“Jangan lupa hubungi aku kalau sudah sampai di Indonesia,” pinta Steve pada Hera.
Pagi ini, Hera dan Mentari akan melakukan perjalanan ke Indonesia. Mereka sudah berada di bandara Singapura diantar oleh Steve.
Hera mengangguk. “Tentu saja. Aku pasti akan langsung menghubungimu begitu sampai di sana,” jawab Hera. Yang membuat hati Steve merasa sedikit lega.
Steve lalu menurunkan pandangannya pada Mentari yang sejak tadi tak lepas memegang tangan kanan Hera. Bocah kecil itu berdiri di samping ibunya, dan memeluk si kucing dan si kelinci, boneka kesayangannya.
“Hey, Nona manis! Kau juga harus berjanji untuk tidak melupakanku meskipun akan tinggal cukup lama di sana.” kali ini Steve meminta pada Mentari sembari tubuhnya membungkuk agar sejajar dengan bocah itu.
Mentari mengangguk tersenyum sambil mengangkat tangan kanannya. “Aku janji Om Steve. Om Steve juga jangan menangis karena tidak diajak Mama
Sejak tadi Hera tidak melihat keberadaan sepupunya di rumah itu. Saat Hera menikah, Iren tidak bisa datang karena sedang kuliah di Jepang.Sementara Fatma dan Bimo mereka menyempatkan datang, hanya saja mereka tidak bertemu dengan Gama saat itu.Padahal sebenarnya ketika pernikahan, Gama memang lebih banyak meninggalkan Hera sendirian di atas pelaminan. Kalaupun berdiri di samping Hera, paling hanya sebentar saja untuk menghentikan omelan Darma dan Jessy.“Kuliahnya memang sudah lama selesai, Hera. Bahkan Iren sudah bekerja.” Fatma mengatakannya sambil tersenyum.“Benarkah?” Fatma mengangguk. “Iya. Sekarang anak itu sedang jalan bersama dengan pacarnya. Dan apa kau tahu, Hera? Pacar Iren itu adalah boss di kantor tempatnya bekerja! Kata Iren lelaki itu sangat baik dan tampan. Yah.. meskipun dia sama sekali belum pernah datang ke rumah ini ataupun bertemu dengan Bibi dan Paman
“Tentu saja. Dan aku punya satu kejutan untukmu. Tadi siang Gama mengenalkanku pada ayahnya untuk yang pertama kali. Dia berniat serius dan akan segera datang melamarku ke rumah ini,” wajah Iren tampak berbinar. Membuat Hera ikut melebarkan senyumnya.“Benarkah? Aku bahagia mendengarnya. Dan yang pasti… Gama beruntung mendapatkanmu.”Iren menggeleng dengan tegas. Tidak setuju dengan ucapan Hera.“Bukan Gama yang beruntung mendapatkanku. Tapi aku lah yang beruntung mendapatkan dia. Dia adalah hidupku, cintaku,” gumam Iren sembari benaknya membayangkan wajah tampan Gama yang jarang tersenyum itu. Tapi entah kenapa selalu membuatnya tergila-gila.Berbanding terbalik dengan Iren yang begitu bersemangat saat menceritakan tentang Gama kekasihnya, Hera justru mengulum senyum pahit. Mengingat Gama mantan suaminya justru telah menorehkan luka dan kenangan yang menyakitkan.‘Andai Gamaku seperti ke
Iren tidak tahu jika ucapannya itu membuat tubuh Hera membeku. Ada yang salah dengan hatinya saat Iren mengucapkan nama Gama lagi.Tapi tepukan tangan halus Mentari di pahanya, membuat Hera mengerjap dan menatap bocah mungil itu.“Ma. Kenapa Mama melamun?” tanya Mentari. Kedua alisnya yang lebat itu menyatu. Mata abunya menatap Hera dengan bingung.“Iya, Hera. Apa yang sedang kau pikirkan?” Bimo dan Fatma juga bertanya. Hati mereka menduga kalau Hera pasti sedang memikirkan mantan suaminya.Hera menggeleng. “Enghh, tidak. Aku tidak sedang memikirkan apa-apa,” dusta Hera lalu memaksakan senyum kecil.Fatma dan Bimo saling tatap. Mereka tahu kalau Hera berbohong. Tampak sekali dari raut wajah Hera saat ini.Bimo memberi isyarat agar istrinya segera mengajak Mentari bermain. Dan Fatma mengangguk. Digendongnya Mentari menjauhi meja makan sebab Bimo sepertinya ingin berbicara serius dengan Hera.&l
Matanya masih menyorot pada Gama yang melangkah di teras rumahnya sembari merangkul mesra pinggul wanita itu dari samping.Hera meneguk ludahnya kasar. Lalu menekan dadanya dengan kuat. Ia merasa ada sesuatu yang remuk redam di dalam sana.“Nona? Apa Anda tidak jadi turun? Saya masih harus mencari pelanggan yang lain,” dengan sedikit kesal sopir taksi itu bertanya lagi.Hera mengusap wajahnya dengan sebelah tangan. Lalu ia berkata. “Jalan saja, Pak. Aku tidak jadi berhenti di sini.”***Di dalam rumahnya, Gama mempersilakan Iren duduk di sofa, sementara Gama duduk di sampingnya. Ia membiarkan Iren menyalakan televisi dan menonton acara apa saja yang wanita itu sukai. Sementara Gama bermain dengan ponselnya.“Rumahmu terlihat sepi sekali.” bukannya fokus menatap TV di depannya, Iren justru mengomentari suasana di dalam rumah Gama sembari mengedarkan pandangan.Gama menganggu
Tak bisa dipungkiri, sebagai sepupu, Hera pun senang mengetahui Iren mendapatkan pasangan yang benar-benar cocok untuknya. Tidak seperti dirinya, ia hanya bisa mencintai sosok Gama suaminya dari jauh, memupuk harapan kalau suatu saat Gama akan menerimanya sebagai istri. Tapi malam itu malah terjadi dan membuat semua harapan yang sudah Hera pupuk menjadi hancur.Hanya tersisa rasa kecewa yang sampai saat ini masih dirasakannya.Fatma kembali menyentuh lengannya, menyadarkan Hera dari lamunannya tentang Gama.“Hera. Kau masih ingat, sejak dulu kau dan Iren seperti sepasang anak kembar. Kemana-mana selalu bersama, bermain bersama, dan kalian dekat seperti saudara kandung. Itu sebabnya, Iren merasa hancur saat kau pergi tanpa kabar. Untuk itu Bibi ingin berpesan sesuatu padamu,” jemari Fatma kini menggenggam tangan Hera. Menatap bola matanya yang bulat itu dengan serius.“Apapun yang terjadi, hubungan persaudaraan kalian harus se
“Kau yakin tidak ingin masuk dulu?” tanya Iren yang berharap Gama berubah pikiran.Namun sayangnya Gama tetap menggeleng dengan tegas. Membuat bibir Iren maju beberapa senti.“Tidak. Aku akan langsung ke rumahku lagi,” jawab Gama dengan senyum kecil.Sembari melepaskan seatbeltnya, Iren mendesah kecewa. Tapi ia tetap mengangguk. “Ya sudah. Sampai jumpa besok, sayang. Semoga mimpimu indah malam ini.”“Kau juga,” balas Gama.Iren mendekatkan wajah, mengecup kilat pipi Gama lalu turun dari mobil.Gamamelambaikan tangan saat Iren melambai padanya. Tapi sebelum melajukan mobil, ia mengarahkan matanya terlebih dahulu ke arah rumah Iren yang tampak terang karena lampu-lampunya yang menyala.Entah mengapa Gama merasa penasaran dengan sosok sepupu Iren yang bernama Hera. Matanya masih memindai bagian pintu rumah, berharap sepupu Iren itu akan muncul di sana. Tapi sampai sa
Duduk di kursi tunggu, Hera saling meremas tangannya gelisah. Matanya memanas. Entah berapa puluh kali Hera berusaha menepis air di sudut matanya. Ia tak ingin menangis.Jangan sampai saat ia menemui Mentari nanti, anak itu akan melihat tangis di matanya.“Apa yang sedang dilakukan dokter di dalam sana. Kenapa dia lama sekali,” cemas Hera bangkit berdiri lalu bergerak mondar-mandir seperti setrikaan.Iren menaikan panakandangan dan menatapnya iba. Iren yakin, ibu manapun pasti merasakan kegelisahan dan kecemasan yang sama jika ada di posisi yang sama dengan Hera.Menghembuskan napas pelan, Iren pun ikut bangkit dan menghentikan langkah Hera dengan menyentuh pundaknya.“Tenang, Hera. Dokter sedang melakukan tugasnya. Dia pasti akan berusaha melakukan yang terbaik untuk Mentari. Kau harus percaya, Mentari akan baik-baik saja,” hibur Iren.Hera tak mengangguk. Ia hanya menatap lirih pada pintu ruang UGD yang tertut
Iren tidak tahu kalau sebenarnya Gama sedang bersiap mengganti piyamanya dengan jeans dan kaus. Gama berniat datang ke Rumah Sakit ‘Pelita Hati’. Dimana Iren dan keponakannya berada saat ini.Setelah meminta sopirnya menyiapkan mobil, Gama lantas masuk dan mengemudikan mobilnya keluar dari area pelataran rumah.Begitu mobil Gama pergi, satpam langsung kembali menutup pintu gerbang.“Mau ke mana Tuan Gama larut malam begini. Mungkin dia mau pergi ke club malam,” gumam satpam itu menduga-duga sembari menggeser pintu gerbang, lalu menggemboknya.Tak berapa lama setelahnya, Hera menghentikan mobil di depan gerbang dan ia turun lantas berlari memencet bel yang terletak di samping gerbang besar itu.Membuat sopir yang tadinya sudah terkantuk-kantuk, langsung terbangun dan menghampiri Hera.“Anda sedang mencari siapa, Nona? Ini sudah larut malam,” tanya satpam itu yang Hera lihat di papan namanya bertuliska