Aku terbangun, ketika sebuah sentuhan tangan yang terasa dingin mendarat dipipiku.
"Bulek," ucapku mengucek mata.
"Bangun, sudah jam lima. Ayo sholat, Nis," ajak Bulek Lani.
"Iya, Bulek."
Pelan aku berdiri dari tempat tidur, lalu membuka jendela. Seketika aroma subuh hari menguar masuk memenuhi kamar ini. Sepertinya semalam hujan deras, terlihat dari tanah yang basah dan sedikit becek.
Usai sholat, segera aku kedapur. Membuat sarapan. Roti bakar, dan teh susu jahe.
"Walah, Bulek tungguin di kamar rupanya sudah kedapur saja," ucap Bulek Lani yang membuatku sedikit terkejut.
"Iya, Bulek. Bulek mau teh susu jahe atau teh saja?"
"Kamu buat teh susu jahe, Nis?"
"Iya, kalau malam hari hujan, biasa Nisa selalu buat paginya. Kalau nggak buat Ibu nanyain."
"Sejak kapan? Dulu juga nggak begitu."
"Nggak tahu, Bulek. Tapi kalau Nisa disini selalu begitu,"
"Hm, sebenarnya Mbakyu itu sejak ada kamu j
[Assalamu'alaikum, Mas. Lagi sibuk?]Kukirim pesan untuk Mas Ilyas. Sembari menunggu hujan reda. Saat ini aku berada di sekolah, sudah pulang hanya tertahan menunggu karena hujan yang turun dengan derasnya. Kulirik arloji di tangan. Masih jam dua siang. Tapi karena hujan dan cuaca yang gelap tampak seperti sudah akan maghrib. Sembari menunggu, iseng aku membuka akun sosial media berwarna biru. Ah, sudah lama rasanya aku tak membuka akun media sosialku ini. Terakhir saat mengupload photo pernikahan saja.Tiga akun permintaan pertemanan. Dua kuabaikan, sedang satunya kuamati. Menarik perhatian. Kuklik akun facebook atas nama 'SarLyas' itu. Aku mengerutkan dahi.Satu teman yang sama. Hm, siapa ya?Degh. Haikalan Ilyasa. Suamiku. Kulihat tanggal akun tersebut meminta pertemanan padaku. Satu tahun lalu. Sudah lama. Pelan, kutelusuri akun tersebut. Tak ada data yang begitu akurat. Hanya tanggal lahir tanpa tahun, pun photo prof
Flashback on"Nis, Mas tak pandai mengatakan hal panjang lebar. Merayu seorang wanita bagi Mas sama sulitnya dengan mengukir di atas air. Langsung saja ya. Untuk kedua kalinya, mau kah Nisa menerima Mas? Mas ingin Nisa menjadi istri Mas. Perempuan yang akan menemani Mas dalam suka dan duka. Perempuan yang memberikan Mas anak-anak yang sholeh dan sholeha. Jika Nisa menerima, Mas akan mengenalkan Nisa pada orang tua Mas."Kupandangi bergantian lelaki dan perempuan di depanku. Lelaki dan perempuan yang Allah jadikan sebagai orang tuaku. Tampak Bapak mengangguk dan Ibu menangis sembari tersenyum. Mereka menyetujui. Kehadiran Mas Ilyas yang kukira untuk bersilaturahmi karena suasana lebaran, ternyata juga menjadi awal mula titik kehidupan baru bagi hidupku."Nisa, akan menerima, jika Bapak dan Ibu merestui, Mas," jawabku."Pasti, Nis. Restu orang tua kamu yang pertama. Mas sudah meminta Nisa pada Bapak dan Ibu jauh hari sebelum hari ini."
Suara dering ponsel, membuyarkan lamunan.Kembali kuraih ponsel berbentuk persegi empat tersebut.Nama Ibu mertua terpampang jelas di layar."Assalamu'alaikum, Bu.""Waalaikumsalam. Nisa kesini ya." Aku menarik napas."Baik, Bu. Selesai mandi Nisa kesana ya.""Mandi lagi? Lama sekali lah. Udah mandi disini aja. Bawa baju yang banyak ya. Baju Ilyas juga.""Nisa baru pulang ngajar, Bu. Tadi sempat basah sedikit.""Hm, yaudah mandi dulu. Jangan lupa bawa baju Ilyas.""Maaf, Bu. Mas Ilyas nggak ada suruh begitu tadi.""Ibu yang suruh." Telepon terputus begitu saja.Kembali ku letakkan ponsel di meja. Mengambil tas kecil, lalu memasukkan beberapa potong baju. Hanya bajuku saja tidak ada baju Mas Ilyas. Dan, itupun tak banyak. Aku lebih menuruti ucapan suami daripada Ibu. Tadi Mas Ilyas sudah memberitahu lewat pesan, bahwa dua hari ini aku di rumah Ibu dulu, sampai Mas Ilyas kembali.'Maa
Sejak semalam Ibu mendiamkanku. Tak menegur pun tak menyuruh. Aku jadi salah tingkah sendiri karena sikap Ibu. Sedang Sarah pun demikian. Namun tidak pada Ibu. Pada Ibu dia manja bak anak berusia lima tahun. Bahkan tak segan meminta Ibu untuk menyuapkannya salad buah yang sedang dimakan Ibu ketika ditaman semalam sore. Reno amat bahagia melihatnya, hanya Kak Rika yang sedikit menegur. Tapi kembali dibela Ibu bahkan disertai sindiran yang ditujukan untukku. Lagi, aku hanya bisa diam dan hanya bisa mengurut dada. Aku tak berdosa dan menjadi durhaka. Semua perlakuan Ibu padaku biarlah hanya Allah yang menegurnya, sebagai anak mantu aku tetap wajib menghargai dan berharap semoga suatu saat nanti Ibu bisa merasakan kasih sayangku yang tulus untuknya.Sabar Nisa, tak lama lagi, aku mengurut dada. Dengan cepat kuselesaikan masakanku. Terserah mau dimakan Ibu atau tidak seperti makan malam semalam yang kumasak dan diabaikan. Yang penting kewajiban yang diamanahi untuk menjaga k
Berputar aku didepan kaca. Sungguh bahkan mataku sendiri pun tidak bisa mempercayai.Aku kira baju yang diambil di butik tadi baju pesanan Ibu, tapi aku salah. Ketiga baju tersebut ternyata dibelikan Ibu untukku. Kata Ibu, satu untuk dipakai hari ini. Tadi Ibu sudah mengajak aku serta Sarah untuk ikut Ibu ke acara grand opening sebuah usaha baru teman Ibu sesama perempuan pebisnis. Sedang dua baju lagi dibelikan Ibu untuk dipakai saat Mas Ilyas pulang. Dipakai untuk menjemput besok dan satunya lagi dipakai saat di kamar. Entah apa yang ada di pikiran Ibu, beliau hanya memintaku untuk memakainya.Aku membuka pintu kamar dengan langkah yang kaku. Keluar dan menemui Ibu."Bu."Ibu berbalik lalu menyelidik, terlihat dari tatapannya yang naik turun dari kepala hingga kaki."Tidak salah Ibu memilihnya, gaun ini pas untukmu, kamu cantik," ucap Ibu lalu tersenyum.Rasanya aku ingin sekali memeluk Ibu, mengucapkan lebih dari sekedar kata terimakasih.
Saat ini aku sedang sibuk berkutat di dapur. Baru saja pulang dari pasar. Rencananya akan masak makanan kesukaan Mas Ilyas."Masak apa, Mbak?" tanya Sarah yang baru keluar dari kamarnya sembari menguap. Sepertinya ia baru bangun tidur."Ayam dan udang asam manis pedas. Kenapa mau bantu?""Nggak kok cuma tanya. Mbak udah beli ayamnya?""Udah, ini yang Mbak cuci apa kamu lihat? Sapi?""Bukan, maksudku ayam kampung, Mbak.""Buat apa? Ini Mbak beli tiga kilo. Cukup untuk sampai malam kita semua.""Kita? Aku mana bisa makan ayam potong, Mbak," protes Sarah.Aku bukannya tak tahu tapi bagiku, bukanlah menjadi kewajiban jika aku juga harus memikirkan makannya sementara ia sama sekali tidak membantuku di dapur. Seperti kata Sarah, kami adalah menantu di rumah ini. Kami mempunyai kewajiban dan hak yang sama. Maka dari itu, kewajibanku di rumah ini juga adalah kewajiban Sarah. Jika ia tidak membantuku di dapur maka otomatis aku tidak aka
Kupoles sedikit blush on di pipi, tak lupa mengenakan celak mata dan maskara. Aku tak ingin terlihat berantakan di depan Mas Ilyas. Menangis saat memasak tadi menjadikan wajahku terlihat sembab.Terakhir kukenakan hijab, lalu menyematkan bros berbentuk love dibagian samping dada. Setelahnya menyambar tas lalu keluar dari kamar."Bu, Nisa pamit jemput Mas Ilyas ya," ucapku pada Ibu sembari mengulurkan tangan."Hm, jangan ngadu macem-macem sama anakku.""Iya, Bu."Lalu aku berjalan ke luar rumah. Tampak Mang Tardi sedang berjongkok-jongkok di bawah meja juga membolak balik taplak dan bantalan kursi."Mang, cari apa? Saya sudah siap.""Eh, Non. Tunggu ya, Non. Mamang cari kunci mobil dari tadi. Kuncinya nggak kelihatan," ucap Mang Tardi bingung."Loh, emangnya tadi Mamang letak dimana dan kemana aja?""Disini aja, Non. Mamang letak di meja ini. Terus Mamang masuk sebentar ambil hp. Ini baru sadar kuncinya nggak ada lagi. Ad
Dari kejauhan kami sudah bisa melihat Ibu dan semua orang di rumah berdiri di depan pintu.Pasti menantikan kepulangan Mas Ilyas.Tak lama mobil berhenti tepat di halaman rumah. Langsung aku dan Mas Ilyas turun. Laludisusul oleh Sarah. Ibu menyipitkan mata, heran melihat Sarah duduk sendiri di kursi kemudi."Ibu," panggil Mas Ilyas dan langsung memeluk dan mencium Ibu."Apa kabar, Yas?" Ibu menerima pelukan Mas Ilyas."Baik, Bu. Ibu sehatkan?""Sehat lah. Ayo, masuk. Mandi lalu makan," ajak Ibu sembari merangkul Mas Ilyas, "Mang, bawa masuk semua barang Ilyas ya," lanjut Ibu.Mas Ilyas menyodorkan tas yang ia selempangkan ditubuhnya tadi padaku. Baru saja ingin mengambilnya, Sarah sudah lebih dahulu menyambar."Biar saya yang bawakan, Mas," ucapnya."Nggak usah, Rah. Nisa saja," larang Mas Ilyas."Nggak apa-apa, Mas. Biar Sarah bawakan ke kamar ya.""Nisa saja