Share

Suami Monster

Gama balas menatap Hera dengan mengedikkan bahunya santai. "Ya. Apa ucapanku tadi belum jelas? Kau akan tinggal di paviliun bersama dengan para pelayanku. Kenapa? Kau merasa keberatan, Hera? Atau kau ingin tinggal di rumah ini bersama denganku? Begitu, hmm?" tanya Gama menaikan sebelah alisnya. Ia memasang wajah mengejek pada Hera yang saat ini tercenung melihatnya.

"Jangan pernah bermimpi terlalu tinggi, Hera! Aku tidak mencintaimu! Mungkin kita memang sudah menikah. Tetapi jangan berpikir kalau aku akan sudi menyentuhmu! Hal yang paling mustahil kulakukan!" desis Gama mengangkat telunjuknya dan menekankan setiap kata-katanya pada Hera. 

Gama ingin membuat Hera mengerti jika wanita itu tidak bisa masuk dalam kehidupannya. Gama ingin membuat jarak di antara mereka. Hera harus tahu, jika hati Gama lebih keras dari sebuah batu sekalipun.

Hera tidak membalas ucapan Gama. Tetapi ia hanya menatap bola mata lelaki itu dengan tatapan dalam. Mungkin Hera merasa sakit dalam hatinya atas ucapan lelaki itu. Tapi ia lebih memilih diam alih-alih membalas perkataan Gama yang menusuk hatinya.

"Diar!" teriak Gama memanggil salah seorang dari puluhan pelayan itu.

"Iya, Tuan Gama?" Diar bergerak menghampiri Gama dan berdiri di depan tuannya dengan kepala yang sedikit menunduk.

"Antar dia ke kamar yang masih kosong di paviliun. Dan biarkan dia membawa barang-barangnya sendiri!" perintah Gama pada Diar yang langsung diangguki oleh pelayan itu.

"Baik, Tuan Gama." meski merasa tidak enak pada Hera yang seharusnya diperlakukan spesial di rumah ini karena ia adalah istri dari tuannya, tetapi mau tak mau Diar tetap menjalankan perintah Gama.

Diar mengajak Hera agar membawa kopernya dan mengikutinya ke paviliun. Sebelum pergi, Hera sempat melayangkan tatapan benci pada Gama yang balas menatapnya tajam. Gama tampak tak peduli jika Hera membencinya. Mungkin hal itu justru akan lebih baik bagi Gama karena Hera akan cepat pergi dan menyerah dalam pernikahan ini.

Sesampainya di paviliun, Hera menjatuhkan kopernya di lantai sebuah kamar yang tampak bersih meskipun tidak sebesar kamarnya saat di rumahnya dulu.

Ah, Hera jadi teringat dengan rumahnya dan juga kedua orang tuanya.

"Maaf, Nyonya Hera. Kamar ini mungkin tidak sebesar kamar yang ada di rumah utama. Dan maaf juga karena tidak seharusnya saya mengajak Anda ke sini," suara Diar terdengar mencicit. Ia menunduk tak enak melihat Hera yang berdiri di depannya.

Semua kamar yang ada di dalam paviliun ini memang khusus untuk pelayan. Maka dari itu kamar yang ada di sana ukurannya tak sebesar kamar yang ada di rumah utama yang ditempati oleh Gama.

Diar merasa Hera tak pantas tinggal di paviliun karena bagaimanapun Hera adalah majikannya juga. Tetapi apa yang bisa para pelayan itu lakukan selain mematuhi perintah Gama?

Hera menggeleng sembari melempar senyum tipis. "Bukan masalah. Tidak apa jika Gama memang ingin aku tinggal di sini. Lagipula aku lebih suka tidur di paviliun bersama dengan kalian daripada harus tidur di rumah mewah yang seperti neraka itu," kata Hera mengucapkannya dengan lantang tanpa takut Gama mendengarnya.

Sementara Diar meringis. Ia berharap ucapan Hera tadi tidak akan sampai ke telinga Gama.

"Aku salut pada kalian. Karena tetap patuh meski memiliki tuan yang tak punya perasaan seperti lelaki itu." Hera semakin berani melontarkan kata-katanya.

"Nyonya..." Diar berniat mengingatkan Hera agar menjaga ucapannya, takut jika Gama mendengar.

"Jangan memanggilnya dengan sebutan Nyonya, Diar!" namun ternyata Gama malah sudah berdiri di ambang pintu. Membuat Diar dan Hera terhenyak menatapnya yang saat ini sedang menatap Hera dengan mengetatkan giginya. Kedua tangan Gama masuk ke dalam saku celana.

Jika sosok iblis tidak ada dalam diri Gama, mungkin Hera akan mengakui bahwa Gama adalah lelaki paling tampan yang pernah ia temui. Tubuh lelaki itu nyaris sempurna. Membuat hati wanita manapun pasti akan berdesir melihatnya.

Hanya saja, ketampanan itu tertutup oleh sikapnya yang dingin dan tak tersentuh. Yang ada Hera malah merasa suasana selalu mencekam setiap kali Gama menatapnya.

Jantung Hera bagai diremas ketika Gama melangkah makin dekat ke arahnya. Lantas berdiri di depan Hera dengan wajah yang menantang.

"Tidak boleh ada satu orang pun yang memanggil dia dengan sebutan Nyonya!" tegas Gama lagi mengulang pernyataannya sambil menujuk pada wajah Hera. "Karena dia tidak pantas disebut begitu. Panggil saja dia dengan nama. Aku sudah tegaskan tadi kalau dia tidak istimewa sama sekali. Jadi perlakukan dia sama seperti kalian memperlakukan sesama pelayan!" lanjut Gama yang tak melepaskan pandangannya sedikitpun dari wajah Hera yang tampak marah. Namun Hera masih bisa mengendalikan emosinya.

Tak ingin dianggap rendah dan membuat Gama semakin senang, Hera balas mengangkat dagunya dan berseru pada lelaki itu.

"Aku juga tidak ingin sedikitpun dianggap istimewa apalagi oleh monster sepertimu!" kini giliran Hera yang menunjuk wajah Gama. Rasanya Hera ingin menampar wajah Gama yang sayangnya sudah terlanjur ia nikahi itu. 

"Oh iya? Baguslah kalau kau sudah tahu bahwa suami yang kau nikahi ini adalah monster," ucap Gama yang malah mendekatkan wajahnya dan membalas ucapan Hera dengan raut mengejek.

"Kau harus sadar dimana posisimu dan dimana posisiku! Jika kau merasa menderita, salahkan saja kedua orang tuamu yang telah membuat wasiat konyol ini hingga membuat kita terjebak dalam pernikahan yang sama sekali tidak diinginkan. Wasiatnya benar-benar menyusahkan!" desis Gama lalu mendengkus kesal. 

Mendengar Gama membawa-bawa nama kedua orang tuanya, membuat darah Hera mendidih.

"Kau boleh menghinaku sepuas hatimu dan marah karena tidak menyukai pernikahan ini. Tapi jangan pernah menghina kedua orang tuaku! Aku tidak akan terima dengan hal itu!" tegas Hera. Ia berteriak pada Gama. Siapa yang akan senang mendengar kedua orang tuanya direndahkan. 

Gama menaikan sebelah alisnya pada Hera. Sepertinya ia sangat suka memancing kemarahan Hera. 

"Memangnya kenapa? Aku berkata sesuai fakta. Aku tahu jika sebenarnya kau pun tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi lihatlah! Kedua orang tuamu itu meskipun sudah terkubur dalam tanah, malah membuat susah orang lain!" 

"Lalu bagaimana dengan Karin? Bukankah dia juga sudah terkubur di dalam tanah, tapi dia masih saja membuat hubunganmu dengan kedua orang tuamu menjadi renggang. Jadi apa bedanya Karin dengan kedua orang tuaku?!" Hera benar-benar menunjukkan keberaniannya. Ia membalas telak ucapan Gama hingga membuat lelaki itu naik pitam.

"Kau?!" Gama mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya. Nyaris saja Gama mengangkatnya untuk menampar Hera. Tapi ia kembali menjatuhkan tangannya lagi saat akal sehat sedikit mengusainya.

Hera yang sempat memejamkan mata, bersiap menerima tamparan dari Gama kini membuka matanya perlahan. Dan yang pertama Hera lihat adalah tatapan Gama yang begitu menusuk padanya. Lelaki itu benar-benar menyiratkan amarah yang luar biasa setiap kali mendengar nama Karin direndahkan.

"Diar! Tutup pintu kamar ini dan biarkan dia sendirian!" perintah Gama pada Diar yang hanya bisa mengangguk patuh. Gama kemudian membalikan badan dan berjalan melewati pintu dengan langkah lebarnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status