Suara gemercik air mengalun indah di telinga. Menggetarkan hati yang merindukan ketenangan jiwa. Aroma air hujan juga ikut menyapa. Membuat mata indah itu akhirnya terbuka. Lengkap dengan senyuman manis di muka.
Shana menyukai ketenangan. Dia juga menyukai aroma hujan. Di saat seperti ini dia bisa bekerja dengan nyaman. Namun sayang, seseorang tiba-tiba datang menghancurkan. "Sayang?" sapa seorang pria yang datang dengan napas terengah. Shana hanya meliriknya sekilas. Dia membenarkan letak kacamatanya dan kembali fokus pada laptop yang menyala. Pemandangan yang jauh lebih menarik. "Aku minta maaf." Lagi. Entah sudah berapa kali Shana mendengar kalimat itu keluar dari mulut kekasihnya. Sudah berkali-kali juga dia memaafkannya. Namun untuk kali ini, jangan harap ia akan diam saja. Gadis itu tidak akan memberikan maafnya secara cuma-cuma. "Jangan diemin aku, dong." Pria itu mulai memohon. "Alasan kamu telat kali ini apa lagi?" tanya Shana tanpa menatap pria di hadapannya. "Aku habis meeting sama produser," jelas Dito. Shana mengalihkan pandangannya dari laptop. Dia menatap kekasihnya dengan lekat. Mencoba menemukan celah kebohongan. Namun hanya wajah sedih yang ia tangkap. Bukannya kasihan, Shana malah mendengkus keras. Sepertinya Dito juga cocok menjadi seorang aktor. "Tanpa Kiki?" Shana menaikkan sebelah alisnya. Perubahan raut wajah Dito membuktikan kebohongannya. Shana tersenyum masam. "Asisten kamu itu di rumah, lagi maraton nonton N*****x. Dan setau aku, kamu juga belum ada proyek film baru." "Maaf." Kalimat itu lagi. "Sayang, maaf kalau aku bohong." Dito terlihat frustrasi. "Oke, aku jujur. Aku habis dari rumah Jodi tadi. Dia galau habis diputusin Tesa." "Terus, kalau yang semalam nggak dateng alasannya apa?" "Ah, untuk semalam!" Dito teringat dan mengeluarkan sesuatu dari tas yang ia bawa. Sebuah kotak berwarna merah yang indah. "Selamat ulang tahun, Sayang." Shana menerima kotak itu tanpa ekspresi. Tidak ada rasa senang di hatinya saat menerima hadiah dari kekasihnya. Jujur, Shana tidak berharap apa-apa lagi dari Dito. Pria itu sudah terlalu banyak mengecewakannya. "Kamu tau aku nggak butuh hadiah, Dito." Dito menarik tangan Shana dan menggenggamnya erat. "Aku tau, Sayang. Aku benar-benar minta maaf nggak bisa dateng semalam." "Karena Jodi lagi?" Dito meringis, "Ya, dia mabuk dan bikin ulah. Aku harus jemput dia." "Aku masak makanan kesukaan kamu semalam." Shana meletakkan hadiah pemberian Dito. Tidak berniat untuk membukanya. "Dan aku harus buang semuanya." "Sayang—" "Kemarin hari ulang tahun aku, Dito. Bisa-bisanya kamu nggak ada di samping aku?" Dito menunduk dalam, tak lupa dengan wajah sedihnya. Sekali lagi, Shana tidak akan tertipu lagi. Kesabarannya sudah benar-benar habis. Semalam adalah momen penting dalam hidupnya. Dia berulang tahun yang ke-26. Bukan pesta besar karena Shana hanya mengundang Kakaknya dan Dito untuk makan malam di apartemennya. Namun pria yang seharusnya ada di momen penting itu mendadak hilang tanpa kabar. Shana harus menahan malu di depan Erina, Kakaknya. Sampai sekarang pun Shana masih kesal dibuatnya. "Bisa kamu maafin aku? Aku nggak mau kita bertengkar, Shana." "Kamu yang mulai." Shana mendengkus. "Aku sudah minta maaf." Dito masih menggenggam tangan Shana. "Hari ini aku free. Kamu mau apa? Belanja?" "Aku mau kamu pergi." Shana menarik tangannya cepat. "Sayang, jangan gini, dong." "Aku lagi nggak mau ngapa-ngapain, Dito. Aku masih kesel sama kamu. Mending kamu pergi. Aku harus lanjut nulis lagi." Dito menarik napas dalam dan menghembuskannya kasar. "Oke, aku pergi." Dito mengangkat tangannya pasrah. "Telepon aku kalau kamu sudah nggak marah." Shana menatap kepergian Dito dengan datar. Setelah pria itu pergi, dia kembali mendapatkan ketenangan. Entah kenapa melihat Dito hanya membuatnya kesal. Pria itu sudah banyak melakukan kesalahan yang membuat Shana mulai muak. "Mbak Shana, kopinya, Mbak." Shana tersenyum tipis. "Kok lama, Yu?" Ayu, salah satu karyawan di kafe itu meringis. "Takut ganggu Mbak Shana sama Mas Dito. Kayaknya lagi tegang." Shana tersenyum tipis. "Biasa lah." "Oh, iya." Ayu mengeluarkan sesuatu dari kantong apron-nya. "Selamat ulang tahun, Mbak." Berbeda saat bersama Dito tadi, Shana menerima kado Ayu dengan senyuman manis. "Makasih, Yu. Kok repot-repot, sih?" "Nggak repot sama sekali, Mbak." "Aku buka, boleh?" tanya Shana. Mendapat izin dari Ayu, akhirnya Shana membuka kado itu. Matanya membulat melihat earbuds yang Ayu beri. "Yu, ini kan mahal?" Shana merasa tidak enak. "Nggak ada apa-apanya sama kebaikan Mbak Shana selama ini. Lagian ini yang versi murah." Ayu tertawa. "Suaranya jernih, kok. Aku sendiri juga pake. Mbak Shana harus mengikuti perkembangan teknologi. Jangan pake yang kabel terus." Shana tertawa dan mengangguk mantap. "Makasih, ya. Pasti aku pake." "Biar Mbak Shana juga bisa konsentrasi nulis kalau lagi rame. Atau bisa dipake pas Mas Dito lagi mohon-mohon minta maaf kayak tadi." Celetukan Ayu kembali membuat Shana tertawa. "Sekali lagi, makasih, ya." "Sama-sama, Mbak. Kalau gitu aku kerja lagi." Begitu Ayu pergi, Shana tidak bisa kembali fokus pada laptopnya. Sekarang berganti Bagas, manager kafe yang menghampirinya. "Gimana, Mbak? Mau diganti susunya?" tanya Bagas. Shana menepuk keningnya pelan. "Gue lupa tanya." Bagas berdecak. "Stok tinggal sedikit, loh, Mbak. Udah harus pesen lagi. Mau pake yang lama atau baru? Salesnya udah tanyain terus." "Nanti gue tanyain Mbak Erina dulu." "Pake yang baru aja, Mbak. Harganya oke, tuh." Shana menggeleng. "Rasa juga penting, Gas." "Ya udah, nanti tanyain Chef Erina. Jangan sampe lupa." Shana mengangguk. Meskipun dia adalah pemilik kafe, tetapi dia tidak begitu paham dengan pemilihan produk untuk makanan. Oleh, karena itu dia harus bertanya pada Erina, Kakaknya yang merupakan seorang koki. Begitu Bagas pergi, Shana benar-benar bebas. Dia kembali fokus pada laptopnya dan mulai berkonsentrasi. Butuh beberapa menit untuknya mengembalikan suasana hati. Beruntung Shana bisa melakukannya. Jika tidak bisa, dapat dipastikan dia tidak akan menghasilkan apa-apa hari ini. Menjadi penulis memang terdengar mudah, tetapi percaya lah. Masalah utamanya adalah pada diri sendiri. Jika keadaan diri sendiri tidak baik, maka jangan harap tulisan yang dihasilkan akan menarik. "Breaking News." "Pemirsa, baru saja kami menerima informasi dari lapangan bahwa Haryadi Atmadjiwo, Hakim yang menangani kasus Korupsi Proyek Benasaka terlibat kecelakaan beruntun. Kecelakaan tersebut menewaskan dirinya, beserta supir pribadinya. Hingga saat ini, informasi yang kami dapat korban meninggal dunia sebanyak dua orang dan delapan orang lainnya mengalami luka-luka. Para korban akan—" Gerakan jari tangan Shana di atas laptop terhenti. Dengan cepat dia menatap televisi yang tersedia di ruang kerjanya. Berita kecelakaan itu membuatnya seketika terdiam. Rasa terkejut itu membuatnya tak bisa berkata-kata. "Haryadi," gumam Shana. "Dia meninggal," lanjutnya dengan tangan bergetar. *** Semua tampak tergesa. Akibat dari berita menggemparkan yang ada. Sesak di dada semakin terasa. Ketika rasa bersalah mulai menerpa. Langkah kaki Ndaru tampak begitu lebar. Sesekali dia melirik jam tangan untuk memastikan. Gilang, asisten pribadinya berkata jika pesawat pribadi telah tiba. Bertujuan untuk membawanya ke Ibu kota. Seharusnya pesawat itu datang untuk mengantar Arya menemuinya. Namun siapa sangka justru Ndaru yang harus datang ke pemakamannya. Haryadi Djanu Atmadjiwo, hakim yang dikenal publik karena banyak menangani kasus besar itu adalah kakaknya. Ia meninggal saat perjalanan ke bandara. Yang ingin menemuinya karena masalah yang tak seberapa. Ndaru benar-benar menyesal. Namun dalam keadaan seperti ini dia tidak bisa tumbang. Meski matanya memerah karena tangisan, dia harus tetap tegar. Beruntung kacamata hitam berhasil menutupi semuanya. "Pak Ndaru?" panggil Gilang. "Sudah siap semuanya?" "Sudah, Pak. Tapi kita harus lewat pintu lain. Wartawan lokal sudah ramai ingin meliput Bapak." "Kalau gitu kita lewat pintu lain." "Ikuti saya, Pak." Gilang pun berjalan lebih dulu, ditemani dua petugas bandara yang mengantarnya. Tidak sulit untuknya mendapatkan keistimewaan. Hanya dengan menyebut nama Handaru Gama Atmadjiwo maka semua akan tersedia dalam sekali jentikan. Begitu berhasil masuk ke dalam pesawat, Ndaru melepas kacamatanya. Tangan kanannya bergerak untuk memijat keningnya serta tangan kiri yang melepas dua kancing teratas kemejanya. Rasanya begitu sesak. Membuatnya tak kuasa kembali meneteskan air mata. "Pak Ndaru bisa istirahat selama perjalanan," ucap Gilang. "Bagaimana saya bisa istirahat, Lang? Kakak saya meninggal." Ndaru menarik napas dalam. "Dan itu karena saya." "Bukan salah Bapak." Ndaru memilih untuk menyandarkan kepalanya. Dia merasakan pesawat sudah mulai terbang. Matanya terpejam erat untuk mengenyahkan rasa pusing yang melayang. Jujur, sudah hampir dua hari dia tidak memejamkan mata. "Gimana Mas Juna nanti?" Seketika Ndaru teringat dengan anaknya yang terbaring di rumah sakit. "Setelah diperbolehkan pulang, Mas Juna akan menyusul Bapak ke Jakarta bersama Suster Nur." "Pastikan semua aman, Lang. Saya nggak mau mereka dikejar wartawan juga." "Pasti, Pak." Gilang bergerak memberikan selimut. "Sekarang Pak Ndaru istirahat. Jangan sampai Bapak tumbang di pemakaman Pak Arya." *** Malam ini, suasana hati Shana terlihat baik. Dia seolah lupa dengan kekesalannya pada Dito siang tadi. Bahkan dia tidak mengingat nama pria itu sama sekali. Sambil bersenandung, Shana masih berkutat di dapur. Dia menganggukkan kepala mengikuti irama musik yang keluar dari earbuds yang ia pakai. Ternyata kado pemberian Ayu sangat berguna. Bahkan Shana sudah mulai menikmatinya. Tepukan pada bahu mengejutkan Shana. Dia berbalik dan menghela napas lega. Ternyata Erina yang berada di belakangnya. "Lo ngapain di rumah gue?" tanya Erina bingung. Gadis itu baru saja pulang dari syuting menjadi juri di salah satu acara memasak. Lalu ia menemukan adiknya membuat kekacauan di dapur rumahnya. Shana melepas earbuds-nya dan tersenyum manis. "Gue lagi nyoba resep baru." Mata Erina menyipit. "Tumben." Shana berjalan ke meja makan yang sudah tersedia beberapa masakan. "Gue masakin makan malem. Lo pasti capek." Keanehan Shana semakin membuat Erina curiga. Dia masih mengingat jelas wajah adiknya yang tertekuk karena ulah kekasih bodohnya semalam. Namun lihat sekarang, wajahnya tampak berseri-seri. "Ada sesuatu?" tanya Erina masih ingin mengulik. "Lo nggak liat berita, Mbak?" "Berita?" "Haryadi meninggal." Erina sekarang paham. Dia menatap adiknya dengan satu tangan yang bertumpu pada pinggang. "Lo nggak lagi ngerayain kematiannya Haryadi, kan?" Shana mengedikkan bahunya pelan. "Emang nggak boleh, ya?" "Oke, kita rayain malem ini." Lalu yang terjadi dua gadis itu terlihat seperti psikopat sekarang. Yang berbahagia di atas duka seseorang. *** TBCDarma, sepertinya pria itu sangat marah. "Kenapa kamu selalu bela dia?! Buka mata kamu Ndaru! Dia bawa kesialan buat keluarga kita!" Suara itu terdengar jelas di telinga Shana. Hatinya terasa tercubit saat mendengar itu. Ternyata begitu pandangan Darma atau bahkan keluarga Atmadjiwo yang lain terhadap dirinya. Menyedihkan. "Jaga ucapan Anda." Shana bisa mendengar Ndaru membelanya. "Saya nggak terima kalau istri kamu tampar anak saya. Kamu mau bela pembunuh kakak kamu itu?!" "Saya bukan pembunuh." Shana muncul dan mengelak tuduhan Darma mentah-mentah. "Kamu! Dasar wanita nggak tau malu. Kamu apakan anak saya?! Berani-beraninya kamu tampar dia!" Shana menatap Darma lekat. Tidak peduli pada tatapan jengah Ndaru. Jelas pria itu kesal dengan kedatangan Shana yang sudah ia larang. "Saya hanya melakukan hal yang sama dengan apa yang anak Bapak lakukan." Shana menunjuk pipinya. "Anak Bapak juga tampar saya," balasnya tenang. "Kamu pantas ditampar. Kamu sudah bunuh me
Rumah adalah tempat ternyaman. Menjadi pelindung yang paling aman. Shana baru merasakan itu sekarang. Setelah beberapa bulan hidup di istana dengan terkekang. Shana akui, kehidupannya dengan Ndaru mengalami banyak perubahan. Hubungan mereka berputar drastis sejak malam itu. Malam di mana mereka memutuskan untuk menyatu tanpa memikirkan tujuan awal mereka bersatu. Meski Ndaru masih terlihat acuh tak acuh, tetapi Shana bisa merasakan gunung es di hati pria itu mulai mencair. Ya, Shana merasakannya. Seperti saat ini, pemandangan di hadapan Shana sekarang adalah pemandangan yang sulit untuk ditemui saat dulu. Jauh berbeda dengan sekarang. Senyum Shana merekah dengan mudahnya melihat interaksi Ndaru dan Juna yang menggemaskan. Ndaru mulai lepas, bahkan saat di depannya. Getaran pada ponsel membuat Shana mengalihkan pandangannya. Dia meraih ponselnya di atas sofa dengan dahi berkerut. Ada nama Nendra di sana. Membuat Shana ragu untuk mengangkatnya. Shana kembali menatap Ndaru
Bagaimana dengan Putri? "Di mana Shana?" tanya Ndaru begitu melihat Bibi Lasmi membersihkan ruang tamu. "Bapak pulang?" Bibi Lasmi terkejut. "Ibuk di kamar, Pak." Tanpa menjawab, Ndaru kembali berjalan cepat. Dia naik ke lantai dua dan melihat Roro yang berdiri di depan kamar Shana. "Pa—" Ndaru mengabaikan Roro dan menggeser tubuhnya dari pintu. Tanpa mengetuk, Ndaru masuk ke dalam kamar Shana dan menutupnya rapat. Membuat si pemilik kamar terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. "Pak Ndaru?" Shana menatapnya bingung. Ndaru menatap wanita itu lekat. Melihat dari atas ke bawah dan kembali ke atas dengan pandangan lamat. Berharap menemukan titik yang tak biasa di matanya. "Kok Pak Ndaru pulang?" Ndaru menghela napas panjang dan berjalan mendekat. "Mbak Putri ke sini?" Shana tersenyum kecut. "Pasti Roro yang bilang." "Di mana dia?" "Sudah pulang." "Kenapa panggilan saya nggak diangkat?" Kening Shana berkerut dan mengambil ponselnya di atas nakas. "
Mengingat kejadian tadi pagi membuat senyum Shana kembali merekah. "Tuh, senyum-senyum lagi. Ibu kasmaran beneran, nih," goda Roro membuyarkan lamunan Shana. Shana berusaha untuk tenang. Dia merasa wajahanya memanas dan tentunya warna merah tak bisa lagi terhindarkan. Sial! Apa benar dia kasmaran? Telepon rumah berbunyi, membuat Roro dengan sigap mengangkatnya. Setelah mendengar ucapan seseorang di seberang sana, Roro menatap Shana lekat. "Siapa?" tanya Shana bingung. "Bu Putri, Bu. Bu Putri ada di depan." Shana menahan napasnya. Dia meletakkan tepung di tangannya dengan wajah kaku. "Minta dia masuk." Dengan cepat Roro menggeleng. "Nggak bisa, Bu. Bapak bilang Ibu nggak boleh keluar dan tidak boleh dikunjungi. Oleh siapa pun itu, termasuk keluarga Bapak." "Nggak apa-apa, Ro. Saya aman, ini di rumah saya sendiri." "Saya mohon jangan buat posisi saya sulit lagi, Bu. Ini hari pertama saya masuk." Roro memohon. "Benar, Bu. Jangan buat Bapak marah. Saya n
Senyum Shana merekah. Dia tertawa begitu menyadari kebodohannya. Dia terkekeh saat tak sengaja menjatuhkan satu butir telur. Membuat Bibi Lasmi menggelengkan kepalanya sabar. "Kalau gini rasanya kayak saya ngajarin Mas Juna, Bu. Untung Mas Juna di sekolah." Shana kembali tertawa. Tak merasa tersinggung dengan ucapan Bibi Lasmi. Saat ini dia memang berada di dapur, membantu Bibi Lasmi atau lebih tepatnya mengganggu wanita itu yang tengah membuat kue. Entah kenapa Shana menginginkan makanan manis pagi tadi. Dia pernah dengar dari Suster Nur jika kue buatan Bibi Lasmi itu enak. Oleh karena itu dia meminta wanita itu untuk membuatnya. Kini, Shana berinisiatif untuk ikut membantu, meski perannya sebenarnya tak dibutuhkan. Memang benar jika Shana bisa memasak. Hanya saja untuk kue adalah pengecualian. "Kayaknya Ibu bahagia banget hari ini," ucap wanita yang tengah duduk di meja makan. Shana menoleh dan tersenyum. Sedikit menahannya agar senyum itu tak terlalu ketara. "Ya,
Keadaan ruang kerja itu tampak menegangkan. Hanya ada dua orang, tetapi keduanya sama-sama sibuk dengan pikiran. Semuanya demi kekuasaan. Yang akan memberi banyak keuntungan di masa depan. "Kenapa kamu nggak libatkan media di rencana kamu itu?" tanya salah satu pria. "Bukannya bagus kalau Shana menjadi tersangka karena sudah membunuh Arya?" "Jangan gegabah, Mas," balas pria satunya. "Kamu takut akan terdampak karena pemilu sudah dekat?" Jelas. Namun dia tidak bisa mengatakannya dengan lepas. "Nanti Mas juga bisa terdampak." "Dampak baik, kan? Atmadjiwo hancur dan saya yang menang. Calon presiden saya terpilih dan proyek IKN jadi milik saya." Lagi-lagi pria satunya menghela napas panjang. Selama ini dia melakukan pekerjaannya dengan baik. Namun akhir-akhir ini rekannya itu sangat terburu-buru tanpa berpikir panjang. Akhirnya dia yang dibuat repot dengan drama-drama yang ada. "Mas nggak perlu khawatir. Saya jamin Mas yang akan menang nanti. Sekarang keluarga Atmadjiw