itu?” berjalan di bandara, Mentari yang dituntun oleh Steve dan Hera di kedua sisi, kini mendongkakan kepala menatap Hera.Hera menunduk, lalu tersenyum mengangguk.“Benar, sayang. Kita akan kembali ke Singapore.”“Tapi kenapa kita harus kembali ke sana, Ma? Padahal aku sudah betah di rumah Kakek Bimo dan Nenek Fatma.” pertanyaan kedua kembali meluncur dari mulut mungilnya, mendesak Hera untuk segera memutar otak, mencari jawaban yang paling tepat.“Mama sangat merindukan Singapore. Dan kau pun merasakan hal yang sama, bukan?” Hera mencubit pelan hidung mungil Mentari. Di sampingnya, Steve mengulum senyum tipis.“Ma. Apa Papa tidak ikut dengan kita?”Hera tertegun menghentikan langkahnya. Nama lelaki yang tidak ingin ia dengar, kini justru keluar dari mulut anaknya sendiri.Hera dan Steve
Mobil Gama dan mobil Steve keluar beriringan melewati gerbang rumah Iren.Di balik kemudi, Gama memukul setir, sembari mengeletukan giginya saat matanya terus menatap tajam ke arah mobil Steve yang melaju di depan sana.“Aku penasaran. Apa benar dia sedekat itu dengan Hera?” gumamnya diliputi rasa cemburu.Mendadak Steve menghentikan mobilnya ketika tiba-tiba mobil Gama menghadang di depan sana. Sepertinya Gama sengaja menghalangi laju mobil Steve.Membuat Steve mengerutkan keningnya heran. “Apa yang dia lakukan? Apa maksudnya menghentikan mobil di depan mobilku?”Sedikit kesal Steve membuka seatbeltnya. Tangannya membuka pintu, kakinya turun menapaki aspal. Lantas dengan menyingsingkan lengan kemejanya, Steve berjalan menghampiri Gama yang kini sudah berdiri di depannya sambil berpangku tangan.“Ada masalah apa kau denganku, Brother? Apa kau tidak tahu bagaimana caranya menghentikan mobil di jalanan?” tan
“Kalian berbeda karena—““Iren!” Bimo yang datang langsung menegur Iren agar tidak melanjutkan ucapannya. Membuat Hera dan Gama yang sempat terkejut, kini bisa menarik napas lega.Bimo mendekat, menghampiri Mentari dan mengusap puncak kepala anak itu. “Tidak, sayang. Jangan pikirkan apa yang Tante Iren katakan. Kau kembali belajar ya.”“Iya, Kek.” Mentari mengangguk, kembali fokus menunduk pada buku tiga dimensi di pangkuannya, lalu mengenali setiap gambar yang ada di sana.Sedangkan Bimo melayangkan tatapan tajamnya pada Iren. Membuat Iren kebingungan. Karena ia merasa tak melakukan salah apapun.“Lain kali jaga bicaramu. Jangan sampai kau mengatakan sesuatu yang akan mengganggu pikiran dan perasaan Mentari!” bisik Bimo di telinga Iren.Setelahnya, Gama mengajak Mentari bermain di halaman belakang. Hera membantu Fatma menyiapkan makan siang di atas meja. Saat akan menga
Malam ini hujan deras mengguyur kota Jakarta. Langitnya hitam pekat, sepekat perasaan Gama saat ini.Mendesah pelan, Gama berdiri menyandarkan punggungnya pada tembok rumah sakit. Dengan ditemani Hera yang berdiri di sampingnya. Setelah Iren tak sadarkan diri, ia langsung dilarikan ke rumah sakit. Beruntung Iren tidak terlambat mendapatkan pertolongan medis. Mengingat ia bisa saja kehabisan darah.“Apa Mentari sudah tidur?” tanya Gama pada Hera, tetapi matanya tetap menatap nyalang ke depan.Hera melirik Gama sebentar, lalu mengangguk. “Ya. Bibi mengirimkan pesan, katanya dia sudah tidur setengah jam yang lalu,” jawab Hera.Gama mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Gama memijit pangkal hidungnya, kepalanya terasa pening. Banyak sekali masalah yang memenuhi pikirannya. Dan sepertinya masalah yang terjadi saat ini adalah yang paling berat. Gama tidak tahu apa ia sanggup m
Baru saja pantatnya menyentuh kursi kemudi, matanya kembali melirik ke arah papper bag itu yang sekarang sudah bergabung dengan bunga yang Gama beli. Itu juga khusus untuk Hera.“Semoga dia akan menyukainya. Ah, aku sangat tidak sabar. Ingin segera menikahimu dan memulai semuanya dari awal lagi. Kali ini tidak boleh ada penderitaan, rasa terpaksa, atau saling menyakiti. Pernikahan kita harus berdasar cinta dan kasih sayang. Karena hanya cinta yang akan menjadi pondasi terbaik dalam pernikahan. Meskipun aku belum pernah mendengar kata cinta dari mulut Hera, tetapi cukup melalui tatapannya saja, aku sudah tahu kalau Hera pun mencintaiku.”Setelah mengucapkan itu, senyumnya kembali melebar. Hatinya melambung tinggi, rasanya Gama ingin segera bertemu Hera, melihat wajah cantiknya, mendekapnya seerat yang ia bisa.Untuk bisa mewujudkan keinginannya itu, maka Gama segera melajukan mobilnya menuju ke rumah Bimo dan Fatma. Dimana dua wanita yang sangat