Dewangga menatap Soedrajat dalam diam. Matanya menelusuri wajah tua ituākeriput di ujung mata, tubuh yang kini tampak rapuh, dan sorot mata yang menyimpan sesal mendalam. Di usianya yang sudah senja, seharusnya Soedrajat bisa menikmati hidup dengan tenang. Tapi tidakāia masih harus menanggung beban dari kesalahan masa lalu, dan barangkali... ibunya benar. āDi usia setua itu, siapa pun pantas hidup dalam damai,ā batin Dewangga. Dewangga menarik napas dalam, lalu akhirnya bersuara. Suaranya rendah, namun terdengar jelas dan tegas. āSejak sudah memaafkan kakek.ā Kata-kata itu sederhana, tapi menampar sunyi yang menggantung di ruangan. Soedrajat mendongak, matanya langsung basah. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnyaāhanya sorot mata yang mengucap lebih banyak dari sekadar terima kasih. Dewangga melanjutkan, menatap sang kakek dengan tatapan tenang. āMungkin... rasa marah dan kecewa itu belum sepenuhnya hilang. Tapi seperti yang saya bilang waktu itu, saya ingin menjalani
āKenapa kalian datang ke sini?ā tanya Dewangga dingin, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang sulit ditebak.Suasana siang itu yang awalnya tenang seketika berubah saat ia melihat siapa yang berdiri di hadapannyaāRian dan Kakek Soedrajat.āMasā¦ā suara lembut Kanaya memecah ketegangan. Ia baru saja datang dari arah dapur, membawa senyum hangat di wajahnya. Dengan langkah tenang, ia berdiri di samping suaminya.āRian, Kakek⦠silakan masuk,ā ujar Kanaya sopan sambil membuka pintu rumah lebih lebar, mengabaikan ketegangan di wajah suaminya.Dewangga menoleh cepat ke arah Kanaya, tatapannya penuh tanya. āApa maksud kamu, Kanaya?āKanaya mengelus lengan suaminya dengan lembut, berusaha menenangkannya. āMas, aku tahu kamu kaget⦠tapi percayalah, ini semua demi kebaikan.āIa bisa merasakan ketegangan di tubuh suaminya. Ekspresi wajah Dewangga sudah lama tak sedingin ini. Tapi Kanaya tahu, bukan amarah yang sedang meledakāmelainkan luka lama yang kembali digores.āMas, kita bicara di dal
Ibu dan anak itu akhirnya sampai di kantor Dewangga. Kai berjalan sambil menggenggam tangan Kanaya erat, wajahnya berseri-seri karena tak sabar ingin bertemu sang ayah.Namun, ketenangan lobi kantor langsung pecah oleh teriakan nyaring yang begitu familiar."Kaiii!!"Kanaya langsung menghela napas panjang, nyaris berdecak kesal. Itu lagi...Dari balik meja resepsionis, muncullah seorang wanita dengan setelan kerja rapi namun ekspresi lebay yang tak pernah berubahāCitra.Seperti roket, ia berlari ke arah mereka dan langsung memeluk Kai erat-erat seolah sudah bertahun-tahun tak bertemu.āAunty kangeeenn banget sama kamu, Kai!ā serunya sambil mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke pipi bocah itu.Padahal, terakhir mereka bertemu⦠baru minggu lalu.āAunty, Kai nggak bisa napasā¦ā gerutu Kai, wajahnya cemberut setengah sebal, setengah pasrah.āMaaf, Sayang. Aunty terlalu kangen,ā ujar Citra sambil terkekeh, masih menciumi pipi bulat Kai yang kini sudah mulai memerah.āWah, sekarang udah pake se
Siang itu, matahari bersinar hangat, dan angin berembus pelan membawa aroma pohon-pohon rindang di halaman sekolah. Kanaya duduk di bangku panjang tak jauh dari gerbang, menanti putranya yang sebentar lagi pulang.āNay.āSebuah suara familiar memanggil namanya. Kanaya menoleh, dan benar sajaāRian berjalan mendekat dengan senyum menyebalkan yang khas.āKetemu lagi, kita,ā ujarnya ringan, seolah pertemuan itu adalah takdir yang menyenangkan.Kanaya mengangkat alis. āNgapain lo di sini?āRian menunjuk ke seberang jalan. āKebetulan kafe di depan situ, itu punya gue. Tadi dari jendela lihat ibu-ibu cantik duduk sendirian, jadi gue samperin deh.āKanaya menoleh sejenak, melihat kafe minimalis bergaya modern yang belum lama ia sadari keberadaannya.āSejak kapan lo buka tempat itu?ā tanyanya, masih dengan nada datar.āBaru semingguan, sih,ā jawab Rian sambil menyerahkan satu cup kopi ke tangannya. āCaffĆØ latte. Favorit lo, kan? Tenang aja, nggak gue racunin.āKanaya menatap cup itu dengan ali
Malam itu, udara terasa lebih dingin, sisa hujan yang turun sore tadi masih membekas di langit. Setelah menidurkan Kai di kamarnya, Kanaya menyusul suaminya ke ruang kerja dengan secangkir teh hangat di tangannya."Mas," panggilnya lembut, berdiri di ambang pintu.Dewangga yang tengah sibuk dengan berkas di meja kerjanya menoleh. āYa?ā gumamnya, sedikit terkejut, namun segera tersenyum ketika melihat Kanaya membawa teh hangat untuknya.Kanaya melangkah masuk, meletakkan secangkir teh di meja kecil di dekat sofa tempat Dewangga biasa duduk.Dewangga bangkit dari kursinya, berjalan perlahan mendekat, dan duduk di samping Kanaya. Mereka duduk diam, menikmati keheningan yang terasa nyaman. Sejak kepulangannya dari rumah sakit, Dewangga belum banyak berbicara. Rasa cemas dan bingung masih terlihat jelas di wajahnya, dan Kanaya tidak ingin memaksanya berbicara sebelum ia siap."Bagaimana keadaan Kakek kamu?" tanya Kanaya pelan, sambil menatap suaminya.Dewangga menghela napas panjang, mengu
Setelah kepergian Dewangga, Soedrajat hanya bisa terpaku. Matanya tak lepas menatap pintu yang kini tertutup, seolah menelan sosok cucunya bersama seluruh luka masa lalu yang belum sempat terobati.āAndai saja aku tak egois... mungkin Dewangga tak akan tumbuh dalam bayang-bayang kebencian,ā lirihnya. Air mata menuruni pipi tuanya, pelan tapi pasti, membasuh kesombongan yang selama ini ia pelihara.āMaafkan Kakek, Nak... pasti berat sekali jadi kamu,ā ucapnya lagi. Suaranya serak, nyaris tak terdengar, tapi penuh penyesalan. Sosok yang selama ini ia tolak dan curigai, ternyata darah dagingnya sendiri.Benar adanya, penyesalan memang selalu datang terlambat.Tak lama, Rian masuk. Ia sempat melihat Dewangga pergi dengan mata yang nyalang penuh luka. Tapi pemandangan yang membuatnya tercekat adalah kakeknya, orang sosok yang selalu tegar, angkuh dan kuat itu kini menangis terguncang di atas ranjang rumah sakit.āKekā¦ā panggil Rian pelan. Ia melangkah cepat, lalu memeluk kakeknya erat. Sat