Share

Dua Wajah Satu Cerita
Dua Wajah Satu Cerita
Penulis: Chientanara

Hari Wisuda

Penulis: Chientanara
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-17 19:43:24

Setelah menuruni tiga buah tangga dari panggung, Helena memeluknya, "You got this! Keren sekali adikku."

"Aye aye thanks kakakku."

"Langsung pulang?"

"Ayo, nanti masakan Tante Lea menjadi dingin."

Helena berdecak, tangannya terangkat merangkul Melva. Kemudian mereka tertawa bersama.

Di dalam mobil, Melva melepas topi wisudanya, menempatkannya bersama sebuket karangan bunga pemberian Helena di kursi belakang.

Melva membalas pesan teman-temannya yang mengajak makan malam bersama, dia meminta maaf tidak bisa hadir karena sudah memiliki janji lain. Menyimpan ponselnya, dia mencari micellar water dan kapas di pouch biru dalam pangkuannya.

Tangan Helena menghentikan gerakan Melva yang akan menghapus make up.

"Nah, kita belum mengambil foto bersama. Jangan dihapus dulu."

"Ugh, okay."

Melva menghela nafas, punggungnya bersandar nyaman. Kebayanya lumayan membuat gerah, setelah mobil keluar area parkir, Melva membuka kaca jendela. Angin segera masuk menyegarkannya.

Hari ini adalah perayaan wisudanya. Seperti perayaan kelulusan di sekolah menengah sebelumnya, hanya Helena yang selalu hadir. Mereka adalah teman seperjuangan. Tidak, mereka adalah keluarga sejak keduanya berada di panti.

Helena lebih tua dua tahun dari Melva. Dia diadopsi sepasang suami istri yang mengendarai Audi ke panti. Orang tua angkat Helena adalah idaman para anak. Mereka super baik dan perhatian. Melva beberapa kali diajak menginap dan berlibur bersama.

Melva sendiri keluar dari panti saat umurnya telah mencapai batas ketentuan tinggal di panti. Dia menolak orang tua Helena untuk diadopsi bersama. Melva pikir mereka tetap bisa seperti keluarga.

Mendapat beasiswa penuh atas pendidikannya hingga sarjana adalah hal terbaik yang ia terima. Meskipun orang tersebut menolak memberikan namanya. Melva sangat berterimakasih pada donatur beasiswa tersebut. Tanpa harus banting tulang, Melva hanya perlu bekerja part time untuk makan sehari-harinya.

"Aku memiliki tas baru dan kamu harus melihatnya nanti!"

Melva menatap Helena, "Kali ini darimana?"

"Ini brand lokal, tapi sangat bagus."

Mengerutkan kening, Melva bertanya, "Tidak biasanya kami tertarik dengan brand lokal. Berapa?"

"Aku kurang tau dengan harganya. Ini pemberian," jawab Helena lirih.

"Hmm? Sejauh yang aku tahu, seleramu dengan Mama kamu berbeda, kamu jarang memuji tas yang dipilih oleh dia. Jadi, dari ini pemberian dari siapa?"

Helena meringis membenarkan, "Ada seseorang yang aku kenal, pria yang sedang dekat denganku. Doakan saja."

"Iya kah? Oh kamu jangan menganggap seperti kita tidak kenal selama hampir sepuluh tahun. Tentu saja aku akan mendoakan yang terbaik untukmu. Kalian sudah lama saling kenal? Kenapa dia tahu hobimu sebagai kolektor tas?"

"Aku sendiri yang cerita padanya, kamu tahu sendiri kan ketika aku sudah bicara tentang hobi, aku akan bercerita tentang tas-tas yang aku punya."

Melva menganggukkan kepala tanda setuju. Helena sangat suka mengoleksi berbagai tas. Dari sling bag, shoulder bag, sampai mini backpack dan tas kanvas. Helena memiliki lemari kaca khusus untuk tas-tasnya. Terkadang dia membuat giveaway tas di I*******m jika lemarinya sudah tidak muat menampung.

"Yang aku tahu kamu lebih suka produk luar tetapi dia membelikanmu brand lokal? Pelit ya?" Tanya Melva bercanda.

Helena tertawa, "Tidak, dia berkata jika aku harus lebih mencintai produk lokal."

"Begitu, dan kamu langsung menurut. Selama ini aku berkata hal yang sama dan yang kamu lakukan hanya melengos sambil tetap berbelanja tas produk luar."

"Tentu saja aku harus menuruti perkataan calon pacarku."

"Kamu bahkan sudah menganggapnya sejauh itu."

"Harus. Jangan berlama-lama. Dan kamu kapan mendapatkan pacar?"

"Mudah, aku bisa menunjuk siapa saja."

"Oh silakan tunjuk siapa saja. Asalkan jika salah orang, jangan merengek menangis menyedihkan padaku!"

Mobil memasuki perumahan. Melva menutup kaca jendela. Jam digital yang ada di dashboard menampilkan angka 6.14.

Langit jingga mulai menggelap. Mobil berbelok ke sebuah rumah berpagar coklat russet. Helena menekan klakson dua kali, seorang satpam membuka gerbang untuknya.

Rumah yang dihuni keluarga Helena bergaya art deco. Rumah ini memiliki garis-garis geometris yang tajam dan simetris, detail-detail dekoratif seperti relief-relief atau ornamen- ornamen logam. Interiornya akan berkilau dengan warna-warna metalik, dan aksen-aksen dekoratif yang berani seperti lampu-lampu gantung yang mewah.

Helena langsung membawa Melva ke ruang makan. Seolah mempersembahkan sesuatu, tangannya direntangkan di sisi Melva.

"Ini dia bintang utama kita malam ini."

Melva memutar matanya mendengar itu.

Tante Lea yang sedang menyusun makanan di meja datang menghampiri, memeluk Melva dengan tidak lupa mencium pipinya di kanan kiri.

"Cantiknya. Happy graduation ya sayang."

"Terimakasih Tante."

"Ayo duduk, kita makan."

Helena menyela, "Ma, kita harus mengambil foto dulu. Dimana Papa? Jangan bilang belum pulang dari kerja."

"Di hari spesial seperti ini mana mungkin Papa kamu tidak mengatur jadwalnya? Dia sudah di rumah sejak jam empat. Tapi masih di ruang kerja karena kantor meneleponnya tadi."

"Mama, tolong panggilkan Papa. Aku akan mengatur kamera." Helena menyengir.

Melva berdiri dengan bengong memperhatikan kesibukan sekitar. Dia berjalan ke kulkas dan mengambil minuman dingin. Lega rasanya setelah air dingin mengalir di kerongkongannya. Pupil Melva bergerak mengikuti Helena yang mondar-mandir mempersiapkan kamera.

Ruang makan dan ruang tamu tidak memiliki sekat berupa tembok. Hanya lemari kaca yang berisi gelas dan guci pajangan khas orang kaya. Jadi, Melva masih bisa melihat Helena yang sekarang membungkuk untuk mengatur lensa.

"Melva, kamu ke sini, aku akan mengetes pencahayaan. Menurutmu kita butuh ring lighting tidak?"

"Sudah petang. Jika lampu tidak cukup bisa pakai saja supaya lebih cerah," jawab Melva sambil berjalan ke depan kamera.

"Oke kita pakai, harus perfect. Akan aku posting di I*******m."

"Sini aku bantu bawakan."

Helena menggeleng, "Tidak perlu, tidak perlu. Berdiri tenang saja disitu menjadi model ku hari ini 'kay? Rok lilit yang kamu pakai pasti lelah untuk berjalan."

Helena membawa dua ring light dan menempatkan di sisi kanan dan kiri kamera.

"Nice," gumam Helena berpuas hati.

"Sudah siap kameranya?" Tante Lea telah berganti pakaian bersama Om Tara di sampingnya.

Helena memberikan jempol atas pertanyaan Mamanya.

Hampir lima belas menit sesi foto itu berlangsung. Melva segera menghapus make up dan berganti pakaian sebelum bergabung ke meja makan.

Makanan hampir dingin, namun tidak mengurangi rasa sedapnya. Melva beberapa kali ditawari hidangan oleh Helena, dan saat Melva menolak, Helena tetap meletakkan hidangan di atas piringnya yang hampir penuh.

"Kamu punya rencana bekerja dimana?" tanya Om Tara pada Melva.

Semua pasang mata menatap Melva menunggu jawaban.

"Kamu bisa ikut Helena bekerja di kantor Papanya." Tante Lea memberikan saran.

"Benar sekali, Papa mendapat kabar jika posisi yang sesuai dengan jurusan kamu membutuhkan seseorang lagi."

Helena memperhatikan kegelisahan Melva.

"Ma, Pa. Lulusan terbaik sejurusan ini sudah ditawari juga dengan dosennya tahu, itu juga perusahaan besar yang merekrut," ujar Helena.

"Begitu? Anak Papa memang hebat-hebat. Dulu Helena juga mendapat tawaran tetapi dia menolak dan ingin bekerja di kantor Papanya. Jika Melva ingin ikut seperti Helena tentu tidak apa-apa. Dan jika kemauan Melva untuk menerima tawaran dosen kamu itu juga kami semua tetap mendukungnya."

"Right." Helena mengacungkan sendoknya lalu kembali makan.

Melva tersenyum, dia menatap berbagai hidangan di meja sebelum berujar dengan yakin, "Aku terima tawaran dosen aku Om."

"Bagus itu, dimana saja asalkan itu tekad kamu. Tetapi jika kamu berubah pikiran, kamu bisa pindah dengan Helena."

"Terimakasih Om."

"Jangan khawatir Pa, Melva akan betah di tempat kerja dengan bos yang ganteng, iya kan?"

"Betul itu," jawab Melva dengan nada gurauan.

Seisi ruang makan penuh dengan tawa.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dua Wajah Satu Cerita   Menghentikan Penyelidikan

    Pukul delapan malam ketika Melva sampai di rumah. Ia disambut oleh pemandangan Zeon yang duduk santai di sofa depan televisi, tampak asyik menonton sebuah acara. Di tengah cahaya lembut lampu ruang tamu, mereka saling tersenyum, sebuah tatapan penuh kebahagiaan yang tidak perlu kata-kata. Melva berjalan mendekat dan duduk di samping Zeon. Tanpa ragu, Zeon mengangkat tangannya untuk mengelus surai panjang Melva yang tergerai. Melva memotong jarak lagi, menyandarkan kepalanya di pundak Zeon dengan lembut, menikmati kehangatan dan ketenangan momen itu. Zeon memecah keheningan dengan sebuah tawaran lembut, "Mau makan camilan malam?" tanya Zeon, suaranya penuh kelembutan. Zeon merasakan gerakan lembut di pundaknya dan mendongak. Dengan senyum manis, ia menegakkan kepalanya dan mengangguk. Zeon berdiri, mengantarkan langkahnya menuju dapur dengan gerakan yang ringan dan penuh kepastian. Di dapur, Zeon memulai ritual kecilnya, hanya mengupas beberapa buah segar kemudian memotongnya men

  • Dua Wajah Satu Cerita   Berpacaran

    Melva sudah tiba di kafe terlebih dahulu, memilih meja di sudut yang nyaman, dekat jendela yang memandang ke taman kecil di luar. Dia duduk dengan tenang, memesan secangkir kopi panas, sambil sesekali melirik ke pintu untuk melihat apakah Helena sudah datang. Lima menit kemudian, Helena muncul dengan langkah cepat, menyusuri jalan setapak di antara meja-meja kafe. Dia melihat Melva dan tersenyum, menuju ke mejanya."Melva!" Helena menyapa, meletakkan tasnya di meja dan duduk di kursi di hadapan sahabatnya. "Jadi, kalian pacaran sekarang?" tanya Helena tanpa basa-basi, matanya mengungkapkan rasa ingin tahunya yang mendalam.Melva tidak merasa perlu menyembunyikannya. "Ya," jawabnya singkat, sambil menyesap jus jeruk di hadapannya dengan santai. Ekspresi wajahnya menunjukkan kepuasan dan kebanggaan, namun juga sedikit kekhawatiran yang mungkin tidak sepenuhnya dia sadari.Helena mengernyitkan dahi, jelas terkejut. "Melva, aku tidak bisa percaya ini. Proses pendekatan kalian terlalu cepa

  • Dua Wajah Satu Cerita   Apa Kamu Yakin?

    Tiba di kota tempat tinggalnya, Zeon tidak ragu menggandeng tangan Melva, menunjukkan kedekatan dan kehangatan di tengah hiruk-pikuk bandara. Sementara itu, sopir pribadinya, yang sudah menunggu dengan sabar, segera meraih dua koper yang dibawa mereka dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil.Begitu kedua orang tersebut masuk ke dalam mobil, kendaraan itu melaju dengan mulus meninggalkan area bandara, menyusuri jalan-jalan kota yang mulai menampakkan kehidupan siangnya. Menyadari bahwa mereka hanya sempat mengisi perut dengan roti selai sebelum pulang, Zeon memutuskan untuk menelepon koki di rumah, memintanya untuk menyiapkan makan siang lebih awal dari jadwal.Dengan demikian, mereka bisa langsung menikmati hidangan yang telah disiapkan dengan penuh perhatian segera setelah sampai di rumah. Suasana di mobil terasa nyaman dan akrab, sementara Zeon dan Melva mengobrol ringan, menikmati perjalanan mereka yang tampaknya semakin mendekatkan mereka pada kehangatan rumah dan hidangan yang me

  • Dua Wajah Satu Cerita   Tidak Keberatan

    "Apakah kamu pernah mengalami ini sebelumnya?" Suara dokter terdengar tenang, berusaha mengurangi ketegangan yang meliputi ruangan.Melva duduk di ruang pemeriksaan dokter, terbalut dalam kekhawatiran yang mendalam. Dinding putih ruangan itu seakan menekan perasaannya, sementara Zeon, suaminya, duduk di sampingnya, berusaha memberi dukungan. Dokter, seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun dengan mata yang penuh empati, menatap Melva dari meja kerjanya, mengamati setiap gerak tubuh dan ekspresi wajahnya.Melva, yang sudah tampak gelisah sejak masuk, hanya membisu. Dia menatap lantai, mencoba menenangkan diri dari gelombang kecemasan yang menghantamnya. Zeon meraih tangannya dan mengelus punggungnya dengan lembut, memberikan dukungan tanpa kata."Tenang. Cobalah untuk menjawab pertanyaan dokter."Melva menarik napas dalam-dalam dan mengangkat kepala, matanya bertemu dengan tatapan dokter. Dengan suara yang bergetar, dia akhirnya berkata, "Baru kali ini."Dokter mengangguk perlahan

  • Dua Wajah Satu Cerita   Mengambil Resiko

    Matahari sudah terbenam, dan suasana di jalan raya terasa tenang. Namun, seiring dengan malam yang semakin larut, suasana tiba-tiba berubah drastis.Dalam jarak beberapa puluh meter di depan mereka, sebuah truk besar yang membawa muatan berat tampak mengalami kecelakaan. Truk itu terbalik dan menutup seluruh jalur, sementara barang-barang yang dibawanya berserakan di sepanjang jalan. Kecelakaan ini menyebabkan lalu lintas berhenti total. Lampu lalu lintas di sekitar area tersebut berkedip-kedip sebelum akhirnya padam, memicu pemutusan listrik yang lebih luas di daerah tersebut.Seketika, jalan-jalan di sekitar mereka menjadi gelap gulita. Lampu jalan dan lampu kendaraan di sekitar hilang, dan hanya ada kegelapan yang menggelayuti suasana. Zeon dan Melva mencoba menyalakan lampu mobil mereka dengan intensitas penuh, tetapi cahaya yang dipancarkan hanya menambah kesan gelap karena keterbatasannya.Melva mencoba menenangkan Zeon, yang tampak frustrasi dengan situasi ini. "Tenang, Zeon. K

  • Dua Wajah Satu Cerita   Sup

    Melva tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat bahwa Zeon telah memesan sebuah apartemen untuk mereka. Terlepas dari fakta bahwa ini adalah perjalanan bisnis singkat, kesediaan Zeon untuk memesan tempat yang begitu nyaman terasa seperti kejutan yang menyenangkan. Namun, kelegaan Melva segera datang ketika dia melihat ada dua kamar tidur di apartemen ini. Itu berarti mereka akan memiliki ruang pribadi masing-masing.Apartemen itu memiliki desain yang modern dan elegan, dengan dinding putih bersih dan lantai kayu gelap yang memberikan kesan hangat dan nyaman. Ruang tamu yang luas dilengkapi dengan sofa empuk berwarna abu-abu, meja kopi kaca, dan sebuah televisi layar datar di dinding. Di sudut ruang tamu, terdapat sebuah meja makan kecil dengan empat kursi. Di sampingnya, jendela besar membingkai pemandangan kota yang gemerlap, memberi cahaya alami yang melimpah ke dalam ruangan.Di sebelah ruang tamu, terdapat dapur terbuka yang lengkap dengan peralatan modern: kulkas,

  • Dua Wajah Satu Cerita   Perhatian

    Melva dan Zeon memasuki ruang tunggu bandara. Setelah melalui pemeriksaan keamanan dan menuju ke gate, mereka akhirnya menemukan tempat duduk mereka di ruang tunggu yang cukup nyaman. Jam menunjukkan pukul 09:15 pagi, dan mereka bersiap-siap untuk boarding.Mereka berdua memeriksa tiket mereka sekali lagi, memastikan segala sesuatu. Jam keberangkatan tercatat pada pukul 10:00 pagi.Sekitar pukul 09:45, boarding dimulai. Melva dan Zeon melaju melalui pintu boarding, memasuki pesawat. Mereka menemukan kursi mereka di kelas ekonomi, yang terletak di dekat jendela. Melva duduk di dekat jendela sementara Zeon duduk di sampingnya di kursi tengah.Pesawat mulai lepas landas tepat waktu pada pukul 10:00 pagi. Dengan mulus, mesin pesawat meraung dan pesawat meninggalkan landasan. Melva menatap pemandangan kota yang semakin menjauh dari jendela, terpesona oleh pemandangan yang membentang luas di bawahnya. Zeon, di sisi lain, mengeluarkan tablet dari tasnya dan mulai mencari beberapa film untuk

  • Dua Wajah Satu Cerita   Keputusan

    Helena menatap ponselnya, seolah-olah berharap Melva bisa merasakan kehangatan dan kejujuran dari kata-katanya melalui telepon. "Aku hanya ingin kamu tahu bahwa keputusanmu untuk tetap membuka hati dan mempertahankan hubungan ini lebih penting daripada apa yang dikatakan orang lain. Kebenaran cinta adalah tentang keberanian untuk menghadapi ketakutan dan merangkul kebahagiaan yang datang. Jangan biarkan ketakutan dan gosip menghentikanmu dari menjalani sesuatu yang bisa membuatmu bahagia. Jangan biarkan Zeon merasa kehilangan kesempatan untuk mencintaimu hanya karena kamu takut pada pandangan orang luar." Helena mengakhiri percakapan dengan nada lembut namun penuh harapan. "Kamu memiliki kekuatan untuk membuat keputusan yang benar untuk dirimu sendiri." Melva menatap ponselnya, merenung dengan hati yang bergejolak. Suara Helena masih menggema dalam pikirannya, membangkitkan perasaan yang telah lama ditekan. Ketika dia berdiri di depan koper yang hampir selesai dikemas, dia tidak b

  • Dua Wajah Satu Cerita   Tidak Mundur

    Setelah makan malam, Melva bergegas menuju kamar tidurnya. Dia berdiri di depan koper besar yang terbuka lebar di tengah kamar, merencanakan perjalanan bisnis yang akan membawanya ke kota yang jauh. Dengan cekatan, dia mulai memasukkan barang-barang ke dalam koper, setiap item ditimbang dengan hati-hati untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Di bagian paling atas, Melva menempatkan pakaian kerja yang telah disiapkannya dengan teliti: beberapa set blazer elegan, blus berpotongan rapi, dan celana panjang yang serasi. Setiap potong pakaian dipilih untuk memberi kesan profesional dan percaya diri di hadapan klien. Selain itu, ia juga membawa beberapa gaun yang sederhana namun mewah, untuk menghadiri acara sosial yang mungkin terjadi selama perjalanannya. Tak kalah penting, Melva memasukkan perlengkapan mandi dalam sebuah kantong plastik transparan—sabun, sampo, dan pelembap kulit yang selalu digunakannya untuk menjaga penampilan dan kesehatannya tetap optimal. Dia juga memasukka

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status