Ica begitu bingung mendengar cerita dari Mba Wati, pegawai toko ibunya. Kenapa wanita berusia tiga puluhan ini mengatakan kalau dia sudah menikah dengan Om Duda tetangga sebelah rumahnya, yaitu Fariz. Sedangkan dari penjelasan Bang Reno berbeda. Reno mengatakan kalau Fariz dan Ica belum menikah. Keberadaanya di rumah Ica lantaran amanah dari ibunya yang telah menitipkan Ica kepada si Om tampan itu.
"Kalau Mba Ica nggak percaya bisa cek buku nikahnya, toh," saran Wati.
"Bang Reno bilang, buku itu dibuat oleh ayahnya agar warga tak menaruh curiga atas keberadaan Om Fariz di rumah, Mba."
"Bohong. Mas Reno itu berbohong."
"Kenapa dia berbohong?"
"Karena dia naksir sama Mba Ica."
"Ica kan emang pacarnya Bang Reno."
"Wes, angel ini." Wati menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Meski Fariz sudah memberitahu Wati ten
"Katanya kita suami istri, jadi wajar, lah, Ica tidur di sini," ucap Ica memberanikan diri.Tiba-tiba dia teringat pesan Wati untuk mengatakan hal tadi jika Om Fariz menanyakan kenapa dirinya berada di dalam kamar Fariz.Mata Ica sudah tak terpejam lagi. Bola mata indahnya menatap lurus Fariz dengan penuh keyakinan. Fariz yang ditatap Ica seperti itu menjadi salah tingkah.Fariz pun memutar tubuhnya membelakangi Ica. Dia tak ingin menatap gadis itu dengan kondisi seperti ini. Imannya mungkin saja kuat, tapi 'Amin'?"Kok, diam? Kita suami istri, kan? Jadi wajar jika kita tidur dalam satu kamar siapa tau nanti ingatan Ica pulih jika kita melakukan hal yang biasa suami istri sering lakukan," oceh Ica santai. Kini Ica sudah duduk dengan santai di atas kasur. Meski bantal masih di dekapnya tapi kakinya sudah bebas berselonjor memarkan paha mulusnya.
Wati terlihat begitu gusar mendapati Ica yang terlihat murung sejak pagi. Bos nya itu menyuruhnya datang ke toko pagi sekali. Biasanya, toko beroprasi di jam sembilan, tetapi tadi pagi Ica menyuruhnya datang jam delapan. Sepanjang membuka toko Ica tak berhenti bercerita mengenai tamu wanita yang datang ke rumahnya pagi sekali.Diperhatikannya Ica, yang diam-diam mengusap air matanya menangis. Ica tak bisa melampiaskan kesedihannya karena ada Caca di sampingnya. Hari ini Caca libur sekolah, sehingga Ica membawanya ke toko.Beberapa pelanggan yang datang membuat Wati mengurungkan niat untuk bertanya kepada Ica, kenapa ia bersedih. Meski sesekali terdengar suara benda dibanting dengan begitu keras. Sehingga para pembeli bertanya-tanya, siapa kiranya yang ada di dalam gudang.Wati hanya tersenyum sambil menjelaskan kalau Ica sedang bongkar muat bersama dua karyawan pria di gudang."Tapi Ujang
Ica berjalan begitu saja melewati Fariz, masuk ke dalam rumah dengan berpegangan pada lengan Reno. Wajahnya terlihat pucat dengan tangan yang memegangi perut.Sementara Caca langsung menghambur memeluk Fariz yang masih bingung melihat kondisi Ica. Tanpa aba-aba, Bu Herman menarik kemeja Fariz dan berbisik dengan nada mengancam."Ica itu sudah saya anggap putri sendiri. Kalau gosip yang beredar benar adanya, saya minta kamu untuk mengakhiri perselingkuhan itu atau ceraikan Ica."Sejenak Fariz terdiam, tak mengerti harus menjelaskan apa kepada istri Pak RT ini. Namun tak begitu lama untuk terpaku, akhirnya Fariz tersadar dan ikut masuk ke dalam rumah."Ica nya mana?" tanya Bu Herman kepada Reno yang sendirian di ruang tengah."Masuk ke dalam kamar, pingin sendiri katanya.""Oh, ya sudah kita pulang s
"Kamu keguguran?" Bu Herman dan beberapa ibu komplek kompak bertanya kepada Ica."Bukan," jawab Ica, kaget melihat ekspresi ibu-ibu yang menjenguknya."Nggak ada bayi berarti keguguran, toh?" Bu Menik meyakinkan."Iya, kita semua lihat, kok, kalau Nak Ica pusing dan mual-mual." Bu Jayus menimpali."Yang sabar, ya Ca." Tiba-tiba Bu Herman memeluknya, seolah memberikan kekuatan agar Ica tidak merasa sedihMelihat Bu Herman memeluk Ica. Ibu-ibu yang lain pun ikutan memeluk. Kini mereka terlihat seperti Teletubbies sehingga suster yang baru masuk untuk memberikan obat kepada Ica sedikit bingung."Siang, Mba Aisyah. Ini obatnya ya." Suara suster membuat pelukan itu buyar. Ibu-ibu sontak menjauh dari Ica dan kembali bersikap elegan.Suster pun mendekati Ica guna melepaskan selang oksigen
Jeritan para perawat dan pasien menjadi kode buat Fariz harus menghindar ketika pukulan dari Reno melayang di udara._Jap_ yang diberikan Reno berhasil ditangkis oleh Fariz dengan tangan kirinya. Selisih usia 18 tahun lebih tua dari Reno, tak membuat Fariz bergerak dengan lambat. Dia menyerang balik setelah berhasil memberikan sundulan telak di hidung. Pria senja itu sengaja memilih titik lemah dari lawannya yang terbiasa dengan olahraga fisik. Memberikan pukulan ke ulu hati pada seorang anggota TNI tak akan memberikan dampak apapun jika tenaga kita tidak sebanding dengannya.Berhasil. Reno terhuyung mundur beberapa langkah. Ketika dia berhasil menjaga keseimbang dan bersiap menyerang balik, dua orang satpam telah membekuk tubuhnya.Fariz menggebrak meja ketika Reno berusaha meronta."Kamu bisa diam tidak? Atau kita berdua akan viral di media sosial!" bentak Fariz membuat Reno tersadar bahwa aksinya te
Fariz meminta bantuan Caca untuk membujuk Ica agar mau liburan. Tentu saja usaha Fariz berhasil mengingat Ica tak pernah bisa menolak permintaan Caca. Mereka bertiga pun menjalankan liburan ke pula Bali."Bali? Kita mau terbang ke Bali?" Setengah memekik Ica terkejut membaca tujuan liburannya di tempat chek-in bandara."Iya, kenapa? Kamu tak suka pantai?""Suka banget, tapi ...""Tapi apa?""Om Fariz nggak lagi ingin merencanakan sesuatu, kan?""Tentu saya merencanakan sesuatu dari liburan ini.""Apa?""Agar gosip tentang kita lekas usai."Ica hanya memanyunkan bibirnya mendengar penjelasan dari suami sekaligus dokter pribadinya. Sebenarnya Ica tidak peduli terhadap gosip yang membuat dirinya vi
"Kalau kamu tak ingin saya berpaling ke Bella. Sebaiknya ikut makan malam ini," bisik Fariz sambil mengecup pipi Ica.Tentu bisikan tersebut membuat dada Ica bergemuruh kesal. Tungkai kakinya batal lunglai, mendadak Fariz terlihat sangat menyebalkan bagi Ica. Apalagi pakai acara nyium pipi segala."Ish! Aku merasa diremehkan oleh Om Fariz," gerutu Ica dalam hati."Hayu Ca, kita tunggu Mama Ica ganti pakaian," ajak Fariz pada putri kecilnya.Ica masih melotot kesal melihat ekspresi Fariz yang seolah-olah sedang mengejeknya."Kok, malah cemberut? Apa mau saya yang pakaikan bajunya?" Fariz memutar tubuh Ica, tangannya meraba resleting baju Ica dari balakang."Ish! Om Fariz nyebelin banget sih! Sana, biar Ica ganti baju sendir!" maki Ica, mendorong Fariz keluar bersama Caca.Bukannya kesal mendapat perlakuan kasar dari Ica. Bapak dan anak
Ica dan Caca hanya bisa menepi berdiri dari kursi penonton di Amphitheater menyaksikan Fariz dan Bella yang tengah berdebat."Mama Ica, Papa ngapain sih, ngobrol sama Tante itu?" tanya Caca yang tampak tak menyukai akan kemunculan Bella.Ica menggendikan bahunya, malas untuk menjawab pertanyaan Caca."Iya, aku ke sini memang mengikuti kalian. Ingat, Mas Fariz masih hutang janji padaku," jelas Bella ketika Fariz menanyakan kehadirannya."Mama Ica nggak mau manggil Papa buat udahan ngomong sama Tante itu? Caca udah laper nih."Ica melirik anak tirinya, dirinya juga sudah lapar tapi untuk pergi ke sana dan melerai mantan kekasih itu saling berdebat rasanya juga enggan."Kita makan berdua aja tanpa Papa, cari restoran dekat sini saja, yuk!" Ica pun membawa Caca menuju restoran terdeka