Pagi ini Shana memilih untuk bermalas-malasan. Dia duduk di meja makan sambil menatap Erina yang sibuk ke sana-ke mari. Tampak bersiap untuk berangkat bekerja. Profesinya yang merupakan seorang chef selebriti tentu membuatnya cukup sibuk. Bahkan Erina memiliki tiga program acara unggulan di televisi. Yang berhubungan dengan kuliner tentu saja.
"Gue udah bikin sarapan. Lo tinggal makan aja." Shana menyandarkan kepalanya dengan malas. "Gue pingin makan ketoprak." Erina berdecak. "Makan yang ada. Gue harus berangkat sekarang." Shana kembali menegakkan kepalanya. "Gue beneran nggak boleh keluar?" "Boleh, kalau lo mau dikeroyok wartawan." Shana berdecak, "Gila, ya? Masih aja rame bahas masalah kemarin." "Lo yang gila! Ngapain nyosor bibir orang? Mana yang disosor klan Atmadjiwo. Apa nggak heboh satu negara?" Shana mengusap hidungnya kasar. Sepertinya memang lebih baik dia diam. Seketika kepalanya pening saat Erina kembali mengomel. "Gue nggak bisa nulis apa-apa. Kepala gue berisik banget. Mana udah ditagih editor." Shana kembali menjatuhkan kepalanya di atas meja. Erina mendekat dan menyentuh kening Shana. Masih terasa hangat. Memang semalam adiknya itu mendadak demam, membuatnya panik dan ingin segera membawanya ke dokter. Beruntung Shana menahannya dan hanya meminum obat demam. "Mau ke dokter?" Kali ini suara Erina melunak. Erina Keswari adalah tipikal kakak pada umumnya. Hobi mengomel dan marah-marah, tetapi jauh di dalam hatinya, dia sangat menyayangi adiknya. Usia Shana sudah 26 tahun, tetapi Erina tetap memperlakukannya seperti balita. "Kita ke dokter," ucap Erina saat Shana tidak menjawab. "Gue nggak mau. Katanya masih banyak wartawan di depan komplek?" Erina berdecak. "Ya, gimana lagi? Siapa tau mereka luluh liat wajah pucet lo." "Yang ada makin kepo," gerutu Shana. Benar juga. "Dito masih hubungi lo?" tanya Erina kembali meletakkan tasnya. Dia berjalan ke dapur untuk membuat teh hangat. Dia belum bisa meninggalkan Shana begitu saja dalam keadaan seperti ini. "Tiap menit, tapi udah gue block nomernya." "Pantes." "Kenapa?" Shana kembali mengangkat kepalanya. "Dia telepon gue semalem." "Lo angkat?" tanya Shana. Erina menggeleng cepat. "Gue block." "Bagus." Shana kembali merebahkan kepalanya. "Minum dulu." Erina memberikan secangkir teh hangat. "Gue nanti pulang malem. Telepon aja kalau demam lo masih belum turun, biar gue pulang bawa dokter." "Iya. Udah, berangkat sana!" usir Shana. "Inget, jangan keluar rumah." "Iya, Mbak," jawab Shana sabar. "Gue berangkat." Erina mencium kepala Shana sebentar dan berlalu pergi. Setelah mendengar mobil Erina menjauh dari rumah, Shana mulai duduk tegak. Dia meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. "Sampe mana?" tanyanya saat panggilan terangkat. "Mau keluar tol, Mbak." "Nitip ketoprak." "Oke, Bos!" *** Pintu rumah yang diketuk membuat Shana segera beranjak. Dia membuka pintu dan tersenyum melihat dua orang yang ia butuhkan saat ini. "Gimana? Aman masuknya?" tanya Shana membiarkan dua orang itu masuk. "Buset, satpam komplek galak bener," gerutu Bagas. "Mana banyak tanya lagi." Ayu ikut masuk sambil memberikan satu kantong plastik pada Shana. "Ketoprak pesenan Mbak Shana." "Makasih, ya." Shana tersenyum senang. Dia sudah mendambakan rasa lezat itu di mulutnya sejak kemarin. "Jadi beneran Mbak Shana nggak bisa keluar?" tanya Bagas menghempaskan tubuhnya di kursi. "Bukan nggak bisa, tapi belum bisa. Lo tau sendiri gimana gilanya wartawan di depan." Ayu mengangguk setuju. Dia bergidik ngeri saat melihat kumpulan orang-orang yang ingin bertemu dengan Shana. Kasihan tentu saja, tetapi memang sudah resiko pekerjaan mereka. "Oh, iya. Lo mau ngomong apa, Gas?" tanya Shana memberikan tiga piring untuk mereka makan bersama. Pagi ini, Shana memang sengaja memanggil Bagas dan Ayu untuk datang. Beruntung Ayu shift sore hari ini. Selain karena Shana yang bosan dan butuh teman, Bagas juga ingin membicarakan sesuatu. Untuk sementara Shana memang tidak bisa ke mana-mana, oleh karena itu dia meminta Bagas dan Ayu untuk datang menemuinya. "Sebelumnya saya mau minta maaf, Mbak." Bagas menunduk takut. "Untuk?" Bagas mulai gelisah. "Mbak inget temen saya yang lagi pesta lajang di Atma Hotel waktu itu?" Shana mengangguk, "Kenapa?" "Ternyata dia yang nyebarin foto itu, Mbak." Bagas berpindah duduk di samping Shana. "Saya bener-bener minta maaf, Mbak. Saya udah bilang ke temen saya buat nggak bikin ulah kemarin, tapi emang si Wawan goblok nggak punya otak." Mendengar itu, seketika nafsu makan Shana menguap. "Jadi bukan karena wartawan?" Bagas menggeleng. "Sekarang dia udah kena batunya." "Maksud kamu?" "Handaru Atmadjiwo tuntut dia, Mbak. Pernikahannya terancam gagal. Mau kasihan tapi dia sendiri yang bikin ulah." Terlihat Bagas juga ikut pusing dengan tingkah temannya. Kali ini Shana benar-benar terkejut. Dia tidak menyangka jika keluarga Atmadjiwo sudah mengambil langkah sejauh itu. Meski begitu, Shana tetap masih kesal dengan teman Bagas. Dia bersyukur jika Handaru telah membereskan pria itu. "Kenapa?" tanya Shana tiba-tiba. "Kenapa yang temen lo sebarin foto-foto gue? Bukan foto bugil Dito sama selingkuhannya?" Bagas meringis. "Yang bagian Mas Dito nggak sempet kefoto, Mbak. Pas denger suara Mas Dito teriak-teriak baru kita keluar takut Mbak Shana kenapa-napa. Eh, malah kita liat adegan yang luar biasa." Mata Shana terpejam. Dia tidak lagi menjawab dan kembali pada makanannya. Antara malu dan menyesal. "Gitu aja? Mbak Shana nggak marah? Minimal jambak saya gitu?" Bagas terlihat bingung dengan respon Shana. "Gue pusing, Gas. Badan gue demam. Lagian temen lo udah diberesin sama Handaru, kan?" "Nah, itu masalahnya." Bagas mengusap wajahnya. "Wawan titip pesan buat Mbak Shana." "Apa?" "Kalau ketemu Handaru, tolong minta dia buat cabut tuntutannya." "Kenapa dia mikir kalau gue bisa ubah keputusan Handaru?" tanya Shana bingung. "Bukannya Mbak Shana ada sesuatu sama Handaru?" Bagas mengangkat kedua tangannya membentuk tanda kutip. "Goblok! Kemakan hoax juga lo!" Kali ini Ayu memukul Bagas keras dengan bantal sofa. Peduli setan jika Bagas adalah atasannya. Pria itu benar-benar bodoh kali ini. *** Masalah memang tidak bisa terus dihindari. Menjauh hanya akan memusingkan diri sendiri. Tidak apa jika hanya sejenak untuk menenangkan hati. Asal tidak selamanya melarikan diri. Tepat jam satu siang, Ndaru sudah sampai di sebuah restoran. Seperti biasa, dia akan memilih ruangan privat. Tidak perlu khawatir akan wartawan, karena restoran ini juga salah satu bisnis Atmadjiwo. Sudah dipastikan keamanan dan kerahasiaannya akan terjamin. Sesuai jadwal yang telah dibuat, siang ini Ndaru akan bertemu dengan Shana Arkadewi. Tersangka utama atas skandal yang menimpa mereka. Bahkan demi pertemuan ini, Ndaru rela mengatur ulang jadwal rapat dalam jaringannya. Dia ingin tahu, apa tujuan Shana menemuinya. Suara ketukan pintu membuat Ndaru mengangkat kepalanya. Gilang masuk bersama seorang gadis di belakangnya. Meski sudah pernah bertemu sebelumnya, tetapi baru kali ini Ndaru bisa melihat Shana Arkadewi dengan jelas. "Silakan duduk," ucap Ndaru. Shana bergumam terima kasih dan mulai duduk di hadapan Ndaru. Mata mereka pun bertemu. Selama beberapa detik baik Ndaru dan Shana sama-sama saling mengamati. Lalu sekarang mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. "Terima kasih sudah menerima permintaan saya untuk bertemu, Pak." Ndaru tidak menjawab. Dia masih menatap Shana lekat. Sedikit membuatnya heran karena gadis itu tidak terlihat gentar akan tatapannya. Bahkan tidak ada ekspresi bersalah di wajahnya. "Saya pikir kita tidak akan bertemu, Ibu Shana." "Shana, panggil Shana saja, Pak." Ndaru mengangguk. "Ingin pesan sesuatu sebelum kita bicara?" Shana menggeleng. "Kita langsung aja, Pak. Waktu saya nggak banyak." Bagus, sekarang Ndaru merasa harga dirinya terluka. Ini tidak benar. Seharusnya Shana Arkadewi meminta maaf. Bukan malah menatapnya tanpa takut seperti ini. "Silakan." Shana menarik napas dalam. "Sebelumnya saya ingin meminta maaf atas kejadian malam itu." Ini yang Ndaru tunggu. Namun entah kenapa dia tidak puas dengan permintaan maaf Shana. "Saya juga minta maaf atas beredarnya foto yang tidak pantas itu." Ndaru mengangguk. "Kenapa kamu melakukannya? Apa yang terjadi malam itu?" "Maaf, saya nggak bisa bilang. Itu urusan pribadi, Pak." "Kamu melibatkan saya, Shana. Saya harus direpotkan dengan banyak hal karena ulah kamu." Shana menahan napasnya saat tatapan Ndaru berubah tajam. "Pacar saya selingkuh. Saya nggak bisa berpikir jernih malam itu." Ndaru menggelengkan kepalanya tidak percaya. Ternyata alasan Shana menciumnya hanya karena itu. Siapa sangka jika akibatnya akan begitu besar? "Dan akibat dari perbuatan kamu itu sangat fatal." Shana mengangguk setuju. "Karena itu saya memberanikan diri menemui Bapak secara langsung untuk meminta maaf." "Berita tentang kita belum mereda sama sekali. Kamu tau itu, kan?" Shana mengangguk. "Cukup mengganggu pergerakan saya, Pak. Bahkan saya harus minta bantuan temen saya untuk bisa datang ke sini." "Kamu pikir saya juga tidak terganggu?" "Seenggaknya Bapak punya beberapa pengawal, sedangkan saya?" Ndaru menaikkan alisnya. "Kamu lupa kalau semua ini terjadi karena ulah kamu?" Shana menunduk. "Maaf." "Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan? Saya yakin kamu datang bukan hanya untuk meminta maaf." "Nama saya jadi jelek, Pak." Shana memainkan tangannya yang sudah basah. "Nama Bapak juga jelek." "Saya tau dan itu semua karena kamu." Shana meringis dalam hati. Sepertinya Ndaru akan terus membuatnya ingat jika semua ini terjadi karena dirinya. "Tapi kita beda, Pak. Bapak punya orang-orang hebat di belakang Bapak. Saya yakin masalah ini nggak bikin Bapak putus asa. Berbeda dengan saya." "Sebenarnya apa maksud kamu?" "Menjadi penulis adalah satu-satunya profesi saya untuk bertahan hidup." Shana menatap Ndaru lekat. "Kalau karir saya hancur, habis sudah hidup saya." Ndaru ikut menatap mata Shana. Dia bisa melihat ada rasa putus asa dari tatapan gadis itu. Sekarang Ndaru paham dengan apa yang gadis itu lakukan kali ini. "Kamu ingin pekerjaan dari saya?" tebak Ndaru. Shana menggeleng cepat. "Bukan itu, Pak." "Apa yang kamu inginkan, Shana?" Ndaru mulai lelah. Melihat wajah kusut Ndaru, Shana menjadi tidak yakin. Namun dia juga tidak bisa mundur. Dia sudah berani menampakan diri. Oleh karena itu dia harus menyampaikan tujuannya. "Saya mau Pak Ndaru menikahi saya." Setelah mengucapkan itu, Shana memejamkan mata dan menggigit pipi bagian dalamnya keras. Terjadi keheningan selama beberapa detik. Jantung Ndaru seperti lepas saat mendengar ucapan gadis di hadapannya itu. "Kamu sakit?" Setelah terdiam beberapa detik, akhirnya Ndaru mendapat kesadarannya kembali. Shana kembali membuka matanya. Seperti yang ia duga, wajah Ndaru sudah sangat memerah. Terlihat kesal dengan tingkah tidak tahu dirinya. "Nama kita sama-sama jelek, Pak," lirih Shana. "Saya dituduh selingkuh dan Bapak juga dituduh jadi selingkuhan saya." Shana membuka ponselnya dan memperlihatkan foto mereka yang tengah berciuman. "Dan foto yang tersebar juga sangat mendukung." Ndaru bersandar sambil menggelengkan kepalanya tegas. "Saya anggap tidak pernah dengar ucapan kamu tadi." "Jadi kita ubah aja narasinya, Pak." Shana masih berbicara, mengabaikan Ndaru. "Saya nggak pernah selingkuh dan Bapak juga nggak pernah jadi selingkuhan saya. Kita benar-benar menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Dan foto ini? Anggap aja kita memang lagi dimabuk asmara." "Sepertinya kondisi kamu memang sedang tidak baik." "Cuma dengan cara itu, Pak. Dengan kita menjadi pasangan, maka orang-orang nggak punya alasan untuk tuduh kita macam-macam. Semua gosip yang ada akan langsung terbantahkan. Karir saya akan kembali dan begitu juga dengan nama baik Bapak sekeluarga." "Bukannya kamu sudah punya pacar? Dan semua orang tau itu, kan?" "Dito?" tanya Shana dengan alis terangkat. "Biar dia saya yang urus. Lagian Dito nggak datang ke acara ulang tahun saya kemarin. Jadi saya bisa jadikan itu alasan kalau kita sudah lama berpisah." Ndaru masih menggelengkan kepalanya pelan. Menatap Shana tidak percaya. Dia benar-benar tak habis pikir. Bagaimana bisa ide gila itu terlintas di kepala gadis itu? Anehnya, Ndaru mulai memikirkan tawaran Shana. Ini tidak benar. *** TBC"Dingin, Pak." Shana meringis saat tubuhnya sudah benar-benar masuk. "Pak Ndaru nggak kedinginan?" tanyanya tak percaya. "Bukannya kamu suka dingin?" "Yang ini dinginnya beda." Shana mengusap wajahnya dan mendekatkan diri pada Ndaru, berharap bisa mendapatkan sedikit kehangatan di sana. Dengan tanggap, Ndaru meraih tubuh Shana. Memeluk pinggang wanita itu dan menariknya mendekat hingga tubuh keduanya bersentuhan. "Masih dingin?" tanya Ndaru tersenyum tipis melihat wajah linglung Shana. Shana menggeleng. "Anget... dikit." Senyum Ndaru melebar, memperlihatkan giginya. Tembok yang sempat ia buat tadi seketika hancur. Ternyata dia memang tak bisa mengabaikan Shana. Wanita itu terlalu luar biasa utuk diabaikan. "Pak Ndaru sering berenang pagi-pagi kayak gini?" tanya Shana menumpukan kedua tangannya di dada Ndaru. "Nggak selalu, tapi kalau ada waktu pasti saya sempatkan." "Saya nggak suka berenang," curhat Shana. "Kenapa?" Tangan Ndaru terangkat menyingkirkan anak ra
Manusia memang hanya bisa meminta. Tanpa peduli dengan keegoisan di kepala. Tanpa peduli dengan akibat yang akan diterima. Intinya, manusia hanya ingin apa yang ia mau benar terlaksana. Semua orang menyadari sikap jelek itu. Namun tetap keras kepala tanpa tahu malu. Waktu terus berjalan tanpa penghalang. Dari gelap menjadi terang. Dari langit berbintang menjadi langit yang benderang. Lalu juga dari malam yang tegang menjadi tenang. Begadang. Kegiatan yang tak banyak orang sukai. Namun untuk kasus dua sejoli, terasa candu untuk dilakukan lagi. Shana dan Ndaru melalui malam indah mereka dengan senang hati. Jika bisa, bahkan ingin melakukannya kembali. Mereka memang bukan pengantin baru, tetapi mereka baru memasuki babak baru. Mata Shana terbuka. Menyadari jika keadaan kamar masih gelap gulita. Cahaya luar juga masih belum ada. Membuktikan bahwa pagi belum tiba. Kepalanya menoleh ke samping, berniat melihat sosok pria yang mengenalkan sensasi nikmat padanya. Namun Sha
Perginya Juna juga membawa kehangatan yang ada. Mendadak keadaan kembali canggung. Begitu Ndaru berdiri, Shana juga melakukan hal yang sama. Dia langsung membereskan alat menggambar Juna dan menyimpannya di rak penyimpanan. "Belum tidur?" tanya Ndaru memecah keheningan. Shana menoleh dengan kikuk. "Saya nungguin Bapak." "Kenapa?" Shana menggeleng. "Saya cuma khawatir karena Bapak pergi mendadak tadi, takutnya ada apa-apa." Memang ada apa-apa. Teriak Ndaru dalam hatinya. "Bapak udah makan?" Shana berusaha memecah kecanggungan. "Sudah." Ndaru menatap Shana lekat selama beberapa detik sebelum mengalihkan pandangannya. "Saya mau istirahat. Saya sedikit pusing." "Bapak sakit?" Shana mendekat dan menyentuh kening Ndaru dengan punggung tangannya. Gerakan reflek yang membuat keduanya terdiam. Ndaru menjauhkan diri. "Cuma sedikit lelah." "Kalau gitu Bapak harus istirahat," gumam Shana. "Ya, saya mau ke kamar." "Saya juga," balas Shana tanpa sadar. Dia berdeham de
Kecanggungan semakin terasa. Kala sang atasan mendadak tiba. Pria itu langsung masuk begitu saja. Tanpa berniat mengucapkan sepatah kata. Kebingungan tentu melanda Gilang. Ketika hari liburnya mendadak menghilang. Seperti dirampas habis setelah atasannya datang. Nyatanya, dia tidak bisa protes saat melihat wajah Ndaru yang bimbang. "Bapak mau minum apa?" Gilang menatap dapurnya kebingungan. Seperti pria bujang pada umumnya, dia tidak memiliki banyak makanan di sana. "Apa yang kamu punya?" Ndaru bersandar sambil melepas dua kancing kemeja teratasnya. Rasanya sesak. "Air putih?" tanya Gilang ragu. "Saya butuh yang lebih kuat dari itu." "Jangan anggur," cegah Gilang cepat. "Kafein. Saya butuh kafein." Gilang mengangguk. Dia mulai fokus membuat minuman untuk Ndaru. Apartemennya tidak terlalu besar. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat Ndaru duduk dengan melamun. Meski tatapannya kosong, Gilang tahu jika pria itu sedang memikirkan sesuatu. "Ada sesuatu, Pak
"Shana ada di sana, Ru." Guna menghela napas kasar. "Dia di sana, berdiri menatap mobil Arya yang terbakar." "Apa-apaan?" Ndaru meletakkan iPad-nya dan tertawa sinis. "Rekaman ini yang membuat Papa menuduh Shana?" "Kamu lihat jelas-jelas, Ru. Di saat orang lain berlarian cari bantuan, dia malah berdiri tenang di sana." Putri terisak. "Dia pasti senang lihat Mas Arya meninggal. Istri kamu psikopat, Ru!" Ndaru menggeleng. "Kalau Shana begitu. Lalu Mas Arya apa?" "Apa maksud kamu?" Harris bertanya. Ndaru menarik napas dalam dan menatap Putri lekat. "Apa Mbak tau kalau Mas Arya berbuat curang saat menangani kasus Ayah Shana?" Dia beralih pada Ayahnya. "Papa tau tentang ini?" Harris menghela napas kasar dan mengangguk. "Putri baru saja jujur tadi sama Papa. Semua kecurigaan kita semakin nyata adanya, Ru. Shana, istri kamu itu balas dendam ke Arya." "Ini bukan sinetron, Pa. Jangan konyol." Ndaru masih berusaha mengelak. Meski dicecar oleh satu keluarga, dia tetap teguh pa
Sepertinya dunia memang tak menginginkannya untuk tenang sejenak. Memberikan rasa gelisah yang menumpuk di benak. Membuat seketika keadaan menjadi tak enak. Kebahagiaan yang sempat ia rasakan seketika hilang mendadak. Ya, apa boleh Ndaru menyebutnya kebahagiaan? Kesenangannya bersama Shana kemarin memang singkat. Namun berhasil membuat Ndaru merasa tenang. Ia mengesampingkan logika demi kenyamanan diri. Namun hasilnya, takdir kembali merusak tanpa tahu diri. Kabar mengejutkan tadi pagi masih terngiang-ngiang di kepala Ndaru. Berlarian mencari jalan keluar yang sayangnya tidak ketemu. Karena Ndaru memilih untuk memendamnya sendiri. Tidak berniat berbagi dengan wanita yang duduk di sisi. Kabar mengenai Shana yang ternyata adalah pembunuh Arya merupakan berita yang sulit untuk diterima. Bahkan hingga detik ini, Ndaru masih tidak menemukan letak seriusnya. Seperti lelucon, tetapi berhasil mengacaukan semuanya. Pikiran penuh itu berhasil menghancurkan suasana. Begitu ketara
"Punya keluarga saya," jawab Ndaru melirik Dito sebentar. Shana dan Erina kompak mengangguk mengerti. Berbeda dengan Dito yang membulatkan matanya dengan bibir terbuka. Ternyata melihat kuda bukan sembarang melihat kuda. Sekarang ganti dirinya yang merasa diejek. Ternyata begitu sulit mengalahkan Handaru Atmadjiwo. *** Sejak semalam, perasaan Shana terhadap Ndaru berubah. Pemikirannya terhadap Ndaru mulai berubah. Tatapannya pada Ndaru juga ikut berubah. Semua telah berubah. Seperti saat ini. Dari kejauhan, Shana melihat Ndaru yang tengah berkuda. Bukan hanya kudanya yang gagah, melainkan pemiliknya juga. Tidak, Shana tidak akan mengelak. Handaru Atmadjiwo memang luar biasa gagah. Pria itu cukup mahir. Bahkan bisa di katakan sangat mahir. Saat di perjalanan tadi, Ndaru sedikit bercerita. Berkuda adalah olah-raga favoritnya. Tak heran jika Shana jarang melihat pria itu berolah-raga selain berenang. Dia pikir hidup Ndaru hanya untuk bekerja. Ternyata berkuda adalah
Langkah kaki itu bergerak perlahan. Menuju pintu kamar dengan pandangan penasaran. Hatinya mulai berdetak tak karuan. Membayangkan hal yang tak diinginkan. Ketukan pintu ia urungkan. Memilih untuk berjalan ke sana-ke mari dengan kebingungan. Menunggu menjadi pilihan yang ia tetapkan. Meski hatinya terus menjerit tak nyaman. Dito Alamsyah, pria itu berdiri di depan pintu kamar hotel Shana dengan gundah. Sejak semalam, pikiran buruk menghantui hati hingga gelisah. Ingin rasanya dia masuk dengan gegabah. Namun sayang, ada Handaru Atmadjiwo yang membuatnya resah. Pria itu memang suami Shana. Namun entah kenapa fakta itu mengusik ketenangan Dito. Jangan lupa jika hingga detik ini pria itu masih belum merelakan Shana. Kemarin, dia sudah cukup bahagia karena Shana yang tiba-tiba muncul di Bandung. Semakin bahagia saat Shana tak lagi menghindarinya seperti dulu. Rasa marah tentu masih Shana tunjukan, tetapi wanita itu lebih lunak saat ini. Tuhan benar-benar ingin menghukum Dito.
"Lanjutkan." Tangan Ndaru tak berhenti mengelus rambut Shana. "Bukti di pengadilan aneh, Pak. Ayah saya juga nggak ngaku bersalah. Jadi Ibu saya mati-matian cari cara buat bebasin Ayah. Mulai dari banding, sampai cari bukti sendiri ke mantan pegawai yang mendadak dipecat sepihak sama perusahaan. Kata mereka, ayah dituduh, dijadiin kambing hitam buat nutupin bobroknya perusahaan." Suara Shana mulai bergetar. Rasa sesak tengah ia rasakan. "Ibu saya yakin pengadilan disuap untuk memberatkan hukuman Ayah." "Arya, kakak saya yang menangani kasus Ayah kamu?" Shana mengangguk dengan napas tercekat. "Kenapa kamu yakin kalau Kakak saya terlibat?" Shana menatap Ndaru lekat. "Ibu putus asa. Dia nekat temuin Arya, bilang kalau Ayah dituduh dengan harapan hukuman Ayah akan dikurangi. Tapi tau apa yang Arya bilang?" "Apa?" "Sebaiknya kalian berhenti. Lawan kalian itu bukan orang sembarangan. Bukti yang kalian cari nggak akan berguna. Orang kecil seperti kalian nggak akan bisa lawa