Setelah tiga puluh menit berlalu mata Riri menggeliat sembari tangan kanan memegangi kepalanya yang masih sedikit terasa pusing.
"Kamu sudah sadar?" tanya lembut seorang Wanita di sampingnya.
Riri sontak melirik ke sumber suara disampingnya, "I-ibu siapa dan ini dimana?" Pandangan Riri terus mengamati ruangan yang tengah Dia diami.
"Saya Dokter indah," ucapnya terjeda, "Kamu tadi pingsan dan untungnya Pak Asoka menolongmu dan langsung membawa ke klinik pribadi Bramasta."
Riri hanya mendengarkan penuturan dari Dokter indah tanpa berniat menjawabnya.
"Kalau begitu saya tinggal dulu untuk memberitahukan ke Pak Asoka yang telah menunggu diluar," ucap Dokter Indah final sembari berjalan perlahan keluar ruangan.
Tidak berselang lama setelah kepergian Dokter indah, Asoka masuk berjalan perlahan menghampiri Riri yang tengah terbaring lemas. Senyuman manis terukir jelas di bibirnya namun raut wajahnya tidak bisa dibohongi bahwa ada ke khawatiran disana.
"Gimana kondisimu?" Asoka terduduk disamping Riri sembari menggenggam erat sebelah tangannya, "Apa masih pusing atau saya harus merujuk kamu ke rumah sakit?" Pria yang memiliki bibir agak tebal itu terus bertanya tanpa henti.
"Pak-bapak, saya baik-baik saja. Kenapa bapak memperlakukan saya seperti ini. Bagaimana pandangan semua orang, saya jadi tidak enak." Terlihat alis Asoka mengerut seakan keduanya hendak saling bersatu.
Cup...
Tanpa permisi sebuah kecupan dari Asoka sukses mendarat di bibir ranum Riri. Seakan mewakili kesungguhan cinta kepada Wanita di sampingnya itu.
Namun berbeda dengan Riri mukanya langsung merah padam seakan menahan amarah akan kelakuan Asoka. Riri segera menghadiahi CEO Bramasta tersebut untuk membalasnya.
Plakkk...
Tamparan tepat pada pipi kanan Asoka, terlihat bekas cap lima jari terukir di pipi mulusnya yang lambat laun memerah.
"Bapak Asoka yang terhormat," ucap Riri terjeda, "Saya memang banyak kekurangannya namun saya tidak kurang ajar itu yang saya katakan bukan disaat di ruang interview." Dengan nafas memburu Dia menatap Asoka dengan tajam.
"Namun, perlakuan bapak ini patut saya hajar," ucap Riri sebisa mungkin Dia turun dari tempat tidurnya walaupun kepalanya masih terasa pusing.
Riri melirik sekilas Asoka disaat Dia hendak melangkah pergi, "Anggap itu peringatan terakhir saya. CAMKAN ITU!" Riri menekankan kata-kata terakhirnya dan detik berikutnya Dia melenggang pergi dari tempat tersebut.
Sementara Asoka terpaku di tempat dengan menatap nanar akan kepergian pujaan hatinya, perih tamparan ini tidak sebanding dengan perihnya hati ini. Untuk pertama kalinya Dia ditampar sama Wanita bahkan mampu mencuri hatinya.
Disaat Asoka tersadar dalam lamunannya dan hendak menyusul Riri, langkahnya dihentikan oleh Wanita di depannya.
"Biarkan Dia pergi. Bukannya kakak ada metting diluar sekarang." ucap Wanita itu final sembari menarik tangan Asoka untuk meninggalkan klinik Bramasta.
*****
Satu minggu kemudian…
Sesuai janji Asoka waktu itu Dia akan datang melamar Riri kerumahnya dan terbukti malam ini Dia datang bersama banyaknya bingkisan seakan menjadi pengganti keluarganya yang berhalangan hadir, yang dipastikan harga bingkisan ini sangatlah mahal.
"Jadi nak Asoka ini sebenarnya atasan Riri?" kata Bunda sembari ekor matanya melirik ke arah Riri yang berada disampingnya.
"Betul, Tante. Maaf jika kedatangan saya mendadak dan hanya membawa bingkisan seala kadarnya," jawab Asoka sembari tersenyum manis.
"Ah, nak Asoka terlalu merendah," kata Bunda sembari terkekeh.
Riri yang mendengar obrolan mereka hanya memutar bola matanya seakan jengah dengan perlakuan Asoka yang so akrab dan terkesan berlebihan.
Terlepas dari itu semua, ada satu pernyataan yang membuat Riri cukup tercengang dari obrolan ini ternyata tanpa Riri sadari Asoka adalah salah satu langganan tetap katering Bunda beberapa bulan ini.
"Sesuai yang saya katakan dari awal, Tante. Saya kesini bertujuan untuk melamar Riri menjadi pasangan hidup saya," jelas Asoka sembari tersenyum menyeringai.
"Kalau Tante sendiri tergantung sama Riri. Mau diterima atau enggak Tante gak bisa maksa, namun jika seandainya kalian berjodoh semoga nak Asoka adalah menantu dan suami yang tepat untuk Riri," jelas Bunda sembari mengelus punggung tangan Riri.
Perkataan itu pun langsung diaminkan oleh Asoka.
"Terima kasih atas do'anya, Tante. Oleh karena itu saya izin minggu depan datang kembali kesini bersama orangtua saya sekaligus meminta jawaban dari Riri," pinta Asoka ke Bunda namun ekor matanya melirik ke Riri. Riri yang mendengar itupun tidak mengindahkan.
Bunda yang melihat perlakuan anaknya tersebut segera menyikut dengan tangan Riri untuk menyadarkannya.
"Hemmm..." Riri hanya merespon jawaban Asoka dengan berdehem, sembari memandang lawan bicaranya dengan sangat malas.
"Ya udah Tante kalau begitu saya pamit pulang," ucap Asoka sembari berdiri dari duduknya.
"Hati-hati ya, nak dijalannya. Salam buat keluarga dirumah," sahut Bunda ikut berdiri diikuti Riri.
"Siap, Tante." Asoka melirik sekilas kearah Riri, "Saya pulang dulu ya," ucap Asoka sembari tersenyum manis.
Riri lagi-lagi hanya menjawab dengan berdehem.
Detik berikutnya Asoka melenggang pergi keluar rumah diikuti Bunda dan Riri untuk mengantarkan tamunya sampai teras rumah.
Beberapa menit kemudian mobil Lamborghini Aventador berwarna gelap yang di kendarai Asoka perlahan menjauh dan menghilang dari pandangan mereka.
Satu minggu berlalu setelah kedatangan Asoka ke rumah keluarga Riri untuk melamarnya, kedatangan Asoka sukses membuat Bunda terkejut tanpa ada kehadiran Bagas anak sulungnya yang kebetulan Dia sedang mendapat pekerjaan diluar kota. Namun keterkejutan ini tidak berlaku untuk Riri yang telah lama tahu kabar tersebut, namun Dia enggan untuk menceritakan perihal pinangannya dengan Asoka.Dan hari yang ditentukan pun telah tiba tepat pukul tujuh malam Asoka beserta kedua orang tuanya telah tiba di rumah calon besannya."Om, Tante, terima kasih telah sudi mampir ke kediaman keluarga saya dan maaf kediaman keluarga saya tidak sebagus istana Om dan Tante," sapa Riri sembari tersenyum ramah Dia tunjukkan ke orang tua Asoka yang tengah duduk manis di ruang tamu."Tidak apa-apa. Tante maklum kok," jawab Mommy Asoka, "Orang tua kamu apa belum pulang juga?""Sebentar lagi, Tante. Mungkin sedang dijalan, maaf lama menunggu," jelas Riri sembari mengatupkan kedua tangan di dada.Mommy hanya menganggu
Riri POVHari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun. Tidak terasa satu tahun telah berlalu banyak kenangan manis pahit dan ada juga pelajaran hidupku untuk lebih baik lagi, contohnya seperti kenangan bersama Asoka seorang CEO Bramasta yang pernah membuat hatiku luluh akan tindakan nekatnya untuk meminangku sampai memperjuangkan cintanya padaku. Namun takdir seakan tidak merestui hubungan kami, terbukti setelah berbagai cara Asoka lalui untuk mendapatkanku namun hasilnya penolakan dan pada akhirnya aku mendengar bahwa Asoka telah berangkat ke London untuk menangani kantor cabang Bramasta disana. Dari situ mungkin akhir perjuangan cintanya, Asoka berhak bahagia tapi bukan bersamaku. Walaupun hati kecilku tidak bisa dibohongi ada perasaan sesak disana.Terlepas dari kenangan bersama Asoka ada kenangan yang tak pernah ku lupakan yaitu yang pertama pernikahan Kak Bagas yang telah berlangsung empat bulan yang lalu dan kesuksesan usaha katering Bunda. Lambat laun se
"Krisan Adi Pratama," eja ku dari kartu identitas yang telah kudapatkan.Tanpa disangka ternyata kartu identitas ini milik cowok rese barusan, terlihat dari foto yang tercetak didalam kartu identitas tersebut. Tanpa berpikir panjang aku segera memasukkan dompet tersebut ke dalam tas selempangku. Setelah itu aku segera melanjutkan langkahku yang sempat tertunda untuk keluar dari toko buku ini.*****Keesokan harinya tepatnya pada siang hari aku segera menghubungi nomor telepon pemilik dompet kulit ini. Walaupun aku sebenarnya malas mengembalikannya tapi dilihat dari isi dompetnya yang kebanyakan barang-barang penting seperti, beberapa kartu ATM, SIM, dan masih banyak lagi. Ditambah ada uang tunai yang jumlahnya tidak sedikit didalam dompetnya ini.Tak lama kemudian, dering suara panggilan di gawai ku berubah senyap bertanda seseorang tengah mengangkat telepon darinya."Halo?" ucap seseorang di seberang telepon."Ini dengan Krisan Adi Pratama," sahutku tanpa basa-basi."Ada apa?" Terde
Tiga bulan telah berlalu, semenjak terakhir kali aku bertemu Pria bernama Kris bersama Umi Mutia dan Bunda di restoran madurasa. Siapa sangka dibalik pertemuan kami yang tidak sengaja di Toko Buku tempo hari itu menjadi titik awal kemalangan ku dimulai, karena tepat satu bulan yang lalu aku telah sah menjadi istri cowo rese yang melihatnya pun membuat darahku langsung mendidih. Awal ceritanya bermula pada saat aku menjadi pendonor darah untuk Umi Mutia. Flashback on Sinar matahari lambat laun meredup digantikan dengan sorot lampu jalan untuk menerangi jalanan kota, bahkan suasana kota sudah mulai terlihat sepi. Disaat semua orang telah terlelap tidur sambil mengarungi dunia mimpi masing-masing. Mobil Daihatsu Xenia milik Bunda masih melesat memecah keheningan malam, menuju Rumah Sakit Karisma yang berada di pusat kota. "Bunda, pokoknya aku gak mau karena menolong Umi Mutia. Imbalannya aku harus menikah dengan anaknya," ucapku berdebat didalam mobil sambil menyilangkan kedua tan
Terik matahari seakan menyengat tubuh, ditambah padatnya lalu lintas membuat siapapun tidak sabar untuk segera sampai ke tempat tujuan masing-masing. Sama halnya dengan Restoran madurasa, padatnya lalu lintas ibu kota menjadi peluang emas untuk restoran tersebut. Terlihat pengunjung terus berdatangan tidak habis-habisnya memadati restoran. Restoran berlantai tiga itu memiliki rooftop bernuansa klasik berwarna dominan kuning kecoklatan, namun tidak mengurangi sisi modern. Spot ini cocok untuk anak muda yang menongkrong atau pengunjung yang ingin sekadar bersantai melihat pemandangan ibu kota sambil menikmati makanan yang disajikan restoran madurasa. Dengan kepadatan pengunjung di Restoran madurasa, terlihat Kris sedang duduk manis di salahsatu sofa yang berada di rooftop. Tidak berselang lama Riri berjalan menghampiri Kris disana dengan membawa nampan berisi makanan yang telah Dia masakan barusan. Dug... "Makanlah, anggap saja ini untuk balas budi," ucap Riri setelah meletakkan namp
Hari ini Restoran tidak terlalu ramai akan pengunjung. kesempatan ini Riri luangkan untuk membaca buku yang berada di ruang kerjanya. Dari beberapa buku yang berada di meja kerjanya, ada satu buku yang terbilang cukup terkesan bahkan selalu membuatnya tertawa sendiri jika mengingat momen tersebut. Buku bersampul berwarna dominan hijau daun perpaduan putih dengan karakter wanita menjadi objeknya itu menjadi pertemuan pertama dengan suaminya. Disaat Riri sedang asyik membaca isi buku di genggamannya. Terdengar seseorang mengetuk pintu ruangannya berulangkali. Riri segera meletakkan bukunya diatas meja. "Masuk," ucap Riri memberi tanda ke orang diluar ruangannya. Seorang wanita muda masuk perlahan dan berjalan menghampiri Riri, "Maaf, Mbak. Diluar ada tamu," lapor wanita dengan poni lempar itu. Riri mengernyitkan dahi, "Siapa. Kris?" tanyanya. "Bukan, Mbak," jawab Wanita berponi itu singkat. "Seorang Pria yang tampan lebih tampan dari Mas Kris," sambungnya dengan nada dibuat manja s
"Bunda," seru Riri sedikit berteriak sambil berlari masuk kedalam rumahnya. "Iya. Bunda disini," jawab Bunda Lita diarah dapur. Mendengar respon dari Bundanya, bergegas Riri berlari ke sumber suara, "Bunda, bantu aku untuk gotong Kris yang berada didalam mobil," ucap Riri dengan nada panik. Bunda Lita yang mendengarnya ikut panik, "Loh Kris kenapa, Ri?" tanya Bunda Lita sambil berjalan keluar rumah. "Kris pingsan saat mau jalan pulang, Bun," jawab Riri singkat. "Iya, tapi pingsannya kenapa?" "Mungkin gara-gara ditonjok sama Asoka di Restoran kali," Dengan susah payah Bunda Lita dan Riri menggotong tubuh Kris dan di baringkan untuk sementara di sofa ruang tamu. Riri langsung duduk didepan Kris untuk mengompres luka lebam yang ada di wajah tampan suaminya. Disaat Riri sedang membersihkan wajahnya Kris, tidak sengaja Riri menempelkan punggung tangannya di pipi Kris, "Bun, kayaknya Kris demam?" tanya Riri ke Bunda Lita yang duduk di sampingnya. Spontan Bunda Lita ikut menempelkan
Tiga bulan kemudian. "Saya terima nikahnya-" belum selesai sang mempelai pria mengucapkan kabul untuk mengikrarkan janji pernikahannya. Terlihat seorang Pria berbadan tinggi besar, berlari tergesa-gesa menghampiri mempelai pria membuat acara tersebut tertunda sejenak. "Maaf, Bos. Diluar ada..." ucap Pria tinggi besar tergantung karena kelanjutan ucapannya langsung Dia bisikkan ke telinga sang mempelai pria. Mempelai pria itu langsung bangkit dari duduknya dan langsung berjalan keluar rumah setelah mendengar laporan dari salahsatu anak buahnya. Terlihat diluar rumah telah datang tiga orang Pria berseragam berwarna cokelat lengkap dengan lentera emas di dadanya sedang berdiri dengan gagahnya menunggu sang pemilik rumah. "Selamat siang. Apa betul saudara bernama Asoka Bramasta Kusuma?" tanya salahsatu Pak Polisi berhidung mancung dengan suara baritonnya yang khas. "Betul," jawab singkat mempelai pria tersebut ternyata Asoka. "Kami mendapat laporan dari keluarga korban, bahwa sauda