Share

4. Membisu

Sepanjang perjalanan putra dan putriku hanya membisu tapi aku jelas menangkap kegelisahan dan pertanyaan yang ada di dalam benak mereka. Tatapan mata putra sulungku lurus ke depan saat dia menyetir dengan tegangnya, sementara 2 adiknya yang duduk di jok belakang hanya menerawang menatap keluar jendela.

Aku sendiri hanya bisa menarik nafas dalam sambil menelaah kembali kejadian selama 20 tahun lebih. Bisa-bisanya aku tidak menyadari gelagat suamiku. Biasanya seorang perempuan akan punya insting yang tajam tapi entah kenapa perasaan dan kecurigaan tumpul sekali.

Selanjutnya, aku pun tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

*

Sesampainya di rumah kami masuk dan membuka pintu lalu pergi ke kamar masing-masing untuk mengganti baju. Aku minta anak-anak untuk mandi dan bergabung ke meja makan karena tidak lama lagi aku akan menyiapkan makan malam.

"Segera mandi dan gabung ke meja makan, karena bunda akan masak dan menggoreng sosis, bikin sambal pasti enak."

"Bunda tidak usah repot-repot mau masak kami sudah kehilangan selera dan minat untuk makan..."

"Kita butuh tenaga untuk melanjutkan hidup, lagi pula kalau Ayah kalian datang kita akan bicara dengannya."

"Untuk apa bicara kalau sudah jelas-jelas kami melihat betapa Ayah mementingkan wanita itu dan anaknya."

"Bunda juga sakit hati tapi mau bilang apa lagi itu adalah keluarganya dan yang sakit itu adalah putranya, anak kandungnya."

"Apa bunda akan langsung minta cerai?"

"Tidak terbesit sedikitpun dalam hati Bunda untuk langsung minta cerai karena sebesar apapun emosi Bunda, Bunda masih ingin bertanya kepadanya, apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa hal itu tersembunyikan selama bertahun-tahun."

"Halah, sebaiknya berpisah saja tidak ada artinya bertahan kalau ditipu,"ujar Felicia Putri bungsuku. Dia menggumam lalu masuk ke kamarnya dan menutup pintu.

*

Aku memasak tapi hatiku gelisah dan kejadian tadi seolah-olah terus terbayang di pelupuk mata. Bahkan ketika aku memotong-motong bahan makanan, di telinga terbayang bagaimana Rima mengaku kalau dia adalah istrinya Mas Faisal. Aku hampir saja mengiris tanganku karena tidak fokusnya.

"Astagfirullah Ya Allah semoga ini hanya ujian kecil yang bisa aku lewati..."

Di hadapanku sekarang berdiri sebuah bukit terjal yang harus kudaki. Gunungan masalah yang mau tidak mau harus aku hadapi. Tapi aku harusnya menengok ke belakang.. ada banyak bukit-bukit masalah yang telah berhasil kulewati dan itu tidaklah lebih besar dari masalah ini. Ini adalah tantangan yang sangat berat.

Kalau mengingat lagi betapa baiknya suamiku betapa romantisnya dan mesra sikapnya Aku hampir-hampir saja tidak percaya bahwa dia menikah lagi. Andai ini mimpi, aku ingin segera terbangun dan kembali pada kenyataan, kembali memeluk suamiku dan hanya menjadikan Dia milikku.

Tapi semakin ditahan perasaan ini semakin menjadi dan tidak tahan saja hati ini. Aku tersedak dalam tangisan meski aku berpura-pura tetap sibuk masak dan seakan tidak terjadi apa-apa inginnya aku. Inginnya aku terlihat tangguh dan sabar padahal hati ini rapuh dan di liputi kekecewaan yang mendalam.

Menetes air mata ini, terdesak hati ini, sesak dengan gemuruh ribuan pertanyaan dan kemarahan akan alasan mengapa dia melakukan itu, mengapa ia mengkhianatiku.

*

Setengah jam kemudian kami sudah berkumpul lagi di meja makan untuk menikmati makanan. Dari keluarga anak-anakku aku tidak melihat kalau mereka berselera tapi mereka hanya memaksakan diri saja untuk makan.

"Makanlah yang banyak, umi sudah susah payah memasak."

"Iya mi. Tapi percuma saja kami tidak berselera."

"Meski hati susah kita tetap harus makan. Pelan-pelan kita akan tahu apa yang sebenarnya terjadi."

"Aku ingin marah dan menghajar ayah."

"Bu umi mohon agar kau bisa mengendalikan diri karena bagaimanapun dia adalah ayahmu biar kita bertanya padanya dan dengar apa penjelasannya."

"Ayah pasti akan berkelit dan memberi banyak alasan."

"Kita lihat saja nanti apa alasannya."

Lama aku dan anak-anak menunggu kedatangan Mas Faisal hingga akhirnya Setelah menunggu 2 jam lebih pria itu akhirnya datang.

"Assalamualaikum," ucapnya kepada kami yang sedang duduk di sofa ruang tengah dan menanti kedatangannya. Dari wajahnya terlihat raut kesedihan mendalam dan ekspresi kelelahan.

"Makanlah dulu Mas pergi dan bersihkan dirimu."

"Tidak usah tapi aku akan langsung bicara saja...."

"Kalau begitu bicaralah."

"Seperti yang kalian lihat itu adalah keluarga ayah, tante Rima adalah istriku dan Reno adalah putra kami Dia baru saja lulus SMA."

"Berarti dia adalah kakakku," ujar Felicia dengan wajah sini sambil melipat tangannya di dada.

"Ayah minta maaf karena tidak bersikap jujur dan telah mengecewakan hati kalian. Tapi ada situasi yang sulit dijelaskan dan ayah sebut itu adalah takdir dan jodoh ayah."

"Jangan membuat pembenaran!"

"Jangan menyela ketika ayah sedang bicara karena itu adalah perbuatan yang tidak sopan."suara mas Faisal cukup pelan tapi dia mengatakannya dengan tegas.

"Aku tahu seorang lelaki yang sudah poligami pasti dicap genit dan tidak tahu diri. Ayah akan menerima apapun tudingan dari ucapan kalian asal Ayah mohon agar kalian tidak perlu menghujat Rima dan anak ayah."

"Wanita itu jelas saja bersalah karena sudah merebut suami orang."

"Bukan dia yang merebut tapi Ayahlah yang bersikeras untuk menikah dengannya. Jadi jangan salahkan dirinya."

Tersesak dada ini mendengar ucapan Mas Faisal sakit dan terpukul palu godam sehingga aku tidak bisa menahan air mata di hadapan anak-anak.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Amanda Benaya
Tull..ampe bingung baca nya. mau umi atau bunda sih thor???? trus kalimat nya banyak yg salah penempatan. untung paham mksdnya
goodnovel comment avatar
ati kurniawati
ini coba ya panggilannya yg konsisten. "Bunda" atau "Umi"? Jangan kadang Bunda, kadang Umi. Tolong pilih salah satu, biar kami gak bingung bacanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status