Kediaman Haryadi tampak ramai hari ini. Penjagaan ketat harus terus diawasi. Banyaknya wartawan yang meliput membuat keadaan semakin tak terkendali. Apa lagi ketika mobil Ndaru mulai mendekati. Seketika riuh pun sulit diatasi.
Haryadi bukan hanya seorang hakim yang luar biasa, tetapi juga berasal dari keluarga yang tak biasa. Kepergiannya tentu menimbulkan kehebohan nyata. Yang tentu akan dimanfaatkan banyak orang untuk mencari muka. Mobil yang membawa Ndaru mulai memasuki kediaman Haryadi. Dia menatap para wartawan yang berkumpul di depan pagar dengan seksama. Ndaru tahu jika kakaknya memang orang hebat, tetapi dia tidak tahu jika akan seramai ini. Sepanjang perjalanan menuju rumah, sudah berapa kali Ndaru melihat kiriman karangan bunga. Entah dari siapa saja. "Pemakaman Pak Arya akan dilakukan nanti sore, Pak. Bapak bisa masuk sekarang untuk melihat Pak Arya yang terakhir kalinya dan bertemu keluarga Bapak." Ndaru masih bergeming. Dia menunduk lalu menarik napas dalam. Berusaha menguatkan diri sebelum masuk ke dalam rumah yang sudah ramai dengan sanak saudara. Jujur, Ndaru belum siap. "Pak?" Gilang terlihat khawatir. "Saya masuk dulu." Setelah itu Ndaru benar-benar turun dari mobil. Seketika suara teriakan serta cahaya kamera langsung tertuju padanya. Dari mana lagi jika bukan berasal dari para wartawan? Celah pada pagar sedang mereka manfaatkan. "Pak Handaru! Bisa wawancara sebentar, Pak?!" "Pak, lima menit saja, Pak!" "Pak, apa benar kecelakaan Pak Haryadi berkaitan dengan kasus Benasaka?" Kira-kira seperti itulah pertanyaan-pertanyaan yang wartawan teriakan. Namun Ndaru tidak menggubrisnya. Dia bergegas masuk ke dalam rumah dan suara lantunan doa mulai terdengar. Seketika langkahnya menjadi pelan. Tatapan Ndaru terpaku pada tengah ruangan. Pada sosok kakaknya yang terbujur kaku. "Sudah datang, Mas?" Suara itu membuat Ndaru menoleh. Dia menahan napas saat melihat pria tua yang memanggilnya. Pria itu adalah Harris Putra Atmadjiwo, ayahnya. Tampak memprihatinkan dengan mata sembabnya. "Pa?" Ndaru mendekat dan memeluk pria itu. Sama-sama berusaha untuk menguatkan. "Kakak kamu, Mas. Kok bisa ini terjadi?" bisik pria itu lagi kembali menangis. "Maafin aku, Pa." Ndaru tahu kata maafnya sangat ambigu. Yang pasti dia hanya ingin mengatakan itu sekarang. Dia sedang menyalahkan diri sendiri. Andai saja, andai saja Haryadi tidak berniat menemuinya di Surabaya, tentu kecelakaan maut itu tidak akan terjadi. "Ngapain kamu ke sini?!" teriakan itu mengejutkan Ndaru. Dia menatap kakak iparnya yang terlihat marah. Keadaannya sama seperti ayahnya, sangat memprihatinkan. Namun percayalah, Ndaru juga tak jauh berbeda. "Ini semua gara-gara kamu!" Putri mendekat dan memukul dada Ndaru kencang. "Andai kamu nggak minta Mas Arya datang. Dia nggak akan pergi ninggalin Mbak!" Meski begitu, Ndaru tidak merasakan sakit. Hatinya yang jauh lebih sakit. "Putri. Sudah, Put." Sang mertua berusaha melerai. "Put, kamu tenang dulu." Yanti, istri dari kakak Ndaru yang pertama datang berusaha menenangkan Putri. Dia mengangguk pada Ndaru sebentar sebelum membawa Putri pergi. Kepergian Putri tidak membuat Ndaru tenang. Justru pikirannya semakin bebas menyalahkan dirinya sendiri. Ndaru membenci perasaan ini. Lagi-lagi dia kehilangan dan itu karena dirinya. "Bukan salah kamu." Tepukan pelan di bahu membuat Ndaru tersadar. Adhiguna Amir Atmadjiwo, kakak pertamanya tengah berusaha untuk meringankan hatinya. "Mbak Putri benar, Mas. Ini semua salah aku." "Jangan seperti itu, Mas." Ayahnya seketika menolak gagasan itu. "Sebaiknya kamu istirahat dulu. Kata Gilang kamu belum tidur dua hari," ujar Guna. Ndaru menggeleng. "Aku mau liat Mas Arya." Jika sudah begitu, maka tidak ada orang yang bisa menahan Ndaru. Melihat tubuh kaku Arya, air mata itu tak bisa lagi ditahan. Akhirnya tangis Ndaru pun kembali datang dalam diam. Sungguh, dia tidak siap kehilangan. *** Laptop yang menyala masih Shana abaikan. Mata dan telinganya aktif melihat dan mendengar berita yang ramai diperbincangkan. Yaitu proses Haryadi Atmadjiwo yang tengah dimakamkan. Dari gambar yang televisi tampilkan, Shana bisa melihat banyak orang yang datang. Seketika Shana mendengkus. Haryadi tidak sebaik itu. Dia kembali fokus pada laptopnya. Mencoba untuk menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda akhir-akhir ini. "Almarhum Haryadi Atmadjiwo telah dimakamkan di komplek pemakaman keluarga Atmadjiwo. Lokasi makam almarhum berada sekitar tujuh meter dari makam sang ibu, Yuningsih Atmadjiwo." Narasi dari anchor masih Shana dengarkan. Namun dia tidak terlalu peduli seperti sebelumya. Dia hanya tidak ingin tertinggal berita. Apa lagi mengenai Haryadi si Hakim gila. Suara dering ponsel mengganggu konsentrasi Shana. Dia melihat nama Dito di sana. Anehnya tidak ada lagi rasa kesal di dada. Seketika dia ingin melihat kekasihnya. "Halo?" sapa Shana. "Aku di depan apartemen kamu, Sayang." Senyum Shana merekah. Dengan cepat dia mengambil kartu aksesnya dan bergegas menyusul kekasihnya. Meski Dito menyebalkan, tetapi pria itu berhasil meluluhkan hati kerasnya. "Tumben dateng malem-malem?" tanya Shana mengeratkan jaketnya. "Aku kangen. Aku bawa nasi goreng kesukaan kamu." Senyum Shana kembali terbit, tetapi dia berusaha menahannya. "Ayo, masuk. Aku udah laper." Dan betul, pada akhirnya Shana kembali memaafkan Dito. *** Setelah proses pemakanan selesai, keluarga Atmadjiwo kembali ke kediaman Haryadi. Mereka akan berkumpul di sana untuk melakukan doa bersama selepas kepergian putra kedua dari Harris Atmadjiwo itu. Rasa sedih masih kental terasa. Keadaan rumah yang awalnya hangat berubah menjadi begitu dingin. Apa lagi saat mendengar tangisan anak Arya yang mencari keberadaan ayahnya. Benar-benar memilukan. "Biar aku tidurin anak-anak dulu." Yanti, sebagai menantu pertama merasa bertanggung jawab untuk mengurus anak-anak. Acara tahlilan juga telah selesai sejak 30 menit yang lalu. Istri Arya juga sudah berada di kamar. Putri memilih untuk menyendiri. Orang-orang pun memaklumi. Tentu sakit kehilangan seorang suami. "Rencana di Jakarta berapa hari, Mas?" tanya Harris pada Ndaru. "Belum tau." Ndaru memang tidak bisa berpikir untuk saat ini. Dia melepas peci yang ia pakai dan mengusap keningnya pelan. Lelah mulai ia rasakan. "Gimana keadaan Juna?" Seketika Ndaru menegakkan duduknya. Dia lupa dengan keadaan anaknya. Sudah seharian ini dia tidak mencari tahu kabarnya. Ayah macam apa dirinya? "Keadaan Mas Juna sudah membaik, Pak. Kata dokter, lusa Mas Juna sudah boleh pulang." Gilang datang dengan informasinya. Ini yang Ndaru suka dari Gilang. Pria itu begitu tanggap dan cekatan sebagai asisten pribadinya. "Kalau Mas Ndaru masih lama di sini, bawa Juna ke sini. Papa kangen," pinta Ayahnya. Ndaru hanya mengangguk. Di ruang tengah ini keadaan tiba-tiba menjadi hening. Hanya ada Ndaru, Gilang, Guna, dan Ayah mereka di sini. Sanak saudara yang lain juga sudah kembali ke rumah masing-masing. "Jadi gimana, Pa?" tanya Guna tiba-tiba. "Rencana akan berubah, kan?" "Kita masih berkabung, Mas," tegur Ndaru. "Kita nggak bisa menundanya lagi, Ndaru. Mumpung kamu di sini juga." Terdengar helaan napas keluar dari bibir Harris. Baik Guna dan Ndaru pun mengalihkan pandangannya. Menatap pria yang paling mereka segani di keluarga. "Mau tidak mau Mas Ndaru yang akan mengambil alih perusahaan." "Pa?" Ndaru memijat pangkal hidungnya. Dia sudah mengira jika akan seperti ini jadinya. "Nggak ada pilihan lain, Ndaru." Guna terdengar setuju. "Kamu nggak bisa terus lari, Mas. Ketakutan kamu harus dilawan." Ndaru sebenarnya setuju dengan ucapan ayahnya. Namun tetap saja sulit untuk dilakukan. Bukan tanpa alasan dia meninggalkan Jakarta dan pindah ke Surabaya. Bahkan masih berat rasanya bagi Ndaru datang ke tempat ini jika tidak ada kabar duka. "Lupakan masa lalu. Hanya kamu harapan kami semua." Guna menepuk bahu Ndaru. "Kita bisa percayakan ke tenaga profesional." Tanpa diduga Harris tertawa. Tidak percaya dengan saran bodoh yang anaknya berikan. "Kamu tau sejarah Atmadjiwo, Mas. Jangan sampai ada orang asing yang ikut mengatur bisnis kita." Betul. Ndaru mengetahuinya. Namun dia hanya ingin melindungi dirinya. "Aku harus tetap maju jadi anggota dewan, Ndaru. Sudah banyak dana yang kita keluarkan." Untuk kampanye dan partai tentu saja. Itu lah alasan kenapa harus Ndaru yang mengurus perusahaan. Awalnya Guna yang mengurus induk perusahaan mereka. Namun pria itu mulai tertarik pada dunia politik dan memilih untuk terjun ke dalamnya. Rencana awal, Arya yang akan menggantikan posisi Guna untuk memimpin kerajaan bisnis Atmadjiwo. Pria itu sudah setuju untuk berhenti menjadi hakim setelah kasus Benasaka selesai ia tangani. Namun takdir berkata lain. Pria itu meninggal karena kecelakaan maut. Hanya satu nama yang bisa menjadi jalan keluar. Yaitu Handaru Gama Atmadjiwo. Si bungsu yang beberapa tahun terakhir ini sibuk mengasingkan diri. "Tidak ada pilihan lain, Mas." Harris kembali meyakinkan. "Kondisi kita tidak memungkinkan dan Guna tidak bisa mundur begitu saja. Dia harus terus maju sampai bisa duduk di kursi senayan." "Bagaimana dengan Mbak Yanti?" Kali ini Guna yang tertawa. Ndaru terus memberikan saran konyol yang jelas ia ketahui sendiri sangat tidak mungkin dilakukan. "Kamu, Mas. Cuma kamu. Kita hanya percaya sama kamu." Harris Atmadjiwo sudah memberi titah. "Bagaimana menurut kamu, Lang?" tanya Ndaru pada asistennya. Gilang berdeham sebentar. "Saya setuju dengan Pak Harris dan Pak Guna, Pak." Ndaru mendengkus. Ternyata semua orang memang menginginkannya untuk kembali. "Nanti aku pikirkan lagi." Ndaru berdiri diikuti oleh Gilang. "Mau ke mana?" tanya Guna. "Pulang." "Ke apartemen, Mas? Kenapa nggak di sini aja?" Ayahnya tampak tidak senang. "Wartawan masih banyak di luar sana." Ndaru menggeleng pelan. "Mbak Putri masih kurang nyaman liat aku di sini." "Kalau gitu hati-hati. Jangan beri statement apa pun pada mereka," ingat Guna. Ndaru mendengkus samar. Jangankan memberi pernyataan. Untuk berhenti saja dia malas melakukannya. Ndaru butuh menenangkan diri. Karena sebentar lagi hidupnya tidak akan sama lagi. *** TBCTepat di pinggir sebuah danau, terdapat keramaian yang mencuri perhatian. Banyak anak-anak berlarian, para wanita sibuk dengan pergosipan, dan para pria yang sibuk dengan daging yang dipanggang. Namun ada hal lain yang lebih menarik perhatian. Harris Atmadjiwo. Pria itu tampak serius mengajari bayi untuk belajar berdiri. Bayi itu adalah Kanaya, anak kedua dari Putra bungsunya. Anak dari menantu yang dulu tak pernah ia anggap ada. "Ayo, Naya. Berdiri." Harris tampak bersemangat. Dia terkekeh begitu Naya kembali jatuh di rerumputan hijau. "Nggak apa-apa. Ayo, dicoba lagi. Nanti biar bisa main kejar-kejaran sama Mas Juna dan Mas Satria." Dari jauh, aksi Harris menjadi perbincangan para wanita. Mereka tampak duduk santai di gazebo dengan teh hangat di tangan. "Lihat, Papa." Yanti menunjuk Harris dengan dagunya. Shana terkekeh. "Tau gini, dari dulu aku suap pake bayi lucu." "Papa memang suka anak-anak," sahut Putri. "Oh, ya. Gimana sama Rama? Dia beneran mau kenalan sam
Hari yang Shana tunggu-tunggu akhirnya tiba. Hari di mana film-nya akan tayang segera. Semua kesulitan dan prahara yang menimpa selama produksi seolah terbayar sudah. Rasa puas dan bangga pada diri sendiri pun menggetarkan semangat jiwa. Bisa dibilang film kedua Shana ini menguras tenaga dan pikiran. Mulai dari masalah Dito hingga masalah keluarganya ikut berperan. Shana bersyukur jika produksi film masih bisa dijalankan. Sampai akhirnya hari yang ditunggu-tunggu pun sudah melambaikan tangan. Kilat cahaya kamera mulai menyerang begitu Shana tiba. Tidak sendiri, dia datang bersama suami dan anaknya. Untuk pertama kalinya Ndaru mendampingi di acara istrinya. Selama ini Shana yang selalu menemani Ndaru. Namun khusus malam ini, di hari istimewa Shana, Ndaru siap sedia di sisinya. Menyisihkan segala kesibukannya di kantor untuk sang ratu hatinya. "Mbak Shana gimana perasaannya, Mbak?" tanya salah satu wartawan. "Seneng banget!" Shana memberikan senyum lebarnya. "Nggak sabar nonto
Suara benda jatuh membuat mata indah itu terbuka. Cahaya terang pun langsung menerpa. Sebenarnya lampu kamar belum menyala sepenuhnya. Hanya saja cahaya yang ada belum membuat matanya terbiasa. Shana menoleh pada sumber suara. Di sana seorang pria tampak berjongkok untuk mengambil sesuatu. Setelah itu pria itu menoleh padanya dan tersenyum tipis. "Maaf," ujarnya mendekat. "Jadi ganggu tidur kamu." Shana menggeleng dan merenggangkan tubuhnya. Dia mengeratkan selimut yang menutupi tubuh polosnya untuk menghalau rasa dingin. Dia tidak bohong, pagi ini memang terasa dingin. "Jam berapa?" tanya Shana mencari keberadaan ponselnya. "Setengah enam." Ah, pantas saja Ndaru sudah siap. Hari memang sudah pagi. Matahari pun juga sudah bekerja sedari tadi. "Lanjut tidur aja." Ndaru yang sudah berdiri di sisi kasur mengusap kepala istrinya. Shana menggeleng dan mulai tersenyum manis. "Selamat pagi, Mas." Ndaru membalasnya dengan senyuman yang tak kalah manis. Pemandangan indah
Hari ini Ndaru mengambil cuti setengah hari. Bukan untuk keluarga, melainkan ia akan hadir dalam pelantikan presiden. Sebagai wajah pengusaha yang peduli akan politik, dia harus menampakkan diri. Mewakili ayahnya yang memilih untuk bermain di belakang layar dan menikmati masa purnanya. Jalanan hari ini pasti akan penuh dengan para pendukung. Tentu kemacetan akan ikut mengurung. Oleh karena itu, Ndaru memilih untuk cepat bangun. Bersiap di kala langit masih gelap dan mendung. Ndaru masih sibuk bersiap, sedangkan Shana sibuk dengan masakan. Secara mendadak, Bibi Lasmi izin pulang kampung semalam. Dengan alasan cucunya yang berada di pondok pesantren sakit. Yang membuatnya khawatir dan memilih untuk pulang. Tak masalah bagi Shana dan Ndaru, toh Bibi Lasmi hanya izin satu hari. "Dasinya yang mana?" Ndaru muncul ke dapur dengan dua dasi di tangannya. Warnanya sama tetapi dengan motif yang berbeda. "Yang garis aja," ujar Shana kembali fokus memasak. Dia tengah membuat nasi go
Seruan lagu ulang tahun mulai menggema. Tepukan tangan juga ikut menyerta. Tak lupa dengan kue ulang tahun yang tinggi bak menara. Menandakan jika yang merayakan bukanlah orang biasa. Harris Atmadjiwo tengah berulang tahun hari ini. Usianya tepat menginjak 70 tahun. Meski sudah lanjut usia, tak membuatnya lupa untuk merayakan. Bersama teman dan keluarga, dia mengadakan pesta. Cukup besar tetapi diadakan secara intim. "Selamat ulang tahun, Pak Harris. Semoga panjang umur, sehat selalu, sukses selalu, semua doa yang terbaik buat Bapak." Salah satu ucapan yang terdengar jelas di telinga. Begitu banyak ucapan yang terlontar malam ini. Terdengar klasik, tetapi semuanya terucap dari bibir orang-orang penting. Lalu Shana Arkadewi juga hadir di sana. Sebagai pendamping dari anak bungsu tercinta. Jika bukan karena suaminya, mungkin dia tidak akan hadir di sana, berada di tengah orang-orang yang bergelimang harta. Ayo lah, meski hidup Shana tidak kekurangan, tetap saja dia merasa ada
Akhirnya hari ini tiba, hari di mana Erina akan melepas masa lajangnya. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya ia juga mendapatkan kebahagiaannya. Bukan tanpa alasan Erina mendunda. Dulu, dia harus fokus pada Shana. Jujur saja, apa yang dialami Shana cukup membuatnya sakit kepala. Mulai dari skandal yang ada, pernikahan kontraknya, yang kemudian berakhir dengan terbongkarnya tersangka utama penghancur keluarga mereka. Namun Erina tak menyesalinya. Semua itu tak berakhir sia-sia. Secara perlahan, satu-persatu dari mereka mendapatkan kebahagiannya. Dengan balutan kebaya bewarna merah hati, Shana tampak jauh kebih menawan. Kulitnya yang bersih tampak kontras dengan warna kebayanya. Tak lupa juga dengan rambut panjangnya yang digulung sederhana tetapi tetap terkesan mewah. Intinya, aura kecantikan Shana Arkadewi benar-benar terpancar. "Di mana jam tangan saya?" tanya Ndaru membongkar isi kopernya. "Ada di sana. Semalam udah saya masukin," jawab Shana masih fokus dengan lensa ma