Beranda / Romansa / Duda Incaran Shana / 2. Perubahan Strategi

Share

2. Perubahan Strategi

Penulis: Viallynn
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-25 12:03:13

Kediaman Haryadi tampak ramai hari ini. Penjagaan ketat harus terus diawasi. Banyaknya wartawan yang meliput membuat keadaan semakin tak terkendali. Apa lagi ketika mobil Ndaru mulai mendekati. Seketika riuh pun sulit diatasi.

Haryadi bukan hanya seorang hakim yang luar biasa, tetapi juga berasal dari keluarga yang tak biasa. Kepergiannya tentu menimbulkan kehebohan nyata. Yang tentu akan dimanfaatkan banyak orang untuk mencari muka.

Mobil yang membawa Ndaru mulai memasuki kediaman Haryadi. Dia menatap para wartawan yang berkumpul di depan pagar dengan seksama. Ndaru tahu jika kakaknya memang orang hebat, tetapi dia tidak tahu jika akan seramai ini. Sepanjang perjalanan menuju rumah, sudah berapa kali Ndaru melihat kiriman karangan bunga. Entah dari siapa saja.

"Pemakaman Pak Arya akan dilakukan nanti sore, Pak. Bapak bisa masuk sekarang untuk melihat Pak Arya yang terakhir kalinya dan bertemu keluarga Bapak."

Ndaru masih bergeming. Dia menunduk lalu menarik napas dalam. Berusaha menguatkan diri sebelum masuk ke dalam rumah yang sudah ramai dengan sanak saudara. Jujur, Ndaru belum siap.

"Pak?" Gilang terlihat khawatir.

"Saya masuk dulu."

Setelah itu Ndaru benar-benar turun dari mobil. Seketika suara teriakan serta cahaya kamera langsung tertuju padanya. Dari mana lagi jika bukan berasal dari para wartawan? Celah pada pagar sedang mereka manfaatkan.

"Pak Handaru! Bisa wawancara sebentar, Pak?!"

"Pak, lima menit saja, Pak!"

"Pak, apa benar kecelakaan Pak Haryadi berkaitan dengan kasus Benasaka?"

Kira-kira seperti itulah pertanyaan-pertanyaan yang wartawan teriakan. Namun Ndaru tidak menggubrisnya. Dia bergegas masuk ke dalam rumah dan suara lantunan doa mulai terdengar. Seketika langkahnya menjadi pelan. Tatapan Ndaru terpaku pada tengah ruangan. Pada sosok kakaknya yang terbujur kaku.

"Sudah datang, Mas?"

Suara itu membuat Ndaru menoleh. Dia menahan napas saat melihat pria tua yang memanggilnya. Pria itu adalah Harris Putra Atmadjiwo, ayahnya. Tampak memprihatinkan dengan mata sembabnya.

"Pa?" Ndaru mendekat dan memeluk pria itu. Sama-sama berusaha untuk menguatkan.

"Kakak kamu, Mas. Kok bisa ini terjadi?" bisik pria itu lagi kembali menangis.

"Maafin aku, Pa."

Ndaru tahu kata maafnya sangat ambigu. Yang pasti dia hanya ingin mengatakan itu sekarang. Dia sedang menyalahkan diri sendiri. Andai saja, andai saja Haryadi tidak berniat menemuinya di Surabaya, tentu kecelakaan maut itu tidak akan terjadi.

"Ngapain kamu ke sini?!" teriakan itu mengejutkan Ndaru.

Dia menatap kakak iparnya yang terlihat marah. Keadaannya sama seperti ayahnya, sangat memprihatinkan. Namun percayalah, Ndaru juga tak jauh berbeda.

"Ini semua gara-gara kamu!" Putri mendekat dan memukul dada Ndaru kencang. "Andai kamu nggak minta Mas Arya datang. Dia nggak akan pergi ninggalin Mbak!"

Meski begitu, Ndaru tidak merasakan sakit. Hatinya yang jauh lebih sakit.

"Putri. Sudah, Put." Sang mertua berusaha melerai.

"Put, kamu tenang dulu." Yanti, istri dari kakak Ndaru yang pertama datang berusaha menenangkan Putri. Dia mengangguk pada Ndaru sebentar sebelum membawa Putri pergi.

Kepergian Putri tidak membuat Ndaru tenang. Justru pikirannya semakin bebas menyalahkan dirinya sendiri. Ndaru membenci perasaan ini.

Lagi-lagi dia kehilangan dan itu karena dirinya.

"Bukan salah kamu." Tepukan pelan di bahu membuat Ndaru tersadar.

Adhiguna Amir Atmadjiwo, kakak pertamanya tengah berusaha untuk meringankan hatinya.

"Mbak Putri benar, Mas. Ini semua salah aku."

"Jangan seperti itu, Mas." Ayahnya seketika menolak gagasan itu.

"Sebaiknya kamu istirahat dulu. Kata Gilang kamu belum tidur dua hari," ujar Guna.

Ndaru menggeleng. "Aku mau liat Mas Arya."

Jika sudah begitu, maka tidak ada orang yang bisa menahan Ndaru. Melihat tubuh kaku Arya, air mata itu tak bisa lagi ditahan. Akhirnya tangis Ndaru pun kembali datang dalam diam.

Sungguh, dia tidak siap kehilangan.

***

Laptop yang menyala masih Shana abaikan. Mata dan telinganya aktif melihat dan mendengar berita yang ramai diperbincangkan. Yaitu proses Haryadi Atmadjiwo yang tengah dimakamkan. Dari gambar yang televisi tampilkan, Shana bisa melihat banyak orang yang datang.

Seketika Shana mendengkus. Haryadi tidak sebaik itu.

Dia kembali fokus pada laptopnya. Mencoba untuk menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda akhir-akhir ini.

"Almarhum Haryadi Atmadjiwo telah dimakamkan di komplek pemakaman keluarga Atmadjiwo. Lokasi makam almarhum berada sekitar tujuh meter dari makam sang ibu, Yuningsih Atmadjiwo."

Narasi dari anchor masih Shana dengarkan. Namun dia tidak terlalu peduli seperti sebelumya. Dia hanya tidak ingin tertinggal berita. Apa lagi mengenai Haryadi si Hakim gila.

Suara dering ponsel mengganggu konsentrasi Shana. Dia melihat nama Dito di sana. Anehnya tidak ada lagi rasa kesal di dada. Seketika dia ingin melihat kekasihnya.

"Halo?" sapa Shana.

"Aku di depan apartemen kamu, Sayang."

Senyum Shana merekah. Dengan cepat dia mengambil kartu aksesnya dan bergegas menyusul kekasihnya. Meski Dito menyebalkan, tetapi pria itu berhasil meluluhkan hati kerasnya.

"Tumben dateng malem-malem?" tanya Shana mengeratkan jaketnya.

"Aku kangen. Aku bawa nasi goreng kesukaan kamu."

Senyum Shana kembali terbit, tetapi dia berusaha menahannya.

"Ayo, masuk. Aku udah laper."

Dan betul, pada akhirnya Shana kembali memaafkan Dito.

***

Setelah proses pemakanan selesai, keluarga Atmadjiwo kembali ke kediaman Haryadi. Mereka akan berkumpul di sana untuk melakukan doa bersama selepas kepergian putra kedua dari Harris Atmadjiwo itu. Rasa sedih masih kental terasa. Keadaan rumah yang awalnya hangat berubah menjadi begitu dingin.

Apa lagi saat mendengar tangisan anak Arya yang mencari keberadaan ayahnya. Benar-benar memilukan.

"Biar aku tidurin anak-anak dulu." Yanti, sebagai menantu pertama merasa bertanggung jawab untuk mengurus anak-anak. Acara tahlilan juga telah selesai sejak 30 menit yang lalu.

Istri Arya juga sudah berada di kamar. Putri memilih untuk menyendiri. Orang-orang pun memaklumi. Tentu sakit kehilangan seorang suami.

"Rencana di Jakarta berapa hari, Mas?" tanya Harris pada Ndaru.

"Belum tau." Ndaru memang tidak bisa berpikir untuk saat ini. Dia melepas peci yang ia pakai dan mengusap keningnya pelan.

Lelah mulai ia rasakan.

"Gimana keadaan Juna?"

Seketika Ndaru menegakkan duduknya. Dia lupa dengan keadaan anaknya. Sudah seharian ini dia tidak mencari tahu kabarnya.

Ayah macam apa dirinya?

"Keadaan Mas Juna sudah membaik, Pak. Kata dokter, lusa Mas Juna sudah boleh pulang." Gilang datang dengan informasinya.

Ini yang Ndaru suka dari Gilang. Pria itu begitu tanggap dan cekatan sebagai asisten pribadinya.

"Kalau Mas Ndaru masih lama di sini, bawa Juna ke sini. Papa kangen," pinta Ayahnya.

Ndaru hanya mengangguk. Di ruang tengah ini keadaan tiba-tiba menjadi hening. Hanya ada Ndaru, Gilang, Guna, dan Ayah mereka di sini. Sanak saudara yang lain juga sudah kembali ke rumah masing-masing.

"Jadi gimana, Pa?" tanya Guna tiba-tiba. "Rencana akan berubah, kan?"

"Kita masih berkabung, Mas," tegur Ndaru.

"Kita nggak bisa menundanya lagi, Ndaru. Mumpung kamu di sini juga."

Terdengar helaan napas keluar dari bibir Harris. Baik Guna dan Ndaru pun mengalihkan pandangannya. Menatap pria yang paling mereka segani di keluarga.

"Mau tidak mau Mas Ndaru yang akan mengambil alih perusahaan."

"Pa?" Ndaru memijat pangkal hidungnya. Dia sudah mengira jika akan seperti ini jadinya.

"Nggak ada pilihan lain, Ndaru." Guna terdengar setuju.

"Kamu nggak bisa terus lari, Mas. Ketakutan kamu harus dilawan."

Ndaru sebenarnya setuju dengan ucapan ayahnya. Namun tetap saja sulit untuk dilakukan. Bukan tanpa alasan dia meninggalkan Jakarta dan pindah ke Surabaya. Bahkan masih berat rasanya bagi Ndaru datang ke tempat ini jika tidak ada kabar duka.

"Lupakan masa lalu. Hanya kamu harapan kami semua." Guna menepuk bahu Ndaru.

"Kita bisa percayakan ke tenaga profesional."

Tanpa diduga Harris tertawa. Tidak percaya dengan saran bodoh yang anaknya berikan.

"Kamu tau sejarah Atmadjiwo, Mas. Jangan sampai ada orang asing yang ikut mengatur bisnis kita."

Betul. Ndaru mengetahuinya. Namun dia hanya ingin melindungi dirinya.

"Aku harus tetap maju jadi anggota dewan, Ndaru. Sudah banyak dana yang kita keluarkan." Untuk kampanye dan partai tentu saja.

Itu lah alasan kenapa harus Ndaru yang mengurus perusahaan. Awalnya Guna yang mengurus induk perusahaan mereka. Namun pria itu mulai tertarik pada dunia politik dan memilih untuk terjun ke dalamnya.

Rencana awal, Arya yang akan menggantikan posisi Guna untuk memimpin kerajaan bisnis Atmadjiwo. Pria itu sudah setuju untuk berhenti menjadi hakim setelah kasus Benasaka selesai ia tangani. Namun takdir berkata lain. Pria itu meninggal karena kecelakaan maut.

Hanya satu nama yang bisa menjadi jalan keluar. Yaitu Handaru Gama Atmadjiwo. Si bungsu yang beberapa tahun terakhir ini sibuk mengasingkan diri.

"Tidak ada pilihan lain, Mas." Harris kembali meyakinkan. "Kondisi kita tidak memungkinkan dan Guna tidak bisa mundur begitu saja. Dia harus terus maju sampai bisa duduk di kursi senayan."

"Bagaimana dengan Mbak Yanti?"

Kali ini Guna yang tertawa. Ndaru terus memberikan saran konyol yang jelas ia ketahui sendiri sangat tidak mungkin dilakukan.

"Kamu, Mas. Cuma kamu. Kita hanya percaya sama kamu." Harris Atmadjiwo sudah memberi titah.

"Bagaimana menurut kamu, Lang?" tanya Ndaru pada asistennya.

Gilang berdeham sebentar. "Saya setuju dengan Pak Harris dan Pak Guna, Pak."

Ndaru mendengkus. Ternyata semua orang memang menginginkannya untuk kembali.

"Nanti aku pikirkan lagi." Ndaru berdiri diikuti oleh Gilang.

"Mau ke mana?" tanya Guna.

"Pulang."

"Ke apartemen, Mas? Kenapa nggak di sini aja?" Ayahnya tampak tidak senang. "Wartawan masih banyak di luar sana."

Ndaru menggeleng pelan. "Mbak Putri masih kurang nyaman liat aku di sini."

"Kalau gitu hati-hati. Jangan beri statement apa pun pada mereka," ingat Guna.

Ndaru mendengkus samar. Jangankan memberi pernyataan. Untuk berhenti saja dia malas melakukannya.

Ndaru butuh menenangkan diri. Karena sebentar lagi hidupnya tidak akan sama lagi.

***

TBC

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Duda Incaran Shana   127. Dari Hati

    Bagaimana dengan Putri? "Di mana Shana?" tanya Ndaru begitu melihat Bibi Lasmi membersihkan ruang tamu. "Bapak pulang?" Bibi Lasmi terkejut. "Ibuk di kamar, Pak." Tanpa menjawab, Ndaru kembali berjalan cepat. Dia naik ke lantai dua dan melihat Roro yang berdiri di depan kamar Shana. "Pa—" Ndaru mengabaikan Roro dan menggeser tubuhnya dari pintu. Tanpa mengetuk, Ndaru masuk ke dalam kamar Shana dan menutupnya rapat. Membuat si pemilik kamar terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. "Pak Ndaru?" Shana menatapnya bingung. Ndaru menatap wanita itu lekat. Melihat dari atas ke bawah dan kembali ke atas dengan pandangan lamat. Berharap menemukan titik yang tak biasa di matanya. "Kok Pak Ndaru pulang?" Ndaru menghela napas panjang dan berjalan mendekat. "Mbak Putri ke sini?" Shana tersenyum kecut. "Pasti Roro yang bilang." "Di mana dia?" "Sudah pulang." "Kenapa panggilan saya nggak diangkat?" Kening Shana berkerut dan mengambil ponselnya di atas nakas. "

  • Duda Incaran Shana   126. Rasa Malu

    Mengingat kejadian tadi pagi membuat senyum Shana kembali merekah. "Tuh, senyum-senyum lagi. Ibu kasmaran beneran, nih," goda Roro membuyarkan lamunan Shana. Shana berusaha untuk tenang. Dia merasa wajahanya memanas dan tentunya warna merah tak bisa lagi terhindarkan. Sial! Apa benar dia kasmaran? Telepon rumah berbunyi, membuat Roro dengan sigap mengangkatnya. Setelah mendengar ucapan seseorang di seberang sana, Roro menatap Shana lekat. "Siapa?" tanya Shana bingung. "Bu Putri, Bu. Bu Putri ada di depan." Shana menahan napasnya. Dia meletakkan tepung di tangannya dengan wajah kaku. "Minta dia masuk." Dengan cepat Roro menggeleng. "Nggak bisa, Bu. Bapak bilang Ibu nggak boleh keluar dan tidak boleh dikunjungi. Oleh siapa pun itu, termasuk keluarga Bapak." "Nggak apa-apa, Ro. Saya aman, ini di rumah saya sendiri." "Saya mohon jangan buat posisi saya sulit lagi, Bu. Ini hari pertama saya masuk." Roro memohon. "Benar, Bu. Jangan buat Bapak marah. Saya n

  • Duda Incaran Shana   125. Penjara Istana

    Senyum Shana merekah. Dia tertawa begitu menyadari kebodohannya. Dia terkekeh saat tak sengaja menjatuhkan satu butir telur. Membuat Bibi Lasmi menggelengkan kepalanya sabar. "Kalau gini rasanya kayak saya ngajarin Mas Juna, Bu. Untung Mas Juna di sekolah." Shana kembali tertawa. Tak merasa tersinggung dengan ucapan Bibi Lasmi. Saat ini dia memang berada di dapur, membantu Bibi Lasmi atau lebih tepatnya mengganggu wanita itu yang tengah membuat kue. Entah kenapa Shana menginginkan makanan manis pagi tadi. Dia pernah dengar dari Suster Nur jika kue buatan Bibi Lasmi itu enak. Oleh karena itu dia meminta wanita itu untuk membuatnya. Kini, Shana berinisiatif untuk ikut membantu, meski perannya sebenarnya tak dibutuhkan. Memang benar jika Shana bisa memasak. Hanya saja untuk kue adalah pengecualian. "Kayaknya Ibu bahagia banget hari ini," ucap wanita yang tengah duduk di meja makan. Shana menoleh dan tersenyum. Sedikit menahannya agar senyum itu tak terlalu ketara. "Ya,

  • Duda Incaran Shana   124. Menyusun Rencana

    Keadaan ruang kerja itu tampak menegangkan. Hanya ada dua orang, tetapi keduanya sama-sama sibuk dengan pikiran. Semuanya demi kekuasaan. Yang akan memberi banyak keuntungan di masa depan. "Kenapa kamu nggak libatkan media di rencana kamu itu?" tanya salah satu pria. "Bukannya bagus kalau Shana menjadi tersangka karena sudah membunuh Arya?" "Jangan gegabah, Mas," balas pria satunya. "Kamu takut akan terdampak karena pemilu sudah dekat?" Jelas. Namun dia tidak bisa mengatakannya dengan lepas. "Nanti Mas juga bisa terdampak." "Dampak baik, kan? Atmadjiwo hancur dan saya yang menang. Calon presiden saya terpilih dan proyek IKN jadi milik saya." Lagi-lagi pria satunya menghela napas panjang. Selama ini dia melakukan pekerjaannya dengan baik. Namun akhir-akhir ini rekannya itu sangat terburu-buru tanpa berpikir panjang. Akhirnya dia yang dibuat repot dengan drama-drama yang ada. "Mas nggak perlu khawatir. Saya jamin Mas yang akan menang nanti. Sekarang keluarga Atmadjiw

  • Duda Incaran Shana   123. Pasangan Halal

    "Dingin, Pak." Shana meringis saat tubuhnya sudah benar-benar masuk. "Pak Ndaru nggak kedinginan?" tanyanya tak percaya. "Bukannya kamu suka dingin?" "Yang ini dinginnya beda." Shana mengusap wajahnya dan mendekatkan diri pada Ndaru, berharap bisa mendapatkan sedikit kehangatan di sana. Dengan tanggap, Ndaru meraih tubuh Shana. Memeluk pinggang wanita itu dan menariknya mendekat hingga tubuh keduanya bersentuhan. "Masih dingin?" tanya Ndaru tersenyum tipis melihat wajah linglung Shana. Shana menggeleng. "Anget... dikit." Senyum Ndaru melebar, memperlihatkan giginya. Tembok yang sempat ia buat tadi seketika hancur. Ternyata dia memang tak bisa mengabaikan Shana. Wanita itu terlalu luar biasa utuk diabaikan. "Pak Ndaru sering berenang pagi-pagi kayak gini?" tanya Shana menumpukan kedua tangannya di dada Ndaru. "Nggak selalu, tapi kalau ada waktu pasti saya sempatkan." "Saya nggak suka berenang," curhat Shana. "Kenapa?" Tangan Ndaru terangkat menyingkirkan anak ra

  • Duda Incaran Shana   122. Pagi Buta

    Manusia memang hanya bisa meminta. Tanpa peduli dengan keegoisan di kepala. Tanpa peduli dengan akibat yang akan diterima. Intinya, manusia hanya ingin apa yang ia mau benar terlaksana. Semua orang menyadari sikap jelek itu. Namun tetap keras kepala tanpa tahu malu. Waktu terus berjalan tanpa penghalang. Dari gelap menjadi terang. Dari langit berbintang menjadi langit yang benderang. Lalu juga dari malam yang tegang menjadi tenang. Begadang. Kegiatan yang tak banyak orang sukai. Namun untuk kasus dua sejoli, terasa candu untuk dilakukan lagi. Shana dan Ndaru melalui malam indah mereka dengan senang hati. Jika bisa, bahkan ingin melakukannya kembali. Mereka memang bukan pengantin baru, tetapi mereka baru memasuki babak baru. Mata Shana terbuka. Menyadari jika keadaan kamar masih gelap gulita. Cahaya luar juga masih belum ada. Membuktikan bahwa pagi belum tiba. Kepalanya menoleh ke samping, berniat melihat sosok pria yang mengenalkan sensasi nikmat padanya. Namun Sha

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status