Saat ini aku sedang sibuk berkutat di dapur. Baru saja pulang dari pasar. Rencananya akan masak makanan kesukaan Mas Ilyas.
"Masak apa, Mbak?" tanya Sarah yang baru keluar dari kamarnya sembari menguap. Sepertinya ia baru bangun tidur.
"Ayam dan udang asam manis pedas. Kenapa mau bantu?"
"Nggak kok cuma tanya. Mbak udah beli ayamnya?"
"Udah, ini yang Mbak cuci apa kamu lihat? Sapi?"
"Bukan, maksudku ayam kampung, Mbak."
"Buat apa? Ini Mbak beli tiga kilo. Cukup untuk sampai malam kita semua."
"Kita? Aku mana bisa makan ayam potong, Mbak," protes Sarah.
Aku bukannya tak tahu tapi bagiku, bukanlah menjadi kewajiban jika aku juga harus memikirkan makannya sementara ia sama sekali tidak membantuku di dapur. Seperti kata Sarah, kami adalah menantu di rumah ini. Kami mempunyai kewajiban dan hak yang sama. Maka dari itu, kewajibanku di rumah ini juga adalah kewajiban Sarah. Jika ia tidak membantuku di dapur maka otomatis aku tidak aka
Kupoles sedikit blush on di pipi, tak lupa mengenakan celak mata dan maskara. Aku tak ingin terlihat berantakan di depan Mas Ilyas. Menangis saat memasak tadi menjadikan wajahku terlihat sembab.Terakhir kukenakan hijab, lalu menyematkan bros berbentuk love dibagian samping dada. Setelahnya menyambar tas lalu keluar dari kamar."Bu, Nisa pamit jemput Mas Ilyas ya," ucapku pada Ibu sembari mengulurkan tangan."Hm, jangan ngadu macem-macem sama anakku.""Iya, Bu."Lalu aku berjalan ke luar rumah. Tampak Mang Tardi sedang berjongkok-jongkok di bawah meja juga membolak balik taplak dan bantalan kursi."Mang, cari apa? Saya sudah siap.""Eh, Non. Tunggu ya, Non. Mamang cari kunci mobil dari tadi. Kuncinya nggak kelihatan," ucap Mang Tardi bingung."Loh, emangnya tadi Mamang letak dimana dan kemana aja?""Disini aja, Non. Mamang letak di meja ini. Terus Mamang masuk sebentar ambil hp. Ini baru sadar kuncinya nggak ada lagi. Ad
Dari kejauhan kami sudah bisa melihat Ibu dan semua orang di rumah berdiri di depan pintu.Pasti menantikan kepulangan Mas Ilyas.Tak lama mobil berhenti tepat di halaman rumah. Langsung aku dan Mas Ilyas turun. Laludisusul oleh Sarah. Ibu menyipitkan mata, heran melihat Sarah duduk sendiri di kursi kemudi."Ibu," panggil Mas Ilyas dan langsung memeluk dan mencium Ibu."Apa kabar, Yas?" Ibu menerima pelukan Mas Ilyas."Baik, Bu. Ibu sehatkan?""Sehat lah. Ayo, masuk. Mandi lalu makan," ajak Ibu sembari merangkul Mas Ilyas, "Mang, bawa masuk semua barang Ilyas ya," lanjut Ibu.Mas Ilyas menyodorkan tas yang ia selempangkan ditubuhnya tadi padaku. Baru saja ingin mengambilnya, Sarah sudah lebih dahulu menyambar."Biar saya yang bawakan, Mas," ucapnya."Nggak usah, Rah. Nisa saja," larang Mas Ilyas."Nggak apa-apa, Mas. Biar Sarah bawakan ke kamar ya.""Nisa saja
Suara adzan Isya telah sejak tadi selesai berkumandang, begitu pula dengan aku dan Mas Ilyas yang baru selesai menunaikan kewajiban.Selesai berdo'a segera aku meminta tangan Mas Ilyas. Meminta ridho dan cintanya atas diri ini."Mas, Nisa duluan keluar ya. Nisa mau nyiapin makan malam di meja," ucapku sembari membuka mukena."Mas ikut ya.""Mau apa?""Ya, mau bantu istri Mas lah.""Masaknya udah siap kok Mas. Cuma mau ngidang aja.""Iya nggak apa-apa. Mas bantuin.""Yaudah, Mas."Aku dan Mas Ilyas pun sama-sama keluar dari kamar lalu menuju dapur."Nis, ini piringnya letak dimeja semua?""Iya, Mas."Nis, gelas dimana?" tanya Mas Ilyas lagi."Dilemari Mas," jawabku sembari mengulek sambal."Lemari mana?""Lemari coklat, Mas.""Lemari coklat ini? Di dapur ini?" tanya Mas Ilyas menunjuk lemari didepannya. Aku menggelengkan kepala. Banyak bertanya dari pada membantu."Iya lah, Mas. Lemari coklat di dapur ini. Masa iya lemari coklat di rumah tetangga," jawabku lalu tertawa kuat.Seketika M
Di kamar tampak Mas Ilyas sedang berkutat dengan laptop milik Reno. Melihat laporan perusahaan dan pabrik. Kubiarkan Mas Ilyas dengan kesibukkannya, sedang aku mulai sibuk dengan rencanaku. Masuk ke kamar mandi dengan membawa semua keperluan yang akan aku pakai.Air hangat terasa membasahi tubuh untuk membuang semua rasa lengket dan gerah. Setelah berhanduk, pelan aku mengambil baju yang dipesankan Ibu untukku kemarin. Gaun malam nan tipis dengan dalaman yang luar biasa terbuka disertai dengan luaran berwarna senada. Ragu, antara memakainya atau tidak. Aku terlalu malu. Tapi seketika bayangan wajah Ibu yang mengharapkan cucu dari anak lelakinya tersayang memaksaku menepis semua keraguan, dan dengan cepat mengenakannya, setelah itu merias wajah dengan riasan tipis, tak lupa menyemprotkan parfum favorit Mas Ilyas dan mengenakan satu set perhiasan batu permata dari Mas Ilyas yang diberikannya untuk Ibu.Aku mematut diri di cermin. Pelan kutarik
Aku memeluk lengan Mas Ilyas, kuat. Tubuhku bergetar, menyaksikan mukjizat yang baru saja terjadi dihapanku."Allah maha baik untuk orang-orang yang bersyukur ya, Nis. Mas nggak nyangka peristiwa seperti ini terjadi dalam hidup, Mas," ujar Mas Ilyas. Aku menganggukkan kepala.Pelan, kami mendekati Mbak Mira dan suaminya."Nis, anak Mbak ada suaranya," ucap Mbak Mira dengan air mata masih mengalir. Disisinya Mas Rezi menatap bayi mereka yang sedang menyusu."Bayi yang cantik," ujar Mas Ilyas. "Semoga Allah segera memberikan om dan tante yang seperti kamu ya." Seketika Mas Rezi dan Mbak Mira mengaamiinkan. Begitupun aku."Kado dari om dan tante nanti ya, datang sekali lagi," lanjut Mas Ilyas."Terimakasih, Yas. Kalian mau datang hari ini saja Mas dan Mbak sudah berterimakasih sekali.""Ah, tak apa, Mas. Saya juga berterimakasih, Nisa punya teman sekarang. Katanya, Mbak Mira itu sudah seperti kakaknya. Kebetulan Nisa juga a
Pov IbuEntah mengapa setiap melihatnya aku tak pernah suka. Bagiku Ilyas seperti salah memilih. Walaupun kuakui perempuan itu merupakan perempuan yang baik, tapi tetap saja rasa menolak dan tak suka lebih merajai hati. Dia, tak sepadan dengan kami."Bu." Panggilan dari Rika, anak sulungku membuyarkan lamunan. Aku menoleh kearah perempuan yang kulahirkan tiga puluh tiga tahun silam itu."Ada apa?""Cuma mau tanya, kalau Ilyas tak mau tinggal disini bagaimana, Bu?""Kamu mencemaskan hal itu?" Tampak Rika menganggukkan kepala."Ya kamu yang masak," ujarku datar. Mata Rika membulat."Kok Rika, Bu? Rika mana bisa.""Seperti kata Nisa. Belajar.""Zahira gimana, Bu? Siapa yang pegang?"Aku berpikir sejenak. Iya juga."Hm, Kalau Ilyas dan Nisa tetap mau pulang. Ibu akan minta Sarah yang memasak."Kali ini mata Rika membulat lebih besar. Dan, aku faham maksudnya."Ibu akan
"Mas pergi dulu ya. Baik-baik dirumah. Hp Mas tinggal ya. Mas pulang pasti tepat waktu," ujar Mas Ilyas dipintu saat akan pergi memenuhi undangan Pak RT."Iya, Mas. Kalau nanti mau agak lama minta anak-anak sini bilang ke rumah ya. Jadi Nisa nggak cemas.""Iya, Sayang. Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam."Kupandangi suamiku yang perlahan keluar dan membuka pagar.Menekan kuat jempol kaki satu sama lain.'Ayo, Nisa. Ayo. Mumpung belum jauh. Suamimu pasti memberi tahu, dia sangat mencintaimu. Tanyakan dan tenangkan hatimu.' Sisi jiwaku berbicara.'Tapi bagaimana jika suamimu tak mau memberi tahu? Jika suamimu tak memberi tahu, artinya selama ini pernikahan kalian penuh kebohongan dan untuk apa dipertahankan?' Sisi jiwaku yang lainnya ikut menambahi. Mereka saling berontak dan saling memaksakan keinginan masing-masing. Aku memejamkan mata kuat, menguatkan diri atas segala kemungkinan yang akan kudapati ataupun terjadi. Wala
Usai sholat subuh aku langsung beranjak ke dapur. Memasak sarapan untuk kami, setelah selesai, lanjut memutar cucian sembari membereskan sedikit keberantakan rumah. Tak lama Mas Ilyas pulang dari masjid. Dengan sigap lelaki yang membuatku belakangan ini menjadi curiga itu membantu membereskan rumah."Sayang, ngajar?""Ngajar, Mas," jawabku pada Mas Ilyas. Lelaki itu sedang mengepel ruang tamu."Mas antar nanti ya. Pulangnya juga mas jemput, terus kita langsung pergi jalan-jalan. Mas rindu suasana kota ini.""Loh, bukannya mau ke rumah Ibu Mas antar lauk?""Nggak. Hari ini kita nggak usah kesana. Kita jalan-jalan aja.""Loh kok gitu? Makan Ibu gimana, Mas?""Ibu pagi ini pergi ziarah ke makam Bapak. Diajak Sarah. Mereka juga bawa bekal katanya makan dijalan. Singgah ditempat yang teduh. Kalau daerah atas sana banyak tempat teduh kan."Aku membulatkan mata. Ibu akan pergi ziarah bersama Sarah? Bawa bek