Share

Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara
Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara
Author: Ria Abdullah

1. Kejutan

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2023-05-03 07:13:20

Teganya selama 20 tahun lebih kau menyembunyikan rahasia itu.

*

Sudah dua puluh tahun aku sembunyi di balik senyum dan kepura-puraanku, aku berdiri, bertahan kuat seperti karang yang diterjang ombak padahal sesungguhnya aku tidaklah lebih dari kapas yang rapuh. Dua puluh tahun lebih pernikahanku dengan Mas Faisal, 20 tahun lebih dengan 3 orang anak yang pintar dan berprestasi. Dari luar aku terlihat sebagai istri yang baik-baik saja tapi di dalamnya aku hanya bergelimang luka dan penderitaan, tiada hari tanpa menangis dan kecewa, tiada hari tanpa luka dan penderitaan. Akulah, wanita berkalung luka.

Jika dicari jawabannya mengapa aku bisa seperti ini maka biar kutuliskan kisah sedih hidupku.

*

Hari itu kuantarkan putraku ke jenjang hidupnya dari seorang remaja yang bergantung kepada orang tuanya menjadi seorang pria dewasa yang akan masuk ke dunia kerja. Di hari wisuda anakku, di momen kami seharusnya sangat bahagia di situlah aku mendapatkan jawaban Mengapa perubahan sikap suamiku menjadi begitu signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Putra pertamaku bernama Heri Pratama, aku bangga memilikinya sebagai putra yang cerdas dan berprestasi. Hari itu hari dia wisuda, kami sekeluarga datang dengan baju yang seragam, berharap kami akan membuat sebuah kenangan manis dalam satu frame foto dengan baju yang sama, dengan senyum yang hangat dengan kekompakan sebagai satu keluarga yang utuh dan bahagia. Tapi, entah kenapa tiba-tiba suamiku ingin pergi lebih cepat sebelum acara itu berakhir.

Dia terlihat menerima telepon dari seseorang lalu menjadi panik. Sehari sebelumnya itu adalah ulang tahun Heri sekaligus anniversary pernikahan kami yang ke-24. Sebenarnya aku dan Mas Faisal sudah berada di usia yang hampir separuh baya. Tugas kami hanya fokus kepada anak-anak, tugas kami adalah saling mencintai dan membimbing putra-putri kami untuk sukses kedepannya, mengantarkan mereka ke setiap jenjang kehidupannya, hingga mereka bisa bahagia, hingga kami pun bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang.

Tapi semua itu hanya harapan, semua itu hancur luluh, berantakan setelah apa yang terjadi selanjutnya mematahkan hati dan impian baikku.

"Aku harus pergi?"

"Tidakkah kau ingin melihat anakmu ...."

"Kau saja yang lihat aku harus pergi!"

Dua putriku Rena dan Felicia terlihat heran melihat ayahnya yang tiba-tiba panik seolah sudah terjadi sebuah masalah yang sangat besar. Sebenarnya kami ingin menahan Mas Faisal tapi kami tidak berdaya. Pada akhirnya dia pergi begitu saja di puncak acara di saat tali toga anak kami dipindahkan di satu sisi ke sisi lain.

"Ayah, aneh sekali kenapa dia tiba-tiba pergi di saat penting seperti ini," tanya Rena putriku.

"Pasti ada hal penting tentang pekerjaannya."

Suamiku bekerja di perusahaan minyak, dia punya posisi penting dan sangat diandalkan, di saat-saat genting dialah yang akan dihubungi dan mengambil keputusan jadi posisi dan jabatan yang dia miliki juga setara dengan penghasilan yang dia dapatkan. Secara ekonomi kami berkecukupan, hanya saja itulah kurangnya, suamiku jarang memiliki waktu untuk kami karena dia punya banyak fokus dan tuntutan.

*

Tibalah sesi foto keluarga di mana Heri mulai bertanya tentang keberadaan ayahnya. Kuberitahu yang sebenarnya pada anakku dan coba memberinya pengertian bahwa kita bisa foto sesi wisuda di lain waktu di sebuah studio yang terkenal. Tadinya dia kecewa tapi, ya sudah, apa boleh buat... ia bilang tidak mengapa yang penting ayahnya tetap bisa mengerjakan tugasnya dengan baik.

Hari itu kami pulang dengan anakku yang masih memakai baju wisuda menyetir mobil. Saat kami terjebak kemacetan di dekat lampu merah, sebuah mobil ambulans lewat dengan tergesa-gesa, otomatis mobil-mobil dan motor yang ada berusaha untuk menepikan diri untuk memberi ambulans itu jalan termasuk mobil kami.

Saat melihat siluet orang yang berada di atas ambulans, dia adalah suamiku Mas Faisal Dia terlihat duduk di atas ambulans dengan wajah yang gelisah Dan panik. Tentu saja itu menimbulkan pertanyaan bagi kami, siapa gerangan yang sakit dan mengapa suamiku berada di ambulans itu dengan wajah yang sangat khawatir.

"Bukannya itu Ayah, kok ayah ada di ambulans?"

"Entahlah," jawabku.

Kucoba untuk menelpon Mas Faisal dan bertanya, tapi dia tidak mengangkat ponselnya. Andai tidak dalam kemacetan Aku ingin keluar dari mobil dan mengetuk ambulans itu untuk tahu apa yang terjadi, tapi tentu saja itu hal yang mustahil.

Saat lampu hijau menyala secepat kilat padat kendaraan terurai, ambulans itu melesat meninggalkan kami. Sementara mobil kami yang masih terseok di antara kendaraan yang berjubel hanya bisa pasrah. Qm

"Apakah kita bisa mengikuti ambulans itu?"

tanyaku kepada putraku.

"Ya, kalau dilihat dari logo ambulansnya, itu rumah sakit Surya Husada."

"Kalau begitu ayo kita ke sana mungkin itu adalah keluarga kita tapi ayah tidak mau memberitahu yang sebenarnya karena tidak mau merusak kebahagiaanmu," jawabku dengan perasaan yang sudah tidak karuan rasanya.

Aku ingin berusaha menenangkan diriku tapi kegelisahan itu entah kenapa semakin membuncah saja, seakan ada firasat yang benar-benar membuatku tidak nyaman. Aku ingin tahu apa yang terjadi dan siapa yang sedang sakit oleh karena itu ada perasaan tidak sabar dalam hatiku ingin segera melesat juga untuk mengikuti tepat di belakang ambulans itu.

*

Sudah sampai di lokasi parkir Kami berempat turun dan langsung pergi ke UGD untuk melihat siapa kiranya yang ayah dari putra-putriku antarkan.

Apakah itu adalah mertuaku atau apakah itu adalah bawahannya sehingga beliau merasa bertanggung jawab untuk membantu sebagai atasan?

*

Aku mendengar tangisan seorang wanita di ruang UGD. Aku coba mengedarkan pandanganku dan hanya ada satu orang wanita berpakaian biru ia terlihat rapi, sepertinya dia juga wanita pekerja karena di dadanya tergantung ID card.

"Ya Tuhan Tolong selamatkan anakku ...." wanita itu menggigil menangis sambil memohon, dia menutupi mulutnya dengan kedua tangan dan terlihat hancur sekali. Aku iba menyaksikan penderitaannya, aku ingin datang padanya dan menggenggam tangannya lalu berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja tapi aku tidak berani melakukan itu karena khawatir akan menambah luka di hatinya.

Wanita itu terlihat cantik dengan jilbab berwarna Milo dan blazer hitam. Dia terlihat anggun dengan sepatu hak tinggi, wajahnya yang cantik hidungnya yang mancung serta matanya yang besar membuat dia nampak sempurna. Sekilas aku kagum oleh pesona wanita itu hingga aku hampir lupa dengan tujuanku sebenarnya datang ke rumah sakit itu.

Namun aku baru saja ingin pergi dari tempat wanita itu berdiri, tiba-tiba suamiku keluar dari balik tirai di mana dokter sedang memberikan penanganan bagi pasien. Dia menghampiri wanita dengan blazer hitam itu lalu merangkulnya.

"Mas, Aku sangat takut jangan sampai terjadi sesuatu kepada anak kita ...."

Hah? Aku tercengang bahkan jantungku hampir saja berhenti berdegup saking kagetnya aku. Aku tidak percaya pendengaranku, aku terkejut dan tungkaiku seketika merasa lemas. Aku khawatir sebelum anak-anak melihat apa yang terjadi aku harus bisa mengalihkan keadaan.

Tapi apa yang harus kulakukan dengan keadaan seperti ini, seorang wanita sedang khawatir tentang keadaan anaknya dan menangis lalu dia merangkul suamiku, sementara aku dan anak-anaknya berusaha mencari keberadaannya.

Ya Tuhan situasi macam apa ini.

Dan ya, ia bilang apa tadi? Anak kita? Apakah itu adalah anak dia dan suamiku? Oh, tidak mungkin! Aku tidak akan bisa menerima itu.

Wanita itu masih menangis tersedu dalam pelukan suamiku sementara aku masih berdiri terpaku diantara ujung dua koridor. Dari sisi timur putra dan putriku yang masih terlihat rapi dengan baju seragam mereka kini mendatangiku. Jika mereka sampai di sini dan menoleh ke arah kanan, maka mereka akan menyaksikan ayahnya sedang berpelukan dengan wanita lain.

apa yang harus aku lakukan?!

"Aku tidak sanggup kehilangan reno, Dia satu-satunya anak kita, buah hati kita..."

"Iya sayang, itu tidak akan terjadi, dokter akan berusaha memberikan perawatan yang terbaik."

"Padahal aku sudah mencegahnya untuk pergi dengan anak-anak motor tapi entah kenapa putraku tidak mendengarkanku...." Wanita itu merintih dalam tangisnya lalu tiba-tiba lemas dan terpaksa harus di papah untuk dibawa duduk ke kursi yang ada di dekat tembok.

Aku termangu, aku terkejut dan tidak tahu apa yang harus kukatakan. Anak-anak tinggal 2 meter jaraknya sementara aku sudah panik. secara refleks aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan mengayunkan tanganku pertanda bahwa tidak ada apa-apa di tempat itu namun entah kenapa kakiku seolah terpaku dengan bumi dan tidak bisa bergerak.

"Ada apa umi terus berdiri di situ?"

"Tidak....ti-tidak...."

Tenggorokanku tercekat, Aku gemetar antara luka yang tiba-tiba menghantam kepalaku dengan kenyataan pahit yang menusuk jantungku, aku ingin bertanya menangis dan berteriak tapi di sisi lain aku harus menjaga perasaan dan mental anakku. Aku ingin berlari agar anak-anakku tidak perlu menyaksikan apa yang terjadi tapi 5 detik kemudian mereka melihatnya mereka menyaksikan ayahnya memeluk wanita yang sedang lemas, Mereka melihat kekasih kesayangan mereka sedang mencium kening wanita lain dan memberinya sebuah kekuatan. Tentu saja anak-anakku langsung terkejut dan syok melihat kenyataan itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
Kaiyla Renata
kalo pake kelip suara tinggal dengerin aja
goodnovel comment avatar
Kaiyla Renata
g ada untuk bkelip suara
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Mampir baca cerita nya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara    123. akhirnya minta maaf

    Hari ini adalah hari Minggu dan minggu ini terasa terasa damai karena udara berhembus sejuk dan matahari bersinar dengan cerah. Daun-daun tumbuhan yang ada di sekitar rumah nampak hijau dan bunganya bermekaran, aku merasa senang menatapnya, perasaanku juga lebih cerah karena kelima anak kami berkumpul di rumah. Pukul 07.00 pagi kusiapkan sarapan lalu kami berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama dan membicarakan impian-impian kami di masa depan. Anak-anak juga mengutarakan harapan mereka tentang karir dan kehidupan pribadinya, termasuk Nanda dan Nindy yang sebentar lagi akan menyandang gelar sarjana kedokteran.Kami juga membicarakan strategi bisnis dan bagaimana Mas Rusdi bertahan dengan kencangnya krisis dan persaingan antar perusahaan. Seperti biasa suamiku selalu memberikan arahan dan contoh-contoh kebijakan kepada kelima anak kami agar mereka punya bekal di masa depan dan belajar dari pengalaman itu.Tring....Saat kami asik sarapan, tiba-tiba ponselku berdering dari atas

  • Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara    122. ya!

    Ya, waktu bergulir digantikan dengan hari dan musim-musim yang baik. Hubunganku dengan orang-orang sekitar juga jadi lebih baik, pun hubunganku dengan keluarga suamiku, serta dengan keluarga ayahnya anak anak. Mantan mertua yang dulu pernah sangat membela rima dan menyudutkanku, kini berbalik arah menjadi seperti semula baik dan penuh perhatian.Di akhir pekan kami sudah canangkan untuk berkumpul dengan keluarga sebagai bentuk quality time kami. Kadang pergi ke keluarganya Mas Rusdi kadang juga pergi ke keluargaku atau mungkin kami semua akan pergi piknik ke suatu tempat. Senang rasanya mengumpulkan kerabat dan keluarga besar di satu tempat lalu kami makan nasi liwet atau menikmati Barbeque sambil bercanda tawa dan melepas kerinduan.Tidak ada lagi permusuhan dan pertengkaran, terlebih sekarang anak-anak mendewasa dan mulai sibuk dengan kegiatannya menghasilkan uang, Rina juga semakin giat bekerja karena dia yang paling punya rencana untuk segera menikah.*Suatu hari aku dan Mas

  • Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara    121. tidak lama kemudian

    Tidak lama kemudian setelah aku mengatakan itu mas Faisal keluar dari ruang sidang dengan didorong oleh Reno. Polisi memberi kesempatan kepada Rima untuk berpamitan kepada suami dan anaknya. Saat baru saja selesai berdebat denganku wanita itu kemudian beralih kepada suaminya sambil memicingkan mata dengan kesal."Hah, suamiku ...." Wanita itu tertawa sih ini sambil memandang Mas Faisal sementara suaminya menjadi heran dengan tingkah istrinya."Rima, maaf karena tidak ada yang bisa kulakukan untuk mendukungmu.""Tentu aja tidak," ucap wanita itu sambil bertepuk tangan ke wajah suaminya. "Kau sedang berada di kubu mutiara, suami dan anakku sudah berpaling dariku dan lebih memilih mantan istrinya. Aku bisa apa?!" Ucapnya Sambil tertawa dan memukul dadanya sendiri. Reno merasa tidak enak pada kami segera mendekat dan mencoba merangkul ibunya."Mama, tenangkanlah diri mama, kami akan cari pengacara agar mama bisa mendapatkan sedikit keringanan hukuman dan tetaplah bersikap baik selama be

  • Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara    120. semoga

    Aku masih terdiam memikirkan percakapan kami beberapa saat yang lalu di rumah Mas Faisal. Sementara suamiku di sisiku mengemudi dengan tenang sambil mengikuti beberapa senandung lagu yang diputar di radio."Aku minta maaf ya Mas, aku sempat berpikiran negatif tentang dirimu._"Suamiku hanya menarik nafasnya lalu tersenyum dan menggeleng pelan,"Siapapun bisa berprasangka jika tidak diberi keterangan dengan lengkap. Kalau hanya mendengar berita sepotong-sepotong saja kadang seseorang akan menjadi salah paham. Karena aku menyadarinya, maka aku meluruskannya.""Kenapa kau tidak merasa tersinggung sama sekali atau kecewa padaku yang sudah berprasangka?""Kenapa aku harus bersikap sensitif kepada istriku? Wanita adalah tulang rusuk, kalau dia dipaksa lurus, atau dengan kata lain dia dipaksa untuk selalu pengertian dan memahamiku, maka itu adalah keputusan yang salah.""Aku terkejut karena kau sangat pengertian Mas.""Aku selalu pengertian dari dulu," jawabnya sambil membelokkan kemudi mob

  • Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara    119. suami pandai

    "Agak lama rupanya kalian membuat kopi ya," ucap Mas Rusdi sambil menatap diriku dan Reno yang canggung karena dicurigai olehnya."Kami berbincang sebentar, berbasa-basi sambil saling menanyakan kabar karena aku dan reno sudah sama tidak saling menyapa secara pribadi."Lelaki yang telah menjadi suamiku selama 2 tahun lebih itu menatap aku dan mantan suamiku secara bergantian lalu anak tiriku."Aku menangkap kecurigaanmu terhadapku dan aku tahu pasti Reno sudah memberitahu semuanya," ujar Mas Rusdi."Aku tidak mengerti apa yang kau katakan Mas, ayo minum kopinya," ucapku sambil meletakkan cangkir kopi di depannya."Melalui kesempatan ini aku ingin bicara dari hati ke hati dengan kalian, terutama dengan Faisal.""Ada apa?" tanya Mas Faisal dengan wajah sedikit kaget dan bingung."Aku minta maaf karena apa yang kulakukan sudah sejauh ini cukup menyakiti perasaanmu tapi aku tidak punya pilihan lain untuk mengungkapkan kebenaran sehingga aku harus membawa istrimu ke rumahku. Percayalah,

  • Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara    118. iya

    Melihat sikap suamiku yang seolah berbeda dari kenyataannya, Aku jadi penasaran sudah sejauh apa yang dia lakukan untuk melindungi kami. Aku memang mencintainya dan percaya padanya aku yakin atas semua keputusan dan tindakannya tapi aku tidak ingin dia terlalu berlebihan dan sampai berlumuran dosa.Dosa kemarin saja belum dicuci dan ditebus apalagi sekarang ditambahkan dengan dosa-dosa yang baru. Sungguh aku tak sanggup. Kini kami menyambangi Mas Faisal yang terlihat terbaring di sebuah kasur yang sudah disediakan di ruang tv. Dari dulu kebiasaannya Ia memang suka berada di ruang tengah kalau sedang sakit, agar dia bisa melihat aktivitas anggota keluarga dan tetap bersama dengan orang orang yang dia cintai sepanjang waktu. Tapi itu dulu, saat bersamaku. Kami basa basi sejenak, hingga akhirnya Mas Faisal meminta Reno untuk membuatkan minuman ke dapur."Reno, minta asisten untuk membuatkan kita minuman.""Si mbak lagi libur Pa, aku aja yang buatkan," jawabnya."Biar umi bantu," ujar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status