Share

Tujuh Puluh Tiga

Author: Rose
last update Huling Na-update: 2024-06-17 17:56:52

Naya sempat diam mematung sebentar, melihat Savira yang tiba-tiba ada di depan rumahnya. Karena sudah satu minggu ini Savira sudah tidak lagi menghubunginya namun tiba-tiba datang kerumahnya.

Tentu saja Naya terkejut dengan kedatangan mendadak wanita di depannya ini.

"Gimana, Nay?" Tanyanya langsung.

"Duduk dulu, Mbak." ujar Naya sopan mempersilahkan Savira yang sedari tadi berdiri di teras rumahnya, apalagi wanita itu sedang hamil.

"Naya, aku mohon kembalikan Dewa padaku, aku butuh Dewa. Anak aku butuh ayahnya." pinta Savira.

Entah, kenapa sekarang Naya sudah kehilangan respect lagi pada wanita di depannya ini. Apalagi wanita ini tidak bisa di ajak bicara baik-baik dan jika dikasari makan akan semakin berani.

"Mbak, anak aku juga butuh ayahnya. Mbak bisa minta tanggung jawab sama Haikal bukan sama suami aku,"

"Tapi anak..."

"Mbak, aku mohon jangan gunakan anak itu hanya untuk memenuhi obsesi kamu saja."

"Nay, karir aku udah hancur! Dan orang yang benar-benar perduli denganku sekar
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Duda Pilihan AyahĀ Ā Ā 150 :D

    Dewangga menatap Soedrajat dalam diam. Matanya menelusuri wajah tua itu—keriput di ujung mata, tubuh yang kini tampak rapuh, dan sorot mata yang menyimpan sesal mendalam. Di usianya yang sudah senja, seharusnya Soedrajat bisa menikmati hidup dengan tenang. Tapi tidak—ia masih harus menanggung beban dari kesalahan masa lalu, dan barangkali... ibunya benar. ā€œDi usia setua itu, siapa pun pantas hidup dalam damai,ā€ batin Dewangga. Dewangga menarik napas dalam, lalu akhirnya bersuara. Suaranya rendah, namun terdengar jelas dan tegas. ā€œSejak sudah memaafkan kakek.ā€ Kata-kata itu sederhana, tapi menampar sunyi yang menggantung di ruangan. Soedrajat mendongak, matanya langsung basah. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya—hanya sorot mata yang mengucap lebih banyak dari sekadar terima kasih. Dewangga melanjutkan, menatap sang kakek dengan tatapan tenang. ā€œMungkin... rasa marah dan kecewa itu belum sepenuhnya hilang. Tapi seperti yang saya bilang waktu itu, saya ingin menjalani

  • Duda Pilihan AyahĀ Ā Ā 149

    ā€œKenapa kalian datang ke sini?ā€ tanya Dewangga dingin, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang sulit ditebak.Suasana siang itu yang awalnya tenang seketika berubah saat ia melihat siapa yang berdiri di hadapannya—Rian dan Kakek Soedrajat.ā€œMasā€¦ā€ suara lembut Kanaya memecah ketegangan. Ia baru saja datang dari arah dapur, membawa senyum hangat di wajahnya. Dengan langkah tenang, ia berdiri di samping suaminya.ā€œRian, Kakek… silakan masuk,ā€ ujar Kanaya sopan sambil membuka pintu rumah lebih lebar, mengabaikan ketegangan di wajah suaminya.Dewangga menoleh cepat ke arah Kanaya, tatapannya penuh tanya. ā€œApa maksud kamu, Kanaya?ā€Kanaya mengelus lengan suaminya dengan lembut, berusaha menenangkannya. ā€œMas, aku tahu kamu kaget… tapi percayalah, ini semua demi kebaikan.ā€Ia bisa merasakan ketegangan di tubuh suaminya. Ekspresi wajah Dewangga sudah lama tak sedingin ini. Tapi Kanaya tahu, bukan amarah yang sedang meledak—melainkan luka lama yang kembali digores.ā€œMas, kita bicara di dal

  • Duda Pilihan AyahĀ Ā Ā 148

    Ibu dan anak itu akhirnya sampai di kantor Dewangga. Kai berjalan sambil menggenggam tangan Kanaya erat, wajahnya berseri-seri karena tak sabar ingin bertemu sang ayah.Namun, ketenangan lobi kantor langsung pecah oleh teriakan nyaring yang begitu familiar."Kaiii!!"Kanaya langsung menghela napas panjang, nyaris berdecak kesal. Itu lagi...Dari balik meja resepsionis, muncullah seorang wanita dengan setelan kerja rapi namun ekspresi lebay yang tak pernah berubah—Citra.Seperti roket, ia berlari ke arah mereka dan langsung memeluk Kai erat-erat seolah sudah bertahun-tahun tak bertemu.ā€œAunty kangeeenn banget sama kamu, Kai!ā€ serunya sambil mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke pipi bocah itu.Padahal, terakhir mereka bertemu… baru minggu lalu.ā€œAunty, Kai nggak bisa napasā€¦ā€ gerutu Kai, wajahnya cemberut setengah sebal, setengah pasrah.ā€œMaaf, Sayang. Aunty terlalu kangen,ā€ ujar Citra sambil terkekeh, masih menciumi pipi bulat Kai yang kini sudah mulai memerah.ā€œWah, sekarang udah pake se

  • Duda Pilihan AyahĀ Ā Ā 147

    Siang itu, matahari bersinar hangat, dan angin berembus pelan membawa aroma pohon-pohon rindang di halaman sekolah. Kanaya duduk di bangku panjang tak jauh dari gerbang, menanti putranya yang sebentar lagi pulang.ā€œNay.ā€Sebuah suara familiar memanggil namanya. Kanaya menoleh, dan benar saja—Rian berjalan mendekat dengan senyum menyebalkan yang khas.ā€œKetemu lagi, kita,ā€ ujarnya ringan, seolah pertemuan itu adalah takdir yang menyenangkan.Kanaya mengangkat alis. ā€œNgapain lo di sini?ā€Rian menunjuk ke seberang jalan. ā€œKebetulan kafe di depan situ, itu punya gue. Tadi dari jendela lihat ibu-ibu cantik duduk sendirian, jadi gue samperin deh.ā€Kanaya menoleh sejenak, melihat kafe minimalis bergaya modern yang belum lama ia sadari keberadaannya.ā€œSejak kapan lo buka tempat itu?ā€ tanyanya, masih dengan nada datar.ā€œBaru semingguan, sih,ā€ jawab Rian sambil menyerahkan satu cup kopi ke tangannya. ā€œCaffĆØ latte. Favorit lo, kan? Tenang aja, nggak gue racunin.ā€Kanaya menatap cup itu dengan ali

  • Duda Pilihan AyahĀ Ā Ā 146

    Malam itu, udara terasa lebih dingin, sisa hujan yang turun sore tadi masih membekas di langit. Setelah menidurkan Kai di kamarnya, Kanaya menyusul suaminya ke ruang kerja dengan secangkir teh hangat di tangannya."Mas," panggilnya lembut, berdiri di ambang pintu.Dewangga yang tengah sibuk dengan berkas di meja kerjanya menoleh. ā€œYa?ā€ gumamnya, sedikit terkejut, namun segera tersenyum ketika melihat Kanaya membawa teh hangat untuknya.Kanaya melangkah masuk, meletakkan secangkir teh di meja kecil di dekat sofa tempat Dewangga biasa duduk.Dewangga bangkit dari kursinya, berjalan perlahan mendekat, dan duduk di samping Kanaya. Mereka duduk diam, menikmati keheningan yang terasa nyaman. Sejak kepulangannya dari rumah sakit, Dewangga belum banyak berbicara. Rasa cemas dan bingung masih terlihat jelas di wajahnya, dan Kanaya tidak ingin memaksanya berbicara sebelum ia siap."Bagaimana keadaan Kakek kamu?" tanya Kanaya pelan, sambil menatap suaminya.Dewangga menghela napas panjang, mengu

  • Duda Pilihan AyahĀ Ā Ā 145

    Setelah kepergian Dewangga, Soedrajat hanya bisa terpaku. Matanya tak lepas menatap pintu yang kini tertutup, seolah menelan sosok cucunya bersama seluruh luka masa lalu yang belum sempat terobati.ā€œAndai saja aku tak egois... mungkin Dewangga tak akan tumbuh dalam bayang-bayang kebencian,ā€ lirihnya. Air mata menuruni pipi tuanya, pelan tapi pasti, membasuh kesombongan yang selama ini ia pelihara.ā€œMaafkan Kakek, Nak... pasti berat sekali jadi kamu,ā€ ucapnya lagi. Suaranya serak, nyaris tak terdengar, tapi penuh penyesalan. Sosok yang selama ini ia tolak dan curigai, ternyata darah dagingnya sendiri.Benar adanya, penyesalan memang selalu datang terlambat.Tak lama, Rian masuk. Ia sempat melihat Dewangga pergi dengan mata yang nyalang penuh luka. Tapi pemandangan yang membuatnya tercekat adalah kakeknya, orang sosok yang selalu tegar, angkuh dan kuat itu kini menangis terguncang di atas ranjang rumah sakit.ā€œKekā€¦ā€ panggil Rian pelan. Ia melangkah cepat, lalu memeluk kakeknya erat. Sat

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status