Home / Romansa / Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara / 3. menunggu di depan ruang UGD

Share

3. menunggu di depan ruang UGD

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2023-05-03 07:15:02

Lama kami menunggu di depan ruang UGD, menunggu dengan perasaan gelisah serta kebingungan kami. Saking sibuknya dengan emosi masing-masing, aku dan anakku hanya bisa saling memandang tanpa kami membicarakan apapun. Raut wajah gelisah dari putra sulungku juga terlihat jelas, dia terus menggoyangkan kaki dan meremas jemarinya. Di balik ruangan itu ada Mas Faisal yang sedang mendampingi anaknya yang kini berjuang dengan maut.

Kudengar anak itu mengebut bersama dengan teman geng motor lalu mengalami tabrakan. Kabarnya kepalanya pecah dan dia banyak mengeluarkan darah. Saat tirai sempat disibak aku bisa melihat tangan itu anak itu meneteskan darah juga kakinya. Di lantai banyak perban darah yang berserakan. Sehingga aku bisa membayangkan betapa repot dan tegangnya situasi yang sedang dihadapi Mas Faisal sekarang.

"Sebaiknya kita pulang saja karena ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya, sepertinya ayahmu juga masih sibuk."

"Apakah Bunda pura-pura-pura mengesampingkan perasaan Bunda?"

"Harus begitu, kalau ditanya Apakah bunda marah tentu saja bunda sangat marah dan kecewa, merasa ditipu selama ini, tapi kita tidak bisa bersikap egois, ini ruang publik, ini rumah sakit, kita tidak bisa berdebat apalagi bertengkar di tempat ini."

"Bunda, aku ingin tahu kenapa wanita gatal itu bisa membuat Ayah bungkam selama ini! aku benar-benar tidak terima atas apa yang terjadi Bunda." Rena memaki dengan marah.

"Sabar, tenangkan dirimu, orang-orang akan mendengar percakapan kita dan tahu Apa masalah yang sedang kita hadapi."

"Biar pemalukan sekalian pelakor itu bunda!" Felicia menimpali dengan emosi.

"Nak, saat ini situasinya kacau, ayo kita pergi saja. Tolong jangan buat masalah karena bisa jadi saja keluarga dari wanita itu datang dan membelanya, maka timbul perang saudara dan keributan besar, ini rumah sakit, orang sakit dan ingin ketenangan. Kalau mau bicarakan sakit hati dan rasa penasaran maka umi akan lebih banyak mencecar ayahmu, jadi, ayo pulang dulu," jawabku.

"Baiklah, terserah umi." Anak-anak yang sudah terlihat kecewa dan kusut penampilannya padahal ini adalah hari wisuda yang seharusnya bahagia, terpaksa bangkit dari tempat duduknya dan beranjak bersamaku.

"Kalian mau pulang?" Sewaktu kami akan melangkah tiba-tiba masuk Faisal menyusul dan bertanya kepada kamu.

"Ayah bertanya, ayah masih bisa bertanya dengan santai?" tanya Felicia dengan wajah tak percaya.

"Sumpah, aku bertanya dengan tulus."

"Kami mau pulang! Kami sudah duduk di sini dalam keadaan lapar dan bingung selama 4 jam sementara ayah dan istri Ayah masih fokus kepada anak kalian," jawab putri bungsuku yang duduk di bangku SMA kelas dua.

Sungguh sakit jawaban itu, getir rasanya hati dan jiwa ini, seakan jantungku direnggut dari rongga dada. Andai bisa memutar waktu aku ingin memutar kembali waktu siang tadi, aku ingin mencegah keadaan agar anak-anak tidak menyaksikan kejadian pahit ini. Kalau bisa ditukar, biar aku sendiri yang menanggung kekecewaan dan kesedihanku. Karena hal yang terburuk yang dirasakan seorang ibu adalah kekecewaan sanak dan hancurnya perasaan mereka.

"Baiklah, pulanglah dulu nanti malam Ayah akan pulang dan menjelaskan semuanya."

"Sekalian pikirkan bagaimana cara supaya penjelasan ayah terdengar masuk akal dan bisa diterima," jawab Heri.

"Her, ayah mohon...."

"Cukup!" Mas Faisal ingin mendekati anaknya Tapi Heri segera menepis tangannya dengan teriakan cukup.

"Ayah sendiri yang menanamkan kepada Kami bertiga agar bersikap jujur meskipun itu akan pahit dan konsekuensinya menyakitkan. Tapi lihat perbuatan ayah hari ini, ini baru satu kenyataan yang terbuka belum kenyataan yang lainnya. Hal apa lagi yang sudah ayah sembunyikan!"

"Heri, maafkan ayah."

"Tidak, tadinya kami bangga memiliki ayah tapi dalam sekejap saja Ayah menghancurkan perasaan saja kami."

"Sudah, ayo pulang Nak," ujarku sambil menahan air mata. "Ayo pulang dan istirahat, kalian harus mandi dan makan."

"Ya umi, bila perlu, layani suami bunda dan antarkan jatah makan untuk istrinya," Jawab Rena sinis.

"Tidak usah begitu, kalian tidak tahu situasi yang sebenarnya sehingga kalian menghakimi Ayah seperti ini!" Mas Faisal meradang atas kesinisan anak anak.

"Situasi sebenarnya, kalau Ayah sangat tergila-gila kepada istri ayah, begitu kan?"

"Pulang lalu dengarkan semua penjelasanku nanti. Saat ini pikiranku sedang ruwet dan tegang karena anakku sedang sakit."

"Anakmu, lalu bagaimana dengan hati anak anakku?"

"Kau jangan jadi kompor Mutiara!" Hardik Mas Faisal padaku. Tersentak jantungku karena bentakannya, selama 24 tahun menikah Baru kali ini Mas Faisal membentakku dengan wajah yang garang. Aku kaget menemukan dirinya seperti ini, terkejut dan tidak bisa mengendalikan air mataku yang tumpah begitu saja.

"Kau jangan mengompori anak-anak untuk melawanku! harusnya sebagai ibu kau tampil untuk memberi mereka pengertian, toh, masalah sebenarnya juga belum kalian ketahui! jadi tolong jangan lancang!" Mas Faisal mendesis dengan tekanan suara yang tajam.

"Ayah? Kenapa ayah kasar sekali kepada Bunda!" dia adalah ibuku!" Heri mulai tesulut lagi emosinya.

"Bawa ibu dan adikmu pulang, jika kau memang lelaki yang punya akal, jangan menimbulkan keribuan di tempat yang tidak seharusnya."

"Astaghfirullah Mas ... Aku tahu kau sedang dihadapkan dengan musibah tapi selayaknya kau bersikap dengan tenang dan bijak, Mas."

"Kau yang harusnya tidak perlu mengajak anak-anak untuk menyusulku sehingga aku harus menerima masalah demi masalah yang bertubi-tubi hari ini! Harusnya sebagai istri, Kau lebih pengertian dan menyembunyikan aibku. Kau benar benar Mutiara!"

"Kenapa kau menyalahkanku Mas?" Air mataku semakin menderas menetes tapi mas Faisal sudah tidak memperdulikanku, dia membalikkan badannya karena sudah dipanggil rima, dia meninggalkanku dan anaknya yang masih bertanya-tanya tentang sikapnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (6)
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
laki2 anj ...
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Ketahuan belangnya Faisal marah marah
goodnovel comment avatar
Yaniumri Nextstep
umi atau bunda nih? dan di eps awal jg dibilang mas faisal jarang pny wkt utk anak2, tp eps selanjutnya blgnya selalu ada utk keluarga. agar diperhatikan lagi benang merahnya.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara    123. akhirnya minta maaf

    Hari ini adalah hari Minggu dan minggu ini terasa terasa damai karena udara berhembus sejuk dan matahari bersinar dengan cerah. Daun-daun tumbuhan yang ada di sekitar rumah nampak hijau dan bunganya bermekaran, aku merasa senang menatapnya, perasaanku juga lebih cerah karena kelima anak kami berkumpul di rumah. Pukul 07.00 pagi kusiapkan sarapan lalu kami berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama dan membicarakan impian-impian kami di masa depan. Anak-anak juga mengutarakan harapan mereka tentang karir dan kehidupan pribadinya, termasuk Nanda dan Nindy yang sebentar lagi akan menyandang gelar sarjana kedokteran.Kami juga membicarakan strategi bisnis dan bagaimana Mas Rusdi bertahan dengan kencangnya krisis dan persaingan antar perusahaan. Seperti biasa suamiku selalu memberikan arahan dan contoh-contoh kebijakan kepada kelima anak kami agar mereka punya bekal di masa depan dan belajar dari pengalaman itu.Tring....Saat kami asik sarapan, tiba-tiba ponselku berdering dari atas

  • Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara    122. ya!

    Ya, waktu bergulir digantikan dengan hari dan musim-musim yang baik. Hubunganku dengan orang-orang sekitar juga jadi lebih baik, pun hubunganku dengan keluarga suamiku, serta dengan keluarga ayahnya anak anak. Mantan mertua yang dulu pernah sangat membela rima dan menyudutkanku, kini berbalik arah menjadi seperti semula baik dan penuh perhatian.Di akhir pekan kami sudah canangkan untuk berkumpul dengan keluarga sebagai bentuk quality time kami. Kadang pergi ke keluarganya Mas Rusdi kadang juga pergi ke keluargaku atau mungkin kami semua akan pergi piknik ke suatu tempat. Senang rasanya mengumpulkan kerabat dan keluarga besar di satu tempat lalu kami makan nasi liwet atau menikmati Barbeque sambil bercanda tawa dan melepas kerinduan.Tidak ada lagi permusuhan dan pertengkaran, terlebih sekarang anak-anak mendewasa dan mulai sibuk dengan kegiatannya menghasilkan uang, Rina juga semakin giat bekerja karena dia yang paling punya rencana untuk segera menikah.*Suatu hari aku dan Mas

  • Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara    121. tidak lama kemudian

    Tidak lama kemudian setelah aku mengatakan itu mas Faisal keluar dari ruang sidang dengan didorong oleh Reno. Polisi memberi kesempatan kepada Rima untuk berpamitan kepada suami dan anaknya. Saat baru saja selesai berdebat denganku wanita itu kemudian beralih kepada suaminya sambil memicingkan mata dengan kesal."Hah, suamiku ...." Wanita itu tertawa sih ini sambil memandang Mas Faisal sementara suaminya menjadi heran dengan tingkah istrinya."Rima, maaf karena tidak ada yang bisa kulakukan untuk mendukungmu.""Tentu aja tidak," ucap wanita itu sambil bertepuk tangan ke wajah suaminya. "Kau sedang berada di kubu mutiara, suami dan anakku sudah berpaling dariku dan lebih memilih mantan istrinya. Aku bisa apa?!" Ucapnya Sambil tertawa dan memukul dadanya sendiri. Reno merasa tidak enak pada kami segera mendekat dan mencoba merangkul ibunya."Mama, tenangkanlah diri mama, kami akan cari pengacara agar mama bisa mendapatkan sedikit keringanan hukuman dan tetaplah bersikap baik selama be

  • Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara    120. semoga

    Aku masih terdiam memikirkan percakapan kami beberapa saat yang lalu di rumah Mas Faisal. Sementara suamiku di sisiku mengemudi dengan tenang sambil mengikuti beberapa senandung lagu yang diputar di radio."Aku minta maaf ya Mas, aku sempat berpikiran negatif tentang dirimu._"Suamiku hanya menarik nafasnya lalu tersenyum dan menggeleng pelan,"Siapapun bisa berprasangka jika tidak diberi keterangan dengan lengkap. Kalau hanya mendengar berita sepotong-sepotong saja kadang seseorang akan menjadi salah paham. Karena aku menyadarinya, maka aku meluruskannya.""Kenapa kau tidak merasa tersinggung sama sekali atau kecewa padaku yang sudah berprasangka?""Kenapa aku harus bersikap sensitif kepada istriku? Wanita adalah tulang rusuk, kalau dia dipaksa lurus, atau dengan kata lain dia dipaksa untuk selalu pengertian dan memahamiku, maka itu adalah keputusan yang salah.""Aku terkejut karena kau sangat pengertian Mas.""Aku selalu pengertian dari dulu," jawabnya sambil membelokkan kemudi mob

  • Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara    119. suami pandai

    "Agak lama rupanya kalian membuat kopi ya," ucap Mas Rusdi sambil menatap diriku dan Reno yang canggung karena dicurigai olehnya."Kami berbincang sebentar, berbasa-basi sambil saling menanyakan kabar karena aku dan reno sudah sama tidak saling menyapa secara pribadi."Lelaki yang telah menjadi suamiku selama 2 tahun lebih itu menatap aku dan mantan suamiku secara bergantian lalu anak tiriku."Aku menangkap kecurigaanmu terhadapku dan aku tahu pasti Reno sudah memberitahu semuanya," ujar Mas Rusdi."Aku tidak mengerti apa yang kau katakan Mas, ayo minum kopinya," ucapku sambil meletakkan cangkir kopi di depannya."Melalui kesempatan ini aku ingin bicara dari hati ke hati dengan kalian, terutama dengan Faisal.""Ada apa?" tanya Mas Faisal dengan wajah sedikit kaget dan bingung."Aku minta maaf karena apa yang kulakukan sudah sejauh ini cukup menyakiti perasaanmu tapi aku tidak punya pilihan lain untuk mengungkapkan kebenaran sehingga aku harus membawa istrimu ke rumahku. Percayalah,

  • Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara    118. iya

    Melihat sikap suamiku yang seolah berbeda dari kenyataannya, Aku jadi penasaran sudah sejauh apa yang dia lakukan untuk melindungi kami. Aku memang mencintainya dan percaya padanya aku yakin atas semua keputusan dan tindakannya tapi aku tidak ingin dia terlalu berlebihan dan sampai berlumuran dosa.Dosa kemarin saja belum dicuci dan ditebus apalagi sekarang ditambahkan dengan dosa-dosa yang baru. Sungguh aku tak sanggup. Kini kami menyambangi Mas Faisal yang terlihat terbaring di sebuah kasur yang sudah disediakan di ruang tv. Dari dulu kebiasaannya Ia memang suka berada di ruang tengah kalau sedang sakit, agar dia bisa melihat aktivitas anggota keluarga dan tetap bersama dengan orang orang yang dia cintai sepanjang waktu. Tapi itu dulu, saat bersamaku. Kami basa basi sejenak, hingga akhirnya Mas Faisal meminta Reno untuk membuatkan minuman ke dapur."Reno, minta asisten untuk membuatkan kita minuman.""Si mbak lagi libur Pa, aku aja yang buatkan," jawabnya."Biar umi bantu," ujar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status