Beranda / Romansa / Duda Incaran Shana / 6. Mencari Jalan Keluar

Share

6. Mencari Jalan Keluar

Penulis: Viallynn
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-08 19:48:58

Acara tahlilan telah selesai. Seperti biasa, keluarga Atmadjiwo kembali berkumpul di ruang keluarga. Bukan lagi untuk membahas perubahan strategi, melainkan skandal yang terjadi. Masa berkabung seolah tak lagi berarti. Ada hal genting lain yang menanti.

Malam ini, Ndaru mengenakan kemeja hitam berlengan panjang yang dilipat hingga siku, serta celana chinos abu-abu. Dia memilih untuk duduk tenang di salah satu sofa. Terlepas dari apa yang menimpanya, Ndaru sangat pintar untuk menyembunyikan perasaannya. Padahal dalam hati dia juga dibuat pusing dengan apa yang terjadi. Bahkan saat ini, dia yakin jika akan kembali disidang.

"Berita nggak mereda sama sekali," keluh Yanti. Dia cukup khawatir dengan karir politik suaminya.

"Saham Atmadjiwo Grup juga menurun," lanjut Guna.

Topik itu yang akan mereka bahas malam ini. Apa saja akibat yang mereka dapat dari skandal yang menyerang si bungsu.

"Bahkan berita tentang kecelakaan Arya sudah tenggelam."

"Seharusnya dari awal kamu nggak perlu datang ke sini." Putri berbicara. Wanita itu memang ikut berkumpul setelah berhasil menenangkan diri dengan tidak menyerang Ndaru. Namun sepertinya rasa sakit itu masih ia rasakan.

"Maaf, Mbak." Ndaru benar-benar tulus meminta maaf.

"Sudah banyak cara yang kita lakukan. Pengalihan isu pun nggak berguna sama sekali." Yanti menatap Ndaru. "Kamu kasih netizen apa, sih, Ru? Sampe heboh banget bicarain kamu?"

"Ya, karena Om Ndaru ganteng, misterius, dan tak tersentuh. Sekali muncul eh malah foto panas yang kesebar. Gimana nggak rame?" Kali ini Mala, anak Guna yang berbicara. Entah apa yang membuat remaja berusia 16 tahun itu tiba-tiba ikut bergabung. Mungkin penasaran dengan skandal dari pamannya itu. "Sekarang orang-orang pada heboh bahas yang lain. Mereka ngira Om Ndaru selingkuhannya Shana Arkadewi."

Ndaru memijat keningnya. Apa lagi ini?

"Jadi gimana sekarang? Nggak mungkin kita diem aja sampai berita hilang. Pak Roni minta aku untuk segera selesaikan masalah ini," jelas Guna. "Susah ambil suara rakyat kalau berhubungan sama adab gini."

Bahkan ketua partai yang Guna naungi pun ikut turun tangan.

"Dan jangan sampai pemegang saham perusahaan ikut menentang Ndaru untuk memimpin perusahaan."

"Oke." Akhirnya Ndaru membuka suara. "Aku akan klarifikasi nanti."

Ndaru sudah memikirkan hal ini dengan matang. Usaha yang mereka lakukan benar-benar tak berarti. Mulai dari menghapus sumber cuitan serta semua cuitan yang berhubungan, menuntut penyebar berita, sampai tiga berita pengalihan isu juga mereka keluarkan. Namun tetap tidak ada yang berhasil. Nama Handaru dan Shana masih menjadi perbincangan hangat.

Publik terus membicarakan masalah foto itu dan menunggu jawaban. Jika ia tidak membuka suara maka masyarakat tidak akan berhenti dan malah semakin menjadi-jadi. Dalam sehari saja sudah banyak hal yang merugikan mereka. Mulai dari karir politik Guna sampai saham perusahaan. Bagaimana jika hal ini terus berlangsung? Ndaru tidak bisa membayangkannya.

"Klarifikasi yang bagaimana, Mas? Kamu jangan gegabah." Harris memperingati.

"Biar aku pikirkan nanti. Yang pasti, publik ingin aku angkat bicara tentang masalah ini. Kalau terus diam, malah semakin banyak berita tidak bener yang berkembang. Bahkan sekarang buzzer untuk jatuhin Mas Guna sudah banyak."

"Pastikan kamu bahas sama kita dulu sebelum publish klarifikasi kamu."

Ndaru mengangguk dan mulai berdiri. "Aku harus pulang."

"Ke Hotel?"

Ndaru menggeleng. "Apartemen. Gilang sudah mengetatkan keamanan."

"Kenapa nggak beli rumah aja, Ru? Kan kamu juga mau pindah ke sini?" tanya Yanti. "Mau Mbak bantu carikan? Atau mau yang satu komplek sama kita? Keamanan terjamin kalau itu yang kamu khawatirkan."

"Nanti aku pikirkan, Mbak."

"Iya, Mas. Apa kamu sudah memutuskan untuk kembali?" tanya Harris.

Ndaru tersenyum miring. "Nggak ada pilihan lain, kan, Pa?"

"Bagus. Segera kamu urus kepindahan kamu. Sia-sia otakmu kalau dibuat ngurus anak perusahaan Atmadjiwo aja."

Ndaru mengangguk. "Aku pulang." Dia berpamitan pada semua orang. Tak terkecuali kakak iparnya yang sedari tadi masih diam. beruntung kali ini Putri mau menjabat tangannya.

Benar, mereka memang butuh waktu.

***

Di dalam mobil, Ndaru membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman. Perjalanan akan sedikit memakan waktu mengingat jika hari ini adalah malam Sabtu. Tentu jalanan akan dibuat padat oleh orang-orang yang mencari hiburan setelah lelah bekerja.

"Pak Ndaru benar ingin membuat klarifikasi?" tanya Gilang memastikan.

"Nggak ada cara lain. Berita sudah melebar ke mana-mana." Ndaru menatap Gilang. "Kamu denger kata Mala tadi? Sekarang saya malah dituduh jadi selingkuhan perempuan itu."

Gilang meringis. Ada benarnya juga. Diam tidak akan menyelesaikan masalah. Malah berita menjadi berkembang liar ke mana-mana. Cara yang biasa mereka lakukan tidak berhasil. Mungkin mereka harus mencoba cara lain sekarang.

"Oh, iya, Pak." Gilang mulai menatap Ndaru serius. "Shana Arkadewi menghubungi saya."

Ndaru terkejut mendengarnya. "Untuk?"

"Dia ingin bertemu Bapak." Gilang menunjukkan pesan email yang Shana kirim tadi sore. "Mungkin dengan pertemuan ini, Bapak bisa mencari jalan keluar yang aman bersama."

"Oke, atur jadwal untuk besok."

***

TBC

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Duda Incaran Shana   127. Dari Hati

    Bagaimana dengan Putri? "Di mana Shana?" tanya Ndaru begitu melihat Bibi Lasmi membersihkan ruang tamu. "Bapak pulang?" Bibi Lasmi terkejut. "Ibuk di kamar, Pak." Tanpa menjawab, Ndaru kembali berjalan cepat. Dia naik ke lantai dua dan melihat Roro yang berdiri di depan kamar Shana. "Pa—" Ndaru mengabaikan Roro dan menggeser tubuhnya dari pintu. Tanpa mengetuk, Ndaru masuk ke dalam kamar Shana dan menutupnya rapat. Membuat si pemilik kamar terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. "Pak Ndaru?" Shana menatapnya bingung. Ndaru menatap wanita itu lekat. Melihat dari atas ke bawah dan kembali ke atas dengan pandangan lamat. Berharap menemukan titik yang tak biasa di matanya. "Kok Pak Ndaru pulang?" Ndaru menghela napas panjang dan berjalan mendekat. "Mbak Putri ke sini?" Shana tersenyum kecut. "Pasti Roro yang bilang." "Di mana dia?" "Sudah pulang." "Kenapa panggilan saya nggak diangkat?" Kening Shana berkerut dan mengambil ponselnya di atas nakas. "

  • Duda Incaran Shana   126. Rasa Malu

    Mengingat kejadian tadi pagi membuat senyum Shana kembali merekah. "Tuh, senyum-senyum lagi. Ibu kasmaran beneran, nih," goda Roro membuyarkan lamunan Shana. Shana berusaha untuk tenang. Dia merasa wajahanya memanas dan tentunya warna merah tak bisa lagi terhindarkan. Sial! Apa benar dia kasmaran? Telepon rumah berbunyi, membuat Roro dengan sigap mengangkatnya. Setelah mendengar ucapan seseorang di seberang sana, Roro menatap Shana lekat. "Siapa?" tanya Shana bingung. "Bu Putri, Bu. Bu Putri ada di depan." Shana menahan napasnya. Dia meletakkan tepung di tangannya dengan wajah kaku. "Minta dia masuk." Dengan cepat Roro menggeleng. "Nggak bisa, Bu. Bapak bilang Ibu nggak boleh keluar dan tidak boleh dikunjungi. Oleh siapa pun itu, termasuk keluarga Bapak." "Nggak apa-apa, Ro. Saya aman, ini di rumah saya sendiri." "Saya mohon jangan buat posisi saya sulit lagi, Bu. Ini hari pertama saya masuk." Roro memohon. "Benar, Bu. Jangan buat Bapak marah. Saya n

  • Duda Incaran Shana   125. Penjara Istana

    Senyum Shana merekah. Dia tertawa begitu menyadari kebodohannya. Dia terkekeh saat tak sengaja menjatuhkan satu butir telur. Membuat Bibi Lasmi menggelengkan kepalanya sabar. "Kalau gini rasanya kayak saya ngajarin Mas Juna, Bu. Untung Mas Juna di sekolah." Shana kembali tertawa. Tak merasa tersinggung dengan ucapan Bibi Lasmi. Saat ini dia memang berada di dapur, membantu Bibi Lasmi atau lebih tepatnya mengganggu wanita itu yang tengah membuat kue. Entah kenapa Shana menginginkan makanan manis pagi tadi. Dia pernah dengar dari Suster Nur jika kue buatan Bibi Lasmi itu enak. Oleh karena itu dia meminta wanita itu untuk membuatnya. Kini, Shana berinisiatif untuk ikut membantu, meski perannya sebenarnya tak dibutuhkan. Memang benar jika Shana bisa memasak. Hanya saja untuk kue adalah pengecualian. "Kayaknya Ibu bahagia banget hari ini," ucap wanita yang tengah duduk di meja makan. Shana menoleh dan tersenyum. Sedikit menahannya agar senyum itu tak terlalu ketara. "Ya,

  • Duda Incaran Shana   124. Menyusun Rencana

    Keadaan ruang kerja itu tampak menegangkan. Hanya ada dua orang, tetapi keduanya sama-sama sibuk dengan pikiran. Semuanya demi kekuasaan. Yang akan memberi banyak keuntungan di masa depan. "Kenapa kamu nggak libatkan media di rencana kamu itu?" tanya salah satu pria. "Bukannya bagus kalau Shana menjadi tersangka karena sudah membunuh Arya?" "Jangan gegabah, Mas," balas pria satunya. "Kamu takut akan terdampak karena pemilu sudah dekat?" Jelas. Namun dia tidak bisa mengatakannya dengan lepas. "Nanti Mas juga bisa terdampak." "Dampak baik, kan? Atmadjiwo hancur dan saya yang menang. Calon presiden saya terpilih dan proyek IKN jadi milik saya." Lagi-lagi pria satunya menghela napas panjang. Selama ini dia melakukan pekerjaannya dengan baik. Namun akhir-akhir ini rekannya itu sangat terburu-buru tanpa berpikir panjang. Akhirnya dia yang dibuat repot dengan drama-drama yang ada. "Mas nggak perlu khawatir. Saya jamin Mas yang akan menang nanti. Sekarang keluarga Atmadjiw

  • Duda Incaran Shana   123. Pasangan Halal

    "Dingin, Pak." Shana meringis saat tubuhnya sudah benar-benar masuk. "Pak Ndaru nggak kedinginan?" tanyanya tak percaya. "Bukannya kamu suka dingin?" "Yang ini dinginnya beda." Shana mengusap wajahnya dan mendekatkan diri pada Ndaru, berharap bisa mendapatkan sedikit kehangatan di sana. Dengan tanggap, Ndaru meraih tubuh Shana. Memeluk pinggang wanita itu dan menariknya mendekat hingga tubuh keduanya bersentuhan. "Masih dingin?" tanya Ndaru tersenyum tipis melihat wajah linglung Shana. Shana menggeleng. "Anget... dikit." Senyum Ndaru melebar, memperlihatkan giginya. Tembok yang sempat ia buat tadi seketika hancur. Ternyata dia memang tak bisa mengabaikan Shana. Wanita itu terlalu luar biasa utuk diabaikan. "Pak Ndaru sering berenang pagi-pagi kayak gini?" tanya Shana menumpukan kedua tangannya di dada Ndaru. "Nggak selalu, tapi kalau ada waktu pasti saya sempatkan." "Saya nggak suka berenang," curhat Shana. "Kenapa?" Tangan Ndaru terangkat menyingkirkan anak ra

  • Duda Incaran Shana   122. Pagi Buta

    Manusia memang hanya bisa meminta. Tanpa peduli dengan keegoisan di kepala. Tanpa peduli dengan akibat yang akan diterima. Intinya, manusia hanya ingin apa yang ia mau benar terlaksana. Semua orang menyadari sikap jelek itu. Namun tetap keras kepala tanpa tahu malu. Waktu terus berjalan tanpa penghalang. Dari gelap menjadi terang. Dari langit berbintang menjadi langit yang benderang. Lalu juga dari malam yang tegang menjadi tenang. Begadang. Kegiatan yang tak banyak orang sukai. Namun untuk kasus dua sejoli, terasa candu untuk dilakukan lagi. Shana dan Ndaru melalui malam indah mereka dengan senang hati. Jika bisa, bahkan ingin melakukannya kembali. Mereka memang bukan pengantin baru, tetapi mereka baru memasuki babak baru. Mata Shana terbuka. Menyadari jika keadaan kamar masih gelap gulita. Cahaya luar juga masih belum ada. Membuktikan bahwa pagi belum tiba. Kepalanya menoleh ke samping, berniat melihat sosok pria yang mengenalkan sensasi nikmat padanya. Namun Sha

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status